ISU STRATEGIS PENGELOLAAN PERBATASAN
Koordinat 52 Titik Pilar Batas Perbatasan Darat Antara RI dengan PNG
B. Aspek Ekonomi Kawasan
Isu strategis terkait pengembangan ekonomi kawasan perbatasan darat sebagai berikut:
1) Pengelolaan sumber daya
yang tidak terkendali dan belum optimal
Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal logging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, Mei 2001). Penebangan liar ini terus berlangsung akibat tuntutan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan. Akibat pencurian SDA ini, kerugian devisa
Selain hutan, potensi sumberdaya alam di kawasan perbatasan cukup besar diantaranya perkebunan (karet, kopi, coklat, kelapa), pertanian (padi, palawija, buah-buahan) dan pertambangan (batubara, emas, bauksit, dll.).
Namun, besarnya potensi ini belum dikelola secara adil, optimal, dan terkoordinasi serta berkelanjutan sehingga belum dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat perbatasan. Faktor keterbatasan akses transportasi, listrik, dan minimnya sarana penunjang lain, masih menjadi masalah klasik yang sulit dipecahkan. Akibatnya, potensi yang belum dikelola optimal ini akhirnya menjadi sasaran empuk dan dimanfaatkan secara ilegal oleh pengusaha nakal dari negara tetangga.
Pemanfaatan sumberdaya alam yang ilegal dan tidak terkendali (diikuti dengan kebakaran hutan, pembukaan lahan-lahan eks tebangan yang belum ditanami dan menjadi lahan-lahan kritis) akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan dan pada akhirnya, akan mengurangi potensi sumberdaya alam di masa mendatang.
Kegiatan eksploitasi SDA yang paling fenomenal di kawasan perbatasan darat adalah pembalakan liar (illegal logging). Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai milyaran Dollar AS, diantaranya berupa pendapatan negara setiap tahunnya. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta Ha dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama.
Pemberantasan kegiatan illegal logging dan penanggulangan kerusakan sumberdaya hutan di Indonesia sesungguhnya menjadi tugas dunia internasional mengingat hutan Indonesia (salah satunya kawasan konservasi Heart of Borneo di Pulau Kalimantan) berfungsi melindungi keanekaragaman hayati khas Pulau Kalimantan dan menjadi Natural World Heritage (warisan alam dunia), Cultural World Heritage (warisan budaya dunia), serta paru-paru dunia.
2) Tingginya angka kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dengan negara tetangga di kawasan perbatasan
Fakta yang terjadi di wilayah perbatasan saat ini adalah belum tuntasnya masalah kemiskinan. Hal ini merupakan masalah klasik di daerah perbatasan, yang sampai sekarang belum tuntas ditangani. Pendekatan keamanan (security) yang diterapkan pada pembangunan masa lalu berdampak pada rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk karena kurangnya pembangunan yang menitikberatkan pada kesejahteraan.
Akibatnya penduduk di perbatasan cenderung miskin/tertinggal dan terisolasi.
Kehidupan masyarakat perbatasan yang miskin infrastruktur dan tidak memiliki aksesibilitas yang baik, pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kondisi social ekonomi Negara tetangga. Kawasan perbatasan Kalimantan contohnya dimana kehidupan social ekonomi masyarakat pada umumnya berkiblat ke Negara tetangga yang infrastrukturnya lebih baik. Kesenjangan tersebut disebabkan oleh akumulasi dari berbagai factor seperti rendahnya mutu manusia, minimnya infrastruktur pendukung, rendahnya produktivitas masyarakat dan belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam.
Implikasinya menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke negara tetangga (contohnya Malaysia )
Mobilitas penduduk di perbatasan darat relatif tinggi karena adanya motif sosial maupun ekonomi. Secara sosial, penduduk di sekitar perbatasan kedua negara masih memiliki hubungan kekerabatan sehingga ada kegiatan saling mengunjungi untuk silaturahmi dan sebagainya. Mobilitas dapat dilakukan dalam satu hari perjalanan (ulang-alik) maupun secara sirkuler (lebih dari satu hari) untuk keperluan kunjungan wisata ataupun bekerja.
Selain motif sosial, mobilitas penduduk terjadi karena faktor ekonomi.
Kondisi infrastruktur yang lebih baik ataupun pengaruh sosial ekonomi yang lebih kuat di negara tetangga menyebabkan orientasi masyarakat lebih berkiblat ke negara tetangga. Bahkan sampai dengan pengaruh harga dan penggunaan mata uang, contohnya di perbatasan Kalimantan, beberapa transaksi perdagangan menggunakan Ringgit Malaysia (RM).
Mobilitas penduduk ini tentu saja akan menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif ini diantaranya, adalah adanya perkembangan ekonomi di wilayah perbatasan. Sedangkan dampak negatifnya adalah berpotensi tumbuhnya kegiatan ilegal. Atau bisa jadi kegiatan ilegal yang mendorong terjadinya mobilitas penduduk. Selain itu, orientasi yang kuat ke negara tetangga menimbulkan turunnya wawasan kebangsaan.
Untuk jangka panjang, adanya kesenjangan pembangunan dengan Negara tetangga tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik.
3) Jumlah penduduk yang mendiami kawasan perbatasan masih relatif jarang
Penyebaran penduduk di kawasan perbatasan umumnya tidak merata.
Penduduk cenderung terkonsentrasi di ibukota kabupaten atau di pusat pertumbuhan, sementara itu di penduduk di kawasan perbatasan sangat jarang, bahkan pada lokasi-lokasi tertentu yang minim infrastrukturnya tidak ada penduduk sama sekali. Akibatnya memudahkan bagi Negara tetangga untuk menggeserkan batas wilayah Negara tanpa pengawasan oleh pemerintah maupun masyarakat.
4) Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung pertumbuhan ekonomi dan akses terhadap permodalan dan asset
Sebagian besar wilayah perbatasan tidak mempunyai infrastruktur yang baik, bahkan beberapa daerah terisolasi dari pusat kegiatan provinsi. Terbatasnya sarana prasarana dasar (misalnya transportasi/jasa angkutan darat dan telekomunikasi) dan akses terhadap modal, pasar, teknologi dan informasi sehingga akan berdampak pada terhambatnya kegiatan ekonomi masyarakat, diantaranya masalah peningkatan produksi dan pemasaran.
Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara menjadi pemicu orientasi perekonomian masyarakat ke negara tetangga.
Seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.
Kesenjangan infrastruktur dan fasilitas umum di daerah perbatasan, contohnya di perbatasan Indonesia – Malaysia memotivasi warga berpindah wilayah dan bahkan berganti status kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia.
5) Belum optimalnya pemanfaatan peluang pasar di Negara tetangga melalui kerjasama ekonomi dan perdagangan lintas batas
Masyarakat kawasan perbatasan memiliki hubungan ekonomi lebih erat dengan negara tetangga. Contoh: Penduduk di Kep. Sangihe dan Talaud lebih banyak berinteraksi dengan Filipina karena jarak yang lebih dekat ke Mindanao (Filipina) daripada Manado (Indonesia). Namun, hubungan ekonomi dengan negara tetangga juga rawan terhadap kegiatan ilegal dan menurunnya wawasan kebangsaan karena masuknya ideologi dari luar.
Adapun perjanjian perdagangan lintas batas antara pemerintah RI dan RDTL belum dapat diimplementasikan karena pihak Timor Leste belum menerbitkan Pas Lintas Batas (PLB) bagi penduduknya. Di samping itu, pemahaman terhadap ketentuan perdagangan lintas batas masih rendah 6) Belum berkembangnya fungsi kota-kota utama kawasan
perbatasan sebagai pusat pelayanan kegiatan ekonomi kawasan perbatasan
Berdasarkan PP No.26 Tahun 2008 tentang RTRWN dikemukakan bahwa ada 26 PKSN di kawasan perbatasan, dan ada 12 PKSN terletak di kawasan perbatasan darat. Seperti diketahui bahwa PKSN ditetapkan dengan kriteria:
- Pusat perkotaan yang berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas dengan Negara tetangga
- Pusat perkotaan yang berfungsi sebagai pintu gerbang internasional yang menghubungkan dengan Negara tetangga
- Pusat perkotaan yang merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya
- Pusat perkotaan yang merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan sekitarnya
Selanjutnya PKSN dapat berupa pusat pengembangan baru, perlu revitalisasi dan ada yang berada pada tahap peningkatan dan pengembangan.
Namun demikian dalam kenyataannya hampir seluruh PKSN baik di kawasan perbatasan darat maupun perbatasan laut, pengembangan kawasan perbatasan masih terkendala oleh sarana dan prasarana wilayah seperti minimnya akses darat dan udara dari dan ke kawasan perbatasan, minimnya infrastruktur informasi dan telekomunikasi. Hal ini menyebabkan pengembangan kawasan perbatasan PKSN berjalan sangat lamban sebagai pusat pelayanan ekonomi kawasan perbatasan.