BAB II TINJAUAN PUSTAKA
B. Kerangka Konseptual
4. Konsep Rumah Panggung
98 Undang Nomor 28 Tahun 2002 menentukan bahwa bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi :
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan c. izin mendirikan bangunan gedung.
99 f. Sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
bagi pemiliknya:
g. Penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
Rumah panggung yang oleh masyarakat Indonesia dipandang sebagai rumah adat, ini umumnya berbahan dari kayu dan konstruksinya tidak menyatu dengan tanah secara permanen dengan penyanga dari kayu. Termasuk rumah panggung yang terapung di sungai atau laut di berbagai daerah di Indoensia.
Rumah panggung ini dapat untuk dibongkar dan dipasang kembali (portabel), bahkan melalui pemesanan secara khusus bagi mereka yang menggemari rumah panggung ini.
Menurut penulis pengertian rumah panggung adalah rumah yang oleh masyarakat Indonesia dipandang sebagai rumah adat, berbentuk panggung dengan penyangga yang umumnya berbahan dari kayu dan konstruksinya tidak menyatu dengan tanah secara permanen sehingga mudah untuk dipindahkan.
Adapun bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun
100 kegiatan khusus.108
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 (UU Bangunan Gedung) dan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 (PP Bangunan Gedung), tampak jelas pengidentifikasian dan fungsi bangunan, dalam hal ini penerapan asas pemisahan horizontal, bahwa untuk suatu fungsi hunian atau tempat tinggal bagi manusia sekalipun, sebuah bangunan haruslah dinyatakan dengan tegas menyatu dengan tanah secara konstruksi dalam wujud fisiknya, karena bila tidak, dengan sendirinya dapat dianggap bukan merupakan satu kesatuan (unity) antara bangunan dengan tanahnya, dengan kata lain bisa terpisahkan dalam artian konstruksinya.
Hilman Hadikusuma109 mengatakan bahwa dari berbagai macam harta benda, menjadi objek hak dan kewajiban dalam hubungan sosial dan ekonomi menurut hukum adat pada masyarakat pedesaan adalah tanah dan tanaman tumbuhan, hewan dan ternak, bangunan dan peralatan. Lebih lanjut dikatakan bahwa untuk bangunan beliau mengartikan : adalah semua benda yang terletak di atas tanah atau air, yang dibangun oleh manusia untuk kebutuhan kehidupannya. Seperti bangunan rumah, bangunan kedai, toko, lumbung padi, rumah atau balai adat, bangunban tempat upacara keagamaan, seperti pura, klenteng,
108 Pasal 1 Angka 1, Undang-Undang No. 28 Th. 2002 Tentang Bangunan Gedung
109 Hilman Hadikusuma,Hukum Perekonomian Adat Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,Hlm. 10-11
101 gereja, masjid, candi dan sebagainya. Bangunan rumah ada yang permanen yang kuat melekat di atas tanah yang terbuat dari batu atau bahan kayu, tidak dapat diangkat, dengan bentuk rata di atas tanah, atau berbentuk panggung seperti kebanyakan terdapat di pedesaan orang Melayu, dan ada pula yang sederhana mudah diangkat untuk dipindahkan ke tempat lain seperti terdapat di pedesaan orang-orang Jawa. Begitu juga ada bangunan rumah yang terletak di atas rakit yang disebut “rumah perahu” atau “rumah rakit” (poton) seperti terdapat di sungai-sungai besar atau di tepi-tepi laut.”
Kedudukan rumah dapat dibedakan antara “rumah adat” dan
“rumah biasa”. Bangunan rumah adat atau rumah tradisional merupakan milik bersama dari kesatuan kerabat. Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa:110 “Rumah dalam wujudnya sebagai tempat kediaman atau “rumah toko” yang bukan harta pusaka, tetapi harta suarang (harta pencarian) dapat dijual.
Terutama jika bangunan rumah itu terletak di luar kampung, di daerah rantau, dimana pengaruh adat sudah kecil. Di pedesaan orang Jawa atau pedesaan yang masyarakatnya sudah campuran antar berbagai suku, rumah biasa dapat dialihkan dengan leluasa, dengan sistem “adolngebregi” (jual tetap) atau “adol bedol” (jual angkat), karena bangunannya memungkinkan untuk diangkat
110 Hilman Hadikusuma, Ibid, hlm.12-13
102 kerangkanya beramai-ramai.” 111
Sehubungan dengan itu, salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda lain yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal itu mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.
Dalam hukum tanah dikenal ada dua asas yang satu sama lain bertentangan, yaitu meliputi :
a. Asas perlekatan vertical dan b. Asas pemisahan horizontal.
Asas pelekatan vertical adalah asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan benda yang melekat padanya sebagai satu kesatuan tertancap menjadi satu. Sedangkan Asas pemisahan horizontal justru memisahkan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.112Sejak di berlakukannya KUHPerdata kedua asas ini diterapkan secara berdampingan sesuai dengan tata hukum yang berlaku pada masa itu, pada masa sebelum adanya kesatuan hukum dalam hukum pertanahan, yaitu sebelum berlakunya UUPA. Setelah berlakunya UUPA maka ketentuan Buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta
111 ibid
112 Mahadi, Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1983, hal. 46
103 kekayaan didalamnya telah dicabut, kecuali tentang hipotik.
Dengan demikian pengaturan tentang hukum tanah dewasa ini telah merupakan satu kesatuan hukum (unifikasi hukum) yaitu hanya ada satu hukum tanah saja yang berlaku yaitu yang diatur dalam UUPA dan berasaskan hukum adat.
Pasal 5 UUPA menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat, maka lebih lanjut disimpulkan, bahwa UUPA mengenai tanah menganut prinsip pemisahan tanah secara horizontal. Sehubungan dengan prinsip pemisahan horizontal antara tanah dan benda-benda yang ada diatas tanah yang bersangkutan, dapat disimpulkan menurut hukum adat bahwa :
1) Tanah dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut sekalipun mempunyai keterkaitan yang erat dengan tanah diatas mana benda-benda itu berada, tetap merupakan dua benda yang lain yang berdiri sendiri-sendiri.
2) Pemilik tanah bisa menjual atau menjaminkan tanahnya tanpa meliputi benda-benda yang berkaitan erat dengan tanah yang bersangkutan.
3) Penjual atau penjamin dengan tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda yang berkaitan erat dengan tanah yang bersangkutan.
4) Pemilik tanah tidak harus sama dengan pemilik benda-benda yang berkaitan erat dengan tanah yang bersangkutan.
104 Konsepsi harta benda terhadap rumah adat ini erat kaitannya dengan hukum adat. Karena semua aturan adat yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara manusia perseorangan atau bersama-sama, dengan harta benda atau harta kekayaan, dinamakan hukum adat harta benda.
L.J. van Apeldoorn menjelaskan bahwa :113Hukum adat ini tidak mengenal sistem pembagian seperti hukum benda (vermorgensrecht) menurut hukum perdata barat meteriel [Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)], yang membagi dalam hukum harta mutlak yang disebut “hukum kebendaan” yang mengatur hak-hak kebendaan, dan hukum harta yang relatif yang disebut “hukum Perjanjian”, yang mengatur tentang perhutangan dan perikatan.”
Harta benda yang diatur dalam hukum adat menurut Hilman Hadikusuma114, ialahtidak semata-mata mengenai harta yang bernilai uang, tetapi juga kekeluargaan, kebersamaan dan magis-religius. Begitu pula ia tidak membedakan antara barang-barang yang berwujud atau tidak berwujud, barang bergerak atau barang tidak bergerak. Kesemua harta benda itu dilihat menurut apa adanya. Jadi sifatnya sederhana dan mengandung asas-asas kekeluargaan dan keagamaan dan dipengaruhi susunan kemasyarakatannya. Menurut hukum adat “hak milik” atas benda
113 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradhya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 234.
114 Hilman Hadikusuma. Op.Cit Hal 11
105 berarti “hak kepunyaan” atau “hak punya” yang tidak bersifat mutlak.
Berbeda dari hak milik barat yang disebut eigendom (hak milik pribadi/individu/sendiri) dalam arti hak untuk menikmati dengan leluasa dan untuk berbuat leluasa terhadap harta benda dengan kekuasaan sepenuhnya (Pasal 570 KUH Perdata).”
Tidak mutlaknya hak milik adat karena dipengaruhi asas kekeluargaan dan keagamaan. Hak milik atas benda, Hilman Hadikusuma menjelaskan menurut hukum adat dapat dilihat perbedaanya dengan konsep kepemilikan dengan hukum perdata barat peninggalan Hindia Belanda (Burgerlijk Wetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), yaitu antara :
a. hak milik perorangan, dengan hak milik kebendaan yang berasas kekeluargaan dan berfungsi sosial, maka pada dasarnya setiap orang dapat mempunyai hak milik atas tanah, bangunan, tanaman atau tumbuhan, ternak, peralatan dan perlengkapan. Tetapi sejauh mana kekuatan hak milik tersebut untuk ditransaksikan dipengaruhi oleh tempat kediaman dan latar belakang kedudukan seseorang sebagai warga (adat), macam atau jenis harta bendanya serta bagaimana terjadinya hak milik tersebut;”
b. hak milik bersama (kerabat) atas harta benda adalah hak bersama para anggota kerabat atas harta benda secara turun-menurun. Kebanyakan hak milik kerabat ini terdapat
106 pada masyarakat yang susunan kekerabatannya bersifat unilateral, menurut garis keturunan bapak (patrilinial) atau menurut garis keturunan ibu (matrilinial) atau juga pada masyarakat yang masih bersifat kesukuan, dan;”
c. hak masyarakat (umum), adalah hak bagi semua anggota masyarakat untuk memanfaatkan dan menikmati harta benda yang disediakan masyarakat (desa, nagari, marga) untuk kepentingan umum atau keagamaan, sepanjang tidak bertentangan dengan tata tertib adat yang berlaku.”
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlandaskan asas pemisahan horizontal, yang besumberkan pada hukum adat. Sebagaimana Sunaryati Hartono berpendapat, bahwa:115Perlu dianutnya asas pemisahan horizontal ini dalam hukum tanah dan hukum benda nasional kita, bukan semata-mata didasarkan atas pertimbangan bahwa asas itu merupakan asas hukum adat, akan tetapi terutama, karena dengan menganut asas ini kebutuhan-kebutuhan masyarakat kita sekarang dan masa depan akan lebih terlayani, dan mudah diatur, daripada apabila kita menganut asas accessie (perlekatan vertikal).”
Di dalam hukum tanah dikenal ada dua asas yang sangat berpengaruh, oleh Djuhaendah Hasan diterangkan bahwa yang
115 Sunaryati Hartono, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pembaharuan Hukum Tanah, Alumni, Bandung, 1978, hal. 104.
107 satu sama lain bertentangan yaitu yang dikenal dengan “asas pelekatan vertikal (verticale accessie beginsel)” dan “asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel)”. Lebih lanjut olehnya:116 Asas pelekatan vertikal yaitu asas yang mendasarkan pemilikan tanah dan segala benda yang melekat padanya sebagai suatu kesatuan yang tertancap menjadi satu. Sedangkan asas pemisahanhorizontal justru memisahkan tanah dari segala benda yang melekat pada tanah tersebut.”
Salah satu aspek yang penting di dalam hukum tanah adalah tentang hubungan antara tanah dengan benda lain yang melekat padanya. Kepastian hukum akan kedudukan hukum dari benda yang melekat pada tanah itu sangat penting karena hal ini mempunyai pengaruh yang luas terhadap segala hubungan hukum yang menyangkut tanah dan benda yang melekat padanya.
Dalam praktiknya sebelum berlakunya UUHT, dapat dilihat bahwa jarang sekali terjadi, bahkan bisa dikatakan tidak pernah terjadi ada pembebanan hipotik atau credit verband (CB) tanpa memperjanjikan bahwa jaminan itu meliputi bangunan dan yang sudah ada ataupun akan ada di atas tanah yang bersangkutan.
Pada umumnya kreditor memperjanjikan bahwa jaminan meliputi pula semua benda yang bersatu atau dipersatukan dengan tanah
116 Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal, Citra Aditya Bakti, Bandung ,1996, hal. 65.
108 yang bersangkutan, sudah menjadi suatu janji yang selalu diperjanjikan.
Apabila disimak Pasal 5 UUPA yang menentukan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dengan demikian jelas sekali bahwa pengaturan hukum tanah di dalam UUPA berlandaskan hukum adat. Lebih lanjut atas Pasal 5 UUPA itu dikatakan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang baru.
Mengingat asas pemisahan horizontal adalah asas yang dianut dalam hukum adat, maka akan menimbulkan kesimpulan bahwa UUPA mengenai tanah menganut prinsip pemisahan tanah secara horizontal.
Pandangan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan117 yang mengatakan bahwa Hukum Adat tidak mengenal asas accesi.
UUPA juga tidak mengatur hak-hak atas benda yang berada di atas dan merupakan kesatuan dengan tanah, namun sebaliknya menganut asas horizontal scheiding. Oleh karenanya terhadap bangunan-bangunan yang ada di atas Hak Milik, HGU dan HGB serta juga di atas tanah Hak tanah orang lain dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, sedangkan bangunan tersebut tidak dapat dijaminkan dengan hipotik tetapi dengan fidusia.
117 Srie Soedewi Masychun Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia (BPHN, 1980) hal.16
109 C. Kerangka Pikir
EKSISTENSI RUMAH PANGGUNG SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF ASAS PEMISAHAN
HORIZONTAL
UU NO. 42/1999 TTG JAMINAN FIDUSIA UU NO. 1/2011 TTG PERUMAHAN DAN KP UU NO. 28/2002 TTG BANGUNAN GEDUNG
Kedudukan Rumah Panggung sebagai objek jaminan fidusia Dalam Persepektif Hukum Benda
• KUH Perdata”
• Hukum Adat
• Pandangan Ahli
Penerapan Asas
Pemisahan Horizontal untuk Menjadikan Rumah
Panggung Sebagai Jaminan Fidusia
Perjanjian Persetujuan Pemegang Hak Atas Tanah
Peraturan Perundang-undangan
Konstruksi Hukum Rumah Panggung sebagai
Jaminan Fidusia
• Lembaga Pendaftaran Rumah Panggung
• Pendaftaran Jaminan Fidusia atas rumah panggung
TERWUJUDNYA RUMAH PANGGUNG SEBAGAI OBJEK
JAMINAN FIDUSIA
110 D. Definisi Operasional
Adapun definisi operasional variabel yang diambil dari bagan kerangka pikir adalah sebagai berikut :
1. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak khususnya Bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tangungan, sebagaimana dimaksud dalam UU NO. 4 Tahun 1996 tentangn Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pel yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
2. Asas Pemisahan Horizontal adalah asas yang memandang bahwa benda-benda yang bukan merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan
3. Rumah Panggung adalah rumah yang oleh masyarakat Indonesia dipandang sebagai rumah adat, berbentuk panggung dengan penyangga yang umumnya berbahan dari kayu dan konstruksinya tidak menyatu dengan tanah secara permanen sehingga mudah untuk dipindahkan.
111 4. Perjanjian/Persetujuan pemegang hak atas tanah adalah perjanjian antara pemegang Hak atas tanah dengan pemilik bangunan atau rumah panggung
5. Peraturan perundang-undangan adalah segala ketentuan yang mengatur tentang jaminan fidusia terhadap bangunan termasuk rumah panggung.
6. Lembaga pendaftaran yang dimaksud adalah lembaga yang berwenang mendaftarkan bangunan rumah panggung
7. Pendaftaran rumah panggung yaitu lembaga yang mendaftarkan Jaminan Fidusia termasuk jaminan bangunan Rumah Panggung.