• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data Penelitian

Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil karya Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī yaitu Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah dan buku karya Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, yaitu Penjelasan Matan Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti Teologi Islam, karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pengatar Teologi Islam:

Ilmu Kalam, Aḥmad Ḥanafī, Perkembangan Pemikiran Kalam dalam Islam.

Lalu penulis akan menggunakan sumber yang berkaitan dengan analisis yang ditulis oleh para sarjana dan cendikiawan yang menggeluti pemikiran tentang teologi. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, kamus, internet, koran, jurnal, dan lain-lain, yang relavan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan penulis dalam skripsi ini.

2. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik primer maupun skunder.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

3. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti translitasi yang digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

9 A. Riwayat Hidup

Nama asli beliau adalah Imām al-‘Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah bin ‘Abdu al-Mālik al-Azdī al-Ḥajrī al-Miṣrī Aṭ-Ṭaḥāwī1, nisbat ke Ṭaha, sebuah desa di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi Minya saat ini. Beliau bukan dari desa Ṭaḥa, akan tetapi dari desa yang dekat dengan Ṭaḥa bernama Ṭaḥṭuṭ, tetapi beliau tidak suka dipanggil dengan Ṭaḥṭuṭī, karena bisa disangka beliau menisbatkan diri kepada ḍuraṭ, bunyi kentut, maka beliau menisbatkan diri ke Ṭaḥa.

Beliau lahir pada tahun 239 H, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Yūnus, yang merupakan salah seorang murid beliau. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau tumbuh dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif dengan suasana ibadah dan amal shaleh yang mewarnai aktifitas dirumah tersebut. Ayahnya sendiri adalah ulama dan ahli syair lengkap dengan periwayatannya. Ibunya juga seorang yang berilmu dari kalangan mazhab Syāfi‘ī, bahkan termasuk murid-murid Imām Syāfi‘ī yang sangat aktif dalam menghadiri berbagai majelisnya. Sementara paman dari ibunya adalah al-Muzanī, murid dari Imām asy-Syāfi‘ī yang paling faqih dan aktif dalam menyebarkan madzhabnya. Lingkungan yang kondusif inilah yang membantunya untuk berkembang menuntut ilmu agama.

Beliau berasal dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Sebagian besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin

al-‘Aṣ. Menghafal al-Qur’an dari Syaikhnya, Abū Zakaria Yaḥya bin Muḥammad bin

‘Amrūs, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya al-Muzannī, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar pada ilmu Syāfi‘ī dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang

1 Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh (Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001), cet.

pertama, h. 467.

pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits, dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syāfi‘ī tahun 252 H.

Beliau juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzannī. Pernah bertamu dengan Yūnas bin Abdu al-‘A’lā (264 H), Baḥra bin Naṣrin (267 H), ‘Īsā bin Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn ‘Uyainah dari kalangan ahlu Ṭabaqat.

Dengan lingkungan keluarga yang bersinar terang dengan ilmu seperti itu, ditambah lagi dengan kenyataan beliau yang hidup pada masa keemasan kodifikasi hadits bahkan sezaman dengan Imām ahli hadits yang enam, yaitu: Imām al-Bukhārī, Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imām at-Tirmidzī, Imām an-Nasāī dan Imām Ibnu Mājah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muncul sebagai seorang ulama hebat yang di dalam dirinya terpadu antara kekuatan ilmu hadits dan kebersihan aqidah.2

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mulai beranjak mendaki ketinggian ilmu dari Masjid Amr bin al-‘Aṣ. Disana beliau menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Abū Zakariya Yaḥya bin Muḥammad bin ‘Amrūs. Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berguru kepada murid-murid Imām Syāfi‘ī dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabi’ ibn Sulaimān dan al-Muzanī yang tidak lain adalah paman dari ibunya, dan mendengar Mukhtasharnya yang beliau intisarikan dari ilmu Imām Syāfi‘ī, gurunya. Bahkan beliau juga menulis (meriwayatkan) hadits dari al-Muzanī, dan juga mendengar riwayat-riwayat yang diambilnya langsung dari Imām Syāfi‘ī, dan tentu saja sempat berguru dari ulama-ulama yang segenerasi dengan al-Muzanī.

Namun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muda waktu itu pernah merasa diremehkan oleh al-Muzanī dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imām Aḥmad bin Abū ‘Imran, tokoh besar mazhab Ḥanafī di Mesir pada masanya. Imām Aḥmad bin Abū ‘Imran merupakan murid dari Ibn Bisyr, Ibn Samā’ah dan tokoh-tokoh lain yang merupakan murid-murid Imām Abū Yusuf dan Imām Muḥammad Ibn Ḥasan al-Syaybanī. Dua tokoh terakhir langsung mendalami ilmu kepada Imām Abū Ḥanifah (w. 150 H.) . Adapun Imām Abū Ḥanifah belajar kepada Imām Ḥammad bin Abū Sulaimān (w. 120 H.) dari Imām Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 95 H .) dari Imām

2 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jakarta: Darul Haq, 2001), cet. I, h. vi.

al-Aswad Ibn Yazīd (w. 75 H.) dari ‘Umar Ibn al-Khattab ra. Pada umur 30 tahun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kemudian berpetualang ke wilayah Syam,3 di sana beliau memperdalam ilmunya, sejak dari kota Baitul Maqdis, Ghaza dan Asqalan. Lalu beliau mendalami fiqih di kota Damaskus di bawah asuhan gurunya al-Qadī Abū Ḥāzim al-Baṣri. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Ḥanafi yang dihormati di wilayah Mesir.4

Pada mulanya beliau mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī, akan tetapi beliau kemudian beralih mengikuti madzhab Imām Abū Ḥanīfah. Tentang beralihnya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kepada madzhab Ḥanafī, al-Ḥafiẓ aẓ-Ẓahabī menyebutkan sebagai berikut, Abū Sulaimān bin Zabr berkata, Aṭ-Ṭaḥāwī berkata kepada saya,

“Orang yang paling pertama aku tulis haditsnya ialah al-Muzanī, dan saya juga mengambil pandangan Imām Syāfi‘ī. Setelah beberapa tahun kemudian, datang Imām Aḥmad bin Abū Imran sebagai seorang hakim untuk wilayah Mesir, maka saya menyertainya, dan kemudian mengambil pandangannya.”. Dan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī meninggalkan madzhab yang telah ia geluti sebelumnya, yakni madzhab Syāfi‘ī ke madzhab Ḥanafī dalam bertafaqquh, disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :

1. Karena beliau menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab Imām Abū Ḥanīfah.

2. Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab Syāfi‘ī dan madzhab Ḥanafī.

3. Taṣnifāt (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah.

Seperti karangan al-Muzannī dengan kitabnya al-mukhtaṣar yang berisi bantahan-bantahan terhadap Abū Ḥanīfah dalam beberapa masalah.

4. Banyakanya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Aṣ tetangganya mengkondisikan beliau untuk memanfaatkannya dimana disana banyak munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

3 Syamsuddin al-Zhahabi, Tazkirah al-Huffaz (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1390 H), jilid 3, h. 809.

4 Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan (Ciputat:

Maktabah Darus-Sunnah, 2020), cet. pertama, halaman 2-3.

5. Banyak Syaikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abū Ḥanīfah, baik dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadil, seperti al-Qaḍī Bakar bin Qutaibah dan Ibn Abī ‘Imran serta Abū Khazīm.5

Akan tetapi peru diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan, karena hal ini banyak terjadi dikalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya tanpa mengingkari madzhab sebelumnya.

Bahkan pengikut Imām Syāfi‘ī yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang yang bermadzhab Mālikī, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya (gurunya) Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan dan hujjah yang lebih mendekati kebenaran.

B. Riwayat Intelektual

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengambil ilmu dari sederetan ulama-ulama besar di zamannya, dan itulah di antara yang menyebabkan beliau muncul sebagai salah seorang ulama besar.6 Berikut di antara nama-nama mereka:

1. Al-Imām al-‘Allāmah, Faqīh al-Millāḥ, ‘Alamū al-Zuhād, Ismā’il bin Yaḥya bin Ismā’il bin ‘Amr bin Muslīm al-Muzannī al-Miṣrī. Salah satu sahabat Imām Syāfi‘ī yang mendukung madzhabnya, wafat tahun 264 H. Karangannya antara lain Mukhtaṣār, Jamī’ Kabīr, Jamī’ aṣ-Ṣaghīr, Mantsūr, al-Masāil al-Mu’tābarah, Targhīb fīl ‘Ilmi, dan lain-lainnya. Ia adalah orang pertama yang dinukilkan haditnya oleh Aṭ-Ṭaḥāwī, dan kepadanya belajar di bawah madzhab Syāfi‘ī, menyimak dari beliau juga kitab Mukhtasharnya serta kumpulan hadits-hadits Syāfi‘ī.

2. Al-Imām al-‘Allāmah, Syaikhu al-Ḥanafiyah, Abū Ja’far Aḥmad bin Abī

‘Imran Musā bin ‘Īsā al-Baghdādī al-Faqīh al-Muḥaddits al-Ḥafiẓ, wafat tahun 280 H. Beliau disebut sebagai lautan ilmu, disifatkan sangat cerdas dan kuat

5 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001), https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul 22.16.

6 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, cet. I, h. vii.

hafalannya, banyak meriwayatkan hadits dengan hafalannya. Dan beliau adalah seorang yang paling berpengaruh atas Aṭ-Ṭaḥāwī dalam madzhab Abū Ḥanīfah. Adalah Aṭ-Ṭaḥāwī sangat membanggakan gurunya ini dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dari beliau.

3. Al-Faqīh al-‘Allāmah Qaḍī al-Qudlat Abū Khazim Abdu al-Ḥamid bin ‘Abdu al-‘Azīz as-Sakūnī al-Biṣrī kemudian al-Baghdādī al-Ḥanafī, Menjabat Qaḍī di Syam, Kufah dan Karkh, Baghdad. Dan dipuji selama menjalankan jabatannya.

Aṭ-Ṭaḥāwī belajar kepada beliau ketika menjadi tamu di Syam tahun 268 H.

Beliau menguasai madzhab Ahlul ‘Iraq hingga melampaui guru-gurunya.

Seorang yang tsiqah, patuh pada dien, dan wara’. Seorang yang ‘alim, paling piawai dalam beramal dan menulis, cendekia disertai watak pemberani, sangat dewasa dan cerdik, pandai membuat permisalan untuk memudahkan akal.

wafat tahun 292 H.

4. Al-Qaḍī al-Kabīr, al-‘Allāmah al-Muḥaddits Abū Bakrāh Bakkar bin Qutaibah al-Biṣrī, Qaḍī al-Qudlat di Mesir, wafat tahun 270 H. Seorang yang ‘alim, faqih, muhaddits, mempunyai kedudukan yang terhormat, dan agung, bila dalam kebenaran tidak takut celaan orang yang mencela, zuhud, shaleh dan istiqamah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bertemu dengan beliau ketika ia masih seorang pemuda, menyimak dari beliau, banyak pengaruhnya atas dirinya. Banyak mengambil riwayat dari beliau, dan banyak menimpa dari beliau ilmu Hadits serta tidak pernah absen dari majlisnya ketika mendiktekan hadits.

5. Al-Qaḍī al-‘Allāmah al-Muḥaddits ats-Tsabīt, Qaḍī al-Qudlat, Abū ‘Ubaid Alī bin al-Ḥusain bin Ḥarb ‘Īsā al-Baghdādī, salah seorang sahabat Imām Syafi’ī, wafat tahun 319 H. Sangat piawai dalam Ulumul Qur’an dan hadits, sangat pendai dalam masalah ikhtilaf dan ma’ani serta qiyas fashih, berakal, lemah lembut, suka menyatakan kebenaran.7

Berguru pada ulama-ulama hebat, kemudian muncul sebagai seorang ulama yang hebat dan kemudian juga melahirkan murid-murid hebat. Inilah gambaran ulama-ulama Ahlus Sunnah, dari zaman ke zaman lainnya, yang di antara mereka

7 Syu’aib Al-Arnauth dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Syarh Aqidah Thahawiyah (Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi, 2001), h. 4-9.

ialah Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Di antara murid-murid Imām Aṭ-Ṭaḥāwī yang kemudian muncul sebagai orang-orang yang terpandang ialah sebagai berikut:

1. Al-Ḥafiẓ Abū Faraj Aḥmad bin Qāsim bin ‘Ubaidillah bin Maḥdī al-Baghdādī. Atau yang terkenal dengan nama Ibn Khasyab. Wafat tahun 364 H.

2. Al-Imām Faqīh Qaḍī Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Manṣūr al-Anṣarī ad-Damaghānī.

3. Ismā‘īl bin Aḥmad bin Muḥammad bin Abdu al-‘Azīz, atau yang terkenal dengan nama Abū Sa’īd al-Jurjānī al-Khalāl al-Warāq. Wafat tahun 364 H.

4. Al-Muhaddits al-Ḥafiẓ al-Jawwāl al-Muṣannif Abū Abdullāh al-Ḥusain bin Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abdurrahmān bin Asad bin Sammakh bin Syammākhī al-Hirawī aṣ-Ṣaffar, pengarang al-Mustakhraj Al-Ṣahih Muslim.

Wafat tahun 371 H.

5. Al-Muhaddits al-Imām Abū ‘Alī al-Ḥusain bin Ibrāhīm bin Jābir bin Abī Az-zamzām ad-Dimasyqī al-Faraiḍī asy-Syahīd. Wafat tahun 368 H.

6. Al-Imām al-Ḥafiẓ ats-Tsiqah ar-Rahāl al-Jawwāl Muhadditsul Islām ‘Alimal-Mua’ammarīn Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad bin ‘Ayūb bin Muṭair a-Lakhmī Asy-Syammī Aṭ-Ṭabrānī, pengarang tiga mu’jam; al-Kabīr, al-Ausath, Aṣ-Ṣaghīr. Wafat tahun 360 H.

7. Al-Imām al-Hafiẓ an-Naqīd al-Jawal Abū Aḥmad Abūḍlah bin ‘Abdī bin Abdullah bin Muḥammad bin al-Mubārak bin al-Qaṭṭān al-Jurjānī, pengarang kitab al-Kāmil. Wafat tahun 365 H.

8. Al-Imām al-Hafiẓ Al-Mutqīn Abū Sa’īd Abdurraḥman bin Aḥmad bin Yūnus bin Abdil ‘A’lā aṣ-Ṣadafī al-Miṣrī, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Miṣra.

Wafat tahun 347 H.

9. Al-Imām al-Hafiẓ Ast Tsiqāh al-Jawwāl Abū Bakar Muḥammad bin Ja’far bin al-Ḥusain al-Baghdādī al-Warrāq. Wafat tahun 370 H.

10. Asy-Syaikh al-‘Ālim al-Ḥafiẓ Abū Sulaimān Muḥammad bin al-Qaḍī Abdullah bin Aḥmad bin Rābi’ah bin Zabrīn ar-Raba’ī. Wafat tahun 379 H.

11. Asy-Syaikh al-Ḥafiẓ al-Mujawwīd Muhaddits ‘Iraq Abūl Ḥusein Muḥammad bin al-Muẓaffār bin Musā bin ‘Īsā bin Muḥammad al- Baghdādī. Wafat tahun 379 H.

12. Al-Muhaddits ar-Raḥḥal Abū al-Qāsim Maslāmah bin al-Qāsim bin Ibrāhīm al-Andalusī al-Qurṭubī. Wafat tahun 353 H.

13. Muhaddits Aṣbahān al-Imām ar- Raḥḥal al-Ḥafiẓ aṣ-Ṣādiq Abū Bakar Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‘Alī bin ‘Āṣim bin Zādzan al-Aṣbahān, yang termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam. Wafat tahun 381 H.

14. ‘Alī bin Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah Abū al-Ḥasan Aṭ-Ṭaḥāwī, anak Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Wafat tahun 381 H.

15. Abū Utsmān Aḥmad bin Ibrāhīm bin Ḥammad bin Zaid al-Azdī, wafat tahun 329 H.8

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang berilmu yang memiliki keutamaan.

Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Beliau menjadi wakil dari al-Qaḍī Abū Abdillah Muḥammad bin ‘Abdah, seorang Qaḍī di Mesir.9 Imām Aṭ-Ṭaḥāwī seorang hafiẓ (penjaga dan penghafal) kitab Allah, yang mengerti hukum-hukumnya dan maknanya, dan terhadap atsar dari sahabat dan tabi’in terhadap tafsir ayat-ayatnya, aṣbābūn nuzulnya. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī diberi gelar al-Hafiẓ yang mengindikasikan tingkat perbendaharaan dan kredibilitasnya dalam hadits dan ilmu hadits, sehingga al-Ẓahabī misalnya melihat sebagai ulama hadits yang pandangannya dapat dijadikan acuan dalam al-jarḥ wa al-ta’dīl.10 Mempunyai wawasan yang menakjubkan dengan ilmu qira’ah.

Penghafal hadits, luas jangkauan pengenalannya terhadap ṭuruq (jalan-jalan) hadits, matan, illah dan aḥwalnya, rijal-rijalnya, banyak menelaah madzhab para sahabat dan tabi’in serta para Imām yang empat yang diikuti dan para Imām mujtahid yang lain. Seperti Ibrāhīm an-Nakha’ī, Utsmān al-Baṭṭī, Auza’ī, ats-Tsaurī, Laits bin Sa’d, Ibn Syubrumah, Ibn Abī Lailā dan al-Ḥasan bin Ḥay. Sangat piawai dalam ilmu Syurut dan Watsaiq. Seorang yang sangat jeli dalam membahas suatu masalah.

Tidak bertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada

8 Syu’aib Al-Arnauth, Syarh Aqidah Thahawiyah, h. 10-12.

9 Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar ‘Aqidah Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani (Solo: Pustaka At-Tibyan, 1999) cet. Ke-1, h. 25.

10 Husein Zhahabi. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi Jarh wa Ta’dil (Lahore: al-Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980), h. 195-196.

ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah). Sangat memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi kembali setelah selesai majelis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Sifat inilah yang mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya.

Dan beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam pergaulan, bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin dengan penuh tawadhu’, dekat dengan para qaḍī dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan menukil riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat dengan beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap keluarga, jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai puncaknya ketika Abū ‘Ubaid bin Ḥarbawaih, salah seorang sahabat Imām Syāfi‘ī mengakui keadilannya dan menerima syafa’atnya.

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah termasuk diantara sekian orang yang mempunyai banyak kitab karangan dan mahir dalam menyusun taṣnīfāt. Dikarenakan beberapa faktor yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yakni cepat hafal, mempunyai wawasan pengetahuan yang luas, dan mempunyai kesiapan hyang cukup, belau telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir, hadits, fiqih dan tarikh.11 Berkah hidup beliau terwujud nyata dalam bentuk karya-karya kitabnya dimana dapat diambil manfaatnya oleh generasi ke generasi.

Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih daari tiga puluh kitab. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:

1. Syarḥ Ma’ānī al-Atsār, ini adalah karya tulis beliau yang paling pertama.

2. Syarḥ Musykil al-Atsār, sebuah karya ilmiah monumental yang penuh dengan makna-makna yang bagus dan sarat dengan faidah.

11 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001), https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul 22.47 .

3. Mukhtaṣar Aṭ-Ṭaḥāwī, dalam fiqih Madzhab Ḥanafī, yang tampaknya mirip dengan karakter tulis Mukhtaṣar al-Muzanī dalam Madzhab asy-Syāfi‘ī.

4. Sunan asy-Syāfi‘ī, dalam kitab ini Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengumpulkan riwayat-riwayat yang didengarnya langsung dari paman dan gurunya al-Muzanī, dari Imām asy-Syāfi‘ī.

5. Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, adalah dalah satu kitab yang memiliki manfaat paling urgent di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj as-Salaf aṣ-Ṣāliḥ di zaman hidup penulisnya, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kitab ini juga membuktikan bahwa semua ulama Ahlus Sunnah memiliki aqidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam Madzhab fiqih.12 Banyak kelebihan kitab ini sebagai khazanah warisan ulama Salaf Shalih.

Pertama, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya-karya Imām Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, tetapi ajaran aqidah mereka tidak jauh berbeda, padahal tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka pernah bertemu. Secara sanad, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘alī) dari pada Abū Ḥasan al-Asy’arī. Ini dikarenakan beliau langsung dapat dari al-Muzanī, al-Murādī dan lainnya. Adapun Abū al-Ḥasan al-Asy’arī mendapatkannya dari generasi murid-murid al-Muzanī, yaitu Zakariya al-Sajī.

Kedua, secara manhaj kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan aqidah Abū Ḥasan al- Asy’arī. Dalam hal ini, Imām al-Subkī menilai aqidah dua Imām tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah merupakan aqidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri madzhab Ḥanafiyah, yaitu Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H) dan kedua muridnya Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-Syaybanī dan Abū Yūsuf al-Ansarī. Ini yang membedakannya dengan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī yang diwariskan oleh Imām Mālik, al-Syāfi’ī dan lebih khusus Aḥmad Ibn Ḥanbal.

12 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,. h. ix.

Keempat, sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran

Keempat, sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran