viii
DISERTASI
EKSISTENSI RUMAH PANGGUNG SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF ASAS PEMISAHAN
HORIZONTAL
(
THE EXISTENCE OF STAGE HOUSE AS FIDUCIARY GUARANTY IN PERSPECTIVE OF HORIZONTAL SPLITTING PRINCIPLE)DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH:
KAMSILANIAH
PO 400312405
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
viii
DISERTASI
EKSISTENSI RUMAH PANGGUNG SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA DALAM PERSPEKTIF ASAS PEMISAHAN
HORIZONTAL
(
THE EXISTENCE OF STAGE HOUSE AS FIDUCIARY GUARANTY IN PERSPECTIVE OF HORIZONTAL SPLITTING PRINCIPLE)DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH:
KAMSILANIAH
PO 400312405
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii ABSTRAK
KAMSILANIAH: Eksistensi Rumah Panggung sebagai Jaminan Fidusia dalam Perspektif Asas Pemisahan Horizontal, dibimbing oleh Farida Patittingi, Ahmadi Miru, dan Anwar Borahima.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami (1).
Kedudukan hukum rumah panggung sebagai objek jaminan fidusia dalam perspektif hukum benda (2). Penerapan asas pemisahan Horisontal untuk dapat menjadikan rumah panggung sebagai objek jaminan fidusia (3).
Konstruksi hukum rumah panggung sebagai objek jaminan fidusia.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian sosio yuridis (socio Legal Research) yaitu penelitian hukum normatif yang didukung oleh penelitian hukum empirik, dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Lokasi penelitian di Sulawesi Selatan dan sumber data empirik pada perbankan dan pemimilik rumah panggung . Analisis Bahan menggunakan metode analisis kualitatif.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa (1) secara normatif rumah panggung yang terpisah dari hak atas tanahnya, dalam perspektif hukum benda merupakan benda bergerak, yang esensinya dapat menjadi objek jaminan fidusia (2). Rumah panggung dalam perspektif asas pemisahan horisontal yang masuk kategori benda bukan tanah, rumah panggung dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia. (3) konstruksi hukum rumah panggung sebagai jaminan fidusia berdasarkan UU NO. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, UU NO. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman dan UU NO. 28 Tahun 2002 jo PP NO. 36 Tahun 2005 tentang Bangunan Gedung, perlu adanya pendaftaran bangunan rumah panggung dengan penerbitan Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Rumah Panggung.
Kata kunci: Rumah Panggung, Fidusia dan Asas Pemisahan Horizontal
iv ABSTACT
KAMSILANIAH, The Existence of Stage House as Fiduciary Guaranty in Horizontal Splitting Principle Perspective, supervised by Farida Patittingi, Ahmadi Miru, and Anwar Borahima, as Promotor and co-promotor respectively.
This research aims to analyze (1) the legal standing of stage house as fiduciary guaranty in perspective of movable material things (law); (2) the implementation of Horizontal Splitting Principle to create the stage house as an object of the fiduciary guaranty; (3) the legal construction of the stage house as an object of the fiduciary guaranty
.
The type of this research was socio-legal research, which applied statute and conceptual approaches. The site of the research was in South Sulawesi to find out empirical data from the bank as the credit grantor (fiduciary guaranty) and the owner of the stage house. The data then was collected and analysed qualitatively.
The research results indicate that (1) the stage house is able to be the fiduciary guaranty because normatively the stage house is segregated from its land in the perspective of movable material things (law); (2) the implementation of Horizontal Splitting Principle to create the stage house as an object of the fiduciary guaranty is classified as a moveable thing not its land. Therefore, the stage house is able to be an object of the fiduciary guaranty; (3) the legal construction of the stage house as an object of the fiduciary guaranty is governed by the Law No. 42 of 1999 concerning the Fiduciary Guaranty, the Law No. 1 of 2011 concerning Housing and Residential Area, and the law No. 28 of 2002 jo the Presidential Decree No. 36 of 2005 concerning Building. It can be said then the registration of the stage house must be done with issuance of proof of ownership of the stage house.
Keywords: the Stage House, Fiduciary, and Horizontal Splitting Principle
v KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat hidayah dan nikmat kesehatan kekuatan yang diberikan selama ini kepada penulis, sehingga penulis dapat merampungkan tugas berat dalam rangka menyelesaikan studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Salawat dan salam penulis kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang selalu menjadi teladan, penuntun arah dan sumber motivasi penulis dalam merampungkan disertasi ini.
Sebagai manusia biasa, penulis sangat menyadari bahwa disertasi yang sederhana ini masih terdapat kekurangan dan masih memerlukan perbaikan secara menyeluruh,hal mana disebabkan oleh keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki penulis dalam menyelesaikan tugas berat ini. Untuk itu, demi kesempurnaan disertasi ini penulis sangat mengharapkan berbagai masukan dan saran yang sifatnya konstruktif.
Sungguh sangat penulis sadari bahwa penulisan disertasi ini, tidak akan terselesaikan, tanpa keterlibatan dan peran serta berbagai pihak untuk membantu mewujudkan selesainya disertasi ini. pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa syukur dan hormat penulis dengan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka yang secara
vi moril maupun materil telah banyak membantu penulis menyelesaikan disertasi ini.
Secara khusus penulis ingin mendedikasikan disertasi ini sebagai karya tertinggi, pencapaian akhir dari suatu proses pendididkan formal, kepada kedua orang tua penulis Ayahanda Kamma S. dan Ibunda Sitti Rahsia, yang dengan segala pengorbanan dan kasih sayangnya telah memberikan dukungan, motivasi disertai untaian doa untuk keberhasilan penulis, semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan almarhum dan almarhumah dengan ganjaran surga di sisiNya. Aaamiiin.
Rasa syukur dan hormat penulis kepada suami penulis, abang Ir. H.
Iskandar Zulkarnain, yang telah memberikan perkenaan dukungan moril dan materil beserta ridhonya, pada penulis untuk melanjutkan dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin, semoga senantiasa selalu dalam lindungan dan HidayahNya. Aaamiin.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. DR. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Unhas sekaligus sebagai promotor, sosok guru yang bijaksana dalam mengarahkan dan membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini. Terima kasih telah meluangkan waktu
vii dengan kesabaran dan keikhlasan memberi ilmu dan nasihat kepada penulis selama ini.
2. Bapak Prof, DR. Ahmadi Miru, S.H.,M.H. selaku co promotor, sosok guru yang bijaksana dan penuh kesabaran mengarahkan dan membimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu dengan ikhlas membagi ilmu dan memberi tuntunan demi penyelesaian disertasi penulis.
3. Bapak Prof, DR. Anwar Borahima, S.H.,M.H. selaku co promotor, sosok guru yang bijaksana dan penuh kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu dan dengan ketekunan membagi ilmu dan memberi arahan dalam penyempurnaan disertasi penulis.
4. Bapak Prof, DR. H. Abdullah Marlang, S.H.,M.H., Ibu DR.
Nurfaidah Said, S.H.,M.H..M.Si, Bapak DR. Hasbir Paserangi, S.H.,M.H., dan ibu DR. Harustiati Andi Moein, S.H.,M.H. masing- masing selaku penguji internal penulis. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk memberi saran dan koreksi demi penyempurnaan disertasi penulis.
5. Bapak Prof, DR. Moch. Isnaini, S.H.,M.S. selaku penguji eksternal penulis. Terima kasih banyak yang penuh dedikasi telah membagi ilmu dan meluangkan waktu untuk memberi saran dan koreksi demi penyempunaan disertasi penulis.
viii 6. Khusus kepada ibunda almarhumah Prof.DR. Hj. Nurhayati Abbas, S.H.,M.H.,selaku Pomotor Semula, sosok guru yang bijaksana dan penuh dedikasi, dan kesabaran dalam mengarahkan dan membimbing penulis hingga akhir hayat beliau.
Terima kasih banyak telah meluangkan waktu dan dengan ketekunan membagi ilmu dan memwariskan buku-bukunya serta memberikan arahan dan motivasi kepada penulis, demi penyempurnaan disertasi penulis. Semoga Allah SWT menempatkan beliau di sisiNya dan diberi ganjaran pahala surga Firdaus. Aaamiiin
7. Bapak H. Sukiman Rahman, S.H. selaku pimpinan biro Hukum Bank Sulselbar Cabang Barru,dan Bapak Din Nuwara, S.H.biro Hukum Bank Sulselbar cabang Jeneponto bapak H. Tahir S.E selaku pimpinan Bank BRI Cabang Soppeng, yang masing-masing telah membantu penulis dalam mendapatkan data lapangan.
8. Ibu Prof. DR. Dwia Aries Tina Palubuhu, MA, selaku Rektor Universitas Hasanuddin.
9. Bapak Prof. DR. Ir. H. Muhammad Saleh Pallu, M. Eng. selaku rektor Universitas Bosowa yang telah memberi keleluasaan dalam menempuh studi Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Hasanuddin.
10. Bapak DR. Ruslan Renggong, S.H.,M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Bosowa, yang selalu memberi arahan dan
ix petunjuk dalam menyelesaikan studi Ilmu Hukum, beserta jajaran civitas akademik Fakultas Hukum Universitas Bosowa Makassar.
11. Seluruh civitas Akademik di Universitas Hasanuddin, Pascasarjana dan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
12. Saudara penulis kakak Kamsirah, Kamsidah, DR. Kamsinah, Drs Aris Kamma (alm) adik penulis Drs Aras Kamma dan Asis Kamma, S.S.,M.S. yang selama ini telah membantu dan memotivasi penulis, begitu pula pada kakak ipar penulis Najamuddin UKkas,S.H., Dahri T., Prof. DR. Muhammad Darwis, MA, Rosmini dan Susminiaty serta adik Sri Diharti,SS., M.S. Tidak lupa ponakan yang banyak membantu penulis Muh.
Nur Iskandar,S.S.,S.Pd. dan Widyasari, S.H. serta ponakan lainnya.
13. Anak-anak penulis H.A.M Ramlan, S.Kom. Hj.St Roslina (alm), H.M. Ruslan, Hj. St. Musarrafah, Hj.St. Ropiati Laila, Hj. St.
Rahmawati (alm), Hj. St. Rusdiana dan H.M.Rakhmat Sairah Iskandar, S.Phil.,M.Phil. serta anakda Ayasha Davina Shaula yang telah mendukung dan memotivasi penulis.
14. Saudara seperjuangan penulis pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin Kelas Reguler Makassar Angkatan 2012, Dr.Muh. Fitriadi,SH.MH., Dr.Mispansyah,SH.MH., Dr.Nurunnisa,SH,MH., Dr.Kiljamilawati SH. MH, Dr.Sutiawati,
x SH.MH., Dr. Zahrowati,SH,MH., Dr..Syafriani.SH.,MH., Dr.Andri.SH.,MH., Dr.Zulkifli M, SH.,MH., Dr.Antonius, SH.,MH., Dr.Zulkarnain,SH.,MH., Dr.Arifuddin,SH.,MH., Dr.Erfian Nur Dirman, SH. Mkn., dan Dr.A. Syahwiah,SH.MH., terima kasih selama ini terjalin kebersamaan dan kekompakan, saling berbagi pengalaman suka dan duka saling memotivasi untuk penyelesaian studi.
15. Semua anggota Komunitas Shohib 82, terkhusus kepada bapak Prof. DR. Aswanto,S.H.M.H.,DFM.,bapak Prof.DR. Said Karim,S.H.M.H., bapak DR. Syamsuddin Muhtar,S.H.,M.H., bapak DR.Asis S.H.M.H., ibu DR. Fatima Maddussila, S.H.,M.H., ibu DR. Oki Deviani,S.H.,M.H., ibu Prof. DR. Melantik Rompegading S.H.,M.H.,ibu DR.Arfah Tjolleng, S.H.,M.H.,ibu Nurul Jaman, S.H.,ibu Cita Marlika, S.H.,M.Kn., ibu Hasnawati Latief, S.H. beserta anggota shohib 82 lainnya yang penulis mohon maaf tidak dapat penulis sebutkan satu persatu . Terima kasih banyak shohibku semua yang telah mengantar, memotivasi, mendukung dan mendoakan penulis penulis untuk tidak lelah menyelesaikan studi yang telah dimulai sebelumnya.
16. Semua jamaah pengajian Roudhotul Jannah, yang selalu memberikan support dan atensinya pada penulis. Hanya ucapan Alhamdulillah jadzaakumulohu khairan.
xi 17. Semua pihak yang telah memberikan bantuan apa saja, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu demi satu.
Kepada Allah SWT penulis pasrahkan segala ikhtiar yang telah dilakukan, semoga bernilai ibadah, dan untuk semua pihak yang telah turut membantu dan berpartisipasi, atas bantuan dan budi baik yang diberikan semoga mendapat ganjaran yang setimpal.
Akhirnya semoga Disertasi ini dapat memberi manfaat yang Barokah bagi kita semua. Aaamiin.
Makassar, Desember 2018
KAMSILANIAH
xii PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI
Yang bertanda tangan di bawah ini :
N a m a : KAMSILANIAH Nomor Pokok Mahasiswa : PO400312405 Program studi : Ilmu Hukum
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Disertasi yang berjudul : EKSISTENSI RUMAH PANGGUNG SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA
DALAM PERSPEKTIF ASAS PEMISAHAN HORIZONTAL
Adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepengetahuan saya di dalam naskah Disertasi ini, tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan/ditulis/ diterbitkan sebelumnya, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan Daftar Pustaka.
Apabila dikemudian hari ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Makassar, Desember 2018 Yang membuat pernyataan,
KAMSILANIAH
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSRACT ... iv
KATA PENGANTAR ... v
PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ... xii
DAFTAR ISI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 18
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 19
E. Orisinalitas Penelitian ... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 21
A. Kerangka Teoritis ... 21
1. Teori Keadilan... 21
2. Teori Hukum dan Pembangunan ... 41
3. Teori Perlindungan Hukum ... 58
B. Kerangka Konseptual ... 66
1. Konsep Jaminan ... 66
2. Konsep Fidusia ... 76
3. Asas Pemisahan Horizontal ... 87
xiv
4. Konsep Rumah Panggung ... 98
C. kerangka piker ... 109
D. defenisi operasional ... 110
BAB III METODE PENELITIAN ... 112
A. Tipe Penelitian ... 112
B. Lokasi Penelitian ... 112
C. Pendekatan Masalah ... 113
D. Jenis dan Sumber Bahan Hokum ... 114
E. Prosedur dan Pengumpulan Bahan Hukum ... 115
F. Analisis Bahan ... 115
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ... 116
A. Kedudukan Hukum Rumah Panggung sebagai Objek Fidusia dalam Perspektif Hukum Benda... 116
1. Kedudukan Rumah Panggung dalam Perspektif Hukum Benda121 2. Kedudukan Rumah Panggung dalam Perspektif Hukum Adat 138 3. Pendapat Ahli Tentang Rumah Panggung sebagai Objek Jaminan Fidusia ... 149
B. Penerapan Asas Pemisahan Horizontal Untuk Menjadikan Rumah Panggung sebagai Jaminan Fidusia ... 160
1. Perjanjian/kesempatan dengan pemegang hak atas tanah ... 168
2. Peraturan perundang-undangan ... 173
C. Konstrusi Hokum Rumah Panggung sebagai Jaminan Fidusia .... 195
1. Lembaga Pendafataran ... 200
xv
2. Pendaftaran Jaminan Fidusia atas Rumah Panggung ... 214
BAB V PENUTUP ... 222
A. Kesimpulan ... 222
B. Saran ... 224
DAFTAR PUSTAKA ... 226
1 BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Setiap manusia dihadapkan pada 3 (tiga) kebutuhan dasar, yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (rumah). Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, menghuni rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,dan harmonis.
Rumah mempunyai fungsi dan peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Ada ungkapan di dalam masyarakat Indonesia yang menentukan: “Rumahmu, wajahmu, dan jiwamu”. Ungkapan tersebut menunjukkan bahwa rumah dalam kehidupan manusia Indonesia mempunyai arti dan makna yang dalam.1
Rumah tidak dapat dilihat sekadar sebagai benda mati, tetapi lebih dari itu rumah merupakan proses bermukim, kehadiran manusia dalam menciptakan ruang hidup di lingkungan masyarakat dan alam sekitarnya. Dilihat dari proses bermukim, rumah merupakan pula sarana pengamanan bagi diri manusia, pemberi ketentraman hidup, dan sebagai pusat kegiatan berbudaya. Di dalam rumah dan lingkungannya itu, manusia dibentuk dan berkembang menjadi manusia yang berkepribadian. Hal tersebut menunjukkan bahwa
1 . Ny.Djuhaenda Hasan, dkk, 1995. Analisa dan Evaluasi Hukum tentang Aspek Hukum Pemilikan Rumah oleh Orang Asing. Makalah. Proyek Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional. Badan Pembinaan Hukum Nasional. Departemen Kehakiman. Hal 9
2 perumahan dalam skala nasional memegang peranan yang sangat penting dalam pembentukan watak dan kepribadian bangsa.2
Adapun pengertian rumah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah bangunan untuk tempat tinggal.3 Pengertian rumah dalam Blacks Law Dictionary rumah diartikan sebagai “structure that serves as living quarters for one or more persons or families.4
Pada mulanya, ketentuan tentang perumahan diatur dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan(Lembaran Negara Tahun 1962 No. 40, Tambahan Departemen KehakimanLembaran Negara Republik Indonesia No.
2476) menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Tahun 1964 No.
3,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No.2611). Undang- undang No. 41 Tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang- undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Tahun 1992 No. 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3469). Undang-undang No. 4Tahun 1992 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Tahun 2011 No. 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5188).
2 . Ibid
3 . W.J.S. Poerwadarminta, 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta. Hal. 836
4 . Henry Campbell Black, M.A., Black Laws Dictionary ( St Paul Minn). 1977. Hal. 665
3 Pada Penjelasan atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman paragraf ketujuh, dinyatakan bahwa sebagai bagian dari masyarakat internasional yang turut menandatangani Deklarasi Rio de Jeneiro, Indonesia selalu aktif dalam kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh United Nations Centre for Human Settlements. Jiwa dan semangat yang tertuang dalam Agenda 21 dan Deklarasi Habitat II adalah bahwa Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia dan menjadi hak bagi semua orang untuk menempati hunian yang layak dan terjangkau (Adequate and Affordable Shelter for All). Dalam Agenda 21 ditekankan pentingnya rumah sebagai hak asasi manusia. Hal itu telah sesuai pula dengan semangat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, ditetapkan bahwa pengertian rumah yaitu bangunan gedungyang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta asset bagi pemiliknya.
Bangunan Gedung atau rumah yang dalam pendekatan rekayasa konstruksi dikonsepsikan sebagai bangunan gedung berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung bahwa Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
4 kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
Rumah berfungsi sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya, artinya rumah tersebut mempunyai nilai ekonomis bagi pemiliknya. Hak yang dimiliki pemilik rumah terhadap rumahnya, salah satunya adalahmenjaminkan rumahnya ke dalam utang piutang5
Rumah sebagai aset (kekayaan) bagi pemiliknya dan mempunyai nilai ekonomis sehingga dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya. Utang dengan jaminan rumah dapat dijadikan oleh pemiliknya untuk mengembangkan usaha (bisnis) atau keperluan lainnya6.
Sebenarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tidak secara tersurat mengatur rumah sebagai jaminan utang, namun dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman yang berlaku sebelumnya, ini merupakan ketentuan awal yang memberi patokan rumah sebagai jaminan kredit, dengan menentukan rumah sebagai jaminan utang, yaitu:
(1) Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan utang.
5 Urip Santoso. 2014. Hukum Perumahan. Kencana Prenadamedia Group. Jakarta. Hal 272
6.Ibid
5 (2) a. Pembebanan Fidusia atas rumah dilakukan dengan akta
autentik yang dibuat oleh notaris sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pembebanan hipotek atas rumah beserta tanah yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengatur bahwa pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani dengan fidusia. Pemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas tanah, rumahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani fidusia. Pemilikan rumah oleh pemilik hak atas tanah, rumah beserta tanahnya dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek (yang sekarang diganti dengan Hak Tanggungan).
Berdasarkan Penjelasan Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 makapemilikan rumah oleh bukan pemilik hak atas tanah, dengan persetujuan tertulis pemilik hak atas tanah, dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani dengan fidusia, merupakan landasan penjaminan atas bangunan rumah, walaupun undang-undang tersebut sudah dinyatakan dicabut dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Dalam
6 penjelasan undang-undang ini ditetapkan dua lembaga jaminan utang dengan rumah sebagai jaminannya, yaitu:
a. Fidusia
Apabila yang dijadikan jaminan utang berupa rumah tidak beserta tanahnya, maka lembaga jaminannya adalah fidusia.
b. Hipotek
Apabila yang dijadikan jaminan utang berupa rumah beserta tanahnya, maka lembaga jaminannya adalah hipotek (dalam hal ini Hak Tanggungan).
Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perumahan dan Kawasan PemukimanPasal 43 ayat (2,3 dan 4) bahwa pemilikan rumah dapat difasilitasi dengan kredit atau pembiayaan pemilikan rumah, dapat dibebani dengan Hak Tanggungan (apabila yang dijadikan jaminan adalah tanah berseta bangunan yang merupkan satu kesatuan dengan tanah.), maupun selain hak Tanggungan, tentunya yang paling sesuai adalah jaminan fidusia.
Rumah yang dapat dijadikan jaminan utang oleh pemiliknya adalah rumah yang bentuknya menurut Pasal 22 ayat (2) Undang- Undang Perumahan dan Kawasan Pemukiman berupa rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Tidak setiap jenis rumah dapat dijadikan jaminan utang. Jenis rumah yang dapat dijadikan jaminan utang adalah rumah komersial, rumah swadaya, dan rumah umum, sedangkan jenis rumah yang tidak dapat dijadikan jaminan utang oleh
7 pemiliknya adalah rumah khusus dan rumah negara. Rumah khusus tidak dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah tersebut dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk transmigrasi, permukiman kembali korban bencana alam, dan rumah sosial untuk menampung orang lanjut usia, masyarakat miskin, yatim piatu, dan anak telantar, serta termasuk juga untuk pembangunan rumah yang lokasinya terpencar dan rumah di wilayah perbatasan negara. Demikian pula, rumah negara juga tidak dapat dijadikan jaminan utang sebab rumah negara sifatnya tidak untuk dimiliki, akan tetapi hanya dihuni oleh pegawai negeri dan/atau pejabat negara atau pejabat Pemerintah7.
Pembahasan mengenai rumah tentunya juga mengenai tanah tempat dimana rumah tersebut didirikan. Pengaturan tanah dalam Hukum Agraria tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria,(yang selanjutnya disingkat UUPA), yang disahkan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 24 September 1960 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 Tahun 1960.
Dengan berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan yang disebut hukum tanah atau hukum agraria. Perubahan itu bersifat mendasar atau fundamental karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya yang dinyatakan
7 Ibid. Hal 272-273
8 bahwa UUPA,harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.8
Bangsa Indonesia telah memiliki Hukum Adat di beberapa daerah di Nusantara ini, yang selanjutnya hukum adat ini menjadi sendi dalam UUPA.Dalam Hukum Adat, khususnya Hukum Tanah dikenal asas Pemisahan Horizontal (dalam bahasa Belanda disebut horizontale scheiding). Asas ini memandang bahwa bangunan dan tanaman bukan merupakan bagian dari tanah. Oleh karena itu maka hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.9
Dalam asas pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi benda- benda tersebut.
Asas pemisahan horizontal ini merupakan kebalikan asas perlekatan yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata). Asas perlekatan (verticalaccessie beginsel)ini yaitu suatu asas yang menentukan segala apa yang melekat pada suatu benda atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu dengan benda itu. Dalam asas yang juga dikenal verticale accessie beginsel ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya. Djambatan. Jakarta, 2008, Hal 1.
9 Ibid . Hal 20.
9 atas tanah dengan kepemilikan benda-benda atau bangunan yang ada diatasnya. Dengan dianutnya asas perlekatan(accessie vertical beginsel) dalam KUHPerdata maka tanah akan merupakan benda pokok sedangkan benda lain dan segala sesuatu yang melekat padanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari benda pokok itu. Apabila seseorang akan membeli sebidang tanah dan di atas tanah itu berdiri sebuah bangunan maka penjualan tanah tersebut dengan sendirinya harus mencakup bangunannya pula.10
Di dalam UUPA tidak terdapat ketentuan mengenai status bangunan, rumah yang berdiri di atas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan horizontal dimungkinkan pemilikan dan peralihan benda- benda di atas tanah itu terlepas daritanahnya. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan11 mengemukakan bahwa UUPA tidakmengenal pengertian aardvast (tertancap) dalam tanah, nagelvast (terpaku) dalam bangunan, wortelvast (tertanam dalam tanah). Oleh karenanya terhadap bangunan-bangunan yang ada di atas tanah Hak Milik, HGU dan HGB dan juga di atas tanah hak orang lain dapat dijaminkan secara terpisah dari tanahnya, bangunan tersebut tidak dapat dijaminkan dengan hipotik tetapi dengan fidusia.
Setelah menunggu selama 36 tahun sejak UUPA menjanjikan akan adanya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, pada tanggal
10 Djuhaenda Hasan. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal.
Nuansa Madani, Jakarta. 2011, Hal. 53
11 Sri Soedewi Masychoen Sofwan. Hukum Jaminan DI Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan Dan Jaminan Perorangan. BPHN, Jakarta. 1980 Hal 16 dan hal. 19
10 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah (selanjutnya disingkat UUHT). Pembentukan UUHT ini sesungguhnya dimaksudkansebagai pengganti lembaga dan ketentuan hypotheek (hipotek) atas tanah sebagaimana diatur dalam buku kedua KUHPerdata dan Credietverband dalam Staatblad 1908 Nomor 542 yang telah diubah dengan Staatblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan Pasal 57 UUPA diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya UUHT, sebagaimana dijanjikan dalam Pasal 51 UUPA.
Di dalam penjelasan umum angka 6 paragraf I, UUHTditentukan bahwa sebagaimana diketahui Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.
Berdasarkan pemikiran tersebut, SudargoGautama12 menguraikan bahwa menurut hukum adat yang berlaku untuk tanah milik maka dibedakan antara tanah dan rumah atau bangunan yang didirikan di atasnya. Tanah dan rumah batu yang diidirikan di atasnya
12 Sudargo Gautama, Masalah Agraria. Alumni, Bandung. 1973, Hal. 57
11 dipandang terpisah bukan sebagai kesatuan hukum sebagai yang ditentukan dalam hukum barat.
Sehubungan dengan pembentukan UUHT yang menganut asas pemisahan horizontal, Rachmadi Usman13 mencermati konsiderans pertimbangan dan Penjelasan Umum UUHT bahwa tergambar suatu pesanyang dititipkan pada UUHT tersebut, sebagai salah satu upaya rekayasa sosial ekonomi untuk mengumpulkan dana sebanyak mungkin dari masyarakat. UUHT ini bertendensi bernilai politis dan ekonomis, oleh karena dimaksudkan untuk mendukung penyediaan dana dalam rangka menunjang kegiatan perkreditan.
Adapun perkembangan hukum perbankan di Indonesia akhir-akhir ini sudah mengalami kemajuan. Lembaga perbankan sebagai salah satu lembaga keuangan mempunyai nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara, oleh karena kredit perbankan memiliki arti penting dalam berbagai aspek pembangunan bidang ekonomi, seperti perdagangan, perindustrian, perumahan,transportasi dan sebagainya.
Dalam pemberian kredit perlu unsur pengamanan, yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam pemberian kredit di samping unsur keseimbangan dan keuntungan. Berbagai bentuk pengamanan kredit dalam praktik perbankan dilakukan dengan pengikatan jaminan.
13 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta., 2009. Hal.
322
12 Salah satu bentuk pengamanan kredit dengan pengikatan jaminan berupa jaminan kebendaan yaitu jaminan fidusia yang kini banyak dipergunakan oleh masyarakat bisnis. Pada awalnya, fidusia didasarkan kepada yurisprudensi, namun sekarang jaminan fidusia sudah diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia(selanjutnya disebut dengan UUJF).
Dalam bidang perundang-undangan, perkembangan objek Hak Tanggungan dapat dilihat setelah berlakunya UUPA, bahwa, hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan dengan hak tanggungan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak guna usaha.14
Dalam Pasal 1 angka (2) UUJF ditentukan bahwa: “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.Sebagaimana dimaksud dalam UUJF, objek jaminan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya. Dalam UUJF ini tidak dinyatakan secara tegas benda-benda apa saja yang dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan fidusia. Hanya
14 Lihat Pasal 25, 39, dan Pasal 33 UU No. 5 Tahun 1960.
13 saja diberlakukan ruang lingkup berlakunya Undang-Undang Jaminan Fidusia.15
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan objek jaminan Fidusia, dimungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan jaminan fidusia atas bangunan/ rumah yang didirikan di luar objek hak tanggungan. Bangunan di atas tanah bukan objek hak tanggungan, dapat dilakukan perbuatan hukum tersendiri terlepas dari hak atas tanahnya.
Pengikatan jaminan bangunan gedung secara fidusia menurut asas yang dianut oleh hukum tanah nasional, yaitu asas pemisahan horisontal, berdasarkan UUHT, diungkapkan dalam penjelasan umumnya pada angka 6 paragraf ke-1, bahwa Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka dalam kaitannya dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya tersebut, dikemukakan bahwa benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.
Selain itu penegasan secara yuridisnya dalam penjelasan umum angka 2 paragraf ke-2 dan ke-3 UUJF melandasi konsepsi identifikasi penjaminan bangunan secara fidusia. Selama ini, kegiatan pinjam
15 Lihat Pasal 2 dan 3 UU No. 42 Tahun 1999, Bandingkan dengan Pengaturan Objek Hak Tanggungan dalam Pasal 4 UU No. 4 Tahun 1992.
14 meminjam dengan menggunakan hak tanggungan atau hak jaminan telah diatur dalam UUHT, yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 51 Undang- undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA, dan sekaligus sebagai pengganti dari lembaga Hipotek atas tanah dan credietverband, Hak jaminan lainnya yang banyak digunakan dewasa ini adalah Gadai dan Hipotek selain tanah. Jaminan Fidusia dalamPasal 15 UUPP, yang menentukan bahwa “rumah-rumah yang dibangun di atas tanah yang dimiliki oleh pihak lain dapat dibebani dengan Jaminan Fidusia.
Dalam hukum agraria pula teresap azas penting ini, bahwa barang-barang di atas tanah dapat ditinjau dan yuridis diperlakukan terpisah dari tanah, baik bila barang itu berdiri di atas tanah hak milik orang lain, baik bila barang-barang itu tertancap atau terpaku pada tanah hak milik pemilik barang itu.16
Pada tanggal 28 Juli 1986 ada putusan Mahkamah Agung Nomor 3216/K/Perd/1984 yang telah menetapkan bahwa tanah berikut rumah yang ada diatasnya yang belum jelas status haknya dapat difidusiakan. Patut disayangkan karena Putusan Mahkamah Agung ini tidak dijadikan dasar oleh pembentuk Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan untuk dijadikan norma hukum yang bertujuan menciptakan kepastian hukum17.
16 Teng Tjin Leng.1969,Hukum dan Keadilan. Tahun V Januari-April 1974, PT.
Gramedia, Jakarta, hal. 28.
17 Tan Kamello, Hukum Jaminan fidusia, suatu Kebutuhan yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2014,hal 222
15 Dari penelusuran berbagai hasil penelitian, ditemukan bahwa bank maupun lembaga keuangan non bank cenderung memberikan fasilitas kredit dengan jaminan fidusia atas kendaraan bermotor, yang mana hal ini terdapat beberapa kasus yang menyalahgunakan kekuasaannya atas kepemilikan maupun atas objek kendaraan bermotor yang dikuasai debitor. Di sisi lain, ada tindakan main hakim sendiri yang kebanyakan dilakukan oleh lembaga pembiayaan.
Bangunan sebagai objek jaminan fidusia pada dasarnya memiliki kepastian untuk tidak disalahgunakan oleh debitor dibandingkan kendaraaan bermotor sebagai jaminan yang potensial untuk disalahgunakan. Bangunan berupa rumah memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan kendaraan bermotor, dan hampir semua kepala keluarga memilikinya.
Rumah yang didirikan di atas tanah hak milik maupun yang didirikan di atas tanah hak milik orang lain seperti rumah panggung, dapat dijadikan sebagai agunan, sebagaimana ketentuan dalam UUPP dan UURS.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, menjadi pertanyaan bahwa bagaimana halnya dengan kedudukan bangunan rumah panggung yang dibangun di atas tanah hak milik orang lain?
Bagaimana rumah panggung ini ditinjau dari optik hukum adat maupun hukum perdata, yang mana dalam hukum jaminan masih menggunakan pembedaan benda menurut hukum perdata. Selain itu
16 perlu dipertanyakan bahwa penggunaan asas Pemisahan Horisontal dalam UUPA, yang selanjutnya melandasi ketentuan UUHT dan UUJF, apakah dapat diterapkan untuk penjaminan kredit perbankan atas rumah termasuk rumah panggung?
Masyarakat pedesaan pada umumnya memiliki rumah panggungyang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dan pada prinsipnya dapat dijadikan jaminan utang. Namun pada kenyataannya bahwa rumah panggung ini disinyalir belum pernah dijadikan agunan oleh pihak perbankan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada umumnya ada sebagian anggota masyarakat di pedesaan yang memiliki rumah panggung, baik yang didirikan diatas tanah hak milik maupun rumah panggung yang berdiri di atas tanah hak milik orang lain, dianggap berisiko bagi kalangan perbankan sehingga tidak dijadikan agunan. Selain itu, kemungkinan disebabkan karena belum jelasnya aturan hukum mengenai penjaminan atas bangunan rumah yang terpisah dari tanah tempat didirikan rumah tersebut. Hal inilah yang patut diperhatikan sehubungan dengan asas pemisahan horizontal.
Rumah panggung yang oleh masyarakat Indonesia dipandang sebagai rumah adat, ini umumnya berbahan dari kayu dan konstruksinya tidak menyatu dengan tanah secara permanen dengan penyanga dari kayu. Termasuk rumah panggung yang terapung di sungai atau laut diberbagai daerah di Indonesia. Rumah panggung ini
17 dapat dibongkar dan dipasang kembali (portabel), bahkan melalui pemesanan secara khusus bagi mereka yang menggemari rumah panggung ini.Rumah panggung, belum jelas statusnya dalam hukum benda, apakah masuk kategori benda bergerak atau benda tidak bergerak.
Rumah panggung yang portabel sekarang ini dapat dipesan dengan perkiraan harga antara Rp. 2.000.000 sampai dengan Rp.
2.250.000/m2. Rumah panggung ini ada yang sudah terjual untuk satu unitnya lebih dari Rp 1.000.000.000,-oleh karena itu, patut rumah panggung ini dijadikan jaminan kredit.18
Rumah panggung khususnya yang sifatnya portabel ini, disamping memiliki harga yang cukup fantastik, juga akan sangat mudah bilamana jaminan atas rumah panggung ini akan dilakukan eksekusi.
Rumah, khususnya rumah panggung disinyalir oleh lembaga perbankan nasional belum diterima sebagai agunan kredit perbankan, padahal sisi pelaksanaan eksekusi, lebih mudah dibandingkan dengan rumah dengan bangunan gedung, oleh karena dapat dibongkar kerangkanya atau langsung dipindahkan saja.
Berdasarkan fenomena yang telah penulis paparkan diatas, selanjutnya penelitian ini tidak akan membahas secara keseluruhan masalah-masalah tersebut namun akan membatasi diri pada tindakan-
18 www.rumahkayuwoloan.comDiakses pada tanggal tanggal 23 April 2017
18 tindakan yang menelusuri akan Eksistensi Rumah Panggung sebagai Jaminan Fidusia dalam Perspektif Asas Pemisahan Horizontal,yang mana rumah panggung selama ini tidak dapat diverifikasi oleh pihak lembaga perkreditan sebagai jaminan kredit.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kedudukan hukum rumah panggung sebagai objek jaminan fidusia dalam persperktif hukum benda?
2. Bagaimanakah asas pemisahan horizontal untuk dapat menjadikan rumah panggung sebagai jaminan fidusia ?
3. Bagaimanakah konstruksi hukum rumah panggung sebagai jaminan fidusia?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan hukum rumah panggung sebagai objek jaminan fidusia dalam perspektif hukum benda.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis asas pemisahan horizontal dapat menjadikan rumah panggung sebagai jaminan fidusia.
19 3. Untuk mengetahui dan menganalisis konstruksi hukum rumah
panggung sebagai jaminan fidusia.
D. Manfaat Peneltian
Adapun kegunaan dalam penelitian ini, adalah :
1. Secara teoritis, dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya,
2. Secara praktis, dapat memberikan bahan masukan bagi kalangan akademisi dan masyarakat.
E. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan informasi yang didapat melalui penelusuran internet terhadap karya-karya Ilmiah pada Program Studi Ilmu Hukum yang terdapat di beberapa Universitas di Indonesia, Terdapat dua karya Ilmiah yaitu:
1. Disertasi di Universitas Sumatera Utara atas nama H. Tan Kamello dengan judul “Perkembangan Jaminan Fidusia Karakter Perjanjian Jaminan Fidusia, Putusan Pengadilan dan Pendekatan Sistem Hukum Jaminan.Pembahasan terfokus pada aspek-aspek jaminan Fidusia tanpa mengaitkan dengan penjaminan Fidusia atas Rumah.
2. Karya ilmiah skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap Pembuatan Akta Jaminan Fidusia Atas Rumah Adat Portabel”,
20 atas nama Abdul Kholik pada Universitas Indonesia tahun 2008, dalam kajian memfokuskan pada bagaimanakah konstruksi yuridis terhadap kebendaan rumah adat portabel berdasarkan hukum tanah, hubungan hukum dalam penjaminan secara fidusia dengan objek rumah adat portabel dan lahirnya jaminan kebendan bangunan rumah adat portabel secara fidusia. Skripsi ini hampir menyerupai dengan pokok bahasan penulis, namun menurut penulis perlu pendalaman kajian dalam disertasi inimenyangkut status hukum rumah panggungdalam hukum benda dan konstruksi hukum penjaminan rumah panggung dalam perspektif asas pemisahan horizontal.
21 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoritis
1. Teori Keadilan
Keadilan merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.19
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Membahas hukum adalah membahas hubungan antarmanusia.
Pembahasan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
Aristoteles, menentukan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan
19 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, 1980, Hal.
169
22 hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.20
Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan- aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral.
Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distribitiva(keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutatif).
Ketika manusia sepakat atas eksistensi keadilan, maka mau tidak mau keadilan harus mewarnai perilaku dan kehidupan manusia dalam hubungan dengan Tuhannya, dengan sesama individu, dengan masyarakat, dengan pemerintah dengan alam, dan dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Keadilan harus terwujud di semua lini kehidupan, dan setiap produk manusia haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan produk yang tidak adil akanmelahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta.21
20 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006, hal. 156
21 Sukarno Aburaera, dkk, Filsafat Hukum: Teori dan Praktik, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,2013, hal 177.
23 Aristoteles memberikan argumen bahwa keadilan merupakan sebagai suatu pemberian hak persamaan tetapi bukan persamarataaan. Aristoteles membedakan hak persamaan sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak dalam pandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang dilakukannya.
Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan- aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral.
Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu Justitia distributiva(keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutatif).
Pembahasan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilkan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu
24 bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka beberapa pakar mengemukakan keadilan itu dengan perumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Filsuf Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:22
1) Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.
2) Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:
a) Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional.
b) Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.
22 Thomas Aquinas dalam Darji Darmodiharjo, Op. Cit., hal. 167
25 c) Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa, keadilan itu sendiri bersifat universal dan merupakan proses yang dinamis serta senantiasa bergerak diantara berbagai faktor, termasuk equality atau persamaan hak itu sendiri. Namun dalam kenyataannya, menurut Maria S.W. Sumardjono23 bahwa setiap orang berbeda dalam hal kemampuan atau jasanya dan kebutuhannya bila dibandingkan dengan orang lain. Dalam situasi dimana lebih banyak orang yang membutuhkan sesuatu (terlebih untuk hal-hal yang merupakan kebutuhan dasar manusia), namun kemampuan untuk memperolehnya kurang, maka perlakuan yang sama justru akan menimbulkan ketidakadilan. Perkecualian terhadap hal ini yang berupa perlakuan khusus dapat dilakukan asalkan dapat dipertanggungjawabkan. Hal demikian biasa disebut sebagai corrective justice atau positive discrimination.
Dalam pemahaman substansial, gagasan dasar keadilan terdiri atas tiga hal, sebagai berikut: (1) Bahwa orang harus
23 Maria S.W. Sumardjono, Transitional Justice atas “Hak Sumber Daya Alam”, dalam Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: Keadilan dalam Masa Transisi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2001,hal. 221
26 diperlakukan sama dalam hal atau kasus yang sama; (2) Bahwa hal yang baik harus memperoleh penghargaan; (3) Bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memperoleh dan mempertahankan hak-hak dasarnya.24
Gagasan dasar keadilan tersebut di atas bahwa orang harusdiperlalukan sama dalam hal atau kasus yang sama, dan hubungan dengan kebijakan Pemerintah yang memberikan perlakuan terhadap masyarakat golongan atas untuk mendapatkan kredit perbankan dengan jaminan hipotik dan hak tanggungan, maka perlakuan yang sama seharusnya diberikan pula kepada masyarakat golongan menengah ke bawah yaitu memberikan fasilitas kredit perbankan berupa fidusia atas rumah panggung.
Demikian halnya dengan dasar keadilan bahwa secara moral setiap orang berhak untuk memeroleh dan mempertahankan hak- hak dasarnya. Salah satu hak dasar bagi setiap orang yang diakui dalam Konstitusi Negara Indonesia adalah hak untuk memeroleh penghidupan yang layak. Penghidupan yang layak diartikan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk berusaha memperbaiki kondisi ekonomi yang dialaminya. Bilamana yang dimiliki hanya rumah panggung di atas tanah hak sewa atas tanah hak milik orang lain, maka adalah adil bila memberi kesempatan berusaha dengan
24 Ibid. hal 222
27 menjadikan rumah panggung miliknya menjadi jaminan kredit baginya.
Terkait dengan keadilan maka Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis.25 Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.
Sehubungan dengan itu, kebahagiaan bukan hanya dapat dinikmati oleh orang yang berada di kalangan menengah ke atas, tetapi akan menjadi hak juga bagi mereka yang tergolong berada di bawah garis kemiskinan. Mereka berhak untuk memperoleh kebahagiaan dengan mendapatkan perlakuan yang adil dan memperoleh hak dasarnya, yang lazim diatikan sebagai hak asasi manusia. Masyarakat miskin pun memiliki hak asasi yang dijamin konstitusi.
John Rawls dengan teori keadilannyamenjadi salah satu ahli yang selalu menjadi rujukan baik ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh belahan dunia, Melalui karyanya A Theory of Justice, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. John Rawls dipercaya sebagai
25 Jeremy Bhentam dalam Suhariningsih, Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju Penertiban,Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, 2009, Hlm. 43
28 salah seorang yang memberi pengaruh pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-nilai keadilan hingga saat ini.26
John Rawls melahirkan 2 (dua ) prinsip kedilan, yang sering dijadikan rujukan oleh beberapa ahli yakni prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle),prinsip perbedaan (differences principle). Rawls berpendapat jika terjadi benturan (konflik), maka equal liberty principle harus diprioritaskan dari pada prinsip-prinsip yang lainnya. Equal opportunity principle harus diprioritaskan dari pada differences principle.27Uraian dari masing-masing prinsip adalah sebagai berikut :
a) Prinsip kebebasan yang sama (equal liberty of principle) Setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan- kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. “Setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama”, dalam hal ini kebebasan-kebebasan dasar yang dimaksud antara lain kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), kebebasan personal (liberty of conscience and though), kebebasan untuk memiliki
26 Theo Huijbers. Op cit. Hal. 196.
27 John Rawls, .A Theory of Justice (Revised Edition).The Belknap Press of Harvars University Press: Cambridge.1999, Hal.73-74.
29 kekayaan (freedom to hold property), dan kebebasan dari tindakan sewenang-wenang.28
Kebebasan ini merupakan hal yang paling mendasar (hak asasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak).29
b) Prinsip Ketidaksamaan (inequality principle), yang oleh Rawls dibagi dua yaitu :30
a) Differenceprinciple(prinsipperbedaan) yaitu ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
b) Equal opportunity principle (prinsip persamaan kesempatan) yaitu: jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan di mana adanya persamaan kesempatan yang adil.
Prinsip pertamadi atas memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama, semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (prinsip
28 Natsir Asnawi,Tinjauan Dialektis Terhadap Hukum, Moral, dan Keadilan. Pustaka Harapan : Jakarta. 2010.Hal. 4.
29 Ibid.
30 Ibid. Hal.6.
30 perbedaan objektif). Prinsip kedua,menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness(redelijkheid en billijkheid). Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan asas proprosionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif.31
Dalam membangun teorinya Rawls berangkat dari suatu posisi hipotetis di mana ketika setiap individu memasuki kontrak sosial itu mempunyai kebebasan (liberty).32 Posisi hipotetis itu disebut dengan posisi asli (original position). Posisi asli itu adalah suatu status quo awal yang menegaskan bahwa kesepakatan fundamental yang dicapai dalam kontrak sosial adalah adil (fair).
Berdasarkan fakta adanya posisi asli (original position) ini kemudian melahirkan istilah “keadilan sebagai fairness”. Ditegaskan oleh Rawls bahwa sekalipun dalam teori ini menggunakan istilah fairness namun tidak berarti bahwa konsep keadilan dan fairness adalah sama. Salah satu bentuk keadilan sebagai fairness adalah memandang bahwa posisi setiap orang dalam situasi awal ketika
31John Rawls. 1999. op cit. Hal. 54.
32Charles Himawan.Hukum sebagai Panglima.Penerbit Buku Kompas : Jakarta. 2003, Hal.43.
31 memasuki sebagai kesepakatan dalam kontrak sosial itu adalah rasional dan sama-sama netral. Dengan demikian, keadilan sebagai fairness disebut juga dengan teori kontrak.33
Rawls menguraikan teori keadilan sebagai fairness itu sebagai berikut: “I then present the main idea of justice as fairness, a theory of justice that generalizes and carries to a higher level of abstraction the tradisional conception of the social contract”.
Artinya, gagasan utama dari keadilan sebagai fairness adalah suatu teori tentang keadilan yang menggeneralisasi dan membawa ke suatu abstraksi yang lebih tinggi yaitu konsep kontrak sosial.
Kemudian dilanjutkan Rawls, “The primary subject of justice is the basic structure of society, or more exactly, the way in which the major social institutions distribute fundamental rights and duties and determine the division of advantage from social cooperation”.
Artinya, bahwa pokok utama keadilan adalah struktur dasar dari masyarakat itu, lebih tepatnya, cara bagaimanakah lembaga- lembaga utama masyarakat mengatur hak-hak dan kewajiban dasar serta bagaimanakah menentukan pembagian kesejahteran dari suatu kerjasama sosial. Sebab, “its effects are so profound and present from the start”. Artinya bahwa akibatnya sangat ekstrim dan kehadirannya dari awal, karena sebagai titik tolak. Konkritnya, pengaruh dari “the basic structure ofsociety” (struktur
33Ibid.
32 dasarmasyarakat) itu sangat besar untuk dapat menentukan bagaimana keadilan.34
Dijelaskan lebih lanjut oleh Rawls35, bahwa suatu kelembagaan dalam masyarakat dapat dimengerti dalam suatu cara yaitupertama, sebagai suatu hal yang abstrak yaitu suatu bentuk perilaku yang diwujudkan dalam satu sistem hukum; dan kedua, realisasi dalam pikiran dan perbuatan dari orang-orang tertentu pada waktu dan tempat tertentu atas rumusan bentuk perilaku (perbuatan) yang telah diatur dalam aturan. Dengan kata lain, Rawls menyimpulkan bahwa “the basic structure of society” itu adalah suatu “public system of rules” yang dapat dilihat dalam dua bentuk “system of knowledge” (or set of public norms) dan as a
“system of action” (or set of institutions). Oleh karena itu dapat didalilkan, bila “the basic structure of the society” adalah terdiri dari sistem kelembangaan yang adil (a just system of institution) dan ketetapan politik yang adil (a just system political constitution) maka justice as a fairness akan dapat dicapai.
Rawls juga menyarankan agar istilah keadilan formal diganti dengan istilah “keadilan sebagai keteraturan (justice as regularity)”.
Istilah ini dianggap lebih tepat dibanding” keadilan formal (formal justice).36 Rawls melanjutkan bahwa keadilan formal dapat meningkat menjadi keadilan substansi (materil). Bila keadilan
34John Rawls, op cit.Hal.73-74.
35Ibid.
36Ibid.Hal.76.
33 formal itu adalah suatu hal yang hanya semata-mata patuh pada sistem perundang-undangan, maka hal itu baru satu aspek saja dari rule of law, satu konsep yang akan mendukung dan menjamin harapan yang sah (legitimate expectation) dari masyarakat akan keadilan.37
Rawls salah satu pendukung keadilan formal.
Konsistensinya dalam menempatkan hukum sebagai basis pelaksanaan hak dan kewajiban individu dalam interaksi sosial bisa menjadi sinyal untuk ini. Rawls percaya bahwa keadilan yang berbasiskan peraturan, bahkan yang sifatnya administratif formal sekalipun tetaplah penting karena pada dasarnya ia memberikan suatu jaminan minimum bahwa setiap orang dalam kasus yang sama harus diperlakukan secara sama. Singkatnya keadilan formal menuntut kesamaan minimum bagi segenap masyarakat. Rawls juga percaya bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat tergantung pada pengaturan formal melalui hukum serta lembaga- lembaga pendukungnya.
Apabila peraturan dan hukum itu sangat penting, maka konsistensi dari para penegak hukum dalam pelaksanaan peraturan dan hukum yang tidak adil sekalipun akan sangat membantu warga masyarakat untuk belajar melindungi diri sendiri dari pelbagai
37Ibid.
34 konsekuensi buruk yang diakibatkan oleh hukum yang tidak adil.38 Rawls memandang bahwa walaupun diperlukan keadilan formal tidak bisa sepenuhnya dan mendorong terciptanya suatu masyarakat yang tertata baik (well ordered society). Rawls percaya bahwa suatu konsep keadilan yang hanya dapat diterima secara umum, sedangkan keadilan formal cenderung dipaksakan secara sepihak oleh penguasa. Oleh karena itu, betapapun pentingnya keadilan formal, Rawls tidak ingin berhenti pada taraf ini.
Rawls menyeberangi formalisme ini dengan merumuskan sebuah teori keadilan yang lebih memberi tempat kepada kepentingan semua pihak yang terjangkau kebijakan publik tertentu. Untuk itu Rawls percaya bahwa sebuah teori keadilan yang baik adalah teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak secara fair. Dengan demikian, seluruh gagasan Rawls mengenai keadilan serta pelbagai implikasinya dalam penataan sosial politik dan ekonomi harus ditempatkan dan dimengerti dalam perspektif kontrak.39
Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Keadilan harus dipahami sebagai fairness, dalam arti bahwa tidak hanya mereka yang
38Amstrong Sembiring.Energi Keadilan.Masyita Pustaka Jaya. Medan, 2009.Hal. 32.
39Ibid. Hal. 42.