• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ

A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

2. Aspek Kemanusiaan

Manusia merupakan makhluk yang sangat menarik dan memiliki kelebihan dari makhluk ciptaan Allah lainnya. Manusia dalam berbagai aspek ilmu

26 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.

27 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.

28 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.

29 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.

pengetahuan, sering menjadi perbincangan dan perdebatan, karena manusia dikenal sebagai makhluk yang paling mulia, baik dilihat dari biologis maupun dari segi psikologisnya dan memiliki berbagai potensi, serta memperoleh petunjuk kebenaran dalam menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.

Hal inilah yang menjadi perdebatan di kalangan mutakallīmūn terkait dengan persoalan manusia. Permasalahan yang akan dibahas dalam persoalan kalam yang berhubungan dengan manusia di antaranya adalah Rasul dan wahyu, perbuatan manusia, posisi pelaku dosa besar, dan konsep iman yang akan diuraikan di bawah ini.

a. Rasul dan Wahyu

Allah Swt., telah mengutus beberapa Rasul dan Nabi, yang terakhir sekali adalah Nabi Muhammad Saw., sebagai utusan-Nya yang menyampaikan kepada manusia isi kitab-kitab Allah, dengan menerangkan segala perintah Allah dan larangan-Nya, serta menjadi contoh dan panutan utama bagi umat manusia.30 Rasul dan wahyu menduduki posisi yang sangat penting dalam Islam. Wahyu yang menjadi pedoman bagi manusia dalam keraguan karena tidak ada petunjuk yang pasti. Wahyu tidak langsung diturunkan Allah kepada seluruh umat manusia, melainkan melalui rasul. Oleh sebab itu, tanpa adanya rasul, manusia tidak dapat memahami wahyu. Mutakallīmūn sepakat bahwa keberadaan rasul sangat penting dalam penyampaian risalah Tuhan.

Para ulama menyebutkan perbedaan-perbedaan antara nabi dan rasul, dan yang terbaik adalah siapa yang Allah kabari dengan berita langit, bila Allah memerintahkannya agar menyampaikannya kepada orang lain, maka dia adalah nabi sekaligus rasul, bila Allah tidak memerintahkannya agar menyampaikannya kepada orang lain, maka dia nabi, bukan rasul.31

Rasul lebih khusus dari nabi, setiap rasul adalah nabi, dan tidak semua nabi adalah rasul. Tetapi kerasulan lebih umum dari sisi dirinya, kenabian adalah bagian dari kerasulan, sebab kerasulan mencakup kenabian dan selainnya, berbeda dengan

30 A. Hassan. Ringkasan Tentang Islam (Bangil: al-Muslim, 1980), h. 44.

31 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.

para rasul, mereka tidak mencakup para nabi dan selain mereka, dan yang benar adalah sebaliknya, kerasulan lebih umum dari sisi dirinya.32

Ketahuilah, bahwa di antara yang mengeruhkan perbedaan antara nabi dan rasul yang pensyarah sebutkan, yaitu bahwa Allah telah mengambil janji dari para ulama agar mereka menjelaskan kebenaran kepada manusia dan tidak menyembunyikannya, sebagaimana Allah swt berfirman,

“Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu), ‘Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kalian menyembunyikannya’.” (Ali ‘Imran: 187).33 Lalu bagaimana dengan para nabi yang mereka lebih tinggi kedudukannya dibanding ulama? Yang lebih dekat dalam masalah ini adalah apa yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa nabi adalah orang yang Allah beri wahyu dan dia menyampaikan wahyu tersebut hanya saja dia tidak diutus kepada kaum kafir untuk mengentas mereka dari kekufuran kepada iman, adapun rasul, maka dia diutus kepada orang-orang kafir untuk mengajak mereka kepada tauhid, Allah berfirman, (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu.” (Al-Hajj:52).34

Allah menyebutkan bahwa pengutusan mencakup rasul dan nabi, lalu Allah mengkhususkan salah satu dari keduanya bahwa dia adalah rasul, inilah rasul mutlak yang Allah perintahkan agar menyampaikan risalah-Nya kepada kaum yang menentang perintah Allah dan terjatuh ke dalam kesyirikan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Nuh , telah diriwayatkan bahwa Nabi Nuh sang adalah rasul

32 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 297.

33 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 75.

34 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 338.

pertama yang diutus ke bumi, dan sebelumnya sudah ada nabi-nabi seperti Nabi Adam, Nabi Syaits, dan Nabi Idris.35

Mengenai penetapan kenabian menurut kalangan penganut ilmu kalam dan rasionalis terdapat metode yang masyhur yaitu menetapkan kenabian para nabi dengan mukjizat, dan kebanyakan dari mereka tidak mengenal kenabian para nabi kecuali melalui mukjizat. Mereka menetapkannya dengan metode-metode yang simpang siur (tidak jelas). Banyak kalangan dari mereka yang mengingkari kejadian-kejadian luar biasa pada selain nabi, hingga mereka mengingkari karamah para wali, sihir, dan lainnya. Tidak diragukan bahwa mukjizat merupakan bukti yang shahih, tetapi bukti tidak hanya terbatas padanya.36

Kenabian hanya diklaim oleh orang yang paling jujur atau orang yang paling dusta. Keduanya tidak samar kecuali bagi orang-orang yang paling dungu, karena indikator kehidupan masing-masing mengungkapnya dan mengenalkannya, dan membedakan antara yang jujur dan yang dusta memiliki banyak cara terkait dengan klaim selain kenabian, lalu bagaimana dengan kenabian?37

Tidak ada pendusta besar yang mengklaim sebagai nabi kecuali terlihat padanya kebodohan, kedustaan, kedurjanaan memiliki akal terendah sekalipun.

Bahkan dua orang sama-sama dan dikuasai oleh setan-setan yang bisa dilihat oleh orang yang mengklaim sesuatu, yang satu benar dan yang lain pendusta, kebenaran yang pertama pasti terlihat dan kebohongan yang kedua pasti terlihat, cepat atau lambat. Hal itu karena kejujuran mengajak kepada kebaikan dan kebohongan menuntun kepada perbuatan dosa.38

Bila kebenaran dan kebohongan pembawa berita diketahui dengan indikasi yang mengelilinginya, lalu bagaimana dengan klaim seseorang bahwa dia adalah utusan Allah? Bagaimana kebenaran dan kebohongan orang ini bisa samar?

Bagaimana orang yang benar dan orang yang bohong tidak bisa dibedakan dengan satu bukti pun?

35 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 298.

36 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.

37 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 299.

38 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 300

Hari ini, kita dapat mengetahui secara mutawatir tentang keadaan para nabi, orang-orang yang mengikuti mereka dan musuh-musuh mereka. Kita pun mengetahui dengan yakin bahwa para nabi itu adalah orang-orang benar di atas kebenaran dari banyak sisi bukti. Mereka mengabarkan kepada orang-orang bahwa para pengikut mereka akan mendapatkan kemenangan dan para musuh mereka akan mendapatkan kekalahan, akibat baik berpihak kepada orang-orang yang mengikuti mereka.39

Allah swt memenangkan mereka dan membinasakan musuh-musuh mereka, bila peristiwa diketahui dengan sebenarnya seperti tenggelamnya Fir'aun, kaum Nabi Nuh as dan keadaan-keadaan mereka yang lainnya,maka diketahui kebenaran para rasul. Dan terdapat syariat-syariat yang dibawah oleh para rasul dan perincian kehidupan mereka, niscaya dia mengetahui bahwa para rasul adalah makhluk tertinggi, dan bahwa hal seperti itu tidak mungkin terjadi dari pembual yang jahil.40 b. Perbuatan Manusia

Persoalan ini dalam kapasitas dan intensitasnya, dari awal telah menjadi persoalan teologis yang cukup rumit dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam.

Kerumitan itu terlihat dalam bentuk diskusi yang dilakukan oleh para pemikir Islam, khususnya mutakallīmūn. Persoalan tersebut telah menimbulkan perbedaan paham di kalangan kaum Muslimin tentang hakikat perbuatan manusia (af’al

al-‘ibad). Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan pandangan beberapa kelompok dalam memahami perbuatan manusia.41

Pertama, Pandangan Golongan Jabariyah dan Jahmiyah, yang mengatakan bahwa manusia itu terpaksa, tidak memiliki pilihan dalam berbuat. Maka perbuatan manusia murni merupakan ciptaan Allah swt. Maka shalat yang dilakukannya misalnya, bukan karena ikhtiarnya, dia hanya terpaksa. Mereka ini sangat ekstrim dalam menetapkan Kuasa (qudrah) Allah. Pandangan mereka ini adalah kesesatan yang nyata, dan maknanya adalah bahwasanya Allah menzhalimi mereka dan mengazab mereka atas sesuatu yang mereka sama sekali tidak memiliki ikhtiar

39 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 332

40 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 333.

41 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 279.

padanya, dan mereka juga tidak memiliki kesanggupan padanya, dan Allah hanya mengazab seorang hamba karena perbuatan orang lain, dan memberinya pahala atas sesuatu yang tak pernah dilakukannya. Pandangan ini adalah pandangan yang paling busuk.

Kedua, Pandangan Mu’tazilah, yang bertentang secara total dengan pandangan pertama. Mereka mengatakan, amal perbuatan adalah semata karya dan kehendak serta kemauan hamba secara mutlak, dan Allah sama sekali tidak punya sangkut paut di dalamnya. Hambalah yang menciptakan perbuatan dirinya. Mereka sangat ekstrim dalam menetapkan kuasa hamba.

Pandangan mereka ini mengharuskan munculnya pandangan lain yaitu bahwasanya Allah lemah, dan bahwasanya Allah disekutui oleh selain-Nya dalam mencipta dan mengadakan. Ini adalah pandangan orang-orang majusi, dan itu sebabnya Mu’tazilah dinamakan sebagai kaum Majusi umat ini. Orang-orang majusi mengatakan, alam ini memiliki dua pencipta: pencipta kebaikan dan pencipta kejahatan. Mu’tazilah menambahkan pandangan mereka ini dengan mengatakan, setiap orang menciptakan perbuatan dirinya sendiri, sehingga dengan demikian Mu’tazilah menetapkan banyak pencipta.42

Pandangan yang moderat adalah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka mengatakan, amal perbuatan manusia adalah perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah.43

َنْوُلَمْعَ ت اَمَو ْمُكَقَلَخ ُهٰ للاَو

“Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat.” (Aṣ-Ṣaffat:

96).44

42 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280.

43 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 280

44 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 449.

ُقِلاَخ ُهٰ للَا ٍءْيَش ِّلُك

ٌلْيِكَّو ٍءْيَش ِّلُك ىٰلَع َوُهَّو ۗ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.”

(Az-Zumar: 62).45

ِضْرَْلْاَو ِءۤاَمَّسلا َنِّم ْمُكُقُزْرَ ي ِهٰ للا ُرْ يَغ ٍقِلاَخ ْنِم ْلَه ۗ

“Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan bumi?” (Faṭir: 3).46

Maka Allah Maha Esa sebagai yang mencipta dan menetapkan takdir, dan manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta memiliki perbuatan. Pergi ke masjid adalah dengan ikhtiarnya, dan pergi ke tempat tontonan juga dengan ikhtiarnya; karena dia memang memiliki kuasa. Dan orang yang tidak Allah berikan kuasa dan ke sanggupan, Allah memberikannya udzur (alasan untuk meninggalkan kewajiban), seperti orang yang gila atau orang yang dipaksa. Orang seperti itu tidak memiliki kehendak dan tidak memiliki maksud. Sedangkan orang yang memiliki kehendak dan maksud, inilah yang memilih perbuatan untuk dirinya, maka siksa dan pahala terjadi atas perbuatannya tersebut, bukan atas perbuatan Allah.47

Bila sudah terbukti bahwa hamba adalah pelaku, maka perbuatan hamba terbagi menjadi dua:48

Pertama, perbuatan yang terjadi darinya tanpa diikuti dengan kehendak dan keinginannya, maka ia merupakan sifat baginya tetapi bukan perbuatan, seperti gerakan orang menggigil.

Kedua, perbuatan yang terjadi darinya beriringan dengan kemampuan dan kehendaknya. Untuk yang ini perbuatan tersebut dianggap sebagai sifat, perbuatan dan usaha dari seorang hamba, ini seperti gerak-gerik yang dilakukan secara suka rela. Allah yang menjadikan hamba melakukan secara suka rela. Hanya Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya yang sanggup melakukan itu. Karena itu ulama Salaf mengingkari jabr (doktrin yang menyatakan hamba terpaksa dengan perbuatannya), karena ia hanya terjadi dari orang yang lemah, sehingga ia tidak

45 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 465.

46 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 434

47 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 281.

48 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 515.

terjadi kecuali dengan tekanan. Karena itu ada perkataan, bapak memiliki hak perwalian untuk memaksa putrinya yang masih kecil untuk menikah dan dia tidak punya hak tersebut atas putrinya yang janda yang sudah dewasa. Maksudnya, bapak bisa menikahkannya sekalipun dia tidak suka. Allah tidak disifati dengan pemaksaan dari sisi ini, sebab Allah Pencipta kehendak dan keinginan, mampu menjadikan hamba berkehendak dan berkeinginan, berbeda dengan selain-Nya.

c. Posisi Pelaku Besar

Sebagaimana telah dijelaskan sebelum-sebelumnya bahwa permasalahan teologi yang pertama kali muncul adalah masalah kafir mengkafirkan. Masalah ini kemudian berlanjut kepada status pelaku dosa besar, hingga kepada status iman seseorang.49 Dari permasalahan ini, juga timbul untuk pelaku dosa besar apakah akan masuk neraka dengan kekal atau tidak? Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan,

َنْوُدِّحَوُم ْمُهَو اوُتاَم اَذِإ ،َنْوُدَّلَُيُ َلْ ٍدَّمَُمُ ِةَّمُأ ْنِم ِرِئاَلَكْلا ُلْهَأَو

“Para pelaku dosa-dosa besar dari umat Nabi Muhammad masuk neraka, tapi mereka tidak kekal, apabila mereka mati dalam keadaan bertauhid.”50 Dosa-dosa besar adalah dosa-dosa selain syirik tetapi di atas dosa-dosa kecil. Prinsip dasar suatu dosa dikatakan dosa besar adalah: setiap dosa yang harus ditegakkan hukuman (had) atas (pelaku)nya, atau yang mendapatkan ancaman murka, atau laknat Allah, atau neraka, atau Rasulullah anti terhadap orang-orang yang melakukannya.51 Inilah dosa besar, seperti misalnya sabda beliau,

ْنَم اَّنِم َسْيَلَ ف َح َلَِّسلا اَنْ يَلَع َلََحَ

.

“Barangsiapa yang membawa senjata untuk melawan kami, maka dia bukan dari kami.”52

Semua poin prinsip dasar ini menunjukkan bahwa dosa bersangkutan adalah dosa besar, akan tetapi di bawah syirik. Pelaku dosa-dosa besar tersebut tidak keluar dari Iman, akan tetapi dia tetap seorang Mukmin yang kurang imannya, atau bisa

49 Rozak dan Anwar, Ilmu, h. 159.

50 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 22.

51 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 207.

52 Hr. Al-Bukhari No. 6874 dan Muslim No. 98, 100, dan 101.

juga dinamakan orang fasik. Inilah pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah; mereka tidak mengkafirkan (seorang Muslim) karena dosa-dosa besar, selama itu bukan syirik, akan tetapi mereka juga tidak memberikan pelaku dosa-dosa besar nama Iman secara mutlak. Mereka memberikan kepadanya Iman yang diberi batasan;

sehingga dikatakan, “Dia Mukmin dengan Imannya, tapi fasik dengan dosa besar (yang dilakukan)nya.”53

Maka tidak dikatakan bahwa orang semacam itu adalah seorang Mukmin dengan keimanan sempurna, sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Murji’ah.

Tapi juga tidak dikatakan bahwa dia keluar dari Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Khawarij dan Mu’tazilah.

Jika demikian, maka ada tiga kelompok manusia berkaitan dengan seorang Muslim yang melakukan dosa besar:54

Pertama, Khawarij dan Mu’tazilah, yang mengeluarkan pelaku dosa besar tersebut dari Islam, hanya saja, Khawarij memasukkannya ke dalam golongan orang-orang kafir, sedangkan Mu’tazilah tidak; mereka mengatakan: pelaku dosa besar berada pada kedudukan di antara dua kedudukan (Iman dan kufur), akan tetapi mereka mengeluarkannya dari Islam.

Kedua, Murji’ah, yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah seorang Mukmin yang beriman sempurna, selama dia meyakini di dalam hatinya, menurut pendapat mayoritas mereka, dan mengucapkan dengan lisannya, menurut pendapat sebagian mereka. Yang jelas (dalam pandangan mereka), dia adalah seorang Mukmin dilakukannya seorang sama sekali tidak mengurangi Imannya, sekalipun dosa dosa besar. Ini juga suatu kesesatan.

Ketiga, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, ialah pandangan yang haq, yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar selain syirik adalah tetap sebagai seorang Mukmin, bukan kafir, akan tetapi dia adalah Mukmin yang kurang Imannya. Ini wajib diketahui, dan wajib tertanam mantap di dalam akal anda. Orang-orang pengikut pandangan jahat dewasa ini, semakin berani menampakkan pandangan

53 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208.

54 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 208-209.

Murji'ah untuk mempublikasikannya kepada masyarakat luas, demi menutupi kesesatan yang ada pada diri mereka.

Para pelaku dosa-dosa besar selain syirik, bukan orang-orang kafir. Dan bahwasanya mereka ketika nanti bertemu dengan Allah (di Hari Kiamat), dan mereka belum bertaubat dari dosa-dosa besar tersebut, maka mereka terserah kepada kehendak Allah. Jika Allah berkehendak, Allah dapat mengazab mereka seimbang dengan dosa-dosa mereka, kemudian mengeluarkan mereka dari neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga dengan tauhid dan Iman mereka, sehingga mereka tidak kekal di dalam neraka.55 Dalilnya adalah Firman Allah,

هِب َكَرْشُّي ْنَا ُرِفْغَ ي َلْ َهٰ للا َّنِا

pemberi syafa’at dengan izin Allah tu. Dan syafa’at adalah haq adanya, akan tetapi tidak akan ada kecuali dengan izin Allah, dan yang diberikan syafa’at tersebut adalah orang yang bertauhid, bukan orang kafir, bukan orang musyrik dan bukan orang munafik.57

d. Konsep Iman

Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw., dan ia adalah agama yang berintikan keimanan dan perbuatan (amal).58 Keimanan itu merupakan akidah dan pokok, yang di atas syariat Islam. Perbuatan itu merupakan syariat yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan dan akidah itu. Keimanan dan perbuatan itu atau dengan kata lain akidah dan syariat, keduanya saling terkait satu sama lain, dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu,

55 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 210.

56 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 86.

57 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 212.

58 Hassan. Ringkasan, h. 29.

adanya hubungan yang erat di antara keduanya, maka amal perbuatan selalu disertakan penyebutannya dengan keimanan.59

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī iman tidak hanya pada pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, tetapi juga diamalkan dengan anggota badan. Maka amal masuk dalam hakikat Iman, dan bukan sesuatu yang lebih dari Iman.

Barangsiapa yang membatasi definisi Iman hanya pada ucapan dengan lisan dan pembenaran dengan hati, dan tidak menyertakan amal, maka dia tidak termasuk dalam ahli Iman yang benar.

Imām bukan satu, dan orang-orang yang beriman tidaklah sama, akan tetapi Iman saling mengungguli, dapat bertambah dan berkurang. Manusia tidak sama dalam membenarkan dengan hati. Iman Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq tidak sama dengan Iman seorang yang fasik dari kaum Muslimin; karena orang yang fasik dari kaum Muslimin Imannya sangat lemah, sedangkan keimanan Abū Bakar aṣ-Ṣiddiq seimbang (bahkan lebih kuat) dari Iman semua umat ini. Maka manusia pada dasarnya tidak sama (dalam tingkat keimanan). Ini pada dasarnya (dari segi keimananannya).Demikian juga dari segi amal, manusia saling mengungguli dalam amal.60 Di antara mereka ada yang sebagaimana difirmankan Allah swt,

اَنِداَلِع ْنِم اَنْ يَفَطْصا َنْيِذَّلا َبٰتِكْلا اَنْ ثَرْوَا َُّثُ

ِه ِسْفَ نِّل ٌِلِاَظ ْمُهْ نِمَف ۗ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Faṭir: 32).61

Orang yang maksiat (dalam ayat) ini, yaitu yang kemaksiatannya selain syirik, dia tentu saja dzalim terhadap dirinya; karena dengan demikian dia telah membawa dirinya kepada bahaya.62

Maka umat ini tidak sama (dalam hal keimanan), dan paling tidak ada tiga tingkatan: pertama, orang yang zhalim atas dirinya, kedua, orang yang

59 Sayid Sabiq, “Al-Aqāid al-Islāmiyyah”, terj. Moh. Abdai Rathomy, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 1993), h. 15.

60 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 201.

61 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 438.

62 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 202.

tengah, dan ketiga, orang yang telah lebih dahulu (segera dan berlomba) berbuat segala kebaikan. Ini semua menunjukkan bahwa Iman itu berbeda-beda tingkatannya. 63

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī juga menambahkan mengenai rukun-rukun iman,

،ِر ِخ ْلْا ِمْوَ يْلاَو ،ِهِلُسَرَو ،ِهِلَتِكَو ،ِهِتَكِئ َلََمَو ِللاِب ُناَْي ْلْا َوُه :ُناَْيِْلْاَو ِوْلُحَو ،ِهِّرَشَو ِهِْيَْخ :ِرْدَقْلاَو

ِه

یَلاَعَ ت ِللا َنِم ،ِهِّرُمَو .

“Iman adalah: beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kita-bNya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan Qadar yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, (semuanya) adalah dari Allah swt.”64

Wajib beriman kepada semua ini, dan jika seseorang mengingkari sesuatu dari rukun-rukun tersebut, maka dia bukanlah seorang Mukmin; karena dia telah mengurangi salah satu dari rukun-rukun Iman.