BAB II: LANDASAN TEORI
A. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan Orang Tua Bekerja
Pengasuhan merupakan tanggung jawab utama orang tua. Kamus Bahasa
Indonesia (dalam Lestari, 2012) menyebutkan pengasuhan merupakan
berbagai hal mengenai mengasuh. Lestari (2012) mengatakan bahwa
mengasuh memiliki makna menjaga / merawat / mendidik, membimbing /
membantu / melatih, memimpin / mengepalai / menyelenggarakan. Kata asuh
sendiri sering dimaknai bersama kata asah dan asih (asah-asih-asuh). Asah
atau mengasah diartikan sebagai melatih agar kemampuan seseorang yang
dilatih dapat meningkat. Asih atau mengasihi diartikan sebagai menyayangi.
Rangkaian kata asah-asih-asuh ini diartikan Lestari (2012) bahwa pengasuhan
yang sebenarnya bertujuan untuk mengembangkan kemampuan anak yang
dilakukan dengan dilandasi rasa kasih sayang dari orang tua.
Pengasuhan yang dilakukan orang tua ini juga memiliki stres pengasuhan.
Stres pengasuhan ini sendiri terjadi saat pelaksanaan tugas pengasuhan anak.
Penyebab stres pengasuhan ini dapat dilihat melalui pendekatan PCR ( parent-child-relationship). Pendekatan PCR ini membantu kita melihat stres pengasuhan yang muncul dari tiga komponen yaituparent / orang tua, child / anak, dan relationship / hubungan orang tua dan anak. Gejala stres pengasuhan yang muncul jika dilihat dari pendekatan ini adalah menurunnya
konsistennya perilaku pengasuhan, dan menarik diri sepenuhnya dari peran
pengasuhan (Lestari, 2012).
Ada dua dimensi dalam pengasuhan, yaitu demandingness dan
responsiveness. Demandingness berkaitan dengan tuntutan serta harapan orang tua ke anak, disiplin, supervisi dari orang tua dan upaya orang tua
menghadapi masalah perilaku anak. Responsiveness berkaitan dengan tanggapan orang tua ketika membimbinga anak, ketegasan sikap orang tua,
pengaturan diri, dan pemenuhan kebutuhan khusus anak. Kombinasi dari
demandingnessdan responsivenessini memunculkan empat gaya pengasuhan yang dicetuskan oleh Baumrind (dalam Lestari, 2012). Baumrind
menyebutkan gaya pengasuhan tersebut antara lain permissive, rejecting-neglecting, authoritarian, dan authoritative. Orang tua dengan gaya pengasuhan permisif cenderung memberi banyak kebebasan pada anak dan
memaklumi segala perilaku anak serta kurang menuntut tanggung jawab dan
keteraturan perilaku anak. Orang tua yang tidak peduli (rejecting-neglecting) cenderung memberikan kebebasan yang berlebihan ke anak dan tidak ada
sama sekali tanggapan dari orang tua terhadap perilaku-perilaku anak. Gaya
pengasuhan otoriter (authoritarian) dilakukan orang tua yang ingin membentuk, mengontrol, mengevaluasi perilaku anak agar sesuai dengan
aturan standar yang diterapkan orang tua. Gaya pengasuhan yang dianggap
paling baik adalah gaya pengasuhan otoritatif (authoritative), dimana orang tua mengarahkan perilaku anak secara rasional dan memberikan penjelasan
otoritatif ini mendorong anak untuk mematuhi aturan dengan kesadaran
sendiri.
Beberapa peneliti membedakan antara praktik pengasuhan dan gaya
pengasuhan. Darling dan Steinberg (dalam Lestari, 2012) menyebutkan bahwa
gaya pengasuhan merupakan konteks yang mempengaruhi kesediaan anak
untuk melakukan sosialisasi, sedangkan praktik pengasuhan berkaitan dengan
akibatan pada perilaku anak. Dishion dan McMahon (dalam Lestari, 2012)
mengkonsepkan praktik pengasuhan sebagai relasi yang dinamis yang
mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial, dengan
kualitas relasi orang tua dan anak. Lestari (2012) sendiri merangkum
bentuk-bentuk perilaku pengasuhan orang tua anak adalah kontrol dan pemantauan;
dukungan dan keterlibatan; komunikasi; kedekatan; dan pendisiplinan.
1. Pengawasan (Monitoring) Orang Tua
Montemayor (2001) mendefinisikan pengawasan sebagai aktifitas yang
memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas yang
dilakukan, dan teman-temannya (Lestari, 2012). Lestari (2012) sendiri
menganggap pengawasan merupakan salah satu cara orang tua untuk
mengembangkan kontrol pada anak. Diclemente, Wingwood, Crosby,
Sionean, Cobb, Harrington, dan Oh (2001) mengatakan bahwa hal penting
dari pengawasan orang tua adalah persepsi remaja terhadap pengetahuan
orang tua mereka mengenai dengan siapa dan dimana remaja
menghabiskan waktu ketika remaja tidak berada di rumah ataupun di
orang tua merupakan sebuah proses yang menggambarkan keaktifan orang
tua untuk memantau remajanya, seperti mengumpulkan informasi
mengenai remaja dan supervisi orang tua. Kerr juga menambahkan bahwa
remaja juga merupakan hal penting dalam proses pengawasan orang tua,
dimana remaja dapat memutuskan informasi apa saja yang akan mereka
beritahukan kepada orang tuanya.
Dishion dan McMahon (dalam Bacchini, 2011) mendefinisikan
pengawasan orang tua sebagai perilaku-perilaku orang tua yang
melibatkan perhatian ke remajanya dan mencari tahu dimana remajanya
berada, aktivitas remaja dan adaptasi remaja. Stattin dan Kerr (dalam
Bacchini, 2011) menambahkan pengawasan yang efektif adalah
pengawasan yang dihubungkan dengan kualitas komunikasi orang tua dan
anak serta melibatkan lebih dari sekedar kontrol yang bersifat memaksa
pada perilaku remaja. Pengawasan yang dilakukan orang tua ini juga
membantu menciptakan keseimbangan di dalam hubungan keluarga dan
dukungan dalam hubungan orang tua dan anak (Ceballo dalam Bacchini,
2011).
Berdasarkan teori di atas, peneliti menyimpulkan pengawasan
orang tua bekerja merupakan tindakan kontrol yang dilakukan orang tua
bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian dan kualitas komunikasi
orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui keberadaan dan kegiatan
2. Komponen Pengawasan Orang Tua
Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa ada
empat komponen penting dalam pengawasan orang tua.
Komponen-komponen pengawasan orang tua tersebut, yaitu usaha aktif orang tua
untuk mengawasi, supervisi orang tua, keterbukaan remaja dalam
memberikan informasi, dan pengetahuan orang tua. Lippold (2013) dalam
penelitiannya merumuskan komponen pengawasan orang tua hanya dua,
yaitu:
a. Pengetahuan Orang Tua
Lippold (2013) mengatakan bahwa usaha aktif orang tua, supervisi
orang tua, keterbukaan remaja dalam memberikan informasi berguna
mengatasi masalah perilaku remaja jika ketiga hal tersebut mengarah
pada pengetahuan orang tua. Pengetahuan orang tua yang dimaksud di
sini adalah pengetahuan orang tua mengenai kegiatan-kegiatan yang
dilakukan anak remajanya. Crouter dan Head (dalam Lippold, 2013)
mengatakan bahwa orang tua yang memiliki pengetahuan mengenai
kegiatan yang dilakukan remajanya lebih memiliki struktur untuk
mencegah remaja dari pengaruh perilaku menyimpang sebaya.
Usaha aktif orang tua untuk mengawasi remaja ini menjadi tidak
berguna ketika orang tua hanya bertanya tetapi tidak mendengarkan
jawaban yang diberikan remaja atau juga ketika remaja menghindari
pengawasan dari orang tuanya. Usaha aktif orang tua yang tidak
remajanya sehingga membuat remaja merasa terkekang atau diawasi.
Pengetahuan orang tua yang sebenarnya tidak selalu bertujuan sebagai
pengawasan yang bersifat melindungi atau mengekang remaja.
b. Kualitas Hubungan Orang Tua dan Remaja
Darling dan Steinberg (dalam Lippold, 2013) mengatakan bahwa
kualitas hubungan orang tua dan anak juga mendukung pengaruh
tindakan orang tua pada perilaku remaja. Hubungan yang hangat dan
mendukung akan membuat orang tua lebih mendengarkan remaja
ketika remaja menceritakan atau memberikan informasi mengenai
kegiatannya. Hubungan yang hangat dan mendukung ini juga
meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai kegiatan remajanya
dalam suasana lingkungan yang positif dalam keluarga. Stattin dan
Kerr (dalam Bacchini, 2011) juga menyetujui bahwa pengawasan yang
efektif berkaitan dengan kualitas komunikasi orang tua anak dan
melibatkan lebih dari sekedar pengawasan yang bersifat memaksa
terhadap anak.
Pengawasan orang tua tidak hanya berkaitan dengan kualitas
komunikasi orang tua anak, melainkan juga dukungan dari keluarga
yang menciptakan keseimbangan dalam hubungan keluarga (Ceballo
dalam Bacchini, 2011). Menurut Garbarino (dalam Bacchini, 2011)
kualitas komunikasi yang baik akan memunculkan kehangatan dan
dukungan keluarga yang membantu remaja untuk mengatasi
Lippold, 2013) menemukan bahwa hubungan antara keterbukaan dan
pengetahuan menjadi lebih kuat di dalam keluarga yang memiliki
hubungan yang hangat dibanding dalam hubungan yang tegang.
Kehangatan dan dukungan keluarga ini juga memberikan kenyamanan
untuk bercerita dan persepsi kepada remaja bahwa ada orang-orang
yang perhatian dan memperhatikan mereka. Hal ini akan membuat
remaja berpikir kembali sebelum melakukan perilaku yang tidak
diinginkan.
3. Orang Tua Bekerja
Bureau of Labor Statistics (dalam Papalia, 2008) menyebutkan bahwa hampir dua dari tiga keluarga di Amerika Serikat yang memiliki anak usia
di bawah 18 tahun merupakan keluarga dengan dua sumber pemasukan.
Santrock (2014) juga mengatakan bahwa saat ini tidak hanya ayah saja
yang bekerja di dalam keluarga, tetapi banyak juga para ibu yang ikut
bekerja. Fenomena ibu bekerja ini menimbulkan pertanyaan alasan ibu
bekerja yang akhirnya dibahas oleh Jones, McGrattan, dan Manuelli
(dalam Papalia, 2008). Jones, McGrattan, dan Manuelli (dalam Papalia,
2008) menemukan bahwa alasan wanita juga ikut bekerja adalah
meningkatnya biaya hidup; adanya perubahan dalam perceraian, keamanan
sosial, peraturan perpajakan; adanya perubahan sikap terhadap peran
mengurangi jurang pendapatan antara laki-laki dan wanita; serta keinginan
untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
a. Pengaruh Orang Tua Bekerja
Kedua orang tua yang sama-sama bekerja memiliki tantangan yang
memunculkan keuntungan dan kerugian tersendiri (Papalia, 2008).
Dampak positif yang dapat diperoleh jika kedua orang tua bekerja
antara lain:
1) Pemasukan dari kedua pihak meningkatkan status ekonomi
keluarga.
2) Relasi yang lebih setara antara suami (ayah) dan istri (ibu)
3) Kesehatan yang lebih baik untuk kedua pasangan.
4) Harga diri yang lebih besar bagi keduanya.
5) Relasi yang lebih rapat antara ayah dan anak-anaknya.
Dampak negatif yang mungkin muncul atau terjadi adalah:
1) Munculnya konflik antara pekerjaan dan keluarga.
2) Kemungkinan adanya rivalitas antar pasangan.
3) Konflik orang tua dan anak yang meningkat akibat tekanan fisik
dan psikologis yang didapatkan orang tua bekerja. Ibu yang merasa
memiliki beban berlebihan cenderung kurang memperhatikan dan
menerima anaknya sehingga seringkali anak menunjukkan masalah
perilakunya. Ketika ibu merasa tertekan, akan ada kecenderungan
4) Orang tua bekerja harus mempertimbangkan mengenai jadwal dan
stres kerja sebagai efek dari bekerja (Santrock, 2014). Situasi kerja
yang buruk, stres kerja serta jam kerja yang panjang dan
melelahkan dapat membuat orang tua menjadi cepat marah ketika
berada di rumah. Selain itu, situasi ini juga dapat membuat
pengasuhan ataupun pengawasan orang tua terhadap anak menjadi
kurang efektif.
4. Persepsi Remaja Terhadap Pengawasan (Monitoring) Orang Tua Bekerja
Persepsi menurut Huffman, Verno, dan Vernoy (2000) merupakan
sebuah proses dimana individu memilih, mengorganisasikan,
menginterpretasikan sebuah data atau stimulus yang diterima menjadi
sebuah representasi mental yang berguna bagi dunia. Walgito (2010)
mengatakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses yang terintegrasi di
dalam individu dimana individu mengorganisasikan, menginterpretasikan
stimulus yang diterima melalui indera. Persepsi ini membantu individu
menyadari keadaan sekitar maupun keadaan dirinya sendiri. Persepsi ini
bersifat individual. Hal ini dikarenakan perasaan, kemampuan berpikir dan
pengalaman individu yang berbeda dengan individu lainnya.
Berdasarkan penjelasan mengenai persepsi di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa yang dimaksud persepsi remaja terhadap
pengawasan orang tua bekerja adalah proses seorang remaja untuk
yang dilakukan orang tua bekerja dengan melibatkan dukungan, perhatian
dan kualitas komunikasi orang tua dan anak yang baik untuk mengetahui
keberadaan dan kegiatan anak remajanya. Tidak hanya orang tua yang
memegang peranan penting dalam pengawasan orang tua, melainkan
remaja juga memiliki peran penting dalam memilah informasi mana yang
akan mereka beritahukan kepada orang tua.