• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TEOLOGI DALAM PANDANGAN IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ: TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar NIM: 11140331000011

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Disusun oleh:

Khairul Anwar NIM: 11140331000011

Di Bawah Bimbingan Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.

NIP. 196709181997031001

FAKULTAS USHULUDDIN

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H/2021 M

(3)

TINJAUAN KITAB AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal, 15 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Program Studi Aqidah dan Falsafah Islam

Jakarta, 15 Juli 2021

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Dra. Tien Rohmatin, MA NIP. 19680803 199403 2 002

Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Banun Binaningrum, M. Pd NIP. 19680618 199903 2 001 Anggota

Penguji I,

Dr. Kholid Al Walid, MA NIP. 197009202005011004

Penguji II,

Ḥanafī, S.Ag, MA NIP. 196912161996031002

Pembimbing,

Dr. Edwin Syarip, M.Ag.

NIP. 19670918 199703 1 001

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

Nama : Khairul Anwar NIM : 11140331000011

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 15 Juli 2021

Khairul Anwar

(5)

i AL-AQĪDAH AṬ-ṬAḤĀWIYYAH

Kata Kunci: Tuhan, Manusia, Hari Akhir, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Teologi adalah salah satu hal yang paling penting dalam ranah kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek teologi, yang berorientasi untuk menganalisa secara mendalam terhadap pemikiran teologi Islam dalam pandangan Imām aṭ-Ṭaḥāwī yang berkaitan tentang Tuhan, manusia dan hari akhirat.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset pustaka (library research) yaitu proses pengidentifikasian secara sistematis penemuan- penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam Kitab Al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyyah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī tentang teologi Islam bercorak kepada teologi tradisional dan fundamental. Pemikiran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat digolongkan kepada Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah dalam kelompok Salafiah dan Asy‘arīyah karena beberapa pemikiran teologinya sesuai dengan kedua paham tersebut, selain itu, ia cenderung tekstualis dan literalis.

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berpendapat bahwa meyakini esensi dan eksistensi Allah harus sepenuhnya tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah tidak akan fana dan tidak akan punah. Dia disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi.

Mengenai perilaku manusia, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menyatakan bahwa perbuatan mereka berdasarkan kehendak dan kemauan mereka, akan tetapi bersama itu amal perbuatan tersebut adalah makhluk ciptaan Allah. Maka Allah swt adalah sebagai yang mencipta dan menetapkan takdir, sedangkan manusia memiliki kehendak dan kemauan, serta memiliki perbuatan.

Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai aspek hari akhir, berpendapat bahwa iman kepada hari kebangkitan termasuk perkara yang benar dan telah ditetapkan oleh al-Qur’an, akal, dan fitrah. Allah telah mengabarkan melalui kitab-Nya, menegakkan bukti-bukti atasnya dan membantah orang-orang yang mengingkarinya. Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī surga dan neraka telah diciptakan dan telah ada sekarang.

(6)

ii

Alḥamdulillāh, puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa kendala yang berarti. Ṣhalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW Beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Penyusunan skripsi ini adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I) pada Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan baik secara materiil dan immateriil. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A sebagai Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dra. Tien Rohmatin, MA. Selaku Ketua Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam, dan Dra. Banun Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Aqidah Dan Filsafat Islam, yang telah sangat banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studinya. Mohon beribu maaf karena penulis telah banyak merepotkan juga menyita banyak waktu dan perhatiannya.

4. Dr. Edwin Syarip, M.Ag., selaku pembimbing skripsi penulis, terimakasih atas semua kritik dan saran yang membangun untuk penulis.

5. Para Guru Besar yang mengajar di tingkat Strata Satu (S1) dan para dosen Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan pelajaran-pelajaran terbaik selama penulis menjalankan studi. Terima kasih pula kepada seluruh Staf dan Karyawan Fakultas Ushuluddin, segenap Staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memudahkan penulis dalam mencari referensi terbaik semasa perkuliahan hingga proses penyeleseian skripsi ini.

(7)

6. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Moh. Raja’ dan Ibunda Sitti Aminah yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya selama ini, serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat selesai.

7. Seluruh teman-teman Aqidah dan Filsafat Islam angkatan 2014.

8. Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu penyusunan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis memanjatkan doa semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir, amin. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya.

Jakarta, 15 Juli 2021

Khairul Anwar

(8)

iv

Arab Indonesia Inggris Arab Indonesia Inggris

ا A a ط ṭ ṭ

ب B b ظ ẓ ẓ

ت t t ع ‘ ‘

ث ts th غ gh gh

ج J j ف f f

ح ḥ ḥ ق q q

خ kh kh ك k k

د D d ل l l

ذ Dz dh م m m

ر R r ن n n

ز Z z و w w

س S s ه h h

ش sy sh ء ’ ’

ص ṣ ṣ ي y y

ض ḍ ḍ ة h h

Vocal Panjang

Arab Indonesia Inggris

آ ā ā

ىإ ī ī

وأ ū ū

(9)

v

KATA PENGANTAR ... ii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian... 7

BAB II BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ ... 9

A. Riwayat Hidup ... 9

B. Riwayat Intelektual ... 12

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ... 16

D. Peran Dan Pengaruh ... 18

BAB III TEOLOGI ISLAM ... 20

A. Definisi Teologi ... 20

B. Sejarah Teologi Islam ... 24

C. Aliran dalam Teologi Islam ... 29

1. Kelompok Syi’ah ... 29

2. Kelompok Mu’tazilah ... 31

3. Kelompok Asy’ariyah ... 33

4. Kelompok Maturidiah ... 34

D. Kajian Teologi Islam ... 35

BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ ... 39

A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ... 39

1. Aspek Ketuhanan... 39

2. Aspek Kemanusiaan ... 49

3. Aspek Hari Akhir ... 60

(10)

B. Corak Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī ... 68

BAB V PENUTUP ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(11)

1 A. Latar Belakang

Teologi adalah ilmu yang membahas tentang keEsaan Allah, asma (nama- nama), af’āl (perbuatan-perbuatan) Allah yang wajib, mustahil, jaiz, dan sifat wajib, mustahil, jaiz bagi Rasulnya. Ia merupakan ilmu yang membahas tentang segala aspek yang berkaitan dengan ketuhanan atau juga disebut ilmu ketuhanan.1 Kajian teologi dalam ranah Islam memiliki nama terkenal lainnya seperti ilmu kalam dan ilmu tauhid. Teologi pada dasarnya mencakup di dalamnya ilmu tentang Tuhan (ma’rifat al-mabda), ilmu tentang utusan Allah (ma’rifat al-wāsiṭah), dan ilmu tentang hari akhirat (marifat al-ma’ād).2

Seperti yang disebutkan di atas, mengenai teologi kita tidak bisa melepaskan dari disiplin keilmuan tradisional Islam yaitu ilmu kalam. Ilmu kalam merupakan salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah tumbuh menjadi bagian dari tradisi kajian tentang agama Islam. Tiga lainnya adalah disiplin-disiplin keilmuan fiqh, tasawuf dan falsafah.3 Ilmu kalam mengarahkan pembahasannya kepada segi- segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya.

Sebagai unsur dalam studi klasik pemikiran keIslaman. Ilmu Kalam menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan kaum muslim. Ini terbukti dari jenis-jenis penyebutan lain ilmu itu, yaitu sebutan sebagai ilmu Aqā‘id, ilmu Tauḥid, ilmu Uṣūl al-Dīn.4

Sesuai dengan makna harfiahnya, teologi adalah ilmu tentang ketuhanan (“Theos” berarti Tuhan dan “logos” berarti ilmu), yaitu berbicara tentang Tuhan dengan segala kemahakuasaan-Nya dan segala sifat-sifatnya sebagai zat yang Maha Tinggi dan seterusnya. Oleh karena itu, sebagaimana diketahui bahwa teologi

1 Peter Connolly. Approaches to The Study of Religion terj. Imām Khoiri. Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta: LKIS, 2009), h. 316.

2 Syahrin Harahap. Teologi Kerukunan (Jakarta: Prenada, 2011), h. 15.

3 Term falsafah (filsafat) merupakan suatu istilah yang masuk ke dalam bahasa Arab melalui usaha penerjemahan teks Yunani yang dilakukan pada abad ke-2 H/ke-8 M dan ke-3 H/ke-9 M.

Sayyed Hussein Nasr, Olover Leaman, Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (Bandung: Mizan, Buku Pertama, 2003), h. 29, dan Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, h. 3461.

4 Nurcholish Madjid. Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Yayasan Wakal Paramadina, 1992), h. 201.

(12)

merupakan unsur yang penting dan dasar-dasar atau pondasi yang membentuk

“bangunan” keberagamaan, karena tanpa keyakinan dalam berteologi yang kuat, maka suatu agama dianggap tidak akan pernah berdiri kokoh. Sebab teologi merupakan ajaran-ajaran dasar dari sesuatu agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang berdasarkan pada landasan kuat, yang tidak mudah diombang- ambing oleh peredaran zaman.5 Pembicaraan teologi selalu tersentral pada diri Tuhan sebagai pusat pembahasan dengan segala sifat-sifatnya.6

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga sebagai sejarah teologi.7

Kemunculan istilah teologi dalam Islam, pada awalnya terkait dalam ranah politik dengan maksud perluasan ekspansi daerah kekuasaan Islam pada awal-awal perkembangan Islam. Peristiwa yang diawali oleh pertentangan politik menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsmān bin ‘Affān (574-656 M) yang berujung pada penolakan Mu’āwīyah bin Abū Sufyān (602-680 M) atas kekhalifahan ‘Alī bin Abī Ṭālib (599-661 M). Pertentangan antara Mu’āwīyah bin Abū Sufyān dan ‘Alī bin Abī Ṭālib berakhir pada peristiwa perang Ṣiffin yang menghasilkan keputusan taḥkīm (arbitrase).8

Akibat adanya taḥkīm tersebut, muncullah aliran teologi yang pertama dalam sejarah Islam, yaitu Khawarij. Kelompok Khawarij merupakan kelompok yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib menganggap bahwa prilaku taḥkīm tidak terdapat di dalam al-Qur’an. Peristiwa ini menyebabkan permasalahan kalam untuk

5 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:

Universitas Indonesia Press, 1972), h. ix

6 Chumadi Syarif Romas. Wacana Teologi Islam Kontemporer (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), cet 1, h. 42.

7 Rumadi. Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Bekasi: PT Gugus Press, 2002), cet ke-1, h. 23.

8 Harun Nasution. Teologi Islam, h. 3.

(13)

pertama kali tentang pelaku dosa besar yang dipandang sebagai kafir dan keluar dari Islam. Selain pasukan yang keluar dari barisan ‘Alī bin Abī Ṭālib, terdapat pasukan yang mendukung ‘Alī yang dikenal sebagai kelompok Syi’ah.9

Lawan dari aliran Khawarij, muncullah aliran Murjiah yang tidak ingin terlibat dalam masalah politik dan tidak mau terlibat dalam persoalan teologi.10 Kemudian, pada fase-fase berikutnya seiring berkembangnya Islam, pemahaman tentang ketuhanan berkembang menjadi beberapa aliran yakni Mu’tazilah, Qadariah, Jabariah, Salaf, Asy’ariah dan Maturidiah.11

Harun Nasution menyatakan bahwa corak teologi Islam ada tiga yakni teologi yang bersifat liberal, ada yang bersifat tradisional dan ada pula yang mempunyai sifat antara liberal dan tradisional. Hal ini mungkin ada hikmahnya.

Bagi orang yang bersifat tradisional mungkin lebih sesuai dengan jiwanya teologi tradisional, sedangkan orang yang bersifat liberal dalam fahamnya lebih dapat menerima ajaran-ajaran teologi liberal. Dalam Islam dikenal berbagai aliran teologi seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariah, Jabariah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah, Bazdawiyah, Syiah dan lain-lain. Diantara sekian banyak aliran teologi ada yang masih eksis dalam kehidupan anak manusia dan ada pula yang sudah hilang dan tinggal nama dalam sejarah.12

Teologi Khawarij, Murjiah, Jabariah, Asyariah, dan Bazdawiyah dapat dikategorikan sebagai teologi tradisional karena berpegang pada tradisi-tradisi lama dan kurang memberikan ruang gerak dan penghargaan terhadap potensi akal, ketidakbebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir yang diikat banyak dogma, ketidakpercayaan terhadap sunnatullāh atau kausalitas, terikat kepada makna harfiah dalam memberi interpretasi ayat-ayat al-Qur’an dan hadits serta statis dalam bersikap dan berpikir yang membawa manusia kepada sikap fatalistis.13

9 W. Montgomery Watt. Islamic Philosophy and Theology, terj. Umar Basalim. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.

10 Nasution, Teologi Islam, h. 22-25.

11 Nasution, Teologi Islam, h. 42-43.

12 Nasution, Teologi Islam, h. 43.

13 Nasution, Teologi Islam, h. 44.

(14)

Qadariah dan Mu’tazilah dapat dikategorikan sebagai aliran teologi Islam bercorak liberal karena sangat tinggi memberikan penghargaan terhadap potensi akal, kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan, kebebasan berpikir hanya dibatasi ajaran-ajaran dasar dalam al-Qur’an dan hadis yang sedikit sekali jumlahnya, percaya kepada sunnatullāh atau kausalitas, mengambil arti metamorfosis dari teks wahyu dan dinamis dalam bersikap dan berpikir. Sedangkan Maturidiah dan Syiah dapat dikategorikan sebagai teologi Islam bercorak integral karena menggAbūngkan sifatnya mengambil jalan tengah, yaitu mengintegrasikan teologi tradisional dan rasional.14

Teologi Islam yang mengacu pada ajaran ilmu tauhid menjadi suatu pembahasan menarik yang banyak dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan para mutakallīmūn terhadap berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang dapat memperkuat akidah tersebut dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah. Keyakinan yang benar terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat penting.15Oleh karena itu, setiap Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi (tauhid atau akidah) sebagai dasar untuk beriman dan berhubungan dengan Allah.

Selain itu, pemahaman teologi yang benar, akan mempengaruhi hubungan sesama manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan persoalan ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Imām Aṭ- Ṭaḥāwī merupakan seorang ulama yang cerdas dan sangat jeli dalam membahas suatu masalah. Beliau sangat memperhatikan apa yang dipelajari dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi kembali setelah selesai majlis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Ia tidak bertaklid pada seorang pun, tidak dalam masalah uṣūl (pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj

14 Nasution, Teologi Islam, h. 45.

15 Muhammad Nazir Karim. Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

(15)

ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur yaitu al-Aqīdah Aṭ- Ṭaḥāwiyah.

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al- Muzannī, kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’ashub pada salah seorang Imām pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imām menyamai pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.

Dalam masalah teologi, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dekat dengan Ḥanafīah atau Maturidiyah. Bahkan dalam mukaddimah Kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah beliau menerangkan menulis kitab tersebut karena terinspirasi oleh kitab Fiqh al-Akbar karya Imām An-Nu’mān Abū Ḥanīfah. Seperti telah kita ketahui bersama bahwa Ḥanafīah dekat dengan Maturidiyah, dan Syāfi‘īyah dekat dengan Asy’ariyah, mazhab teologi yang dibangun oleh Imām Abū Ḥasan al-Asy’arī. Baik Asy’ariah maupun Maturidiyah, mendapatkan kehormatan ijma ulama sebagai Ahlu as- Sunnah wa al-Jamaah atau yang kita kenal sebagai Mazhab Sunni.16

Oleh karena itu, skripsi ini menjadi penting untuk dibahas dalam mengetahui teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Sebab kajian teologi ini, dibahas secara komprehensif dan berdasarkan analisis dari hasil ijtihad sendiri.

Sehingga dalam penulisan skripsi ini, mengetahui teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjadi sangat penting untuk dijelaskan secara mendalam.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa teologi merupakan bagian dari hal yang terpenting dalam kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, masalah yang akan dikaji dalam penelitian

16 Achmad Fathurrohman. Imām Thahawi: Muhaddis dan Teolog Islam Awal (Juli 15, 2019), https://afkaruna.id/Imām-thahawi-muhaddis-dan-teolog-islam-awal. Diakses pada 03 Oktober 2020, pukul 22.16.

(16)

ini dipusatkan pada aspek-aspek teologis, yang bertujuan untuk menganalisa secara mendalam terhadap pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

Dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwiyah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī membahas mengenai teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah secara umum yang memiliki manfaat paling urgen di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj as-Salaf aṣ-Ṣalih yang membuktikan bahwa semua ulama Ahlu al-Sunnah memiliki akidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam madzhab fiqih.

Ajaran Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab tersebut yang sangat perlu penulis bahas adalah tentang teologi. Karena teologi dalam pandangan Imām Aṭ- Ṭaḥāwī dikaji berdasarkan hasil ijtihad sendiri yang dikhususkan pada aqidah Ahlu al-Sunnah. Oleh karena itu, pada skripsi ini, batasan masalah yang penulis ambil hanya terpusat pada ajaran teologi dalam pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī:

Tinjauan Kitab Aqīdah aṭ-Ṭaḥāwiyah.

2. Rumusan Masalah

Dengan mengetahui batasan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, penulis menetapkan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu:

Bagaimana teologi perspektif Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam kitab Aqīdah aṭ- Ṭaḥāwiyah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari pemaparan tentang rumusan masalah di atas, tujuan penelitian dapat di tetapkan sebagai berikut:

1. Tujuan ilmiah, yaitu untuk mengetahui dan menambah wawasan mengenai ajaran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dalam teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

2. Tujuan akademik, yaitu untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana program Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas

(17)

Ushuluddin, jurusan Aqidah dan Filsafat Islam dengan gelar Sarjana Agama (S.Ag)

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan fokus permasalahan dan tujuan yang disebutkan di atas, penelitian ini dapat bermanfaat:

1. Untuk masyarakat

Mengetahui dan memahami pandangan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengenai teologi Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.

2. Untuk akademisi

Sebagai tambahan untuk sumber bacaan tentang teologi Islam dan sebagai sumber rujukan mengenai kajian teologi Islam.

E. Tinjauan Pustaka

Penulis telah melakukan tinjauan pustaka terhadap karya-karya ilmiah tentang skripsi ini, tetapi penulis tidak menemukan kajian yang secara khusus membahas tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī baik yang berupa skripsi, tesis, desertasi, buku, maupun jurnal. Sehingga, jika memang demikian, penelitian yang dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang mengangkat tema ini.

F. Metode Penelitian

1. Sumber Data Penelitian

Sumber data primer dari penelitian ini adalah mengambil dari buku hasil karya Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī yaitu Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah dan buku karya Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, yaitu Penjelasan Matan Akidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Sedangkan data sekunder, berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku seperti Teologi Islam, karya Prof. Dr. Harun Nasution. Pengatar Teologi Islam:

Ilmu Kalam, Aḥmad Ḥanafī, Perkembangan Pemikiran Kalam dalam Islam.

Lalu penulis akan menggunakan sumber yang berkaitan dengan analisis yang ditulis oleh para sarjana dan cendikiawan yang menggeluti pemikiran tentang teologi. Data yang lain ialah seperti ensiklopedia, kamus, internet, koran, jurnal, dan lain-lain, yang relavan dengan kajian skripsi ini sebagai pendukung terhadap rujukan penulis dalam skripsi ini.

(18)

2. Teknik Penelitian

Penulis menggunakan teknik library research (studi kepustakaan) di dalam penelitian ini. Teknik ini dilakukan dengan mengumpulkan data-data terkait permasalahan yang akan dibahas di dalam skripsi ini melalui berbagai literatur, baik primer maupun skunder.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan menceritakan secara mendalam tentang teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī.

3. Teknik Penulisan

Dalam teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Center fot Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun penyusunan ini mengikuti translitasi yang digunakan oleh jurnal “Ilmu Ushuluddin” HIPIUS (Himpunan Peminat Ilmu-Ilmu Ushuluddin).

(19)

9 A. Riwayat Hidup

Nama asli beliau adalah Imām al-‘Allāmah al-Ḥafiẓ Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah bin ‘Abdu al-Mālik al-Azdī al-Ḥajrī al-Miṣrī Aṭ-Ṭaḥāwī1, nisbat ke Ṭaha, sebuah desa di Ṣa’id Mesir yang merupakan bagian dari provinsi Minya saat ini. Beliau bukan dari desa Ṭaḥa, akan tetapi dari desa yang dekat dengan Ṭaḥa bernama Ṭaḥṭuṭ, tetapi beliau tidak suka dipanggil dengan Ṭaḥṭuṭī, karena bisa disangka beliau menisbatkan diri kepada ḍuraṭ, bunyi kentut, maka beliau menisbatkan diri ke Ṭaḥa.

Beliau lahir pada tahun 239 H, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn Yūnus, yang merupakan salah seorang murid beliau. Sumber lain ada yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 237 H. Sejak kecil beliau tumbuh dikeluarga yang dikenal dengan ilmu dan keutamaan, sangat kondusif dengan suasana ibadah dan amal shaleh yang mewarnai aktifitas dirumah tersebut. Ayahnya sendiri adalah ulama dan ahli syair lengkap dengan periwayatannya. Ibunya juga seorang yang berilmu dari kalangan mazhab Syāfi‘ī, bahkan termasuk murid-murid Imām Syāfi‘ī yang sangat aktif dalam menghadiri berbagai majelisnya. Sementara paman dari ibunya adalah al-Muzanī, murid dari Imām asy-Syāfi‘ī yang paling faqih dan aktif dalam menyebarkan madzhabnya. Lingkungan yang kondusif inilah yang membantunya untuk berkembang menuntut ilmu agama.

Beliau berasal dari rumah yang berlingkungan ilmiah dan unggul. Sebagian besar menduga bahwa dasar kecendekiawanannya adalah di rumah, yang kemudian lebih didukung dengan adanya halaqah ilmu yang didirikan di masjid Amr bin al-

‘Aṣ. Menghafal al-Qur’an dari Syaikhnya, Abū Zakaria Yaḥya bin Muḥammad bin

‘Amrūs, yang diberi predikat: “Tidak ada yang keluar darinya kecuali telah hafal al-Qur’an.” Kemudian bertafaquh (belajar mendalami agama) pada pamannya al- Muzannī, dan sami’a (mendengar) darinya kitab Mukhtasharnya yang bersandar pada ilmu Syāfi‘ī dan makna-makna perkataannya. Dan beliau adalah orang

1 Ali Ridha & Ahmad Thaurân, Mu’jam al-Târîkh (Kayseri: Dar el-‘Aqabah, 2001), cet.

pertama, h. 467.

(20)

pertama yang belajar tentang itu. Ia juga menukil dari pamannya itu hadits-hadits, dan mendengar darinya periwayatan-periwayatannya dari Syāfi‘ī tahun 252 H.

Beliau juga mengalami masa kebesaran pamannya, al-Muzannī. Pernah bertamu dengan Yūnas bin Abdu al-‘A’lā (264 H), Baḥra bin Naṣrin (267 H), ‘Īsā bin Matsrud (261 H) dan lain-lainnya. Semuanya adalah shahabat Ibn ‘Uyainah dari kalangan ahlu Ṭabaqat.

Dengan lingkungan keluarga yang bersinar terang dengan ilmu seperti itu, ditambah lagi dengan kenyataan beliau yang hidup pada masa keemasan kodifikasi hadits bahkan sezaman dengan Imām ahli hadits yang enam, yaitu: Imām al- Bukhārī, Imām Muslim, Imām Abū Dāwud, Imām at-Tirmidzī, Imām an-Nasāī dan Imām Ibnu Mājah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muncul sebagai seorang ulama hebat yang di dalam dirinya terpadu antara kekuatan ilmu hadits dan kebersihan aqidah.2

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mulai beranjak mendaki ketinggian ilmu dari Masjid Amr bin al-‘Aṣ. Disana beliau menghafal al-Qur’an dibawah bimbingan Syaikh Abū Zakariya Yaḥya bin Muḥammad bin ‘Amrūs. Kemudian Imām Aṭ-Ṭaḥāwī berguru kepada murid-murid Imām Syāfi‘ī dalam ilmu fiqih, yaitu al-Rabi’ ibn Sulaimān dan al-Muzanī yang tidak lain adalah paman dari ibunya, dan mendengar Mukhtasharnya yang beliau intisarikan dari ilmu Imām Syāfi‘ī, gurunya. Bahkan beliau juga menulis (meriwayatkan) hadits dari al-Muzanī, dan juga mendengar riwayat-riwayat yang diambilnya langsung dari Imām Syāfi‘ī, dan tentu saja sempat berguru dari ulama-ulama yang segenerasi dengan al-Muzanī.

Namun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī muda waktu itu pernah merasa diremehkan oleh al-Muzanī dalam bidang fiqih, sehingga ia pun berguru kepada Imām Aḥmad bin Abū ‘Imran, tokoh besar mazhab Ḥanafī di Mesir pada masanya. Imām Aḥmad bin Abū ‘Imran merupakan murid dari Ibn Bisyr, Ibn Samā’ah dan tokoh-tokoh lain yang merupakan murid-murid Imām Abū Yusuf dan Imām Muḥammad Ibn Ḥasan al-Syaybanī. Dua tokoh terakhir langsung mendalami ilmu kepada Imām Abū Ḥanifah (w. 150 H.) . Adapun Imām Abū Ḥanifah belajar kepada Imām Ḥammad bin Abū Sulaimān (w. 120 H.) dari Imām Ibrāhīm al-Nakha’ī (w. 95 H .) dari Imām

2 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Jakarta: Darul Haq, 2001), cet. I, h. vi.

(21)

al-Aswad Ibn Yazīd (w. 75 H.) dari ‘Umar Ibn al-Khattab ra. Pada umur 30 tahun Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kemudian berpetualang ke wilayah Syam,3 di sana beliau memperdalam ilmunya, sejak dari kota Baitul Maqdis, Ghaza dan Asqalan. Lalu beliau mendalami fiqih di kota Damaskus di bawah asuhan gurunya al-Qadī Abū Ḥāzim al-Baṣri. Dan pada masa-masa itulah beliau menjadi pakar dalam fiqih mazhab Ḥanafi yang dihormati di wilayah Mesir.4

Pada mulanya beliau mengikuti madzhab Imām Syāfi‘ī, akan tetapi beliau kemudian beralih mengikuti madzhab Imām Abū Ḥanīfah. Tentang beralihnya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī kepada madzhab Ḥanafī, al-Ḥafiẓ aẓ-Ẓahabī menyebutkan sebagai berikut, Abū Sulaimān bin Zabr berkata, Aṭ-Ṭaḥāwī berkata kepada saya,

“Orang yang paling pertama aku tulis haditsnya ialah al-Muzanī, dan saya juga mengambil pandangan Imām Syāfi‘ī. Setelah beberapa tahun kemudian, datang Imām Aḥmad bin Abū Imran sebagai seorang hakim untuk wilayah Mesir, maka saya menyertainya, dan kemudian mengambil pandangannya.”. Dan ada beberapa faktor lain yang menyebabkan Imām Aṭ-Ṭaḥāwī meninggalkan madzhab yang telah ia geluti sebelumnya, yakni madzhab Syāfi‘ī ke madzhab Ḥanafī dalam bertafaqquh, disebabkan beberapa faktor, antara lain sebagai berikut :

1. Karena beliau menyaksikan bahwa pamannya banyak menelaah kitab-kitab Imām Abū Ḥanīfah.

2. Tulisan-tulisan ilmiah yang ada, yang banyak disimak para tokoh madzhab Syāfi‘ī dan madzhab Ḥanafī.

3. Taṣnifāt (karangan-karangan) yang banyak dikarang oleh kedua madzhab itu yang berisi perdebatan antara kedua madzhab itu dalam beberapa masalah.

Seperti karangan al-Muzannī dengan kitabnya al-mukhtaṣar yang berisi bantahan-bantahan terhadap Abū Ḥanīfah dalam beberapa masalah.

4. Banyakanya halaqah ilmu yang ada di masjid Amr bin al-‘Aṣ tetangganya mengkondisikan beliau untuk memanfaatkannya dimana disana banyak munasyaqah (diskusi) dan adu dalil dan hujjah dari para pesertanya.

3 Syamsuddin al-Zhahabi, Tazkirah al-Huffaz (Kairo: Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1390 H), jilid 3, h. 809.

4 Dr. Arrazy Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi,Ulasan dan Terjemahan (Ciputat:

Maktabah Darus-Sunnah, 2020), cet. pertama, halaman 2-3.

(22)

5. Banyak Syaikh yang mengambil pendapat dari madzhab Abū Ḥanīfah, baik dari Mesir maupun Syam dalam rangka menunaikan tugasnya sebagai qadil, seperti al-Qaḍī Bakar bin Qutaibah dan Ibn Abī ‘Imran serta Abū Khazīm.5

Akan tetapi peru diketahui bahwa perpindahan madzhabnya itu tidaklah bertujuan untuk mengasingkan diri dan mengingkari madzhab yang ia tinggalkan, karena hal ini banyak terjadi dikalangan ahli ilmu ketika itu yang berpindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya tanpa mengingkari madzhab sebelumnya.

Bahkan pengikut Imām Syāfi‘ī yang paling terkenal sebelumnya adalah seorang yang bermadzhab Mālikī, dan di antara mereka ada yang menjadi syeikhnya (gurunya) Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Tidak ada tujuan untuk menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme) atau taklid, tetapi yang dicari adalah dalil, kemantapan dan hujjah yang lebih mendekati kebenaran.

B. Riwayat Intelektual

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengambil ilmu dari sederetan ulama-ulama besar di zamannya, dan itulah di antara yang menyebabkan beliau muncul sebagai salah seorang ulama besar.6 Berikut di antara nama-nama mereka:

1. Al-Imām al-‘Allāmah, Faqīh al-Millāḥ, ‘Alamū al-Zuhād, Ismā’il bin Yaḥya bin Ismā’il bin ‘Amr bin Muslīm al-Muzannī al-Miṣrī. Salah satu sahabat Imām Syāfi‘ī yang mendukung madzhabnya, wafat tahun 264 H. Karangannya antara lain al-Mukhtaṣār, al-Jamī’ al-Kabīr, al-Jamī’ aṣ-Ṣaghīr, al-Mantsūr, al- Masāil al-Mu’tābarah, Targhīb fīl ‘Ilmi, dan lain-lainnya. Ia adalah orang pertama yang dinukilkan haditnya oleh Aṭ-Ṭaḥāwī, dan kepadanya belajar di bawah madzhab Syāfi‘ī, menyimak dari beliau juga kitab Mukhtasharnya serta kumpulan hadits-hadits Syāfi‘ī.

2. Al-Imām al-‘Allāmah, Syaikhu al-Ḥanafiyah, Abū Ja’far Aḥmad bin Abī

‘Imran Musā bin ‘Īsā al-Baghdādī al-Faqīh al-Muḥaddits al-Ḥafiẓ, wafat tahun 280 H. Beliau disebut sebagai lautan ilmu, disifatkan sangat cerdas dan kuat

5 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001), https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul 22.16.

6 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah, cet. I, h. vii.

(23)

hafalannya, banyak meriwayatkan hadits dengan hafalannya. Dan beliau adalah seorang yang paling berpengaruh atas Aṭ-Ṭaḥāwī dalam madzhab Abū Ḥanīfah. Adalah Aṭ-Ṭaḥāwī sangat membanggakan gurunya ini dan banyak meriwayatkan hadits-hadits dari beliau.

3. Al-Faqīh al-‘Allāmah Qaḍī al-Qudlat Abū Khazim Abdu al-Ḥamid bin ‘Abdu al-‘Azīz as-Sakūnī al-Biṣrī kemudian al-Baghdādī al-Ḥanafī, Menjabat Qaḍī di Syam, Kufah dan Karkh, Baghdad. Dan dipuji selama menjalankan jabatannya.

Aṭ-Ṭaḥāwī belajar kepada beliau ketika menjadi tamu di Syam tahun 268 H.

Beliau menguasai madzhab Ahlul ‘Iraq hingga melampaui guru-gurunya.

Seorang yang tsiqah, patuh pada dien, dan wara’. Seorang yang ‘alim, paling piawai dalam beramal dan menulis, cendekia disertai watak pemberani, sangat dewasa dan cerdik, pandai membuat permisalan untuk memudahkan akal.

wafat tahun 292 H.

4. Al-Qaḍī al-Kabīr, al-‘Allāmah al-Muḥaddits Abū Bakrāh Bakkar bin Qutaibah al-Biṣrī, Qaḍī al-Qudlat di Mesir, wafat tahun 270 H. Seorang yang ‘alim, faqih, muhaddits, mempunyai kedudukan yang terhormat, dan agung, bila dalam kebenaran tidak takut celaan orang yang mencela, zuhud, shaleh dan istiqamah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī bertemu dengan beliau ketika ia masih seorang pemuda, menyimak dari beliau, banyak pengaruhnya atas dirinya. Banyak mengambil riwayat dari beliau, dan banyak menimpa dari beliau ilmu Hadits serta tidak pernah absen dari majlisnya ketika mendiktekan hadits.

5. Al-Qaḍī al-‘Allāmah al-Muḥaddits ats-Tsabīt, Qaḍī al-Qudlat, Abū ‘Ubaid Alī bin al-Ḥusain bin Ḥarb ‘Īsā al-Baghdādī, salah seorang sahabat Imām Syafi’ī, wafat tahun 319 H. Sangat piawai dalam Ulumul Qur’an dan hadits, sangat pendai dalam masalah ikhtilaf dan ma’ani serta qiyas fashih, berakal, lemah lembut, suka menyatakan kebenaran.7

Berguru pada ulama-ulama hebat, kemudian muncul sebagai seorang ulama yang hebat dan kemudian juga melahirkan murid-murid hebat. Inilah gambaran ulama-ulama Ahlus Sunnah, dari zaman ke zaman lainnya, yang di antara mereka

7 Syu’aib Al-Arnauth dan Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At-Turki, Syarh Aqidah Thahawiyah (Riyadh, Daar’Alimal Kutub Lit Tiba’ah Wan Nasyr Wat Tauzi, 2001), h. 4-9.

(24)

ialah Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Di antara murid-murid Imām Aṭ-Ṭaḥāwī yang kemudian muncul sebagai orang-orang yang terpandang ialah sebagai berikut:

1. Al-Ḥafiẓ Abū al-Faraj Aḥmad bin al-Qāsim bin ‘Ubaidillah bin Maḥdī al- Baghdādī. Atau yang terkenal dengan nama Ibn Khasyab. Wafat tahun 364 H.

2. Al-Imām al-Faqīh al-Qaḍī Abū Bakar Aḥmad bin Muḥammad bin Manṣūr al- Anṣarī ad-Damaghānī.

3. Ismā‘īl bin Aḥmad bin Muḥammad bin Abdu al-‘Azīz, atau yang terkenal dengan nama Abū Sa’īd al-Jurjānī al-Khalāl al-Warāq. Wafat tahun 364 H.

4. Al-Muhaddits al-Ḥafiẓ al-Jawwāl al-Muṣannif Abū Abdullāh al-Ḥusain bin Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Abdurrahmān bin Asad bin Sammakh bin Syammākhī al-Hirawī aṣ-Ṣaffar, pengarang al-Mustakhraj Al-Ṣahih Muslim.

Wafat tahun 371 H.

5. Al-Muhaddits al-Imām Abū ‘Alī al-Ḥusain bin Ibrāhīm bin Jābir bin Abī Az- zamzām ad-Dimasyqī al-Faraiḍī asy-Syahīd. Wafat tahun 368 H.

6. Al-Imām al-Ḥafiẓ ats-Tsiqah ar-Rahāl al-Jawwāl Muhadditsul Islām ‘Alimal- Mua’ammarīn Abū al-Qāsim Sulaimān bin Aḥmad bin ‘Ayūb bin Muṭair a- Lakhmī Asy-Syammī Aṭ-Ṭabrānī, pengarang tiga mu’jam; al-Kabīr, al-Ausath, Aṣ-Ṣaghīr. Wafat tahun 360 H.

7. Al-Imām al-Hafiẓ an-Naqīd al-Jawal Abū Aḥmad Abūḍlah bin ‘Abdī bin Abdullah bin Muḥammad bin al-Mubārak bin al-Qaṭṭān al-Jurjānī, pengarang kitab al-Kāmil. Wafat tahun 365 H.

8. Al-Imām al-Hafiẓ Al-Mutqīn Abū Sa’īd Abdurraḥman bin Aḥmad bin Yūnus bin Abdil ‘A’lā aṣ-Ṣadafī al-Miṣrī, pengarang kitab Tarikh Ulama’ Miṣra.

Wafat tahun 347 H.

9. Al-Imām al-Hafiẓ Ast Tsiqāh al-Jawwāl Abū Bakar Muḥammad bin Ja’far bin al-Ḥusain al-Baghdādī al-Warrāq. Wafat tahun 370 H.

10. Asy-Syaikh al-‘Ālim al-Ḥafiẓ Abū Sulaimān Muḥammad bin al-Qaḍī Abdullah bin Aḥmad bin Rābi’ah bin Zabrīn ar-Raba’ī. Wafat tahun 379 H.

11. Asy-Syaikh al-Ḥafiẓ al-Mujawwīd Muhaddits ‘Iraq Abūl Ḥusein Muḥammad bin al-Muẓaffār bin Musā bin ‘Īsā bin Muḥammad al- Baghdādī. Wafat tahun 379 H.

(25)

12. Al-Muhaddits ar-Raḥḥal Abū al-Qāsim Maslāmah bin al-Qāsim bin Ibrāhīm al-Andalusī al-Qurṭubī. Wafat tahun 353 H.

13. Muhaddits Aṣbahān al-Imām ar- Raḥḥal al-Ḥafiẓ aṣ-Ṣādiq Abū Bakar Muḥammad bin Ibrāhīm bin ‘Alī bin ‘Āṣim bin Zādzan al-Aṣbahān, yang termasyhur dengan sebutan Ibnul Muqri’ al-Mu’jam. Wafat tahun 381 H.

14. ‘Alī bin Aḥmad bin Muḥammad bin Salāmah Abū al-Ḥasan Aṭ-Ṭaḥāwī, anak Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Wafat tahun 381 H.

15. Abū Utsmān Aḥmad bin Ibrāhīm bin Ḥammad bin Zaid al-Azdī, wafat tahun 329 H.8

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah orang yang berilmu yang memiliki keutamaan.

Beliau menguasai sekaligus ilmu fiqih dan hadits, serta cabang-cabang keilmuan lainnya. Beliau menjadi wakil dari al-Qaḍī Abū Abdillah Muḥammad bin ‘Abdah, seorang Qaḍī di Mesir.9 Imām Aṭ-Ṭaḥāwī seorang hafiẓ (penjaga dan penghafal) kitab Allah, yang mengerti hukum-hukumnya dan maknanya, dan terhadap atsar dari sahabat dan tabi’in terhadap tafsir ayat-ayatnya, aṣbābūn nuzulnya. Imām Aṭ- Ṭaḥāwī diberi gelar al-Hafiẓ yang mengindikasikan tingkat perbendaharaan dan kredibilitasnya dalam hadits dan ilmu hadits, sehingga al-Ẓahabī misalnya melihat sebagai ulama hadits yang pandangannya dapat dijadikan acuan dalam al-jarḥ wa al-ta’dīl.10 Mempunyai wawasan yang menakjubkan dengan ilmu qira’ah.

Penghafal hadits, luas jangkauan pengenalannya terhadap ṭuruq (jalan-jalan) hadits, matan, illah dan aḥwalnya, rijal-rijalnya, banyak menelaah madzhab para sahabat dan tabi’in serta para Imām yang empat yang diikuti dan para Imām mujtahid yang lain. Seperti Ibrāhīm an-Nakha’ī, Utsmān al-Baṭṭī, Auza’ī, ats-Tsaurī, Laits bin Sa’d, Ibn Syubrumah, Ibn Abī Lailā dan al-Ḥasan bin Ḥay. Sangat piawai dalam ilmu Syurut dan Watsaiq. Seorang yang sangat jeli dalam membahas suatu masalah.

Tidak bertaklid pada seorangpun, tidak dalam masalah ushul (pokok), dan tidak dalam masalah furu’. Beliau berputar bersama kebenaran yang berdasar pada

8 Syu’aib Al-Arnauth, Syarh Aqidah Thahawiyah, h. 10-12.

9 Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi, Tahdzib Syarh Aṭ-Ṭaḥāwīyah – Dasar-dasar ‘Aqidah Menurut Ulama Salaf, terj. Abū Umar Basyir Al-Medani (Solo: Pustaka At-Tibyan, 1999) cet. Ke- 1, h. 25.

10 Husein al-Zhahabi. Dzikr Man Yu’tamad Qaulah fi al-Jarh wa al-Ta’dil (Lahore: al- Maktabah al-'Ilmiyyah, 1980), h. 195-196.

(26)

ijtihadnya. Mengikuti manhaj salaf dalam aqidah. Dan atas manhaj ini pula beliau mengarang kitab aqidah yang masyhur (yakni Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah). Sangat memperhatikan apa yang beliau dengan dalam majelis ilmu, dan kemudian diulangi kembali setelah selesai majelis, mengklasifikasikan secara rinci riwayat-riwayat yang ia terima dan menyusunnya dalam mushannafnya. Sifat inilah yang mengantarkannya untuk menyusun mushannafat yang banyak menurut babnya.

Dan beliau adalah seorang yang lapang dada, baik akhlaqnya, baik dalam pergaulan, bertindak tanduk sopan, memberi nasehat para pemimpin dengan penuh tawadhu’, dekat dengan para qaḍī dan ahli ilmu, menghadiri halaqah ilmu dan menukil riwayat dari sana. Orang-orang yang berbeda pendapat dan sependapat dengan beliau mengakui kewara’annya dan kezuhudannya, lemah lembut terhadap keluarga, jauh dari rasa ragu-ragu. Ketsiqahan ulama pada beliau mencapai puncaknya ketika Abū ‘Ubaid bin Ḥarbawaih, salah seorang sahabat Imām Syāfi‘ī mengakui keadilannya dan menerima syafa’atnya.

C. Karya-Karya Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī adalah termasuk diantara sekian orang yang mempunyai banyak kitab karangan dan mahir dalam menyusun taṣnīfāt. Dikarenakan beberapa faktor yang dianugerahkan Allah kepadanya. Yakni cepat hafal, mempunyai wawasan pengetahuan yang luas, dan mempunyai kesiapan hyang cukup, belau telah menyusun berbagai macam dan jenis kitab, baik dalam bidang aqidah, tafsir, hadits, fiqih dan tarikh.11 Berkah hidup beliau terwujud nyata dalam bentuk karya- karya kitabnya dimana dapat diambil manfaatnya oleh generasi ke generasi.

Sebagian ahli tarikh menyatakan lebih daari tiga puluh kitab. Di antara yang paling penting adalah sebagai berikut:

1. Syarḥ Ma’ānī al-Atsār, ini adalah karya tulis beliau yang paling pertama.

2. Syarḥ Musykil al-Atsār, sebuah karya ilmiah monumental yang penuh dengan makna-makna yang bagus dan sarat dengan faidah.

11 M. Abdul Khaled, Syahr Aqidah Thahawiyah (Bekasi: Islamic Center al-Islam, 2001), https:/www.academia.edu/34678683/ath_thahawi_pdf. Diakses pada 29 September 2020, pukul 22.47 .

(27)

3. Mukhtaṣar Aṭ-Ṭaḥāwī, dalam fiqih Madzhab Ḥanafī, yang tampaknya mirip dengan karakter tulis Mukhtaṣar al-Muzanī dalam Madzhab asy-Syāfi‘ī.

4. Sunan asy-Syāfi‘ī, dalam kitab ini Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mengumpulkan riwayat- riwayat yang didengarnya langsung dari paman dan gurunya al-Muzanī, dari Imām asy-Syāfi‘ī.

5. Al-Aqidah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, adalah dalah satu kitab yang memiliki manfaat paling urgent di dunia Islam, yang menggambarkan tegaknya manhaj as-Salaf aṣ-Ṣāliḥ di zaman hidup penulisnya, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, kitab ini juga membuktikan bahwa semua ulama Ahlus Sunnah memiliki aqidah yang sama, sekalipun mereka berbeda dalam Madzhab fiqih.12 Banyak kelebihan kitab ini sebagai khazanah warisan ulama Salaf Shalih.

Pertama, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah adalah sebagai salah satu kitab aqidah tertua dalam khazanah Ulama Salaf. Meskipun tidak sepopuler karya- karya Imām Abū al-Ḥasan al-Asy’arī, tetapi ajaran aqidah mereka tidak jauh berbeda, padahal tidak terdapat riwayat yang melaporkan bahwa mereka pernah bertemu. Secara sanad, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī lebih tinggi (‘alī) dari pada Abū Ḥasan al-Asy’arī. Ini dikarenakan beliau langsung dapat dari al-Muzanī, al-Murādī dan lainnya. Adapun Abū al-Ḥasan al-Asy’arī mendapatkannya dari generasi murid-murid al-Muzanī, yaitu Zakariya al-Sajī.

Kedua, secara manhaj kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah tidak berbeda dengan aqidah Abū Ḥasan al- Asy’arī. Dalam hal ini, Imām al-Subkī menilai aqidah dua Imām tersebut sama secara konten, kecuali beberapa hal kecil.

Ketiga, ajaran yang terkandung dalam kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah merupakan aqidah yang diwariskan oleh Imām Salaf pendiri madzhab Ḥanafiyah, yaitu Imām Abū Ḥanīfah (w.150 H) dan kedua muridnya Muḥammad Ibn al-Ḥasan al-Syaybanī dan Abū Yūsuf al-Ansarī. Ini yang membedakannya dengan Abū al-Ḥasan al-Asy’arī yang diwariskan oleh Imām Mālik, al-Syāfi’ī dan lebih khusus Aḥmad Ibn Ḥanbal.

12 Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan, Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath-Thahawiyah,. h. ix.

(28)

Keempat, sosok Imām Aṭ-Ṭaḥāwī “diperebutkan” oleh aliran-aliran setelahnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ibn Abū al-‘Iz murid Ibn Qayyim al-Jawziyah mensyarah kitabnya. Ini dilanjutkan oleh Salafi Kontemporer seperti ‘Abdu al-‘Azīz Ibn Bāz, al-Rājiḥī, Ibn Jibrin, Ibn al- Utsaymin, Ṣāliḥ al-Fawzān, al-Albānī dan tokoh-tokoh lainnya. Bahkan dari kalangan Asy’ariyah terdapat ‘Abdullah al-Hararī pendiri gerakan Aḥbāsy yang sangat ketat dan kritis. Tidak lupa juga terdapat al-Sayyid Ḥasan al- Saqqāf, seorang ahli hadits yang semi Asy’ariyah-Zaydiyah.

Kelima, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah dapat dijadikan sebagai panduan untuk menimbang kevalidan aliran mana pun yang mengaku bermanhaj Salaf.

Keenam, kitab al-Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah menunjukkan bahwa aqidah Salaf Shalih tidak hanya satu manhaj, tetapi mempunyai banyak sistem berpikir (manahij), tetapi dalam satu lingkaran Ahl al-Sunnah.13

Beliau wafat di Mesir, pada bulan Dzulqa’dah pada tahun 321 H dalam usia 80 tahun lebih. Beliau dimakamkan di daerah Qarafah Bani Asy’ats.

D. Peran Dan Pengaruh

Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-Muzanī, kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’aṣub pada salah seorang Imam pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imam menyamai pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.

Keadaannya seperti keadaan para ulama semasanya, yang tidak ridla dengan taklid.

Tidak kepada ahli hapal hadits dan tidak pula kepada para ulama fiqih. Berkata Ibnu Zaulaq: “Aku mendengar Abū Ḥasan ‘Alī bin Abī Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī berkata: Aku mendengar bapakku berkata dan disebutkan keutamaan Abī ‘Ubaid bin Harbawaih dan fiqihnya lalu berkata: Ketika itu ia mengingatkan aku dalam satu masalah.

Maka aku jawab masalah itu. Tetapi beliau berkata kepadamu: Bagaimana ini, kenapa memakai perkataan Abū Ḥanīfah? Maka aku katakan kepadamu: Wahai

13 Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi, h. 3-6.

(29)

Qaḍī, apakah setiap perkataan yang diucapkan Abū Ḥanīfah aku katakan juga?

Beliau berkata: Aku tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka mengikuti saja). Aku jawab: Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang berta’ashub (fanatik buta)? Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata:

Maka menjadilah kalimat ini masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo yang dihafal manusia.

Dan tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah menguasai ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafiẓ. Luas telaahnya, dalam pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih dan bahasa Arab.

Berkata Imām al-Laknawī dalam al-Fawāid al-Bahīyah hal. 31; Bahwa Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mempunyai derajat yang tinggi dan urutan yang mulia. Banyak menyelisihi shahibul madzhab (pendiri madzhab) dalam masalah ushul maupun masalah furu’. Barang siapa yang menelaah kitab Syarḥ Ma’ānī al-Atsār dan karangan-karangannya yang lain maka akan mendapati bahwa beliau banyak menyelisihi pendapat yang dipilih para pemimpin madzhabnya jika yang mendasari pendapatnya itu sangat kuat. Yang benar beliau adalah salah seorang mujtahid, akan tetapi manusia tidak bertaklid kepada beliau. Tidak dalam furu’ maupun dalam ushul, karena mereka mensifatinya dengan mujtahid. Atau paling tidak beliau adalah seorang mujtahid dalam madzhab yang mampu untuk mengeluarkan hukum- hukum dari kaidah-kaidah yang dinyatakan sang Imām madzhab, dan tidak pernah derajat beliau rendah dari martabat itu selamanya.

Dan berkata Maulānā Abdu al-‘Azīz al-Muhaddits ad-Dahlawī dalam kitab Bustan al-Muhadditsīn: “Dalam mukhtashar Thahawi menunjukkan bahwa beliau adalah seorang mujtahid. Dan bukan seorang muqallid (pengekor) terhadap madzhab Ḥanafī dengan pengekoran total. Karena beliau sering memilih pendapat yang berbeda dengan madzhab Abū Ḥanafī ketika hal itu berdasarkan dalil-dalil yang kuat.

(30)

20 A. Definisi Teologi

Islam merupakan sebuah agama yang diturunkan untuk semua umat manusia yang ada di muka bumi ini. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Islam terdapat sesuatu yang mendasar yaitu berupa akidah dan syariat, yang mana kedua ajaran ini adalah ajaran inti yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Korelasinya tidak hanya dalam bentuk pengalaman, tetapi juga pada dasar- dasar pemikiran yang berkembang.

Ajaran Islam mengharuskan Muslim mempunyai akidah yang kuat dalam masalah ketuhanan, sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, yang menjadi sumber keagamaan dan moral bagi Islam, mempunyai ajaran-ajaran dasar (basic teachings) yang bertujuan membentuk masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki akidah yang benar dan murni tentang Tuhan dan ajaran tentang syariat. Al-Qur’an juga memberikan bimbingan pada manusia bagaimana cara berhubungan, antara manusia dan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dan alam.

Sejak masa Nabi Muhammad Saw., kegiatan ijtihad telah dilakukan dengan menjadikan Nabi Muhammad Saw., sebagai rujukan, karena beliau yang memegang otoritas itu. Pasca wafat Nabi, karena ada persoalan yang semakin kompleks, kemudian para sahabat berijtihad dengan berpegang kepada kedua sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sejauh yang mereka mampu tafsirkan. Permasalahan yang pertama-tama muncul ada pada bidang politik, namun persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.1

Term teologi pada dasarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam, tetapi term ini sering dipakai oleh cendekiawan Muslim kontemporer.2 Secara etimologis, teologi berasal dari kata theology (Inggris), theologie (Perancis dan Belanda) atau theologia (Latin dan Yunani Kuno). Pada prinsipnya, setiap kata

1 Kamal Mukhtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), jilid II, h. 153.

2 Djohan Effendi, Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 52-53.

(31)

dalam berbagai bahasa yang terdapat di Eropa dicari akar kata pada bahasa Latin yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno. Theologia dalam bahasa Yunani terdiri dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Theo term jamak dari theos, menurut mitologi Yunani Kuno term tersebut adalah sebutan nama untuk dewata (para dewa). Namun, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan.3 Sedangkan dalam bahasa Yunani Kuno logia berasal dari kata logos (akal) yang berarti ilmu.4

Teologi merupakan “ilmu tentang Ketuhanan”, yaitu membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan manusia dan alam. Teologi yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen dan juga Teologi Islam (Ilm Kalam).5

Aḥmad Ḥanafī menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah “the science which treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.6

Sedangkan menurut Muhamad Abduh, teologi merupakan sebuah jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukan hanya melalui wahyu tetapi juga melalui akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Konsep teologi seperti ini bisa digambarkan bahwa Tuhan berada di puncak alam wujud sedangkan manusia ada di dasarnya. Manusia yang jauh di dasar alam wujud itu berusaha mengetahui eksistensi Tuhan dengan cara menurunkan wahyu untuk membantu manusia.7

Adapun menurut Nurcholish Madjid, teologi adalah ilmu yang menetapkan kepercayaan dan menjelaskan apa yang terdapat pada nurbuat-nurbuat atau cahaya

3 Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Jakarta: Rainbow, 1987), h. 1.

4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2001), cet. 3, h. 1177.

5 Ahmad Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), cet. 3, h. 8.

6 Ahmad Ḥanafī, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), v-vi.

7 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), h. 43.

(32)

kenabian yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam. Sebab pada setiap umat selalu ada orang yang bertanggung jawab atas urusan agama, dan berusaha untuk memelihara serta menopangnya. Argumentasi tersebut merupakan cara yang pertama-tama mereka gunakan. Tetapi mereka jarang sekali dalam argumentasi menempuh melalui jalan pembuktian rasional, dan jarang sekali pula dalam membangun doktrin-doktrin dan kepercayaan mereka menggunakan apa yang ada dalam hukum alam atau apa yang terkandung oleh susunan semesta. Melainkan metode-metode rasional yang mereka gunakan dalam ilmu itu, dan cara-cara keagamaan yang dipakai untuk mempertahankan dogma-dogma serta mendekatkannya kepada perasaan-perasaan hati (membuatnya popular) berada dalam kedua ujung ekstrimitas yang berlawanan. Kebanyakan agama dikemukakan melalui argumentasi para tokohnya bahwa ia adalah musuh akal, baik dalam resultat maupun premis-premisnya. Sehingga bagian terpenting dari pada ilmu-ilmu kalam adalah berupa interpretasi, komentar, ketakjuban kepada mu’jizat-mu’jizat, atau kesenangan oleh berbagai cerita fantasi.8

Menurut William L. Reese, teologi artinya discourse or reason concerning God yang berarti diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Artinya bahwa teologi adalah disiplin ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan berkenaan dengan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.9 Menurut Encyclopedia of Religion, kata teologi diberi batasan dengan the discipline which concerns God and God’s relation to the world, yang berarti disiplin yang berkenaan dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.10

Penggunaan term teologi bagi ilmu-ilmu ketuhanan di Indonesia dipopulerkan oleh Harun Nasution.11 Harun Nasution menghubungkan teologi Islam dengan ilmu kalam, pada konteks kalam itu sendiri. Kalam adalah kata-kata, adapun teologi Islam membahas tentang kalam ilahi dan kalam manusia. Dalam hal ini, persoalan tentang kalam Ilahi muncul ketika adanya perdebatan tentang sifat qadim al-Qur’an. Kalam manusia didasarkan pada perdebatan yang dilakukan oleh para teolog Islam menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan

8 Nurcholish Madjid, Khazanah intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 365.

9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Books, 1996), h. 766.

10 Virgilius Ferm, Encyclopedia of Religion (USA: Greenword Press Publisher, 1976), h. 782.

11 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 368.

(33)

pendirian masing-masing. Oleh karena teologi Islam juga disebut juga ilmu kalam,12 karena memiliki persamaan dalam pokok baḤasan yang dikaji, yaitu kepercayaan tentang Tuhan dan kaitan-Nya dengan alam semesta.

Walaupun demikian, pada awalnya penggunaan kata ini ditentang oleh sebagian ahli kalam, seperti H. M. Rasyidi yang mengatakan bahwa teologi berbeda dengan ilmu Kalam dan tidak boleh disamakan.13 Namun, untuk selanjutnya istilah teologi sering digunakan di kalangan akademisi. Menurut Djohan Effendi, penggunaan kata teologi bukan untuk mengecilkan arti penting istilah-istilah yang terkait dengan ilmu ketuhanan dalam khazanah Islam dan bukan suatu hal yang negatif. Istilah tersebut hanya akan memperbanyak khazanah dan sistematis pemahaman keagamaan.14

Adapun kata ‘Islam’ yang mengikuti kata teologi, berarti ruang lingkup dari teologi itu sendiri. Term Islam secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu kata aslama, yuslimu, islāman, dengan asal kata salāma yaitu menyelamatkan, atau berarti juga al-ṣiḥḥah dan al-‘āfiyah (sehat wal’afiat). Al-Islām diartikan alinqiyād yaitu kepatuhan.15 Secara istilah, Islam adalah al-khuḍū’ū wa al-inqiyād limā akhbara bihi al rasūl ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (tunduk dan patuh kepada apapun yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.).16

Dalam ajaran Islam yang terkait dalam pembaḤasan teologi adalah ajaran mengenai doktrin (aqidah).17 Oleh karena itu, pembaḤasan teologi adalah segala

12 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), ix.

13 H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 33.

14 Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”, dalam Budhy Munawar Rahman, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.

15 Abū al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā al-Qazwīnī al-Rāzī, Mu’jam Maqāyīs al- Lugah (Beirut; Dār al-Fikr, 1991), Jilid III, h. 90.

16 Ali bin Muḥammad al-Sayyid al-Syarīf al-Jurjānī, Mu’jam al-Ta„rīfāt (Kairo: Dār al- Fadīlah, t.t.), h. 23.

17 Ulama membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian: 1) Doktrin (akidah) atau keyaninan hati yaitu topik-topik yang harus dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, dan kenabian yang sifatnya universal dan terbatas. Namun ada perbedaan tertentu dikalangan mazhab seperti apa saja yang merupakan rukun iman (ushuluddin). 2) Moral (akhlak) adalah berkaitan dengan perintah dan ajaran yang ada hubungannya dengan karakteristik spiritual dan moral manusia, seperti adil, takwa, berani, arif, bersih, sabar, setia, jujur, dan menjaga amanah. 3) Hukum (hukm) yaitu membahas mengenai topik-topik yang berkaitan dengan praktik dan cara yang benar dalam menjalankan shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dalam ber amar ma’ruf nahi munkar, dalam membeli, menyewa, menikah, bercerai, dan membagi warisan. Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah, Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 196.

(34)

pengetahuan yang berkaitan dengan penetapan akidah keagamaan baik secara langsung (dekat) atau secara tidak langsung (jauh). Sementara aksiologinya atau nilai dari teologi adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya, membimbing pengkajinya dengan argumentasi yang kuat sebagai bentuk perlindungan diri, menjaga kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syariat, dan meluruskan niat serta keyakinan para pengkaji.18

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga sebagai sejarah teologi.19

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teologi Islam merupakan ilmu yang membahas tentang eksistensi Allah, sifat-sifat-Nya dan hubungan dengan manusia dan alam semesta.

B. Sejarah Teologi Islam

Perkembangan teologi Islam telah merambah jauh memasuki berbagai persoalan ketuhanan yang rumit, mendetail dan filosofis, sehingga menimbulkan pembaḤasan yang sangat banyak. Berawal dari fenomena ketuhanan yang merupakan fakta universal, melahirkan berbagai kelompok pemikiran dalam Islam yang muncul setelah Rasulullah wafat. Situasi dan kondisi pada saat itu mendorong umat Islam untuk berusaha menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam berbagai masalah, dengan tujuan agar permasalahan umat Islam yang semakin banyak dapat terselesaikan dengan baik, sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang oleh agama.20

Pada masa hidup Rasulullah, ajaran Islam telah terlaksana dengan baik dan benar, sehingga semua permasalahan umat Islam dapat ditanyakan langsung kepadanya dan jawaban terhadap permasalahan tersebut dapat diperoleh langsung dari Rasulullah. Para sahabat kaum Muslimin percaya sepenuh hati,

18 Maria Ulfa Siregar. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi (Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015), h. 19.

19 Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Bekasi, PT Gugus Press, 2002), h. 23.

20 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2013), h. 128.

(35)

bahwa segala yang disampaikan Rasulullah Saw., adalah berdasarkan wahyu Allah Swt. Dengan demikian, tiada keraguan sedikitpun dalam masalah akidah, tiada perpecahan dan juga pengelompokan. Saat Rasulullah Saw., wafat, permasalahan bertumpu kepada para sahabat Rasul, dan hal inilah yang memicu lahirnya permasalahan kalam atau teologi Islam.21

Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw. wafat peran sebagai kepala negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abū Bakar, Umar bin Khatab, Utsmān bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsmān bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.22

Sudah menjadi maklum bahwa kemunculan aliran-aliran kalam klasik pertama-tama dipicu oleh problem politis yang selanjutnya berubah menjadi sengketa politis dan meningkat menjadi permasalahan teologis, sehingga penyelesaian suatu masalah teologis pasti membawa implikasi pada prilaku masyarakat.

Timbulnya permasalahan-permasalahan di bidang politik terjadi pada masa khalifah Utsmān bin Affān dan ‘Alī bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah Utsmān bin Affan, beliau banyak mengangkat pejabat-pejabat di masa khalifahnya dari keluarga dekatnya. Kebijakan politik Utsmān yang mengangkat sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Setelah melihat sikap dan tindakan yang kurang tepat itu, para sahabat yang semula menyokong Utsmān kini mulai menjauh darinya. Kehadiran para pelaku aksi protes ini akhirnya berakibat fatal bagi diri Utsmān, ia terbunuh oleh para pemuka aksi protes tersebut.23 Setelah Utsmān wafat, ‘Alī bin Abī Ṭalib menggantikan beliau menjadi khalifah berikutnya.

21 ‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far Subhāni, “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah Mauwḍū‟iyyah Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa, Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis Mazhab Kalam (Pekalongan: Al-Hadi, 1997), h. 28.

22 Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia. 2007), h. 14.

23 Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta, Pustaka Antara, 1996), h. 2.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini, siswa melakukan percobaan secara mandiri tentang pengaruh jenis dan banyaknya polutan terhadap kehidupan makhluk hidup dan mencatat data hasilnya.

126 Artinya: Sesungguhnya yang mengadakan kebohongan ialah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka adalah orang yang pendusta.” (Q. Ayat ini

13 standar akuntansi keuangan entitas tanpa akuntabilitas publik (SAK ETAP) sehingga cenderung pemahaman pelaku koperasi mengenai standar akuntansi keuangan entitas

Berdasarkan hasil pengukuran capaian kinerja kegiatan Pusat Sistem Penerapan Standar Tahun 2017, sebagian besar kinerja kegiatan telah terlaksana sesuai

penilaian DUPAK kelompok 11 oleh Ketua TPI akan disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian untuk ditetapkan PAKnya Selanjutnya PAK tersebut secara berjenjang akan

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian di akhir pendidikan S-1 pada Program Studi

Aktivitas siswa pada pada indikator siswa memperhatikan ketika guru mengkomunikasikan tujuan pembelajaran (Listening activity) sebesar 56% kategori ”cukup” ke siklus

Kultur bakteri ini menggunakan media TSA ( Tryptic Soy Agar ), media GSP ( Glutamat Starch Phenol ), dan media cair zobell. Perendaman ikan dilakukan setelah aklimatisasi