ISU STRATEGIS PENGELOLAAN PERBATASAN
Koordinat 52 Titik Pilar Batas Perbatasan Darat Antara RI dengan PNG
B. Peningkatan Keamanan dan Pertahanan serta Penegakan Hukum
Isu strategis mengenai keamanan dan pertahanan serta penegakan hukum di kawasan perbatasan laut adalah: “ Masih sering terjadi praktek pelanggaran terhadap wilayah kedaulatan negara “
Penetapan batas laut, baik laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) yang belum dapat diselesaikan secara keseluruhan, mengakibatkan rancu dan tidak optimalnya upaya penegakan kedaulatan dan hukum di laut. Disisi lain, pelanggaran wilayah kedaulatan baik darat, khususnya laut dan udara yang dilakukan oleh negara tetangga menunjukkan masih lemahnya pertahanan negara di laut dan udara. Hal yang paling penting berkaitan dengan pertahanan negara adalah adanya keinginan negara tetangga setelah memiliki dan berdaulat atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, ingin kembali menguasai Blok Ambalat yang kaya akan minyak dan gas bumi, sehingga hal ini merupakan ancaman nyata yang sudah ada di depan mata.
Oleh karena itu perlu adanya perhatian khusus, serta kesiap siagaan negara dan bangsa (Balitbang, Dephan). Contoh lain adalah yang terjadi di P. Morotai (RI).
Nelayan asing dengan leluasa masuk ke wilayah Morotai dan dengan mudah melarikan diri ke wilayah Filipina jika dihalau. Ini artinya wilayah perbatasan laut Morotai-Filipina belum dijaga dengan ketat, sehingga bisa saja suatu saat Filipina (sebagaimana Malaysia) mengklaim sebagian laut Morotai sebagai wilayah sahnya.
Disisi lain, keterbatasan prasarana dan sarana pertahanan dan keamanan dan medan yang berat dengan laut yang dalam menyebabkan sulitnya pengawasan
dan pengamanan dan mengancam hilangnya pulau kecil terluar dan terjadinya pergeseran batas wilayah laut negara. Salah satu kendala menjaga batas wilayah negara adalah tidak adanya sarana bantu navigasi yang memadai di pulau tersebut yang akan membantu dalam pelayaran dan status keberadaan pulau tersebut. Di samping itu, titik dasar dan titik referensi pada pulau terluar yang kurang terpelihara baik akan berpotensi terhadap keutuhan wilayah negara.
C. Penguatan Kelembagaan
Isu strategis terkait dengan kelembagaan adalah:
“ Lemahnya koordinasi, integrasi, sinergi dan sinkronisasi ( KISS ) antar sektor dan antar daerah dalam pengelolaan batas wilayah negara”
1) Rencana pembangunan wilayah pada buku III RPJMN masih bersifat makro (unit analisis pulau besar) dan belum memberikan orientasi yang kuat bagi pembangunan kawasan sehingga diperlukan rencana yang lebih rinci untuk memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan perbatasan.
2) “Pendekatan sektoral” masih lebih dominan dibandingkan “pendekatan regional” dalam perencanaan pembangunan nasional, karena faktor “lokasi”
masih dipandang sebatas tempat pelaksanaan kegiatan departemen/instansi tanpa memperhatikan kepentingan pendayagunaan ruang di daerah, akibatnya kegiatan yang direncanakan sektor tidak saling bersinergi dalam mengisi dan mendayagunakan ruang di daerah (memunculkan ego sektoral).
3) Bahwa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional baru memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan yang bersifat makro. Sementara itu Rencana rinci RTRWN berupa RTR Kawasan Strategis Nasional Perbatasan hingga saat ini belum tersedia (masih berupa Draft Raperpres RTR Kawasan Perbatasan), sehingga pembangunan kawasan perbatasan belum memiliki acuan yang kuat dalam implementasinya.
4) Sejak dicanangkannya penanganan kawasan perbatasan sebagai salah satu arahan kebijakan RPJMN 2005-2009, seluruh K/L memiliki perhatian yang besar terhadap pembangunan kawasan perbatasan. Hal tersebut terlihat dari besarnya anggaran sektoral yang dialokasikan bagi pembangunan kawasan perbatasan baik dalam penguatan pertahanan keamanan maupun pengembangan sosial ekonomi. Namun demikian menjadi suatu kenyataan bahwa masing-masing sektor belum bersinergi satu sama lain khususnya kegiatan yang dampaknya secara signifikan bagi daerah yang menjadi sasaran kegiatan. Disamping itu beberapa sektor belum menjalankan tugas
pokok dan fungsi (Tupoksi) secara kosisten dalam pembangunan kawasan perbatasan sehingga cenderung tumpang tindih dengan sektor lainnya.
5) Belum memadainya kapasitas pemerintah daerah dalam pengelolaan kawasan perbatasan mengingat penanganannya bersifat lintas administrasi wilayah pemerintahan dan lintas sektoral, sehingga masih memerlukan koordinasi dari institusi yang secara hirarkis lebih tinggi, belum tersosialisasikannya peraturan dan perundang-undangan mengenai pengelolaan kawasan perbatasan, terbatasnya anggaran pembangunan pemerintah daerah; masih adanya tarik menarik kewenangan pusat-daerah, misalnya dalam pengelolaan kawasan konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional sebagai international inheritance yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan).
6) Pengelolaan kawasan perbatasan belum dilakukan secara terpadu dengan mengintegrasikan seluruh sektor terkait. Permasalahan beberapa kawasan perbatasan masih ditangani secara ad hoc, sementara (temporary) dan parsial serta lebih didominasi oleh pendekatan keamanan (security) melalui beberapa kepanitiaan (committee), sehingga belum memberikan hasil yang optimal. Komite-komite kerjasama penanganan masalah perbatasan yang ada saat ini antara lain General Border Committee (GBC) RI – Malaysia, Joint Border Committee (JBC) RI – Papua New Guinea; dan Joint Border Committee RI-Timor Leste. Namun sejak 17 September 2010 telah terbentuk lembaga yang khusus menangani perbatasan, yaitu Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Untuk itu sangat diperlukan penguatan kelembagaan BNPP agar dapat berperan sebagaimana yang diamanatkan.
7) Selama ini belum ada payung hukum yang jelas mengatur tentang kewenangan pengelolaan kawasan perbatasan, walaupun ada UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah namun tidak secara eksplisit menjelaskan kewenangan daerah dalam mengelola kawasan perbatasan.
Sedangkan kewenangan pemerintah pusat pada pintu-pintu perbatasan (border gate) yang meliputi aspek kepabeanan, keimigrasian, karantina, serta keamanan dan pertahanan (CIQS).
8) Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan hutan dengan sistem tebang pilih. Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas
wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
9) Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya 10) Kemampuan diplomasi yang lemah dari delegasi Indonesia sering
dimanfaatkan oleh negara lain, misalnya Malaysia. Dimungkinkan adanya taktik coba-coba dari Malaysia untuk mencari kelengahan Indonesia. Taktik ini pernah dicoba dalam mengklaim pulau Ligitan dan Sipadan dan akhirnya sangat berhasil. Berdasarkan realita, setiap ada sengketa dengan Indonesia, Malaysia pasti akan menawarkan solusi ke Mahkamah Internasional karena Malaysia mengetahui diplomasi Indonesia lemah. Untuk itu, selain perlu memiliki lembaga yang kredibel mengenai batas wilayahnya dengan negara lain, diperlukan penguatan kapasitas SDM baik secara fisik maupun mental untuk menjaga keutuhan NKRI.
3.2. ISU STRATEGIS PEMBANGUNAN KAWASAN PERBATASAN
Kawasan perbatasan memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wilayah masih tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di negara tetangga seperti Malaysia.
Hal tersebut di atas menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan perbatasan dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat negara tetangga. Kondisi tersebut berimplikasi terhadap masyarakat perbatasan yang lebih berorientasi ke negara tetangga sehingga tingkat ketergantungan terhadap negara tetangga sangat tinggi. Kondisi seperti tersebut mempunyai dampak yang merugikan bagi negara, karena akan menimbulkan berbagai kegiatan yang illegal, pengeksploitasian SDA tak terkendali.
3.2.1 Perbatasan Darat