BAB II: LANDASAN TEORI
C. Remaja
2. Aspek Remaja
Berk (2012) mengatakan bahwa ada beberapa aspek dalam perkembangan
remaja yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Perkembangan Fisik
Meningkatnya hormon pertumbuhan dan hormon seks pada remaja
membuat pertumbuhan badan remaja menjadi cukup pesat.
Pertumbuhan fisik remaja ini berkaitan dengan pertumbuhan tubuh
secara keseluruhan dan kematangan ciri seksual remaja. Pada remaja
laki-laki, pertumbuhan tubuhnya meliputi pertumbuhan otot, ukuran
tubuh, serta pembesaran dada sementara, sedangkan ciri seksualnya
meliputi penis dan testis yang membesar, perubahan suara,
pertumbuhan bulu ketiak, rambut wajah dan tubuh, serta mengalami
keluarnya sperma untuk pertama kalinya yang disebutspermacheatau mimpi basah. Pada remaja perempuan, pertumbuhan fisik ini terlihat
dengan menumpuknya lemak pada tubuh remaja dan mulai
terbentuknya bentuk tubuh yang feminin. Ciri seksual pada remaja
kelamin, bulu ketiak, berkembangnya payudara, rahim dan vagina
menjadi matang, serta mengalami menstruasi (menarche) untuk pertama kalinya. Perubahan fisik pada remaja ini dapat menjadi
pemicu ketertarikan antar lawan jenis.
Perkembangan fisik pada remaja ini dipengaruhi oleh status
ekonomi sosial remaja, dimana remaja yang tinggal di lingkungan
berkecukupan akan mengalami pubertas lebih awal. Perkembangan
fisik remaja juga dipengaruhi oleh asupan gizi yang didapatkan remaja,
keadaan konflik di keluarga, maupun berat badan yang dimiliki
remaja, apakah remaja tersebut mengalami obesitas atau rajin
berolahraga.
b. Perkembangan Kognitif
Piaget (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa remaja mulai
memasuki tahap operasional formal, dimana remaja mulai berpikir
abstrak, sistematis dan ilmiah. Perkembangan kognitif dimasa remaja
menjadikan remaja mampu melakukan penalaran hipotetis deduktif,
dimana remaja mencari kemungkinan-kemungkinan atau hipotesis dan
mampu menarik kesimpulan dari masalah-masalah yang ditemuinya.
Remaja juga memiliki kemampuan pemikiran proposisional, dimana
remaja mampu mengevaluasi logika proposisi atau pernyataan verbal
tanpa mengacu pada kenyataan.
Kemampuan remaja untuk merefleksikan pemikiran mereka
Piaget menjadikan remaja lebih memikirkan diri mereka sendiri.
Egosentrisme remaja ini memunculkan citra yang keliru dari remaja
tentang hubungan antara diri dan orang lain. Elkind dan Bowen (dalam
Berk, 2012) menyatakan distorsi kognitif yang pertama adalah
Imaginary Audience dimana remaja meyakini bahwa dirinya menjadi fokus perhatian orang lain dan semua orang memantaunya. Hal ini
membuat remaja memperhatikan secara detail mengenai penampilan
dirinya dan menjadi sensitif terhadap kritik publik. Distorsi kognitif
yang kedua adalah Personal Fabel dimana remaja merasa dirinya penting dan istimewa karena remaja merasa diperhatikan oleh orang
lain. Merasa dirinya menjadi orang yang penting dan istimewa ini
membuat remaja menganggap dirinya berkuasa.
Perasaan berkuasa ini memprediksikan penghargaan diri dan
penyesuaian diri yang positif pada remaja. Merasa mampu dan merasa
dirinya penting ini dapat membantu remaja menghadapi tantangan
yang dihadapinya. Akan tetapi, perasaan remaja akan keunikan dirinya
dapat berhubungan dengan perasaan depresi dan pikiran untuk bunuh
diri, serta dapat menghambat terbentuknya hubungan akrab dan
dukungan sosial. Merasa diri unik ini jika bertemu dengan kepribadian
yang senang mencari sensasi akan membuat remaja semakin merasa
dirinya istimewa dan kebal terhadap perilaku berisiko pada remaja.
Remaja yang merasa diri unik dan senang mencari sensasi, menjadikan
lebih sering mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol, serta melakukan
tindakan yang lebih nakal dari teman-temannya (Grenee, dalam Berk,
2012).
c. Perkembangan Sosial
Erikson (dalam Berk, 2012) menyatakan bahwa identitas
merupakan salah satu langkah penting remaja menuju sosok dewasa
yang produktif dan berguna. Identitas ini merupakan pendefinisian
mengenai dirinya sendiri. Remaja mengalami krisis identitas dalam
proses pencarian identitasnya yaitu remaja mencoba banyak alternatif
sebelum menetapkan nilai dan tujuan hidupnya. Setelah remaja
menetapkan nilai dan tujuan hidupnya, identitasnya ini akan terus
disempurnakan di masa dewasa saat orang menilai komitmen dan
pilihannya dahulu. Erikson mengatakan konflik psikologis di masa
remaja sebagai konflik identitas versus kegamangan peran. Konflik ini
terjadi bila masyarakat membatasi remaja pada pilihan yang tidak
sejalan dengan kemampuan dan kemauan remaja.
Remaja mengalami perubahan konsep diri dalam memahami
dirinya sendiri. Perubahan kognitif remaja membuat remaja mampu
menggabungkan watak-watak yang mereka bangun ke dalam satu
sistem yang rapi. Remaja kebanyakan lebih menekankan pada
kebajikan sosial karena sifat-sifat ini mencerminkan kepedulian remaja
remaja tidak hanya terjadi pada perubahan konsep diri melainkan juga
perubahan dalam penghargaan diri remaja.
Harga diri pada remaja akan meningkat jika remaja mampu
menyesuaikan dirinya dengan baik. Remaja yang memiliki harga diri
yang positif atau meningkat membuat remaja menjadi seorang yang
optimis, memiliki kendali atas masa depan, percaya diri dan mampu
mengatasi masalah hidup. Remaja yang memiliki harga diri positif
juga menjadi lebih matang, merasa mampu, rupawan, dan lebih
menarik dibanding dulu. Hal-hal ini yang membuat remaja mudah
bergaul dan senang menjalin hubungan dengan teman sebaya. Remaja
yang memiliki penghargaan diri rendah di bidang akademik akan
cenderung cemas dan tidak fokus, serta hubungan remaja dengan
teman sebaya yang negatif menjadikan remaja berpeluang memiliki
kecemasan dan depresif. Sikap antisosial dan agresif pada remaja ini
juga dapat disebabkan oleh ketidakpuasan remaja pada hubungannya
dengan orang tua.
Identitas remaja ini dipengaruhi oleh teman sebaya, aktivitas
sekolah dan komunitas, budaya dan sosial, serta rasa aman dari
keluarga. Remaja yang merasa terikat pada orang tua tetapi juga bebas
menyuarakan pendapat membuat mereka mampu mencapai identitas.
Remaja yang tertutup memiliki ikatan erat dengan orang tua tetapi
kurang memiliki kesempatan untuk berpisah baik-baik dengan orang
melaporkan kurangnya dukungan dari orang tua serta kurangnya
komunikasi yang hangat dan terbuka.
d. Perkembangan Moral
Kohlberg (dalam Berk, 2012) mengatakan bahwa dilema yang
banyak ditemui adalah dilema untuk menaati nilai hukum dan dilema
nilai hidup manusia. Kohlberg menekankan bahwa penentu
kematangan moral adalah bagaimana individu bernalar bukan
kandungan responnya. Kohlberg membagi menjadi tiga tingkat
pemahaman moral, yaitu tingkat prakonvensional dimana ada dua
tahap lagi, yaitu tahap orientasi hukuman dan ketaatan serta tahap
orientasi tujuan instrumental. Tingkat kedua yaitu tingkat konvensional
yang dibagi menjadi tahap orientasi “anak baik” atau moralitas kerja
sama antarpersonal dan tahap orientasi untuk memelihara tatanan
sosial. Tingkat ketiga adalah tingkat pascakonvensional yang dibagi
menjadi tahap orientasi kontrak sosial dan tahap orientasi pada prinsip
etika universal. Pada masa remaja, tahap moralitas kerja sama
antarpersonal dan tahap orientasi untuk memelihara tatanan sosial
semakin meningkat. Menurut Kohlberg, remaja yang memiliki
kematangan moral akan menyadari bahwa bersikap menurut keyakinan
mereka sangat penting dalam menciptakan dan memelihara tatanan
dunia sosial yang adil. Remaja yang tingkat kematangan moralnya
lebih tinggi akan melakukan tindakan-tindakan prososial dan jarang
D. Dinamika Hubungan Pengawasan Orang Tua Bekerja dan Perilaku