• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritis

2. Teori Hukum dan Pembangunan

41 Dari ketiga teori tersebut, peneliti cenderung sepaham dengan pandangan John Rawls bahwa keadilan pada hakikatnya ada dua yaitu keadilan formal dan keadilan substantif di mana kedua-duanya memiliki nilai yang sama pentingnya. Keadilan substantif dalam pandangan peneliti seharusnya dicapai melalui keadilan prosedural demikian pula keadilan prosedural selayaknya dibentuk sesuai dengan cita keadilan substantif.

42 Untuk mencapai ketertiban dalam kehidupan masyarakat, diperlukan adanya kepastianhukum. Lebih lanjut Mohtar Kusumaatmadja47 mengemukakan bahwa tanpa kepastian hukum dan ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya, tidak mungkin mengembangkan bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan oleh Tuhan kepadanya secara optimal di dalam masyarakat tempat ia hidup. Pengembangan bakat-bakat tersebut memerlukan upaya untuk mewujudkannya termasuk melalui penumbuhan berbagai aturan pendukung sehingga tercapai kepastian hukum. Dengan demikian, timbullah sikap dan kebutuhan masyarakat untuk memberi penghargaan, penghormatan, dan perlindungan terhadap bakat-bakat dan kemampuan yang dipunyai seseorang. Untuk mempertahankan ketertiban dan kepastian hukum dalam hidup bermasyarakat, maka hukum harus secara seimbang melindungi kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat.

Roscoe Pound48 membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan umum, dan kepentingan sosial. Kepentingan pribadi/

perseorangan yang berupa keinginan seseorang mengenai hal-hal yang bersifat pribadi yang meliputi perlindungan hak milik, kebebasan berusaha dan mengadakan kontrak, hak untuk mendapatkan keuntungan yang sah, pekerjaan, dan hak untuk

47Mohtar Kusumaatmaja, 2006, Loc.Cit

48Roscoe Pound, An Antroduction to the Philosophy of Law, Yale University Presss, New Haven, Connecticut, diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, 1996, Pengantar Filsafat Hukum, Cetakan Kelima Bhratara, Jakarta. Hal 35-36.

43 berhubungan dengan orang lain; kepentingan publik/umum yaituyang bersangkut paut dengan kepentingan-kepentingan negara sebagai badan hukum dalam mempertahankan kepribadian dan hakikatnya serta sebagai penjaga kepentingan-kepentingan sosial; dan kepentingan sosial yang menyangkut moral umum dan pengamanan sumber daya sosial. Menurutnya bahwa agar hukum dapat berfungsi dalam menjaga kepentingan-kepentingan sebagaimana yang diharapkan, maka hukum itu tidak boleh statis tetapi harus selalu dinamis, harus selalu diadakan perubahan sesuai dengan perkembangan jaman dan dinamika kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, pembangunan hukum perlu selalu digelorakan supaya supaya dinamika kehidupan masyarakat tetap terjaga kepentingannya, termasuk kepentingan masyarakat kecil seperti masyarakat nelayan dan petani di pedesaaan.

Untuk menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat, Roscoe Pound, mengatakan bahwa Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional. Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan dengan seminimum mungkin menghindari benturan dan pemborosan.

Kepentingan-kepentingan yang dimaksud oleh Roscoe Pound

44 adalah, kepentingan umum, kepentingan sosial, dan kepentingan pribadi.

Setiap individu dalam hidup bermasyarakat menginginkan terpenuhinya kepentingan-kepentingan itu sebanyak mungkin.

Namun di lain pihak, menurut Soerjono Soekanto49, pemenuhan kepentingan-kepentingan tersebut tidak boleh merugikan kepentingan-kepentingan individu lainnya. Disinilah negara berperan untuk menetapkan peraturan-peraturan sebagai instrumen untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Dari uraian ini,menunjukkan bahwa hukum berperan dalam memberi perlindungan terhadap hak milk individu melalui instrumen hukumnya. Hukum sangat dibutuhkan dalam menghindari konflik dan menata kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Kepentingan-kepentingan tersebut harus ditata sedemikian rupa agar tercapai keseimbangan yang proporsional.

Manfaatnya adalah terbangunnya suatu struktur masyarakat sedemikian rupa hingga secara maksimum mencapai kepuasan akan kebutuhan, dengan seminimum mungkin menghindari benturan-benturan dari kepentingan-kepentingan tersebut.

Dalam perkembangan hukum di Indonesia maka teori hukum yang banyak mengundang atensi dari para pakar dan masyarakat adalah mengenai Teori Hukum Pembangunan dari

49Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, dalam Bernard L. Tanya.

Dkk, 2006, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV Kita, hal. 128.

45 MochtarKusumaatmaja ini.Teori hukum adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sistem dari hukum.

Mochtar Kusumaatmaja mengemukakan bahwa ada beberapa argumentasi krusial mengapa TeoriHukum Pembangunan tersebut banyak mengundang banyak atensi, yang apabila dijabarkan aspek tersebut secara global adalah sebagai berikut50:

Pertama,TeoriHukum Pembangunansampai saat ini adalah teori hukum yang eksis di Indonesia karena diciptakan oleh orang Indonesia dengan melihat dimensi dan kultur masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, dengan tolok ukur dimensi teorihukum pembangunantersebut lahir, tumbuh dan berkembang sesuai dengan kondisi Indonesia maka hakikatnya jikalau diterapkan dalam aplikasinya akan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat Indonesia yang pluralistik.

Kedua,secara dimensional maka Teori Hukum Pembangunanmemakai kerangka acuan pada pandangan hidup (way of live) masyarakat serta bangsa Indonesia berdasarkan asas Pancasila yang bersifat kekeluargaan maka terhadap norma, asas, lembaga dan kaidah yang terdapat dalam Teori Hukum Pembangunan tersebut relatif sudah merupakan dimensi yang meliputi structure (struktur), culture (kultur) dan substance (substansi) sebagaimana dikatakan oleh LawrenceM. Friedman.

50Lili Rasjididan Ida Bagus Wiyasa Putra,Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003. hal. 5.

46

Ketiga,pada dasarnya Teori Hukum

Pembangunanmemberikan dasar fungsi hukum sebagai “sarana pembaharuan masyarakat” (law as a tool of social engineering) dan hukum sebagai suatu sistem sangat diperlukan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang.

Sehubungan dengan itu, mulai tumbuhnya pengakuan dari pentingnya fungsi hukum dalam pembangunan, menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghindarkan kesan bahwa di tengah-tengah kesibukan tentang pembangunan ini terdapat suatu kelesuan (melaise) atau kurang kepercayaan akan hukum dan gunanya dalam masyarakat. Di puncak melaise dan ketidakpercayaan mengenai kegunaan adanya hukum di masyarakat, kini terdengar masih adanya orang di Indonesia mengalami kelesuan terhadap keampuhan hukum. Tidak jemu nya dibahas the rule of law dengan harapan yang sering mengharukan bahwa dengan kembalinya ratu keadilan akan membawa masyarakat dalam keadaan yang tentram dan bersahaja.

Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam masyarakat hanya diatur oleh hukum. Selain oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini,

47 terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya. Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.51

Akan tetapi dalam satu hal, hukum berbeda dari kaedah sosial yang lainnya, yakni bahwa penataan ketentuan-ketentuannya dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Artinya, pemaksaan guna menjamin penataan ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri tunduk pada aturan-aturan tertentu, baik mengenai bentuk, cara maupun alat pelaksanannya.

Hal ini tampak dengan jelas dalam suatu negara, pemaksaan itu biasanya berada di tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya. Soal pemaksaan ketaatan terhadap hukum ini membawa kepada suatu masalah yang pokok bagi penyelamatan dari hakikat hukum, yakni masalah hukum dan kekuasaan.Permasalahan yang menyangkut berfungsinya hukum dalam masyarakat tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Teori-teori hukum memaparkan tiga hal tentang berlakunya hukum sebagai kaedah;

pertama.kaedah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan atas kaedah yang lebih tinggi tingkatannya Kedua kaedah hukum tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh

51 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Lembaga Penelitian Hukum dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjararan Penerbit BinaCipta, Bandung, hal. 2

48 masyarakat (teori kekuasaan). Ketiga kaedah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Kata pembangunan biasanya diarahkan pada perubahan yang direncanakan dan dikehendaki. Proses perubahan yang direncanakan dapat dilakukan pada bidang-bidang kehidupan tertentu, tetapi dapat juga secara menyeluruh dan simultan. Dalam kenyataannya sangat sulit untuk membatasi perubahan dalam bidang tertentu. Hal ini dapat disadari karena semakin kompleknya permasalahan sehingga perubahan yang terjadi pada suatu bidang cenderung menjalar pada bidang kehidupan yang lain.

Pada masyarakat yang sedang membangun perubahan dibidang hukum akan berpengaruh terhadap bidang-bidang kehidupan lainnya, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu , fungsi hukum disatu pihak dapatlah dipergunakan sebagai sarana untuk mengubah masyarakat menjadi lebih baik dan dilain pihak untuk mempertahankan susunan masyarakat yang telah ada serta mengesahkan perubahan-perubahan yang telah terjadi dimasa lalu.

Jika mengetengahkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang sedang pada masa transisi, perlu ada penetapan prioritas-prioritas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan sumber atau datanya dapat diperoleh melalui penelitian-penelitian terhadap masyarakat diberbagai bidang kehidupan. Data yang

49 sudah diperoleh kemudian diabstraksikan agar dapat dirumuskan kembali ke dalam norma hukum yang kemudian disusun menjadi tata hukum.

Oleh karena hukum berasal dari masyarakat dan hidup serta berproses di dalam masyarakat, maka pembaharuan hukum tidak mungkin dilepaskan secara mutlak dari masyarakat. Ini berarti bahwa yang dihadapi adalah kenyataan-kenyataan sosial dalam arti yang luas. Kenyataan yang ada seperti yang dihadapi Indonesia yaitu masyarakatnya yang heterogen dengan tingkat bentuk masyarakat yang berbeda-beda, mulai dari yang sederhana sampai pada masyarakat yang komplek, maka akan dihadapkan pada diferensiasi yang berbeda-beda pula yang akhirnya membawa akibat pada struktur masing-masing masyarakat.

Masyarakat transisi yang mengalami proses dari yang sederhana ke komplek tidak jarang dihadapkan pada sebagian nilai yang harus ditinggalkan, tetapi ada pula yang harus dipertahankan karena mendukung proses penyelesaian masa transisi. Memang setiap pebangunan merupakan proses menuju suatu tujuan tertentu melalui berbagai terminal; selama terminal-terminal tadi masih harus dilalui maka transisi masih akan tetap ada.

Pada masayarakat yang sederhana, hukum timbul dan tumbuh bersama-sama dengan pengalaman-pengalaman hidup warga masyarakatnya. Disini penguasa lebih banyak mengesahkan

50 atau menetapkan hukum yang sebenarnya hidup dimasyarakat.

Akan tetapi hal yang sebaliknya agaknya terjadi pada masyarakat yang kompleks. Kebhinekaan masyarakat yang kompleks menyebabkan sulit untuk memungkinkan timbulnya hukum dari bawah. Diferensiasi yang tinggi dalam strukturnya membawa konsekuensi pada aneka macam kategori dan kepentingan dalam masyarakat dengan kepentingan-kepentingan yang tidak jarang saling bertentangan. Walaupun hukum datang dan ditentukan dari atas, sumbernya tetap dari masyarakat.

Dengan demikian peranan nilai-nilai didalam masyarakat harus dipertahankan untuk menetapkan kaedah hukum apabila diharapkan kaedah hukum yang diciptakan itu dapat berlaku efektif.

Dengan demikian berhasil atau gagalnya suatu proses pembaharuan hukum, baik pada masyarakat yang sederhana maupun yang kompleks sedikit banyak ditentukan oleh pelembagaan hukum didalam masyarakat.

Dalam proses tersebut maka Mochtar Kusumaatmadja menambahkan adanya tujuan pragmatis (demi pembangunan) sebagaimana masukan dari Roescoe Pound dan Eugen Ehrlich dimana terlihat korelasi antara pernyataan Laswell dan Mc Dougal bahwa kerja sama antara penstudi hukum dan pengemban hukum praktis itu idealnya mampu melahirkan teori hukum (theory about law), teori yang mempunyai dimensi pragmatis atau kegunaan

51 praktis. Mochtar Kusumaatmadja secara cemerlang mengubah pengertian hukum sebagai alat (tool) menjadi hukum sebagai sarana (instrument) untuk membangunan masyarakat. Pokok - pokok pikiran yang melandasi konsep tersebut adalah bahwa ketertiban dan keteraturan dalam usaha pembangunan dan pembaharuan memang diinginkan, bahkan mutlak perlu, dan bahwa hukum dalam arti norma diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan itu. Oleh karena itu, maka diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang berbentuk tidak tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Lebih jauh, Mochtar berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana lebih luas dari hukum sebagai alat karena:

1. Di Indonesia peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum lebih menonjol, misalnya jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khususnya putusan the Supreme Court)pada tempat lebih penting.

2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan penerapan “legisme”

sebagaimana pernah diadakan pada zaman Hindia Belanda, dan di Indonesia ada sikap yang menunjukkan kepekaan masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.

52 3. Apabila “hukum”di sini termasuk juga hukum internasional, maka konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat sudah diterapkan jauh sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum nasional52

Lebih detail Mochtar Kusumaatmadja53 mengatakan bahwa;

“Hukum merupakan suatu alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat. Mengingat fungsinya sifat hukum, pada dasarnya adalah konservatif artinya, hukum bersifat memelihara dan mempertahankan yang telah tercapai. Fungsi demikian diperlukan dalam setiap masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini pun ada hasil-hasil yang harus dipelihara, dilindungi dan diamankan.Akantetapi, masyarakat yang sedang membangun, yang dalam difinisi berarti masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu proses perubahan masyarakat itu. Pandangan yang kolot tentang hukum yang menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis, dan menekankan sifat konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.

52 Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Penerbit CV Utomo, Jakarta, 2006. Hal. 415

53 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis) Penerbit Alumni, Bandung, 2002, hlm. 14

53 Di dalam masyarakat seperti Indonesia yang sedang mengalami masa peralihan menuju masyarakat modern tentunya nilai-nilai yang ada mengalami proses perubahan pula. Dengan demikian masyarakat yang melaksanakan pembangunan, proses perubahan tidak hanya mengenai hal-hal yang bersifat fisik, tetapi juga pada nilai-nilai dalam masyarakat yang mereka anut. Nilai-nilai yang dianut itu selalu terkait dengan sifat dan sikap orang-orang yang terlibat didalam masyarakat yang membangun. Perubahan yang terjadi tanpa melibatkan sikap dan sifat yang mengarah pada kehidupan modern tidak mustahil akan berakibat pemborosan dan sedikit sekali arti pembangunan itu. Jadi hakikat pembangunan nasional adalah masalah pembaharuan cara berpikir dan sikap hidup. Hanya saja masalah yang dipahami adalah nilai-nilai dan sikap yang mana yang harus ditinggalkan dan dipertahankan dan nilai yang mana yang harus digantikan dengan yang baru.

Sehubungan dengan itu, Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan positivisme (ilmu). Dalam definisinya yang paling tradisional tentang hakikat hukum, dimaknai sebagai norma-norma positif falam sistem perundang-undangan. Dari segi ontologinya, pemaknaan tersebut mencerminkan penggabungan antara idealisme dan materialisme.

54 Oleh Bernard Sidharta54 dikatakan, penjelasan seperti itu mengacu pada teori hukum kehendak (the will theory of law) dari Jhon Austin dan teori hukum murni Hans Kelsen. Berbeda dengan pemikiran hukum kodrat yang sibuk dengan permasalahan validasi hukum buatan manusia, maka pada positivisme hukum, aktivitasnya justru diturunkan kepada permasalahan konkret . masalah validitas (legitimasi) aturan tetap diberi perhatian, tetapi standar regulasi yang dijadikan acuannya adalah norma-norma hukum.

Menurut E. Sumaryono, positivisme hukum paling tidak dapat dimaknai sebagai berikut:

a. Aliran pemikiran dalam yurisprudensi yang membahas konsep hukum secara eklusif, dan berakar pada peraturan perundang-undangan yang sedang berlaku saat ini.

b. Sebagai sebuah teori yang menentukan bahwa hukum hanya akan valid jika berbentuk norma-norma yang dapat dipaksakan berlakunya dan ditetapkan oleh sebuah instrument didalam sebuah negara.55

Menurut Lili Rasyidi, prinsip-prinsip dasar positivime hukum adalah:

a. suatu tata hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga karena bersumber pada jiwa bangsa

54 Anthon F Susanto. Ilmu Hukum Non Sistemik Fondasi Filsafat Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010. Hal 71

55Ibid, Hal. 71

55 (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang berwenang.

b. Hukum harus dipandang semata-mata dalam bentuk fromalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk hukum material.

c. Isi hukum (material) diakui ada, tetapi bukan bahan ilmu hukum karena dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.56

Seorang pengikut Positivisme, Hart mengemukakan berbagai arti dari positivisme tersebut sebagai berikut:

a. Hukum adalah perintah

b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi sosiologis, historis dan penilaian kritis.

c. keputusan-keputusan dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu merujuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian

56Ibid, Hal. 73

56 e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan57.

Salah seorang pengikut positivisme Hukum John Austin, seorang ahli hukum Inggris yang terkenal dengan ajaran Analytical Jurisprudencemenentukan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Adapun sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah.

Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama.

Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun jelas dirasakan tidak adil.58

Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Oleh karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah

57 Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985, hlm. 111

58 Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008, hlm. 6

57 perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.59

Austin juga menegaskan bahwa hukum dipisahkan dari keadilan dan hukum tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk, tetapi lebih didasarkan kepada kekuasaan dari kekuatan penguasa. Austin membagi hukum kedalam dua bagian, yaitu hukum yang dibuat oleh Tuhan, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Kemudian hukum yang dibuat oleh manusia tersebut dibedakan lagi antara hukum yang sebenarnya dan hukum tidak sebenarnya.60

Hukum yang sebenarnya terdiri atas hukum yang dibuat oleh penguasa bagi pengikut-pengikutnya dan hukum yang disusun oleh individu-individu guna melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya mengandung empat unsur yaitu: perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Adapun hukum yang tidak sebenarnya ialah bukan hukum yang merupakan hukum yang secara langsung berasal dari penguasa, tetapi peraturan-peraturan yang berasal dari perkumpulan-perkumpulan ataupun badan-badan tertentu.61

Sehubungan dengan itu, menurut Thomas Aquino, hukum positif dinamakan Undang-Undang Manusia (Menschelijke Wet)

59Ibid

60 Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2009 hlm. 149

61Ibid, hlm. 149-150

58 adalah hukum yang ada dan berlaku. Menurutnya, Undang-undang tersebut tidak didasarkan alam, akan tetapi didasarkan akal.

Undang-undang tersebut harus mengabdi kepentingan umum karena undang-undang adalah suatu peraturan tertentu dari akal yang bertujuan untuk mengabdi kepentingan umum dan berasal dari satu “kekuasaan” yang sebagai penguasa tertinggi harus memelihara kesejahteraan masyarakat. Hukum positif adalah sesuatu yang perlu untuk umat manusia, hukum positif kebanyakan ditaati oleh manusia dengan sukarela dengan jalan peringatan-peringatan dan tidak oleh karena paksaan oleh undang-undang.