• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

1. Teori Keadilan

22 hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.20

Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral.

Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva(keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutatif).

Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau tidak mau keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah dengan alam, dan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Keadilan harus terwujud di semua lini kehidupan, dan setiap produk manusia haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan produk yang tidak adil akanmelahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta.21

20 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 156

21 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,2013, hal 177.

23 Aristoteles memberikan argumen bahwa keadilan merupakan sebagai suatu pemberian hak persamaan tetapi bukan persamarataaan. Aristoteles membedakan hak persamaan sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak dalam pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang dilakukannya.

Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral.

Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distributiva(keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutatif).

Pembahasan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu

24 bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka beberapa pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:22

1) Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

2) Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:

a) Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional.

b) Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

22 Thomas Aquinas dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., hal. 167

25 c) Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Lebih lanjut dikatakan bahwa, keadilan itu sendiri bersifat universal dan merupakan proses yang dinamis serta senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, menurut Maria S.W. Sumardjono23 bahwa setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhannya bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi dimana lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini yang berupa perlakuan khusus dapat dilakukan asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal demikian biasa disebut sebagai corrective justice atau positive discrimination.

Dalam pemahaman substansial, gagasan dasar keadilan terdiri atas tiga hal, sebagai berikut: (1) Bahwa orang harus

23 Maria S.W. Sumardjono, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2001,hal. 221

26 diperlakukan sama dalam hal atau kasus yang sama; (2) Bahwa hal yang baik harus memperoleh penghargaan; (3) Bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak dasarnya.24

Gagasan dasar keadilan tersebut di atas bahwa orang harusdiperlalukan sama dalam hal atau kasus yang sama, dan hubungan dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan perlakuan terhadap masyarakat golongan atas untuk mendapatkan kredit perbankan dengan jaminan hipotik dan hak tanggungan, maka perlakuan yang sama seharusnya diberikan pula kepada masyarakat golongan menengah ke bawah yaitu memberikan fasilitas kredit perbankan berupa fidusia atas rumah panggung.

Demikian halnya dengan dasar keadilan bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memeroleh dan mempertahankan hak-hak dasarnya. Salah satu hak-hak dasar bagi setiap orang yang diakui dalam Konstitusi Negara Indonesia adalah hak untuk memeroleh penghidupan yang layak. Penghidupan yang layak diartikan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk berusaha memperbaiki kondisi ekonomi yang dialaminya. Bilamana yang dimiliki hanya rumah panggung di atas tanah hak sewa atas tanah hak milik orang lain, maka adalah adil bila memberi kesempatan berusaha dengan

24 Ibid. hal 222

27 menjadikan rumah panggung miliknya menjadi jaminan kredit baginya.

Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis.25 Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.

Sehubungan dengan itu, kebahagiaan bukan hanya dapat dinikmati oleh orang yang berada di kalangan menengah ke atas, tetapi akan menjadi hak juga bagi mereka yang tergolong berada di bawah garis kemiskinan. Mereka berhak untuk memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan perlakuan yang adil dan memperoleh hak dasarnya, yang lazim diatikan sebagai hak asasi manusia. Masyarakat miskin pun memiliki hak asasi yang dijamin konstitusi.

John Rawls dengan teori keadilannyamenjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, Melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai

25 Jeremy Bhentam dalam Suhariningsih, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2009, Hlm. 43

28 salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.26

John Rawls melahirkan 2 (dua ) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle),prinsip perbedaan (differences principle). Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.27Uraian dari masing-masing prinsip adalah sebagai berikut :

a) Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle) Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”, dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), kebebasan personal (liberty of conscience and though), kebebasan untuk memiliki

26 Theo Huijbers. Op cit. Hal. 196.

27 John Rawls, .A Theory of Justice (Revised Edition).The Belknap Press of Harvars University Press: Cambridge.1999, Hal.73-74.

29 kekayaan (freedom to hold property), dan kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.28

Kebebasan ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak).29

b) Prinsip Ketidaksamaan (inequality principle), yang oleh Rawls dibagi dua yaitu :30

a) Differenceprinciple(prinsipperbedaan) yaitu ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.

b) Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan) yaitu: jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan di mana adanya persamaan kesempatan yang adil.

Prinsip pertamadi atas memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (prinsip

28 Natsir Asnawi,Tinjauan Dialektis Terhadap Hukum, Moral, dan Keadilan. Pustaka Harapan : Jakarta. 2010.Hal. 4.

29 Ibid.

30 Ibid. Hal.6.

30 perbedaan objektif). Prinsip kedua,menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness(redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan asas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif.31

Dalam membangun teorinya Rawls berangkat dari suatu posisi hipotetis di mana ketika setiap individu memasuki kontrak sosial itu mempunyai kebebasan (liberty).32 Posisi hipotetis itu disebut dengan posisi asli (original position). Posisi asli itu adalah suatu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai dalam kontrak sosial adalah adil (fair).

Berdasarkan fakta adanya posisi asli (original position) ini kemudian melahirkan istilah “keadilan sebagai fairness”. Ditegaskan oleh Rawls bahwa sekalipun dalam teori ini menggunakan istilah fairness namun tidak berarti bahwa konsep keadilan dan fairness adalah sama. Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang bahwa posisi setiap orang dalam situasi awal ketika

31John Rawls. 1999. op cit. Hal. 54.

32Charles Himawan.Hukum sebagai Panglima.Penerbit Buku Kompas : Jakarta. 2003, Hal.43.

31 memasuki sebagai kesepakatan dalam kontrak sosial itu adalah rasional dan sama-sama netral. Dengan demikian, keadilan sebagai fairness disebut juga dengan teori kontrak.33

Rawls menguraikan teori keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: “I then present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalizes and carries to a higher level of abstraction the tradisional conception of the social contract”.

Artinya, gagasan utama dari keadilan sebagai fairness adalah suatu teori tentang keadilan yang menggeneralisasi dan membawa ke suatu abstraksi yang lebih tinggi yaitu konsep kontrak sosial.

Kemudian dilanjutkan Rawls, “The primary subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantage from social cooperation”.

Artinya, bahwa pokok utama keadilan adalah struktur dasar dari masyarakat itu, lebih tepatnya, cara bagaimanakah lembaga-lembaga utama masyarakat mengatur hak-hak dan kewajiban dasar serta bagaimanakah menentukan pembagian kesejahteran dari suatu kerjasama sosial. Sebab, “its effects are so profound and present from the start”. Artinya bahwa akibatnya sangat ekstrim dan kehadirannya dari awal, karena sebagai titik tolak. Konkritnya, pengaruh dari “the basic structure ofsociety” (struktur

33Ibid.

32 dasarmasyarakat) itu sangat besar untuk dapat menentukan bagaimana keadilan.34

Dijelaskan lebih lanjut oleh Rawls35, bahwa suatu kelembagaan dalam masyarakat dapat dimengerti dalam suatu cara yaitupertama, sebagai suatu hal yang abstrak yaitu suatu bentuk perilaku yang diwujudkan dalam satu sistem hukum; dan kedua, realisasi dalam pikiran dan perbuatan dari orang-orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu atas rumusan bentuk perilaku (perbuatan) yang telah diatur dalam aturan. Dengan kata lain, Rawls menyimpulkan bahwa “the basic structure of society” itu adalah suatu “public system of rules” yang dapat dilihat dalam dua bentuk “system of knowledge” (or set of public norms) dan as a

“system of action” (or set of institutions). Oleh karena itu dapat didalilkan, bila “the basic structure of the society” adalah terdiri dari sistem kelembangaan yang adil (a just system of institution) dan ketetapan politik yang adil (a just system political constitution) maka justice as a fairness akan dapat dicapai.

Rawls juga menyarankan agar istilah keadilan formal diganti dengan istilah “keadilan sebagai keteraturan (justice as regularity)”.

Istilah ini dianggap lebih tepat dibanding” keadilan formal (formal justice).36 Rawls melanjutkan bahwa keadilan formal dapat meningkat menjadi keadilan substansi (materil). Bila keadilan

34John Rawls, op cit.Hal.73-74.

35Ibid.

36Ibid.Hal.76.

33 formal itu adalah suatu hal yang hanya semata-mata patuh pada sistem perundang-undangan, maka hal itu baru satu aspek saja dari rule of law, satu konsep yang akan mendukung dan menjamin harapan yang sah (legitimate expectation) dari masyarakat akan keadilan.37

Rawls salah satu pendukung keadilan formal.

Konsistensinya dalam menempatkan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial bisa menjadi sinyal untuk ini. Rawls percaya bahwa keadilan yang berbasiskan peraturan, bahkan yang sifatnya administratif formal sekalipun tetaplah penting karena pada dasarnya ia memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama. Singkatnya keadilan formal menuntut kesamaan minimum bagi segenap masyarakat. Rawls juga percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat tergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya.

Apabila peraturan dan hukum itu sangat penting, maka konsistensi dari para penegak hukum dalam pelaksanaan peraturan dan hukum yang tidak adil sekalipun akan sangat membantu warga masyarakat untuk belajar melindungi diri sendiri dari pelbagai

37Ibid.

34 konsekuensi buruk yang diakibatkan oleh hukum yang tidak adil.38 Rawls memandang bahwa walaupun diperlukan keadilan formal tidak bisa sepenuhnya dan mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertata baik (well ordered society). Rawls percaya bahwa suatu konsep keadilan yang hanya dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipaksakan secara sepihak oleh penguasa. Oleh karena itu, betapapun pentingnya keadilan formal, Rawls tidak ingin berhenti pada taraf ini.

Rawls menyeberangi formalisme ini dengan merumuskan sebuah teori keadilan yang lebih memberi tempat kepada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu. Untuk itu Rawls percaya bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Dengan demikian, seluruh gagasan Rawls mengenai keadilan serta pelbagai implikasinya dalam penataan sosial politik dan ekonomi harus ditempatkan dan dimengerti dalam perspektif kontrak.39

Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang

38Amstrong Sembiring.Energi Keadilan.Masyita Pustaka Jaya. Medan, 2009.Hal. 32.

39Ibid. Hal. 42.

35 memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik saja yang berhak menikmati pelbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan prospek hidupnya.

Dalam kaitannya dengan hal tersebut, pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. “The different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits), misalnya: seorang pekerja yang terampil tentunya akan lebih dihargai dibandingkan dengan pekerja yang tidak terampil. Di sini keadilan sebagai fairness sangat menekankan asas resiprositas, namun bukan berarti sekedar ”simply reciprocity”, dimana distribusi kekayaan dilakukan tanpa melihat perbedaan-perbedaaan objektif di antara anggota masyarakat.

Pandangan John Rawls dalam teorinya menunjukkan bahwa Rawls melihat bahwa agar terjamin suatu aturan main yang objektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula.40

40Ibid

36 Selanjutnya, Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.41

Pandangan Hans Kelsen tersebut di atas bersifat positivis karena menurutnya nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian diperuntukan tiap individu.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Suatu tatanan yang adil menurut Kelsen adalah suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai,

41Hans Kelsen. General Theory of Law and State. diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien.

Nusa Media : Bandung.2011. Hal. 7.

37 ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.42

Hans Kelsen sebagai penganut aliran positivisme mengakui bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.43

Pandangan Kelsen tersebut menunjukkan bahwa meskipun Hans Kelsen yang menganut aliran positifisme tetapi dalam kaitannya dengan keadilan, Kelsen mengakui juga kebenaran dari hukum alam sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan menunjukkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.

Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Hal yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang pertama adalah dunia kasat mata yang

42Ibid.

43Ibid.

38 dapa ditangkap melalui indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.44

Ada dua hal mengemai konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yaitu:45

a. keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat berwujud kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan.

Penyelesaian atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua kepentingan.

b. konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan dasar yang kokoh dari suatu tatanan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknalegalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa. Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat

44Ibid.

45Ibid. Hal. 16

39 dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum tersebut.

Uraian mengenai ketiga teori keadilan di atas menunjukkan bahwa :

a. Teori keadilan menjadi landasan utama yang harus diwujudkan melalui hukum yang ada. Aristoteles menegaskan bahwa keadilan adalah inti dari hukum.

Keadilan bagi Aristoteles dipahami dalam pengertian kesamaan, namun bukan kesamarataan. Membedakan hak persamaanya sesuai dengan hak proposional. Kesamaan proposional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah dilakukanya. Arietoteles juga membedakan dua macam keadilan, keadilan “distributif” dan keadilan “kommutatif”.

Keadilan distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut pretasinya. Keadilan kommutatif memberikan sama banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya.

b. John Rawls dengan teori keadilan sosialnya menegaskan bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi

40 kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

John Rawl terhadap konsep “posisi asasi” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip-prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.

c. Hans Kelsen dalam teorinya mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat subjektif. Sebagai aliran positivisme mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.

41 Dari ketiga teori tersebut, peneliti cenderung sepaham dengan pandangan John Rawls bahwa keadilan pada hakikatnya ada dua yaitu keadilan formal dan keadilan substantif di mana kedua-duanya memiliki nilai yang sama pentingnya. Keadilan substantif dalam pandangan peneliti seharusnya dicapai melalui keadilan prosedural demikian pula keadilan prosedural selayaknya dibentuk sesuai dengan cita keadilan substantif.