• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TEOLOGI ISLAM

D. Kajian Teologi Islam

Penulis hanya mambahas persoalan kalam yang diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yakni tentang Tuhan, manusia, dan hari akhirat. Penulis hanya akan mengungkapkan beberapa persoalan kalam yang dianggap dan sering dibicarakan oleh mutakallīmūn.

1. Tuhan

Permasalahan yang diperbincangkan dan diperdebatkan oleh para teolog Islam dari berbagai aliran adalah masalah yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah. Masalah tersebut antara lain Allah mempunyai sifat atau tidak, sebab di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Allah mempunyai beberapa nama, tetapi tidak ada satu ayat pun yang secara tegas bahwa Allah memiliki beberapa sifat.

Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak memiliki sifat mengetahui, bukan berarti Tuhan tidak mengetahui, tetapi Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan itu adalah Tuhan.

Mereka mengatakan Allah Maha mengetahui dengan zat-Nya, Maha kuasa

54 Imām Muḥammad Abū Zahrah, “Tārīkh al-Maẓāhib al-Islāmiyyah”, terj. Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik Dan ‘Aqidah dalam Islam, h. 210.

dengan zat-Nya, Maha hidup dengan zat-Nya, bukan dengan pengetahuan, kekuasaan, dan kehidupan, karena semua ini adalah sifat sedangkan sifat adalah sesuatu yang di luar zat. Menurut Mu’tazilah, jika sifat berada pada zat yang Qadim, sedangkan sifat qidam adalah sifat yang lebih khusus, maka akan terjadi dualisme, yakni zat dan sifat.55

Sementara itu, kelompok yang mengakui adanya sifat Allah adalah kelompok Asy’ariah, Maturidiah, dan Salafiah. Mazhab Asy’ariah berpendirian bahwa Tuhan memiliki sifat, yang menurut paham ini ‘ilm, qudrah, iradāh, ḥayāh dan lainnya adalah sifat Allah, tetapi sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk. Semua sifat yang melekat pada zat Allah itu adalah kadim dan azali.56 Menurut al-Asy’arī, sifat-sifat Allah tetap bertempat pada zat, sifat itu bukan zat dan bukan pula lain dari zat.

Kelompok Maturidiah memang mengakui adanya sifat Tuhan, tetapi pengertian al-Maturidi tetang sifat Tuhan berbeda dengan al-Asy’arī. Menurut al-Maturidī, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama) zat-Nya tanpa terpisah. Menetapkan sifat bagi Allah, tidak harus membawa pada pengertian antropomorpisme karena sifat tidak berwujud yang tersendiri dari zat-Nya, sehingga sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim.57

Berbeda dengan kelompok Syi’ah yang menolak bahwa Allah senantiasa bersifat mengetahui. Mereka menilai bahwa pengetahuan Allah bersifat baru, tidak kadim. Sebagian dari kelompok Syi’ah berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya. Sebagiannya lagi berpendapat bahwa Allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum Ia menghendakinya, sehingga ketika Ia menghendaki sesuatu, maka Ia pun bersifat tahu, jika Ia tidak menghendakinya, maka Ia tidak bersifat tahu. Maksud dari Allah berkehendak menurut pandangan Syi’ah adalah Allah mengeluarkan gerakan (taḥarraka ḥarkah), maka ketika gerakan itu muncul atau ada ia bersifat tahu terhadap

55 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 38.

56 Afrizal M., Ibn Rusyd, h. 46.

57 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 135.

sesuatu, dan mereka berpendapat bahwa Allah tidak bersifat tahu terhadap sesuatu yang tidak ada.58

2. Manusia

Allah Swt., telah menciptakan manusia (khalifah) dalam bentuk fisik yang paling baik di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah. Selain itu, Allah juga menganugrahkan akal hanya kepada manusia, karena akalnya tersebut manusia dapat mengungguli makhluk hewani dan menjadikan hidupnya bermakna.

Kemampuan akal yang dimiliki manusia membawa perdebatan di kalangan teolog Muslim, mereka mempersoalkan kemampuan akal dan fungsi wahyu.

Pada prinsipnya, akal dan wahyu merupakan dasar dan menjadi tolak ukur dalam menganalisa dan menilai setiap persoalan kalam. Sementara itu, dalam kajian teologi Islam, akal dan wahyu dihubungkan dengan empat persoalan pokok yakni persoalan mengetahui adanya Tuhan, kewajiban yang mesti dilakukan kepada Tuhan, mengetahui perbuatan baik dan jahat, kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat.

Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengetahui empat pokok persoalan teologi tersebut. Semua pengetahuan dapat diketahui dengan akal, dan kewajiban manusia dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Akal dapat mengetahui kewajiban mengetahui Tuhan, bersyukur atas nikmat-Nya, meninggalkan kekufuran, berbuat adil, mengetahui buruknya kezaliman dan permusuhan.59 Jadi, Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum kedatangan wahyu, orang yang tidak mengetahui Tuhan, kufur nikmat, tidak menjalankan kebaikan dan melakukan keburukan akan mendapat siksa di neraka.60

Berbeda dengan aliran Mu’tazilah, paham Asy’ariah berpandangan bahwa akal hanya mempunyai kemampuan untuk mengetahui satu persoalan pokok, yaitu mengetahui Tuhan. Menurut paham ini, kewajiban manusia hanya dapat diketahui dengan wahyu. Akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk itu wajib, kecuali dengan penjelasan Rasul dan wahyu Allah. Posisi wahyu

58 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 211-212.

59 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, Ilmu, h. 271.

60 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 81.

dalam aliran Asy’ariah sangat penting, manusia mengetahui baik dan buruk dan kewajiban-kewajibannya karena turunnya wahyu. Wahyu juga berfungsi untuk menjelaskan yang baik dan yang buruk, karena akal tidak mampu menetapkan kebaikan dan keburukan.61

3. Akhirat

persoalan alam tidak terlepas dari pedebatan para teolog Islam tentang hari akhirat. Perdebatan dimulai dari persoalan pelaku dosa besar yang dihukum kafir dan tidak kafir. Persoalan ini kemudian bercabang menjadi permasalahan iman dan kufur. Hal ini akan terlihat dalam kerangka berpikir setiap aliran kalam, yang ternyata memberi warna berbeda dari setiap aliran kalam.

Khawarij yang memiliki ciri khas ekstrim menganggap bahwa semua pelaku dosa besar (murtakib al-kabāir) adalah kafir dan disiksa di neraka selamanya, walaupun terdapat iman dalam hatinya.62

Selanjutnya, muncul aliran Mu’tazilah yang tidak menentukan status kafir atau Mukmin terhadap pelaku dosa besar, tetapi mereka menyebutkan dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain. Bagi pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah, berada pada posisi tengah-tengah di antara posisi Mukmin (surga) dan kafir (neraka). Oleh sebab itu, jika pelaku dosa besar meninggal dunia dan belum sempat bertaubat, maka ia akan masuk ke dalam neraka selama-lamanya, namun siksa yang diterimanya lebih ringan dari siksa orang kafir.63

Sementara itu, aliran Asy’ariah dan Maturidiah menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai Mukmin, karena adanya keimanan dalam dirinya.

Adapun balasan di akhirat kelak yang akan diperoleh bagi pelaku dosa besar, apabila ketika meninggal belum bertaubat, maka keputusan itu diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah Swt. Pada hakikatnya, jika Allah menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, ia akan dimasukkan ke dalam neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya.64

61 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 101.

62 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam, h. 130.

63 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal, h. 26.

64 Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, h. 164-165.

39 A. Teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī

Keyakinan setiap umat Muslim tentang ajaran Islam terkait masalah ketuhanan (akidah) merupakan masalah pokok yang tidak dapat diabaikan. Dasar-dasar akidah, tentunya terdapat dalam pedoman utama umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah. Al-Qur’an sebagai sumber pertama ajaran Islam, sering kali memberikan penjelasan masalah keagamaan dan moral agar terciptanya masyarakat yang saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi, serta memiliki keyakinan (akidah) yang benar dan murni tentang Tuhan. Al-Qur’an sebagaimana diketahui juga memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam rangka terciptanya cara yang baik bagi manusia untuk berhubungan dengan Allah dan juga hubungan dengan sesama makhluk.

Persoalan akidah, muncul menjadi suatu pembahasan menarik yang banyak dilakukan oleh para mutakallīmūn. Pembahasan para mutakallīmūn terhadap berbagai persoalan teologis adalah mencari dalil yang dapat memperkuat akidah tersebut dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Keyakinan yang benar terhadap Tuhan merupakan hal yang sangat penting.1 Oleh karena itu, setiap Muslim tentunya memiliki pemahaman teologi (tauhid/akidah) sebagai dasar untuk beriman dan berhubungan dengan Allah. Selain itu, pemahaman teologi yang benar, akan mempengaruhi hubungan sesama manusia dan makhluk hidup.

Terkait dengan masalah ini, maka perlu untuk mengetahui pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī, argumentasi dan solusi yang diberikannya. Aspek pemikiran teologi Imām Aṭ-Ṭaḥāwī dapat dikelompokkan dalam beberapa aspek, yaitu:

1. Aspek Ketuhanan

Persoalan kalam yang membuat munculnya perbedaan pendapat di kalangan mutakallīmūn dan umat Muslim terjadi dalam persoalan yang berkisar pada

1 Muhammad Nazir Karim, Dialektika Teologi Islam: Analisis Pemikiran Kalam Syeikh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari (Bandung: Nuansa, 2004), h. 67.

argumentasi untuk membuktikan wujud Allah. Mereka berusaha membangun argumen tentang eksistensi wujud Allah, menyucikan-Nya dan menghilangkan segala hal yang merusak kesucian tersebut. Dengan demikian, permasalahan pokok teologi yang terkait dengan Tuhan adalah wujud dan sifat Tuhan, Kalam Allah, yang diuraikan sebagai berikut:

a. Wujud dan Sifat-Sifat Tuhan

Kondisi manusia sebelum masa Nabi Muhammad Saw., sebenarnya telah mengetahui dan mengakui eksistensi Tuhan (Allah). Para Nabi yang datang sebelum Nabi Muhammad Saw. telah menyerukan kepada umatnya untuk mengenal Allah dan menyembah kepada-Nya, sebagaimana difirmankan Allah dalam Al-Qur’an yang menyatakan:

ُهٰ للا َّنُلْوُقَ يَل َضْرَْلْاَو ِتٰوٰمَّسلا َقَلَخ ْنَّم ْمُهَ تْلَاَس ْنِٕىَلَو ِهٰ لِل ُدْمَْلْا ِلُق ۗ

َنْوُمَلْعَ ي َلْ ْمُهُرَ ثْكَا ْلَب

“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” tentu mereka akan menjawab: “Allah”.

Katakanlah: “Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. (QS. Luqmān [31]: 25).2

Nabi Muhammad Saw., juga mengajarkan risalah tentang adanya wujud Allah yang Maha Sempurna. Wujud Allah Swt, dalam ajaran Islam adalah kepercayaan yang tidak perlu diragukan dan dipertanyakan lagi. Meyakini wujud Allah adalah main belief yang paling utama. Oleh karena itu, dalam khazanah keIslaman, tidak ada yang mempermasalahkan wujud Allah, baik para kaum teolog maupun seluruh Muslim meyakini keberadaan Allah.3

Persoalan tentang sifat-sifat Tuhan mendapat perhatian utama dalam pembahasan ilmu kalam. Seperti pada pembahasan sebelumnya, kelompok aliran teolog, seperti Mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat Tuhan, karena sifat Tuhan dianggap menimbulkan ta’addud al-Qudāmā’ (adanya dua yang kadim) dan asumsi

2 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Al-Fatih, 2012), h. 413.

3 Afrizal M., Ibn Rusyd Tujuh Perdebatan Utama dalam Persoalan Teologi Islam (Jakarta:

Erlangga, 2006), h. 92.

ini mengarah pada perbuatan syirik. Sebaliknya, kelompok Asy’ariyah, Maturidiyah dan Salafiyah membenarkan adanya sifat Tuhan.

Menurut Imām Aṭ-Ṭaḥāwī Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat kesempurnaan, baik sifat-sifat dzat dan sifat-sifat perbuatan.4 Tidak boleh diyakini bahwa Allah disifati dengan satu sifat setelah sebelumnya tidak disifati dengannya, karena sifat-sifat Allah adalah sifat-sifat kesempurnaan, hilangnya sifat-sifat tersebut merupakan kekurangan, tidak boleh Allah sempurna setelah sebelumnya kurang. Hal ini tidak tertolak oleh adanya sifat-sifat perbuatan dan sifat-sifat berkait dengan kehendak Allah dan lainnya seperti mencipta, membentuk, menghidupkan, mematikan, menggenggam, membentangkan, melipat, bersemayam, datang, hadir, turun, marah, ridha, dan lainnya, sekalipun keadaan-keadaan ini terjadi pada satu waktu, bukan pada seluruhnya, sebab kejadian dengan pertimbangan ini tidak mustahil, tidak bisa dikatakan ia terjadi setelah sebelumnya tidak terjadi.5

Tidakkah Anda melihat bahwa seseorang yang berbicara hari ini sedangkan dia kemarin juga berbicara, tidak disebut bahwa berbicara baru terjadi hari ini.

Seandainya dia tidak berbicara karena sesuatu, seperti belum cukup umur atau karena bisu, kemudian dia bisa berbicara, maka dikatakan, dia bisa berbicara. Orang yang diam bukan karena cacat adalah orang yang berbicara, maksudnya punya kemampuan berbicara, artinya kapan dia ingin, dia berbicara, saat dia berbicara dia disebut pembicara dalam arti yang sebenarnya, demikian juga juru tulis saat dia menulis, dia adalah juru tulis dalam arti yang sebenarnya, dia tidak keluar dari sifat sebagai juru tulis dalam keadaan dia tidak menulis.6

Terjadinya hal-hal baru pada Allah yang dinafikan oleh ilmu kalam yang tercela tidak ada penafian dan penetapannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Ia bersifat global. Bila maksudnya adalah bahwa dzat Allah yang suci bukan tempat

4 Sifat dzat adalah sifat-safat Allah yang tidak terpisah dari dzat Allah dan tidak berkaitan dengan kehendakNya dan kodratNya seperti sifat hidup, ilmu, kodrat, izzah, kemuliaan dan kerajaan… Adapun sifat-sifat perbuatan, maka itu adalah sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan kehendak dan kodratNya pada setiap saat dan waktu, satuan dari sifat-sifat ini terjadi kepan Allah berkehendak. Jenis sifat-sifat ini adalah azali, sementara satunya adalah hadist seperti Allah berbicara, marah, rida, tertawa, dan lainnya.

5 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah (Jakarta: Darul Haq, 2016), h.

199.

6 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 199.

bagi sesuatu pun dan makhluk-makhluk-Nya yang diciptakan, atau Allah tidak memiliki sifat baru yang sebelumnya tidak Dia miliki, maka ini adalah penafian shahih. Tetapi bila maksudnya adalah menafikan sifat-sifat Allah yang berkenaan dengan kehendak-Nya, bahwa Dia tidak melakukan apa yang Dia ingin, tidak berbicara kapan Dia ingin dengan apa yang Dia ingin, tidak pula Dia marah dan rela yang tidak sama dengan makhluk-Nya, tidak disifati dengan sifat yang Dia tetapkan untuk diri-Nya seperti turun, bersemayam dan datang sesuai dengan keagungan dan kemuliaannya, maka ini adalah penafian yang batil.7

Syaikh (Imām Aṭ-Ṭaḥāwī) mengisyaratkan dengan ucapannya,

َم مْيِدَق ِهِتاَفِصِب َلاَز ا ِهِقْلَخ َلْلَ ق ا

.

"Allah tetap dan senantiasa dengan Sifat-sifat-Nya, sebagai yang Qadīm, sebelum makhluk-Nya,"8

Allah, tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya, dan itu maknanya: bahwasanya Allah menyandang sifat kesempurnaan. Maka sifat-sifat-Nya adalah azali dan abadi; sebagaimana Dia Yang Maha Awal tanpa permulaan, maka demikian pula sifat-sifat-Nya, semuanya ikut kepada-Nya. Semua itu adalah yang utama sebagaimana utamanya Allah swt sehingga Allah bukan Yang Maha Awal yang mulanya tidak memiliki sifat lalu baru kemudian terjadilah sifat-sifat bagi-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh para pengikut dan penganut kesesatan, yang mengatakan, “Mulanya Allah tidak memiliki sifat di zaman azali, lalu baru kemudian adanya sifat-sifat bagi-Nya; agar hal itu tidak berkonsekuensi berbilangnya tuhan -sebagaimana yang mereka klaim- atau berbilangnya yang (dahulu), dan nama-nama serta sifat-sifat Allah dalam keutamaan-Nya.” Kami jawab, Subhanallah, ini mengharuskan bahwa Allah memiliki sifat kurang –Maha Tinggi Allah- dalam suatu masa, kemudian baru kemudian terjadinya sifat-sifat bagi-Nya dan menjadi Maha Sempurna. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan. Qadīmnya sifat tidak mengharuskan Qadīmnya para pemilik sifat tersebut, karena sifat bukan sesuatu yang lain dari yang memiliki

7 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120.

8 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, (Bairut: Dar Ibnu Hazm, 1995), h. 9.

sifat di luar dzatnya, akan tetapi semua sifat adalah makna-makna yang ada karena adanya yang memiliki sifat-sifat tersebut. Sekali lagi, bukan sesuatu yang berdiri sendiri dari yang disifati. Jika anda misalnya mengatakan, “Fulan mendengar, melihat, berilmu, ahli fikih, ahli bahasa dan nahwu”, maka apakah ini artinya bahwa orang tersebut menjadi beberapa orang? Maka berbilangnya sifat tidak memastikan berbilangnya yang disifati.9

Maka, sifat-sifat Allah tidak memiliki permulaan sebagaimana Dzat-Nya tidak memiliki permulaan, sehingga Allah disifati sebagai yang senantiasa mencipta dan selamanya. Sedangkan perbuatan-perbuatan Allah, maka ia adalah Qadīm secara jenisnya akan tetapi baru secara sendiri-sendiri.

Maka Allah Maha Berbicara sebelum mengeluarkan Firman-Nya, dan Maha Mencipta sebelum menciptakan. Adapun bahwa Dia Maha Berbicara dan Maha Menciptakan, maka ini adalah perbuatan-perbuatan yang berulang, dan demikian seterusnya.

Pernyataan ini merupakan bantahan terhadap Mu’tazilah, Jahmiyah dan Syi’ah serta yang sepaham dengan mereka, yang berkata bahwa Allah mampu berbuat dan berbicara setelah sebelumnya tidak mampu, karena perbuatan dan pembicaraan menjadi mungkin baginya setelah sebelumnya mustahil, bahwa Dia berubah dari mustahil dzati menjadi mungkin dzati. Bantahan juga terhadap Ibnu Kullab, al-Asy‘arī dan orang-orang yang sepaham dengan keduanya yang berkata, Perbuatan bagi Allah menjadi mungkin setelah sebelumnya mustahil dari-Nya.

Adapun sifat kalam menurut mereka, maka ia tidak termasuk ke dalam kehendak dan kodrat, akan tetapi ia adalah sesuatu yang satu lazim bagi Dzat-Nya.10

Allah adalah Tuhan yang patut disembah, tiada Tuhan selain Allah. Imām Aṭ-Ṭaḥāwī menjelaskan.

9 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah: Akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah (Jakarta: Darul Haq, 2014), cet. VI, h. 57-58.

10 Imām Ibnu Abil Izz al-Ḥanafī. Tahzib Syarah Thahawiyah, h. 120

َغ َهَلِإ َلَْو ْ ي ُر ُه

“Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia.”11

Inilah Tauhid Ulūhiyah. Lā ilāha, artinya: Tidak ada sesembahan yang hak selain Dia.

Sedangkan apabila mengatakan, “Tidak ada sesembahan kecuali Dia,” atau

“Tidak ada sesembahan selain-Nya,” maka ini adalah batil; karena sesembahan-sesembahan selain Allah itu banyak, sehingga jika anda mengatakan bahwa tidak ada sesembahan kecuali Allah, maka telah menjadikan semua sesembahan adalah Allah. Ini adalah pandangan penganut sufi Wiḥdah al-Wujūd. Apabila yang mengatakan kalimat tersebut berdasarkan I’tiqad (keyakinan), maka dia termasuk pemeluk Wiḥdah al-Wujūd. Sedangkan apabila dia tidak meyakininya, dan hanya mengatakannya karena taklid (ikut-ikutan) atau karena mendengarnya dari seseorang, maka orang ini keliru dan wajib dinasihati. Sebagian orang memulai bacaannya di dalam shalat dengan ini, di mana dia membaca, “Tidak ada sesembahan selainMu,” sedangkan Allah adalah sesembahan yang hak, dan apa saja selain-Nya maka sesungguhnya ia adalah sesembahan yang batil. Firman Allah swt.12

ِهِنْوُد ْنِم َنْوُعْدَي اَم َّنَاَو ُّقَْلْا َوُه َهٰ للا َّنَاِب َكِلٰذ َوُه

ا َوُه َهٰ للا َّنَاَو ُلِطاَلْلا ُرْ يِلَكْلا ُّيِلَعْل

"(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dia-lah Rabb Yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar." (Al-Hajj: 62).13

Mengenai sifat Allah, Imām Aṭ-Ṭaḥāwī melanjutkan.

11 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.

12 Shalih bin Fauzan al-Fauzan. Penjelasan Matan: Al-Aqidah Ath- Thahawiyah, h. 46.

13 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 339.

َو ُدْيِلَي َلَْو یَنْفَ ي َلْ

.

"Dia tidak akan fana dan tidak akan punah.”14

Fana dan berakhir adalah satu makna. Allah swt disifati sebagai Maha Hidup, yang kekal dan abadi. Firman Allah:

ُتْوَُي َلْ ْيِذَّلا ِّيَْلْا ىَلَع ْلَّكَوَ تَو

"Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati."

(Al-Furqān: 58).15

Maka Allah tidak akan mungkin bersifat fana. Firman Allah,

ُهَهْجَو َّلِْا ٌكِلاَه ٍءْيَش ُّلُك

"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Allah).” (Al-Qaṣash:

88).16

Dan Allah itu juga berfirman,

اَهْ يَلَع ْنَم ُّلُك ٍناَف

ِماَرْكِْلْاَو ِلٰلَْلْا وُذ َكِّبَر ُهْجَو ىٰقْ لَ يَّو ۗ ۗ

"Semua yang ada di bumi ini akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Raḥmān: 26-27).17

Maka Allah memiliki sifat Abadi, sedangkan semua makhluk-Nya akan mati dan akan dibangkitkan kembali, pada mulanya mereka tidak ada kemudian Allah menciptakan mereka, kemudian mereka akan mati, kemudian Allah akan membangkitkan mereka kembali. Allah tidak memiliki permulaan dan tidak memiliki kesudahan.

14 Imām Abū Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī, Matnu al-‘Aqīdah Aṭ-Ṭaḥāwīyah, h. 8.

15 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 365.

16 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 396.

17 Kementerian Agama. Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 532.

b. Kalam Allah

Pembahasan kalam Tuhan dalam kajian ilmu kalam merupakan perkembangan dari perdebatan persoalan sifat-sifat Allah. Persoalan teologis mengenai kalam Tuhan, merupakan perdebatan yang terjadi pada Dinasti

‘Abbasiah, di bawah pimpinan khalifah al-Ma’mūn, al-Mu’taṣim, dan al-Waṣiq.

mengenai status Al-Qur’an.18 Perdebatan mengenai status Qur’an, perihal Al-Qur’an diciptakan maka baharu atau tidak diciptakan maka kadim.

َو ِإ ُم َلََك َنآْرُقْلا َّن ِللا

“Al-Qur`an adalah Firman Allah (Kalamullah).”19

Setelah beriman kepada Allah, maka beriman kepada Rasulullah Saw., dan juga wajib beriman bahwa al-Qur’an adalah Firman Allah (Kalamullah). Karena inilah yang dibawa oleh Rasulullah dan disebutkan di dalam al-Qur`an. Al-Qur’an ini bukan perkataan Nabi Muhammad dan bukan perkataan Jibril, akan tetapi ia adalah Firman Allah, yang mana Allah berfirman dengannya. Jibril menerima (mendengarnya) dari Allah, dan Nabi Saw. menerimanya dari Jibril yang kemudian dari Nabi Saw. diterima oleh umat ini.

Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para

Maka al-Qur`an adalah Firman Allah, yang bermula dari-Nya. Jibril tidak mengambilnya dari Lauh al-Maḥfuẓ, sebagaimana yang dikatakan oleh para