• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMIKIRAN TEOLOGI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ

A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

1. Aspek Ketuhanan

Persoalan kalam yang membuat munculnya perbedaan pendapat di kalangan mutakallīmūn dan umat Muslim terjadi dalam persoalan yang berkisar pada

1 Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

argumentasi untuk membuktikan wujud Allah. Mereka berusaha membangun argumen tentang eksistensi wujud Allah, menyucikan-Nya dan menghilangkan segala hal yang merusak kesucian tersebut. Dengan demikian, permasalahan pokok teologi yang terkait dengan Tuhan adalah wujud dan sifat Tuhan, Kalam Allah, yang diuraikan sebagai berikut:

a. Wujud dan Sifat-Sifat Tuhan

Kondisi manusia sebelum masa Nabi Muhammad Saw., sebenarnya telah mengetahui dan mengakui eksistensi Tuhan (Allah). Para Nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad Saw. telah menyerukan kepada umatnya untuk mengenal Allah dan menyembah kepada-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

ُهٰ للا َّنُلْوُقَ يَل َضْرَْلْاَو ِتٰوٰمَّسلا َقَلَخ ْنَّم ْمُهَ تْلَاَس ْنِٕىَلَو ِهٰ لِل ُدْمَْلْا ِلُق ۗ

َنْوُمَلْعَ ي َلْ ْمُهُرَ ثْكَا ْلَب

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”.

Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqmān [31]: 25).2

Nabi Muhammad Saw., juga mengajarkan risalah tentang adanya wujud Allah yang Maha Sempurna. Wujud Allah Swt, dalam ajaran Islam adalah kepercayaan yang tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Meyakini wujud Allah adalah main belief yang paling utama. Oleh karena itu, dalam khazanah keIslaman, tidak ada yang mempermasalahkan wujud Allah, baik para kaum teolog maupun seluruh Muslim meyakini keberadaan Allah.3

Persoalan tentang sifat-sifat Tuhan mendapat perhatian utama dalam pembahasan ilmu kalam. Seperti pada pembahasan sebelumnya, kelompok aliran teolog, seperti Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat Tuhan, karena sifat Tuhan dianggap menimbulkan ta’addud al-Qudāmā’ (adanya dua yang kadim) dan asumsi

2 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Fatih, 2012), h. 413.

3 Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:

Erlangga, 2006), h. 92.

ini mengarah pada perbuatan syirik. Sebaliknya, kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah membenarkan adanya sifat Tuhan.

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat kesempurnaan, baik sifat-sifat dzat dan sifat-sifat perbuatan.4 Tidak boleh diyakini bahwa Allah disifati dengan satu sifat setelah sebelumnya tidak disifati dengannya, karena sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan, hilangnya sifat-sifat tersebut merupakan kekurangan, tidak boleh Allah sempurna setelah sebelumnya kurang. Hal ini tidak tertolak oleh adanya sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat berkait dengan kehendak Allah dan lainnya seperti mencipta, membentuk, menghidupkan, mematikan, menggenggam, membentangkan, melipat, bersemayam, datang, hadir, turun, marah, ridha, dan lainnya, sekalipun keadaan-keadaan ini terjadi pada satu waktu, bukan pada seluruhnya, sebab kejadian dengan pertimbangan ini tidak mustahil, tidak bisa dikatakan ia terjadi setelah sebelumnya tidak terjadi.5

Tidakkah Anda melihat bahwa seseorang yang berbicara hari ini sedangkan dia kemarin juga berbicara, tidak disebut bahwa berbicara baru terjadi hari ini.

Seandainya dia tidak berbicara karena sesuatu, seperti belum cukup umur atau karena bisu, kemudian dia bisa berbicara, maka dikatakan, dia bisa berbicara. Orang yang diam bukan karena cacat adalah orang yang berbicara, maksudnya punya kemampuan berbicara, artinya kapan dia ingin, dia berbicara, saat dia berbicara dia disebut pembicara dalam arti yang sebenarnya, demikian juga juru tulis saat dia menulis, dia adalah juru tulis dalam arti yang sebenarnya, dia tidak keluar dari sifat sebagai juru tulis dalam keadaan dia tidak menulis.6

Terjadinya hal-hal baru pada Allah yang dinafikan oleh ilmu kalam yang tercela tidak ada penafian dan penetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia bersifat global. Bila maksudnya adalah bahwa dzat Allah yang suci bukan tempat

4 Sifat dzat adalah sifat-safat Allah yang tidak terpisah dari dzat Allah dan tidak berkaitan dengan kehendakNya dan kodratNya seperti sifat hidup, ilmu, kodrat, izzah, kemuliaan dan kerajaan… Adapun sifat-sifat perbuatan, maka itu adalah sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan kehendak dan kodratNya pada setiap saat dan waktu, satuan dari sifat-sifat ini terjadi kepan Allah berkehendak. Jenis sifat-sifat ini adalah azali, sementara satunya adalah hadist seperti Allah berbicara, marah, rida, tertawa, dan lainnya.

5 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah (Jakarta: Darul Haq, 2016), h.

199.

6 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 199.

bagi sesuatu pun dan makhluk-makhluk-Nya yang diciptakan, atau Allah tidak memiliki sifat baru yang sebelumnya tidak Dia miliki, maka ini adalah penafian shahih. Tetapi bila maksudnya adalah menafikan sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan kehendak-Nya, bahwa Dia tidak melakukan apa yang Dia ingin, tidak berbicara kapan Dia ingin dengan apa yang Dia ingin, tidak pula Dia marah dan rela yang tidak sama dengan makhluk-Nya, tidak disifati dengan sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya seperti turun, bersemayam dan datang sesuai dengan keagungan dan kemuliaannya, maka ini adalah penafian yang batil.7

Syaikh (Imām Aṭ-Ṭaḥāwī) mengisyaratkan dengan ucapannya,

َم مْيِدَق ِهِتاَفِصِب َلاَز ا ِهِقْلَخ َلْلَ ق ا

.

"Allah tetap dan senantiasa dengan Sifat-sifat-Nya, sebagai yang Qadīm, sebelum makhluk-Nya,"8

Allah, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan itu maknanya: bahwasanya Allah menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian pula sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Semua itu adalah yang utama sebagaimana utamanya Allah swt sehingga Allah bukan Yang Maha Awal yang mulanya tidak memiliki sifat lalu baru kemudian terjadilah sifat-sifat bagi-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut dan penganut kesesatan, yang mengatakan, “Mulanya Allah tidak memiliki sifat di zaman azali, lalu baru kemudian adanya sifat-sifat bagi-Nya; agar hal itu tidak berkonsekuensi berbilangnya tuhan -sebagaimana yang mereka klaim- atau berbilangnya yang (dahulu), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah dalam keutamaan-Nya.” Kami jawab, Subhanallah, ini mengharuskan bahwa Allah memiliki sifat kurang –Maha Tinggi Allah- dalam suatu masa, kemudian baru kemudian terjadinya sifat-sifat bagi-Nya dan menjadi Maha Sempurna. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Qadīmnya sifat tidak mengharuskan Qadīmnya para pemilik sifat tersebut, karena sifat bukan sesuatu yang lain dari yang memiliki

7 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120.

8 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, (Bairut: Dar Ibnu Hazm, 1995), h. 9.

sifat di luar dzatnya, akan tetapi semua sifat adalah makna-makna yang ada karena adanya yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sekali lagi, bukan sesuatu yang berdiri sendiri dari yang disifati. Jika anda misalnya mengatakan, “Fulan mendengar, melihat, berilmu, ahli fikih, ahli bahasa dan nahwu”, maka apakah ini artinya bahwa orang tersebut menjadi beberapa orang? Maka berbilangnya sifat tidak memastikan berbilangnya yang disifati.9

Maka, sifat-sifat Allah tidak memiliki permulaan sebagaimana Dzat-Nya tidak memiliki permulaan, sehingga Allah disifati sebagai yang senantiasa mencipta dan selamanya. Sedangkan perbuatan-perbuatan Allah, maka ia adalah Qadīm secara jenisnya akan tetapi baru secara sendiri-sendiri.

Maka Allah Maha Berbicara sebelum mengeluarkan Firman-Nya, dan Maha Mencipta sebelum menciptakan. Adapun bahwa Dia Maha Berbicara dan Maha Menciptakan, maka ini adalah perbuatan-perbuatan yang berulang, dan demikian seterusnya.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah, Jahmiyah dan Syi’ah serta yang sepaham dengan mereka, yang berkata bahwa Allah mampu berbuat dan berbicara setelah sebelumnya tidak mampu, karena perbuatan dan pembicaraan menjadi mungkin baginya setelah sebelumnya mustahil, bahwa Dia berubah dari mustahil dzati menjadi mungkin dzati. Bantahan juga terhadap Ibnu Kullab, al-Asy‘arī dan orang-orang yang sepaham dengan keduanya yang berkata, Perbuatan bagi Allah menjadi mungkin setelah sebelumnya mustahil dari-Nya.

Adapun sifat kalam menurut mereka, maka ia tidak termasuk ke dalam kehendak dan kodrat, akan tetapi ia adalah sesuatu yang satu lazim bagi Dzat-Nya.10

Allah adalah Tuhan yang patut disembah, tiada Tuhan selain Allah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan.

9 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Jakarta: Darul Haq, 2014), cet. VI, h. 57-58.

10 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120

َغ َهَلِإ َلَْو ْ ي ُر ُه

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.”11

Inilah Tauhid Ulūhiyah. Lā ilāha, artinya: Tidak ada sesembahan yang hak selain Dia.

Sedangkan apabila mengatakan, “Tidak ada sesembahan kecuali Dia,” atau

“Tidak ada sesembahan selain-Nya,” maka ini adalah batil; karena sesembahan-sesembahan selain Allah itu banyak, sehingga jika anda mengatakan bahwa tidak ada sesembahan kecuali Allah, maka telah menjadikan semua sesembahan adalah Allah. Ini adalah pandangan penganut sufi Wiḥdah al-Wujūd. Apabila yang mengatakan kalimat tersebut berdasarkan I’tiqad (keyakinan), maka dia termasuk pemeluk Wiḥdah al-Wujūd. Sedangkan apabila dia tidak meyakininya, dan hanya mengatakannya karena taklid (ikut-ikutan) atau karena mendengarnya dari seseorang, maka orang ini keliru dan wajib dinasihati. Sebagian orang memulai bacaannya di dalam shalat dengan ini, di mana dia membaca, “Tidak ada sesembahan selainMu,” sedangkan Allah adalah sesembahan yang hak, dan apa saja selain-Nya maka sesungguhnya ia adalah sesembahan yang batil. Firman Allah swt.12

ِهِنْوُد ْنِم َنْوُعْدَي اَم َّنَاَو ُّقَْلْا َوُه َهٰ للا َّنَاِب َكِلٰذ َوُه

ا َوُه َهٰ للا َّنَاَو ُلِطاَلْلا ُرْ يِلَكْلا ُّيِلَعْل

"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Rabb Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Al-Hajj: 62).13

Mengenai sifat Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī melanjutkan.

11 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.

12 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 46.

13 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 339.

َو ُدْيِلَي َلَْو یَنْفَ ي َلْ

.

"Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.”14

Fana dan berakhir adalah satu makna. Allah swt disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi. Firman Allah:

ُتْوَُي َلْ ْيِذَّلا ِّيَْلْا ىَلَع ْلَّكَوَ تَو

"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati."

(Al-Furqān: 58).15

Maka Allah tidak akan mungkin bersifat fana. Firman Allah,

ُهَهْجَو َّلِْا ٌكِلاَه ٍءْيَش ُّلُك

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Allah).” (Al-Qaṣash:

88).16

Dan Allah itu juga berfirman,

اَهْ يَلَع ْنَم ُّلُك ٍناَف

ِماَرْكِْلْاَو ِلٰلَْلْا وُذ َكِّبَر ُهْجَو ىٰقْ لَ يَّو ۗ ۗ

"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Raḥmān: 26-27).17

Maka Allah memiliki sifat Abadi, sedangkan semua makhluk-Nya akan mati dan akan dibangkitkan kembali, pada mulanya mereka tidak ada kemudian Allah menciptakan mereka, kemudian mereka akan mati, kemudian Allah akan membangkitkan mereka kembali. Allah tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki kesudahan.

14 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.

15 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 365.

16 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 396.

17 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.

b. Kalam Allah

Pembahasan kalam Tuhan dalam kajian ilmu kalam merupakan perkembangan dari perdebatan persoalan sifat-sifat Allah. Persoalan teologis mengenai kalam Tuhan, merupakan perdebatan yang terjadi pada Dinasti

‘Abbasiah, di bawah pimpinan khalifah al-Ma’mūn, al-Mu’taṣim, dan al-Waṣiq.

mengenai status Al-Qur’an.18 Perdebatan mengenai status Qur’an, perihal Al-Qur’an diciptakan maka baharu atau tidak diciptakan maka kadim.

َو ِإ ُم َلََك َنآْرُقْلا َّن ِللا

“Al-Qur`an adalah Firman Allah (Kalamullah).”19

Setelah beriman kepada Allah, maka beriman kepada Rasulullah Saw., dan juga wajib beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah (Kalamullah). Karena inilah yang dibawa oleh Rasulullah dan disebutkan di dalam al-Qur`an. Al-Qur’an ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril, akan tetapi ia adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya. Jibril menerima (mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari Jibril yang kemudian dari Nabi Saw. diterima oleh umat ini.

Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut kesesatan, ia bukan dari perkataan Jibril dan bukan pula perkataan Nabi Muhammad Al-Qur`an adalah Firman Rabb alam semesta, sedangkan Jibril dan Nabi Muhammad -semoga rahmat dan salam tercurah kepada mereka berdua-, keduanya hanya penyampai dari Allah. Sehingga suatu perkataan hanya dikatakan dan disandarkan kepada yang mengatakannya pertama kali, bukan yang mengatakannya untuk menyampaikan dan menunaikan.20

Maka barang siapa yang mengatakan, bahwa Jibril mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, atau mengatakan bahwa Allah menciptakannya pada sesuatu dan Jibril

18 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 138.

19 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.

20 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 91.

mengambilnya dari sesuatu itu, maka dia kafir kepada Allah dengan kekufuran yang mengeluarkannya dari Agama; sebagaimana yang dikatakan oleh golongan Jahmiyah dan Mu’tazilah serta orang-orang yang mengikuti mereka. Al-Qur’an adalah Kalamullah, baik huruf-hurufnya dan segala maknanya. Allah berbicara (berfirman) dengannya sebagaimana yang berfirman, dan berfirman adalah di antara sifat-sifat Fi'liyah yang dikehendaki-Nya. Maka kita wajib menyifati Allah sebagai Dzat-Nya. Lalu bagaimana cara (atau seperti apa) Allah berfirman? Maka jawabanya hanya Allah yang mengetahuinya. Maka maknanya sudah diketahui (semua), sedangkan caranya tidak diketahui oleh siapa pun.21

Seandainya al-Qur’an ini adalah perkataan manusia, niscaya akan banyak orang yang mampu membuat suatu surat yang mirip dengannya (sebagaimana tantangan Allah dalam al-Qur`an). Dan tatkala mereka tidak mampu untuk melakukannya, maka hal tersebut menunjukkan bahwasanya itu adalah Kalamullah. Allah swt berfirman,

“Bahkan mereka mengatakan, ‘Muhammad telah membuat-buat al-Qur`an itu.’ Katakanlah, ‘(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang yang benar’.” (Hud: 13).22

Dengan tantangan itu Allah (memperlihatkan) bahwa mereka tak mampu, padahal mereka (yang menjadi alamat tantangan tersebut) adalah orang-orang Arab yang terkenal fasih berbahasa, dan al-Qur’an menggunakan Bahasa Arab bahkan dengan huruf-huruf yang mereka gunakan untuk berbicara. Pada saat bersamaan mereka sangat bersemangat dalam menentang Rasulullah swt, sehingga seandainya mereka mampu untuk menandingi al-Qur`an, niscaya tak akan mereka simpan keluasan waktu dan segala kemampuan mereka untuk menjawab tantangan

21 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 92.

22 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 223.

tersebut. Dan tatkala mereka memang tidak mampu untuk melakukannya, itu menunjukkan bahwa al-Qur`an memang Kalamullah (Firman Allah) yang tidak dihinggapi suatu kebatilan pun, baik dari hadapannya dan ataupun dari belakangnya.23

Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menganggap bahwa Al-Qur’an merupakan firman Allah yang hakiki, tidak secara majas. Sebagaimana ia mengatakan,

َو ِةَقْ يِقَْلْاِب َلَاَعَ ت ِللا ُم َلََك ُهَّنَأ اوُنَقْ يَأ

“Dan mereka meyakini bahwasanya al-Qur’an adalah Firman Allah secara hakiki.”24

Al-Qur’an merupakan firman Allah secara hakikat bukan secara majazi (kiasan) sebagaimana yang dikatakan Jahmiyah dan Mu’tazilah, di mana mereka berpandangan: al-Qur’an adalah Kalamullah, akan tetapi nisbatnya kepada Allah adalah secara majazi (kiasan); karena Allah adalah yang menciptakannya, sehingga penyandarannya kepada Allah adalah penyandaran makhluk ciptaan kepada PenciptaNya.

Hal ini disanggah oleh Imām Aṭ-Ṭaḥāwī; karena penyandaran kepada Allah ada dua jenis: pertama, penyandaran secara maknawi dan kedua, secara materi.25

Pertama, penyandaran makna-makna kepada Allah, seperti: berfirman.

Maka penyandaran makna-makna kepada Allah adalah penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat tersebut. “Berbicara”, “mendengar”, “melihat”, “kuasa” dan

“berkehendak” adalah penyandaran sifat kepada yang memiliki sifat; karena semua itu adalah makna-makna yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi senantiasa tersandang pada yang disifati dengannya.

Kedua, penyandaran materi-materi, seperti: baitullah (rumah Allah), naqatullah (unta Allah), ‘abdullah (hamba Allah). Semua ini adalah penyandaran

23 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 93.

24 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 12.

25 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 95.

makhluk kepada Penciptanya, dan faidah penyandaran dalam konotasi ini adalah untuk memuliakan dan menghormati.

َک ٍقْوُلْخَِبِ َسْيَل ِةَّيَِبَْلا ِم َلَ َك

“(Al-Qur'an) bukan makhluk sebagaimana perkataan makhluk.”26

Artinya: Firman Allah bukan makhluk. Ini sebagai bantahan terhadap Jahmiyah dan Mu’tazilah yang berpandangan bahwa al-Qur’an adalah makhluk;

karena Allah dalam pandangan mereka tidak berbicara, berdasarkan metodologi mereka dalam menafikan semua sifat-sifat, sebagai tindakan -sebagaimana klaim mereka- menghindari sikap menyerupakan Allah (at-Tasybih); karena mereka tidak membedakan antara sifat-sifat Pencipta dan sifat-sifat makhluk yang diciptakan.27

َرَفَك ْدَقَ ف ،ِرَشَلْلا ُم َلََك ُهَّنَأ َمَعَزَ ف ُهَعَِسَ ْنَمَف

“Barangsiapa yang mendengarnya dan menganggap bahwa itu adalah ucapan manusia, maka dia telah kafir.”28

Barangsiapa yang mendengar Kalamullah (Firman Allah) dan mengira bahwa itu adalah perkataan manusia, maka dia telah kafir; karena dia mengingkari Firman Allah. Apabila Allah tidak memiliki firman yang diturunkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka dengan apa iqāmat al-ḥujjah dapat terlaksana atas mereka? Maka maksud di balik pandangan mereka (yang batil ini) adalah meruntuhkan hukum-hukum syariat. Jika di alam semesta ini tidak ada Firman Allah, tidak di dalam Taurat, tidak di dalam Injil, dan tidak pula di dalam al-Qur`an, maka makna dari semua itu adalah: hujjah dari Allah tak pernah ditegakkan atas manusia. Dan ini adalah di antara kekufuran dan kesesatan yang paling besar.29