• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI IMĀM AṬ-ṬAḤĀWĪ

D. Peran Dan Pengaruh

Aṭ-Ṭaḥāwī telah belajar madzhab Syāfi‘ī kepada pamannya al-Muzanī, kemudian mempelajari madzhab Ḥanafī, dan tidak berta’aṣub pada salah seorang Imam pun. Akan tetapi memilih perkataan yang ia anggap paling benar berdasarkan kekuatan dalilnya. Dan jika salah seorang Imam menyamai pendapatnya maka disebabkan kesamaan yang berdasarkan dalil dan hujjah, tidak karena taklid.

Keadaannya seperti keadaan para ulama semasanya, yang tidak ridla dengan taklid.

Tidak kepada ahli hapal hadits dan tidak pula kepada para ulama fiqih. Berkata Ibnu Zaulaq: “Aku mendengar Abū Ḥasan ‘Alī bin Abī Ja’far Aṭ-Ṭaḥāwī berkata: Aku mendengar bapakku berkata dan disebutkan keutamaan Abī ‘Ubaid bin Harbawaih dan fiqihnya lalu berkata: Ketika itu ia mengingatkan aku dalam satu masalah.

Maka aku jawab masalah itu. Tetapi beliau berkata kepadamu: Bagaimana ini, kenapa memakai perkataan Abū Ḥanīfah? Maka aku katakan kepadamu: Wahai

13 Hasyim, Akidah Salaf Imām al-Ṭahawi, h. 3-6.

Qaḍī, apakah setiap perkataan yang diucapkan Abū Ḥanīfah aku katakan juga?

Beliau berkata: Aku tidak mengira engkau kecuali seorang muqallid (suka mengikuti saja). Aku jawab: Apakah ada orang yang bertaklid kecuali orang yang berta’ashub (fanatik buta)? Beliau menambahi: Atau orang yang bodoh? Berkata:

Maka menjadilah kalimat ini masyhur di Mesir hingga semacam menjadi pameo yang dihafal manusia.

Dan tidak ada yang menghalanginya untuk berijtihad karena beliau telah menguasai ilmu perangkatnya. Beliau adalah seorang hafiẓ. Luas telaahnya, dalam pemahamannya, luas cakrawala tsaqafahnya, ahli dalam mengenali hadits dan periwayatannya, piawai dalam mencari illat hadits serta mahir dalam ilmu fiqih dan bahasa Arab.

Berkata Imām al-Laknawī dalam al-Fawāid al-Bahīyah hal. 31; Bahwa Imām Aṭ-Ṭaḥāwī mempunyai derajat yang tinggi dan urutan yang mulia. Banyak menyelisihi shahibul madzhab (pendiri madzhab) dalam masalah ushul maupun masalah furu’. Barang siapa yang menelaah kitab Syarḥ Ma’ānī al-Atsār dan karangan-karangannya yang lain maka akan mendapati bahwa beliau banyak menyelisihi pendapat yang dipilih para pemimpin madzhabnya jika yang mendasari pendapatnya itu sangat kuat. Yang benar beliau adalah salah seorang mujtahid, akan tetapi manusia tidak bertaklid kepada beliau. Tidak dalam furu’ maupun dalam ushul, karena mereka mensifatinya dengan mujtahid. Atau paling tidak beliau adalah seorang mujtahid dalam madzhab yang mampu untuk mengeluarkan hukum-hukum dari kaidah-kaidah yang dinyatakan sang Imām madzhab, dan tidak pernah derajat beliau rendah dari martabat itu selamanya.

Dan berkata Maulānā Abdu al-‘Azīz al-Muhaddits ad-Dahlawī dalam kitab Bustan al-Muhadditsīn: “Dalam mukhtashar Thahawi menunjukkan bahwa beliau adalah seorang mujtahid. Dan bukan seorang muqallid (pengekor) terhadap madzhab Ḥanafī dengan pengekoran total. Karena beliau sering memilih pendapat yang berbeda dengan madzhab Abū Ḥanafī ketika hal itu berdasarkan dalil-dalil yang kuat.

20 A. Definisi Teologi

Islam merupakan sebuah agama yang diturunkan untuk semua umat manusia yang ada di muka bumi ini. Ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Islam terdapat sesuatu yang mendasar yaitu berupa akidah dan syariat, yang mana kedua ajaran ini adalah ajaran inti yang tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Korelasinya tidak hanya dalam bentuk pengalaman, tetapi juga pada dasar-dasar pemikiran yang berkembang.

Ajaran Islam mengharuskan Muslim mempunyai akidah yang kuat dalam masalah ketuhanan, sebab hal itu termasuk masalah yang sangat pokok dalam sistem ajaran Islam yang tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an, yang menjadi sumber keagamaan dan moral bagi Islam, mempunyai ajaran-ajaran dasar (basic teachings) yang bertujuan membentuk masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang saleh, dengan kesadaran religius yang tinggi serta memiliki akidah yang benar dan murni tentang Tuhan dan ajaran tentang syariat. Al-Qur’an juga memberikan bimbingan pada manusia bagaimana cara berhubungan, antara manusia dan Tuhan, manusia dan manusia, serta manusia dan alam.

Sejak masa Nabi Muhammad Saw., kegiatan ijtihad telah dilakukan dengan menjadikan Nabi Muhammad Saw., sebagai rujukan, karena beliau yang memegang otoritas itu. Pasca wafat Nabi, karena ada persoalan yang semakin kompleks, kemudian para sahabat berijtihad dengan berpegang kepada kedua sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah sejauh yang mereka mampu tafsirkan. Permasalahan yang pertama-tama muncul ada pada bidang politik, namun persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoalan teologi.1

Term teologi pada dasarnya bukan berasal dari khazanah dan tradisi Islam, tetapi term ini sering dipakai oleh cendekiawan Muslim kontemporer.2 Secara etimologis, teologi berasal dari kata theology (Inggris), theologie (Perancis dan Belanda) atau theologia (Latin dan Yunani Kuno). Pada prinsipnya, setiap kata

1 Kamal Mukhtar, dkk, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Dana Bhakti, 1995), jilid II, h. 153.

2 Djohan Effendi, Konsep-Konsep Teologis: Kontekstualisasi Doktrin-Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 52-53.

dalam berbagai bahasa yang terdapat di Eropa dicari akar kata pada bahasa Latin yang mengacu pada bahasa Yunani Kuno. Theologia dalam bahasa Yunani terdiri dari dua suku kata, yaitu theo dan logia. Theo term jamak dari theos, menurut mitologi Yunani Kuno term tersebut adalah sebutan nama untuk dewata (para dewa). Namun, dalam bahasa Indonesia, kata theo berarti Tuhan.3 Sedangkan dalam bahasa Yunani Kuno logia berasal dari kata logos (akal) yang berarti ilmu.4

Teologi merupakan “ilmu tentang Ketuhanan”, yaitu membicarakan zat Tuhan dari segala seginya dan hubungannya dengan manusia dan alam. Teologi yang bercorak agama dipahami sebagai intellectual expression of religion, atau keterangan tentang kata-kata agama yang bersifat pikiran. Karena itu teologi biasanya diikuti dengan kualifikasi tertentu seperti Teologi Yahudi, Teologi Kristen dan juga Teologi Islam (Ilm Kalam).5

Aḥmad Ḥanafī menjelaskan dalam pengantarnya, bahwa teologi memiliki banyak dimensi pengertian, namun secara umum teologi ialah “the science which treats of the facts and phenomena of religion, and the relations between God and man”, atau ilmu yang membicarakan kenyataan-kenyataan dan gejala-gejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia, baik dengan jalan penyelidikan maupun pemikiran murni, atau dengan jalan wahyu.6

Sedangkan menurut Muhamad Abduh, teologi merupakan sebuah jalan yang dipakai untuk mengetahui Tuhan, bukan hanya melalui wahyu tetapi juga melalui akal. Akal dengan kekuatan yang ada dalam dirinya, berusaha memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dan wahyu. Konsep teologi seperti ini bisa digambarkan bahwa Tuhan berada di puncak alam wujud sedangkan manusia ada di dasarnya. Manusia yang jauh di dasar alam wujud itu berusaha mengetahui eksistensi Tuhan dengan cara menurunkan wahyu untuk membantu manusia.7

Adapun menurut Nurcholish Madjid, teologi adalah ilmu yang menetapkan kepercayaan dan menjelaskan apa yang terdapat pada nurbuat-nurbuat atau cahaya

3 Joesoef Sou’yb, Perkembangan Teologi Modern (Jakarta: Rainbow, 1987), h. 1.

4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:

Balai Pustaka, 2001), cet. 3, h. 1177.

5 Ahmad Ḥanafī, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1989), cet. 3, h. 8.

6 Ahmad Ḥanafī, Theology Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), v-vi.

7 Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UI Press, 1987), h. 43.

kenabian yang sudah dikenal oleh umat-umat sebelum Islam. Sebab pada setiap umat selalu ada orang yang bertanggung jawab atas urusan agama, dan berusaha untuk memelihara serta menopangnya. Argumentasi tersebut merupakan cara yang pertama-tama mereka gunakan. Tetapi mereka jarang sekali dalam argumentasi menempuh melalui jalan pembuktian rasional, dan jarang sekali pula dalam membangun doktrin-doktrin dan kepercayaan mereka menggunakan apa yang ada dalam hukum alam atau apa yang terkandung oleh susunan semesta. Melainkan metode-metode rasional yang mereka gunakan dalam ilmu itu, dan cara-cara keagamaan yang dipakai untuk mempertahankan dogma-dogma serta mendekatkannya kepada perasaan-perasaan hati (membuatnya popular) berada dalam kedua ujung ekstrimitas yang berlawanan. Kebanyakan agama dikemukakan melalui argumentasi para tokohnya bahwa ia adalah musuh akal, baik dalam resultat maupun premis-premisnya. Sehingga bagian terpenting dari pada ilmu-ilmu kalam adalah berupa interpretasi, komentar, ketakjuban kepada mu’jizat-mu’jizat, atau kesenangan oleh berbagai cerita fantasi.8

Menurut William L. Reese, teologi artinya discourse or reason concerning God yang berarti diskursus atau pemikiran tentang Tuhan. Artinya bahwa teologi adalah disiplin ilmu yang membicarakan masalah ketuhanan berkenaan dengan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan.9 Menurut Encyclopedia of Religion, kata teologi diberi batasan dengan the discipline which concerns God and God’s relation to the world, yang berarti disiplin yang berkenaan dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dunia.10

Penggunaan term teologi bagi ilmu-ilmu ketuhanan di Indonesia dipopulerkan oleh Harun Nasution.11 Harun Nasution menghubungkan teologi Islam dengan ilmu kalam, pada konteks kalam itu sendiri. Kalam adalah kata-kata, adapun teologi Islam membahas tentang kalam ilahi dan kalam manusia. Dalam hal ini, persoalan tentang kalam Ilahi muncul ketika adanya perdebatan tentang sifat qadim al-Qur’an. Kalam manusia didasarkan pada perdebatan yang dilakukan oleh para teolog Islam menggunakan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan

8 Nurcholish Madjid, Khazanah intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), h. 365.

9 William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion (New York: Humanity Books, 1996), h. 766.

10 Virgilius Ferm, Encyclopedia of Religion (USA: Greenword Press Publisher, 1976), h. 782.

11 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 368.

pendirian masing-masing. Oleh karena teologi Islam juga disebut juga ilmu kalam,12 karena memiliki persamaan dalam pokok baḤasan yang dikaji, yaitu kepercayaan tentang Tuhan dan kaitan-Nya dengan alam semesta.

Walaupun demikian, pada awalnya penggunaan kata ini ditentang oleh sebagian ahli kalam, seperti H. M. Rasyidi yang mengatakan bahwa teologi berbeda dengan ilmu Kalam dan tidak boleh disamakan.13 Namun, untuk selanjutnya istilah teologi sering digunakan di kalangan akademisi. Menurut Djohan Effendi, penggunaan kata teologi bukan untuk mengecilkan arti penting istilah-istilah yang terkait dengan ilmu ketuhanan dalam khazanah Islam dan bukan suatu hal yang negatif. Istilah tersebut hanya akan memperbanyak khazanah dan sistematis pemahaman keagamaan.14

Adapun kata ‘Islam’ yang mengikuti kata teologi, berarti ruang lingkup dari teologi itu sendiri. Term Islam secara bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu kata aslama, yuslimu, islāman, dengan asal kata salāma yaitu menyelamatkan, atau berarti juga al-ṣiḥḥah dan al-‘āfiyah (sehat wal’afiat). Al-Islām diartikan alinqiyād yaitu kepatuhan.15 Secara istilah, Islam adalah al-khuḍū’ū wa al-inqiyād limā akhbara bihi al rasūl ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (tunduk dan patuh kepada apapun yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.).16

Dalam ajaran Islam yang terkait dalam pembaḤasan teologi adalah ajaran mengenai doktrin (aqidah).17 Oleh karena itu, pembaḤasan teologi adalah segala

12 Harun Nasution. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2010), ix.

13 H. M. Rasyidi, Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang: Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 33.

14 Djohan Effendi, “Konsep-Konsep Teologis”, dalam Budhy Munawar Rahman, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 52.

15 Abū Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā Qazwīnī Rāzī, Mu’jam Maqāyīs al-Lugah (Beirut; Dār al-Fikr, 1991), Jilid III, h. 90.

16 Ali bin Muḥammad Sayyid Syarīf Jurjānī, Mu’jam Ta„rīfāt (Kairo: Dār al-Fadīlah, t.t.), h. 23.

17 Ulama membagi ajaran Islam menjadi tiga bagian: 1) Doktrin (akidah) atau keyaninan hati yaitu topik-topik yang harus dimengerti dan diimani, seperti keesaan Allah, sifat-sifat Allah, dan kenabian yang sifatnya universal dan terbatas. Namun ada perbedaan tertentu dikalangan mazhab seperti apa saja yang merupakan rukun iman (ushuluddin). 2) Moral (akhlak) adalah berkaitan dengan perintah dan ajaran yang ada hubungannya dengan karakteristik spiritual dan moral manusia, seperti adil, takwa, berani, arif, bersih, sabar, setia, jujur, dan menjaga amanah. 3) Hukum (hukm) yaitu membahas mengenai topik-topik yang berkaitan dengan praktik dan cara yang benar dalam menjalankan shalat, zakat, puasa, haji, jihad, dalam ber amar ma’ruf nahi munkar, dalam membeli, menyewa, menikah, bercerai, dan membagi warisan. Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam: Ushul Fiqh, Hikamh Amaliah, Fiqh, Logika, Kalam, Irfan, dan Filsafat (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 196.

pengetahuan yang berkaitan dengan penetapan akidah keagamaan baik secara langsung (dekat) atau secara tidak langsung (jauh). Sementara aksiologinya atau nilai dari teologi adalah meningkatkan keyakinan para pengkajinya, membimbing pengkajinya dengan argumentasi yang kuat sebagai bentuk perlindungan diri, menjaga kaidah agama dari kerancuan, menjadi dasar ilmu-ilmu syariat, dan meluruskan niat serta keyakinan para pengkaji.18

Teologi merupakan elemen yang sangat fundamental dan esensial bagi sebuah agama. Teologi merupakan pilar utama yang menentukan bagi eksistensi agama. Oleh sebab itulah, teologi menjadi bidang kajian yang telah mentradisi dalam sebuah agama. Dan pada dasarnya, sejarah agama dapat dikatakan juga sebagai sejarah teologi.19

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa teologi Islam merupakan ilmu yang membahas tentang eksistensi Allah, sifat-sifat-Nya dan hubungan dengan manusia dan alam semesta.

B. Sejarah Teologi Islam

Perkembangan teologi Islam telah merambah jauh memasuki berbagai persoalan ketuhanan yang rumit, mendetail dan filosofis, sehingga menimbulkan pembaḤasan yang sangat banyak. Berawal dari fenomena ketuhanan yang merupakan fakta universal, melahirkan berbagai kelompok pemikiran dalam Islam yang muncul setelah Rasulullah wafat. Situasi dan kondisi pada saat itu mendorong umat Islam untuk berusaha menegakkan Al-Qur’an dan Sunnah dalam berbagai masalah, dengan tujuan agar permasalahan umat Islam yang semakin banyak dapat terselesaikan dengan baik, sehingga tidak terjerumus pada hal-hal yang dilarang oleh agama.20

Pada masa hidup Rasulullah, ajaran Islam telah terlaksana dengan baik dan benar, sehingga semua permasalahan umat Islam dapat ditanyakan langsung kepadanya dan jawaban terhadap permasalahan tersebut dapat diperoleh langsung dari Rasulullah. Para sahabat kaum Muslimin percaya sepenuh hati,

18 Maria Ulfa Siregar. Pemikiran Teologis Badiuzzaman Said Nursi (Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utama Medan 2015), h. 19.

19 Rumadi, Masyarakat Post Teologi Wajah Baru Agama dan Demokratisasi Indonesia (Bekasi, PT Gugus Press, 2002), h. 23.

20 Ilhamuddin, Ilmu Kalam Arus Utama Pemikiran Islam (Bandung: Citapustaka Media, 2013), h. 128.

bahwa segala yang disampaikan Rasulullah Saw., adalah berdasarkan wahyu Allah Swt. Dengan demikian, tiada keraguan sedikitpun dalam masalah akidah, tiada perpecahan dan juga pengelompokan. Saat Rasulullah Saw., wafat, permasalahan bertumpu kepada para sahabat Rasul, dan hal inilah yang memicu lahirnya permasalahan kalam atau teologi Islam.21

Timbulnya aliran-aliran teologi Islam tidak terlepas dari fitnah-fitnah yang beredar setelah wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw. wafat peran sebagai kepala negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut khulafaur Rasyidin yakni Abū Bakar, Umar bin Khatab, Utsmān bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsmān bin Affan mulai timbul adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah politik sampai pada masalah teologis.22

Sudah menjadi maklum bahwa kemunculan aliran-aliran kalam klasik pertama-tama dipicu oleh problem politis yang selanjutnya berubah menjadi sengketa politis dan meningkat menjadi permasalahan teologis, sehingga penyelesaian suatu masalah teologis pasti membawa implikasi pada prilaku masyarakat.

Timbulnya permasalahan-permasalahan di bidang politik terjadi pada masa khalifah Utsmān bin Affān dan ‘Alī bin Abi Ṭalib. Pada masa khalifah Utsmān bin Affan, beliau banyak mengangkat pejabat-pejabat di masa khalifahnya dari keluarga dekatnya. Kebijakan politik Utsmān yang mengangkat sanak keluarga ini menimbulkan rasa tidak simpatik terhadap dirinya. Setelah melihat sikap dan tindakan yang kurang tepat itu, para sahabat yang semula menyokong Utsmān kini mulai menjauh darinya. Kehadiran para pelaku aksi protes ini akhirnya berakibat fatal bagi diri Utsmān, ia terbunuh oleh para pemuka aksi protes tersebut.23 Setelah Utsmān wafat, ‘Alī bin Abī Ṭalib menggantikan beliau menjadi khalifah berikutnya.

21 ‘Allāmah asy-Syaikh Ja’far Subhāni, “Buhuṡ fil Milal wan Nihal Dirasah Mauwḍū‟iyyah Muqarinatun lil Mażahibil Islāmiyyah”, terj. Hasan Musawa, Al-Milal Wan Nihal Studi Tematis Mazhab Kalam (Pekalongan: Al-Hadi, 1997), h. 28.

22 Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia. 2007), h. 14.

23 Harun Nasution, Sejarah Pemikiran dalam Islam (Jakarta, Pustaka Antara, 1996), h. 2.

Perbedaan pendapat pertama kali terjadi pada masa pemerintahan ‘Alī yang ditandai dengan pemberontakan yang dilakukan oleh Ṭalhah dan Zubair di Makkah dengan mengajak ‘Ᾱisyah untuk bergAbūng dengan mereka dan berangkat ke Basrah untuk mencari dukungan. Terjadilah peperangan di antara kedua pihak yang dikenal dengan perang unta (Waq’atul Jamal). Setelah peperangan berkobar, kelompok Ṭalhah menyadari kekeliruannya dan bertaubat, serta menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī. Namun, Zubair meninggal terkena panah Ibnu Jurmūz dan Ṭalhah meninggal karena dibunuh Marwān ibn Hakām sesudah peperangan usai, sedangkan ‘Ᾱisyah menyadari kekeliruannya, kemudian menyatakan tunduk kepada pemerintahan ‘Alī.24

Perbedaan pendapat juga terjadi antara Mu’āwīyah dan ‘Alī, sehingga mengakibatkan terjadinya perang Ṣiffin yang berakhir dengan keputusan tahkīm (arbitrase). Sejarah menjelaskan bahwa dengan kecerdikan Mu’āwīyah yang merasa akan kalah ketika perang Ṣiffin, mengangkat Mushaf di atas ujung lembing dan meminta supaya pertengkaran antara ‘Alī dan Mu’āwīyah diakhiri dengan suatu keputusan para hakim (para pendamai). Pada mulanya, sebagian kelompok ‘Alī menganjurkan supaya meneruskan perang, karena memang hampir memperoleh kemenangan, tetapi ada sebagian kelompok ‘Alī yang menyetujui anjuran Mu’āwīyah tersebut. Pada akhirnya, yang menyetujuinya adanya perdamaian menang suara dan ‘Alī pun menerima tahkīm.25

Kelompok Ali mengutus Abū Mūsa al-Asy’ari dan kelompok Mu’āwīyah mengutus ‘Amr bin Aṣ dalam tahkīm. Peristiwa yang terjadi di pertemuan mereka, terdapat siasat kelicikan ‘Amr bin Aṣ yang mengalahkan perasaan takwa Abū Mūsa al-Asy’arī. Sejarah mengatakan bahwa mereka melakukan pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemimpin yang bertentangan ‘Alī dan Mu’āwīyah dan memilih khalifah secara musyawarah di antara keduanya, karena Abū Mūsa lebih tua, ‘Amr bin Aṣ mempersilahkan ia untuk mengumumkan terlebih dahulu kepada orang ramai keputusan menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan tersebut. Berlainan dengan yang telah disetujui, ‘Amr bin ‘Aṣ

24 Muḥammad Bin Abdūl Karīm al-Syahrastānī, “Al-Milal Wa Al-Nihal”, terj. Asywadie Syukur, Al-Milal Wa Al-Nihal (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 19.

25 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 138.

mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Alī yang telah diumumkan Abū Mūsa, tetapi menolak penjatuhan Mu’āwīyah.26

Ternyata keputusan tahkīm menjadikan Mu’āwīyah sebagai khalifah menggantikan ‘Alī. Kelompok ‘Alī merasa ditipu oleh utusan Mu’āwīyah, ‘Amr bin Aṣ, sungguh pun dalam keadaan yang terpaksa dan tidak disetujui oleh sebagian tentara ‘Alī. Mereka menganggap bahwa kedudukan Mu’āwīyah yang sebagai gubernur saat itu tidak resmi, karena yang seharusnya menjadi khalifah yang sah adalah ‘Alī, tidak mengherankan kalau keputusan ini ditolak ‘Alī dan tidak mau meletakkan jabatannya hingga ia meninggal terbunuh.27

Selanjutnya, kelompok yang mendukung ‘Alī, serta keluarganya muncul sebagai kelompok yang dikenal dengan Syi’ah. W. Montgomery Watt menyatakan bahwa Syi’ah muncul ketika berlangsungnya peperangan antara

‘Ali dan Mu’āwīyah yang dikenal dengan perang Ṣiffin. Kemudian muncul dua kelompok, yakni Khawarij sebagai kelompok yang keluar dan Syi’ah sebagai kelompok pendukung ‘Alī.28 Peristiwa arbitrase yang menyebabkan umat Islam terpecah belah, menurut Al-Ṣiddieqy terpecah menjadi tiga kelompok yaitu:

1. Kelompok Syi’ah yaitu golongan yang memihak kepada ‘Alī dan ahli baitnya dan berpendapat bahwa ‘Alī dan keturunannya yang berhak menjadi khalifah.

2. Kelompok Khawarij yaitu golongan yang menentang ‘Alī dan Mu’āwīyah, yang mengatakan bahwa peristiwa tahkīm itu melanggar hukum agama Islam.

3. Kelompok Murjiah yaitu kelompok yang menggAbūngkan diri kepada keduanya dan menyerahkan hukum pertengkaran itu kepada Allah sendiri.29

Terbaginya tiga kelompok tersebut pada awalnya karena tujuan politik yaitu perebutan kedudukan khalifah. Namun, permasalahan tersebut akhirnya merambah kepada ranah teologi. Kelompok-kelompok tersebut, membahas

26 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 2009), Jilid II, h. 5.

27 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 5.

28 W. Montgomery Watt, “Islamic Philosophy and Theology”, terj. Umar Basalim, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam (Jakarta: P3M, 1987), h. 10.

29 M. Hasbi al-Ṣiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tauhid/Kalam, h. 139.

urusan-urusan yang berkaitan dengan dasar iman dan akidah. Atas dasar politiklah mereka mendirikan pendapat-pendapat mereka. Harun Nasution menyatakan bahwa permasalahan kalam pertama kali muncul adalah masalah yang kafir dan bukan kafir, seperti kelompok Khawarij yang menganggap bahwa kelompok yang terlibat dan setuju dengan peristiwa tahkīm adalah kafir dan halal dibunuh, berdasarkan firman Allah pada Al-Qur’an surat al-Mā’idah ayat 44.

Sehubungan dengan itu, permasalahan teologi yang muncul berikutnya adalah tentang pelaku dosa besar, masihkah pelaku dosa besar seorang mukmin atau

Sehubungan dengan itu, permasalahan teologi yang muncul berikutnya adalah tentang pelaku dosa besar, masihkah pelaku dosa besar seorang mukmin atau