BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki penduduk
kurang lebih 213 juta jiwa. Survey Antar Sensus Badan Pusat Statistik tahun
2005 menyebutkan bahwa ada sekitar 80 juta jiwa penduduk Indonesia
merupakan remaja dan anak (BPS, 2005). Anak dan remaja sebagai generasi
penerus bangsa merupakan aset yang sangat penting untuk memajukan sebuah
negara. Remaja diharapkan nantinya mampu membangun bangsa dan
negaranya menjadi lebih baik.
Mead (dalam Santrock, 2011) mengatakan bahwa remaja merupakan
masa transisi dari anak menuju dewasa. Otto Rank menyebutkan bahwa pada
masa remaja terdapat perubahan kehendak yang cukup drastis dari masa
kanak-kanak menuju dewasa (Sarwono, 2012). Remaja mengalami perubahan
kehendak yang tadinya masih bergantung pada orang lain saat masa
kanak-kanak menuju kemandirian di masa dewasa. Pada tahap ini remaja sedang
mencari pedoman atau nilai-nilai baru yang dapat dianutnya menuju
kehidupan dewasa. Remaja cenderung ingin meninggalkan pedoman atau nilai
yang dianutnya pada masa kanak-kanak, akan tetapi mereka belum memiliki
pedoman yang baru untuk kehidupan dewasanya (Sarwono, 2012).
Seorang remaja akan mencari pedoman baru untuk hidupnya dari
lingkungan keluarga. Secara jelas Reiss (dalam Lestari, 2012) mengatakan
bahwa keluarga merupakan kelompok kecil yang termasuk dalam pertalian
keluarga dan memiliki fungsi sosialisasi pemeliharaan terhadap generasi
berikutnya.
Orang tua sebagai sosok orang yang lebih dewasa di dalam keluarga
turut mengambil andil menemani remaja dalam mencari pedoman hidupnya
yang baru. Ellis, Thomas, dan Rollins (dalam Lestari, 2012) menyebutkan
bahwa dukungan orang tua adalah interaksi orang tua yang dapat ditunjukkan
melalui perawatan, kehangatan, persetujuan, dan perasaan positif yang
diberikan orang tua ke anak. Dukungan orang tua dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu dukungan instrumental dan dukungan emosi. Dukungan
instrumental merupakan dukungan orang tua berupa sarana dan prasarana
yang diberikan orang tua untuk mendukung proses belajar dan tumbuh
kembang anak. Dukungan emosi adalah perilaku fisik maupun non-fisik yang
ditunjukkan orang tua. Dukungan emosi dapat ditunjukkan dengan
menunjukkan afeksi atau komunikasi yang positif dan terbuka kepada anak.
Kehadiran orang tua dapat membuat anak merasa nyaman, diterima dan diakui
sebagai individu (Lestari, 2012). Kehadiran dan dukungan orang tua ini dapat
juga memenuhi kebutuhan remaja akan kasih sayang dan rasa kekeluargaan.
Setiap orang khususnya remaja berkeinginan mendapatkan kasih sayang
dari setiap orang yang dikenalnya, terutama orang tua. Kebutuhan akan kasih
sayang ini sangat dibutuhkan oleh remaja karena remaja merasa mendapatkan
remaja dapat meningkatkan kepercayaan diri remaja. Apabila remaja memiliki
rasa percaya diri, remaja juga akan mampu menerima dan menyayangi dirinya
sendiri. Kemampuan remaja untuk menyayangi dirinya sendiri ini dapat
membantu remaja membangun hubungan sosial yang baik dengan orang lain.
Remaja yang merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tua akan
merasa gagal dan tidak berdaya. Kegagalan yang dialami remaja ini dapat
menyebabkan remaja berperilaku menyimpang agar mendapatkan
penghargaan (Panuju dan Umami, 1999).
Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja ini disebut juga sebagai
Juvenile Delinquency. Kartono (2011) mengatakan bahwa juvenile delinquency adalah kejahatan atau kenakalan yang dilakukan oleh anak-anak muda. Kartono (2011) menyebutkan kenakalan remaja ini merupakan gejala
patologis secara sosial yang disebabkan pengabaian oleh lingkungan
sosialnya. Simanjuntak (dalam Sudarsono, 2012) menyatakan suatu perbuatan
dikatakan delinkuen jika perbuatan tersebut bertentangan dengan norma yang
berlaku di masyarakat dimana seseorang tinggal. Kenakalan remaja yang
bertentangan ini menyebabkan keresahan di lingkungan masyarakat. Remaja
yang melakukan kenakalan dianggap tidak mampu memahami dan mentaati
norma yang berlaku di masyarakat. Padahal salah satu tugas perkembangan
remaja adalah mampu memperlihatkan tingkah laku yang dapat
dipertanggungjawabkan secara sosial, dimana remaja dapat menghormati dan
juga diharapkan mampu mengadopsi norma masyarakat yang berlaku untuk
menjadi pedoman hidupnya yang baru dalam bertingkah laku.
Angka kenakalan remaja di Indonesia akhir-akhir ini meningkat cukup
drastis. Berdasarkan data yang diperoleh dari BKKBN online tanggal 11 Desember 2006 yang dikutip oleh Nugroho (2010), hasil survei Pusat
Kesehatan Masyarakat UI mengatakan dari 170 SMA yang diteliti, 25%
responden menyatakan hubungan seks boleh saja dilakukan dengan pasangan
asal disertai perasaan suka sama suka, 3% responden mengaku pernah
melakukan hubungan seks dengan kekasihnya, 35% remaja pria menyatakan
tidak perlu lagi mempertahankan keperjakaannya, dan 10% remaja wanita
juga menyatakan tidak perlu lagi mempertahankan keperawanannya. BKKBN
online tahun 2008 (dalam Nugroho, 2010) juga mengatakan bahwa 63% remaja Indonesia di kota-kota besar telah melakukan hubungan seks pra nikah.
Nugroho juga mengutip penelitian yang dilakukan Annisa Foundation (2006)
bahwa 42,3% remaja melakukan hubungan seks pertama kali saat duduk di
bangku SMP-SMA (BKKBNonlinedalam Nugroho 2010).
Tingginya angka remaja yang melakukan seks bebas ini diperkuat juga
oleh data yang dimiliki oleh Dr. Boy Abidin, SpOG (dalam Nugroho, 2010)
yang berpraktik di Rumah Sakit Mitra Kelapa Gading Jakarta. Data
menunjukkan bahwa 3,2% siswi hamil di luar nikah karena diperkosa, 12,9%
siswi hamil di luar nikah karena hubungan seks atas dasar suka sama suka,
45,2% siswi hamil di luar nikah karena tidak menduga akan hamil, dan 22,6%
bahwa remaja belum memahami akibat dari perilaku seks bebas yang
dilakukan, yaitu salah satunya kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini juga
menunjukkan bahwa remaja Indonesia belum mampu menjalankan salah satu
tugas perkembangan remajanya dengan baik. Remaja belum mampu
menghormati dan mentaati nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat,
dimana perilaku seks bebas bukanlah perilaku yang mencerminkan budaya
timur.
Kenakalan remaja banyak ditemukan khususnya di kota-kota besar di
Indonesia. Hal ini dikarenakan banyaknya media yang memudahkan budaya
asing masuk ke Indonesia dan juga fasilitas yang diberikan oleh orang tua
maupun pemerintah setempat (Panuju dan Umami, 1999). Budaya asing
masuk dengan mudahnya ke Indonesia melalui berbagai media, seperti
misalnya film, buku, maupun internet. Sebagian besar remaja yang hidup di
perkotaan besar menghabiskan banyak waktunya untuk berselancar di internet,
mulai dari mencari berita mengenai dalam maupun luar negeri, mengunduh
lagu barat terbaru, sampai mengobrol dengan teman dalam maupun luar negeri
melalui aplikasi chatting di kehidupan sehari-harinya (Budhyati, 2012).
Budhyati (2012) menyebutkan macam-macam perilaku kenakalan remaja
yang dipengaruhi media internet antara lain perkelahian akibat dari kecanduan
game online bertema kekerasan, membolos sekolah karena bergadang kecanduan game online, perkataan kasar dan tidak senonoh di media sosial, pemalsuan identitas di media sosial, penculikan yang berkedok pertemuan
jual beli barang, berbohong kepada orang tua untuk mendapatkan biaya
membeli pulsa modem atau ke warnet, dan perbuatan asusila sebagai akibat
dari melihat gambar atau video porno di internet.
Budhyati (2012) menyebutkan beberapa upaya untuk mengatasi
kenakalan remaja, diantaranya upaya preventif, tindakan kuratif, dan
pembinaan agama bagi remaja. Upaya preventif dapat dilakukan oleh
keluarga, sekolah, maupun masyarakat dan pemerintah. Keluarga sebagai
lingkungan yang terdekat dengan remaja dapat memberitahu dampak positif
dan negatif dari penggunaan internet, mengusahakan untuk menyediakan
internet di rumah dengan meletakkan komputer di tempat yang mudah diawasi
dan memblokir situs yang dianggap tidak layak, memberitahu situs-situs yang
menarik untuk usianya, mengawasi perubahan perilaku remaja dan
membangun komunikasi yang tepat, serta membatasi durasi penggunaan
internet dan mengarahkan untuk menggunakan internet dengan positif.
Sekolah sebagai lingkungan pendidikan dapat memberitahu juga
mengenai dampak positif dan negatif penggunaan internet, menyediakan
fasilitas internet di sekolah dengan memblokir situs-situs yang tidak layak
untuk anak didiknya, mengarahkan pembelajaran melalui e-learning, e-mail,
dan thinkquest, serta guru juga dapat turut aktif di jejaring sosial untuk mengawasi anak didiknya dalam bergaul di internet. Pemerintah dan
masyarakat juga memegang peranan penting untuk mengatasi kenakalan
remaja, misalnya dengan memberlakukan dengan tegas peraturan
situs porno di dalam maupun luar negeri, izin operasional warnet dibatasi,
setiap warnet diharuskan memilikisoftwareanti pornografi, serta razia berkala dan pengawasan langsung dari masyarakat terhadap keberadaan warnet.
Penggunaan internet yang tidak disaring ini dapat menggeser nilai-nilai
atau norma yang berlaku di masyarakat. Salah seorang Guru Bimbingan
Konseling di SMA Bopkri Dua Yogyakarta (wawancara pribadi, Maret 2014)
mengatakan sekarang ini ada pergeseran norma masyarakat di mata remaja.
Beliau mengatakan banyaknya warung kopi di Yogyakarta menjadi salah satu
contoh pergeseran norma masyarakat. Remaja yang berada di warung kopi
untuk menongkrong bersama teman-temannya pada malam hari seharusnya
berada di dalam rumah untuk belajar. Beliau juga mengatakan bahwa kontrol
orang tua yang lemah dapat menjadi salah satu penyebab remaja berada di
warung kopi pada malam hari.
Arus modernisasi dan teknologi yang semakin berkembang membuat
remaja mulai mengenal rokok, narkoba, terlibat banyak tindakan kriminal
bahkan berujung pada kenakalan remaja prostitusi. Hal-hal tersebut bisa
terjadi karena kurangnya dasar-dasar agama, kurangnya kasih sayang orang
tua, kurangnya pengawasan orang tua, pergaulan dengan teman yang tidak
sebaya, peran dari perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang
berdampak negatif serta kebebasan yang berlebihan. Remaja secara tidak
langsung mendapat imbas dari globalisasi yang negatif terutama bila tidak
diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua. Teknologi yang
internet. Informasi-informasi yang masuk melalui internet ini dapat juga
berupa eksploitasi seksual. Eksploitasi seksual yang didapatkan melalui media
ini dapat mendorong remaja untuk melakukan aktivitas seksual secara
sembarangan seperti misalnya menyimpan dan menyebarkan foto maupun
video yang membuat remaja lebih cepat matang secara seksual dan mencari
penyaluran seksual yang salah. Remaja dengan rasa ingin tahu yang tinggi
serta dorongan seks yang tinggi akibat terpapar media bebas menjadikan
remaja mencari penyaluran hasrat seksualnya, terlibat pergaulan bebas dan
gaya pacaran yang melampaui batas (Nasution, 2016).
40% remaja telah melakukan hubungan seks pra nikah bahkan sekitar
25% anak-anak berusia 15-24 tahun di Batam berpotensi mengidap HIV/AIDS
(Nursali, 2015). Fenomena seks bebas di kalangan remaja Batam ini
memunculkan beberapa istilah bagi remaja khususnya remaja putri, yaitu Bisa
Pakai (BP atau lebih terkenal dengan singkatan BisPak) dan Barang Batam
(BB) (“Cewek BP dan BB”, 2011). BP dan BB adalah julukan untuk remaja
putri Batam yang menyediakan jasa berhubungan seksual. Remaja putri yang
diberi julukan BP atau BisPak menjajakan seks kepada teman seumurannya
dan tarif mereka tidaklah mahal, asalkan mereka senang dibawa jalan-jalan ke
lokasi-lokasi yang menyenangkan, misalnya mall atau pantai. Julukan Barang
Batam atau BB diberikan kepada remaja putri yang menjajakan seks untuk
para pejabat, oknum aparat, pengusaha maupun om-om yang mencari
kepuasan seksual. Remaja putri yang dijuluki BB ini terorganisir melalui
lebih mahal dibanding yang menjadi BP atau BisPak, mereka dapat meminta
brang-barang berharga yang mereka inginkan, seperti handphone terbaru ataupun parfum mahal. Alasan kebanyakan remaja putri yang menjadi BB dan
BP dikarenakan mereka tergiur dengan iming-iming hadiah atau
barang-barang yang akan mereka dapatkan (“Cewek BP dan BB”, 2011).
Remaja-remaja putri tersebut mengatakan bahwa uang jajan yang diberikan oleh orang
tua mereka dirasa tidak mampu memenuhi keinginan-keinginan mereka,
sehingga mereka tergiur untuk menjadi BP maupun BB untuk mendapatkan
keinginan mereka.
Kapolresta Batam, Kombes Asep Safrudin mengatakan bahwa
ditemukannya beberapa orang anak di bawah umur yang ikut dalam jaringan
PSK online di Batam (Purniawan, 2015). Tarif yang mereka dapatkan juga cukup menggiurkan, yaitu sekita 1 juta untuk sekali booking, dimana sang mucikari mengambil 400 ribu untuk kantongnya sendiri dan sisanya untuk si
pekerja seks komersial tersebut. Banyaknya PSK di Batam menjadikan Batam
termasuk dalam salah satu dari empat kota wisata seksual di Indonesia yang
diminati oleh turis asing, selain Bogor, Singkawang dan Cikarang (“Empat
Kota di Indonesia”, 2014).
Tingginya angka PSK di Batam juga memicu tingginya angka pengidap
HIV/AIDS. Dinas Kesehatan Kota Batam mencatat sejak tahun 1992 hingga
Oktober 2014 tercatat 3.477 penderita HIV dan 1.510 diantaranya sudah
berkembang menjadi AIDS di Batam (Riezky, 2014). Komisi Penanggulangan
2014 tercatat 581 orang terjangkit HIV, 252 orang diantaranya positif AIDS
dan sudah ada 110 orang yang meninggal dunia akibat AIDS di Batam
(Mesakh, 2014).
Selain tingginya angka seksualitas di Batam, masyarakat yang tinggal
di kota Batam juga memiliki tingkat biaya hidup yang besar. Tingginya
kebutuhan atau biaya hidup di kota industri ini menuntut kedua orang tua
untuk bekerja demi menghidupi keluarganya. Pada zaman sekarang ini, tidak
hanya ayah saja yang bekerja, melainkan ibu juga bekerja demi terpenuhinya
kebutuhan hidup keluarganya yang semakin besar. Kesibukan dan
ketidakhadiran kedua orang tua di rumah ini dapat mendorong anak menjadi
delinkuen. Sudarsono (2012) mengatakan bahwa kenakalan remaja dapat
disebabkan oleh keluarga yang berantakan atau broken home. Broken home
menurut Sudarsono adalah struktur keluarga yang sudah tidak lengkap lagi
yang dikarenakan salah satu atau kedua orang tua meninggal, perceraian orang
tua, maupun ketidakhadiran orang tua dalam waktu yang cukup lama.
Sudarsono (2012) juga menyebutkan mengenaibroken home semuyang sering terjadi di mayarakat sekarang ini. Broken home semu terjadi di struktur keluarga yang masih lengkap, hanya saja karena kesibukan masing-masing
anggota keluarga terutama orang tua membuat orang tua tidak memberikan
perhatian ke anak-anaknya.
Ketidakhadiran atau tidak adanya pengawasan dari orang tua ini dapat
menjadi salah satu penyebab munculnya kenakalan remaja. Shanty, Suyahmo,
kurangnya waktu orang tua yang dikarenakan kesibukan orang tua bekerja
sehingga orang tua tidak memiliki waktu untuk memperhatikan perkembangan
remajanya, orang tua juga tidak memberikan pengawasan terkait pergaulan
remajanya. Orang tua cenderung tidak membatasi dan tidak memberikan
aturan khusus mengenai pergaulan anaknya sehingga remaja cenderung bebas
melakukan kegiatan apapun bersama dengan teman-temannya. Kesibukan
orang tua dan tidak adanya pengawasan dari orang tua maupun saudara ini
membuat peran orang tua dalam mencegah kenakalan remaja menjadi kurang
efektif. Faktor-faktor lain yang menjadi penyebab kenakalan remaja pada
keluarga buruh pabrik di Kudus adalah pengaruh lingkungan tempat tinggal,
pengaruh teman sepermainan, dan kesenangan, kepuasan, rasa penasaran, serta
rasa bangga yang dimiliki remaja ketika melakukan kenakalan.
Kesibukan dan ketidakhadiran orang tua ini juga menjadi salah satu
faktor kesenjangan nilai antar generasi. Hal ini dapat dilihat dari penelitian
yang dilakukan oleh Alfarista, Wantiyah, dan Rahmawati (2013) dimana
62,7% remaja mengatakan bahwa internet merupakan sumber informasi
mengenai perilaku seksual yang paling sering digunakan oleh remaja.
Sebanyak 69,1% remaja mengatakan alasan mereka memilih internet karena
informasi dapat dengan mudah didapatkan melalui media tersebut. Internet
sebagai media sumber informasi remaja mengenai seksualitas ini menjadi
salah satu contoh keadaan yang kurang ideal. Internet sebagai sumber
informasi yang banyak diakses ini juga menunjukkan kurangnya pengaruh
Responden dari Zuhri dan Herlina (2008) mengatakan bahwa remaja merasa
kurang nyaman jika bertanya mengenai seksualitas kepada orang tua mereka.
Orang tua sebagai orang dewasa dalam lingkungan keluarga seharusnya
menjadi sumber informasi bagi anak-anaknya. Akibatnya nilai-nilai yang
seharusnya diturunkan oleh orang tua menjadi tidak tersampaikan. Pergeseran
nilai ini membuat remaja tidak lagi menganut nilai-nilai baik yang dianut oleh
orang tuanya.
Kesibukan orang tua bekerja serta tidak adanya pengawasan dari orang
tua ini membuat remaja mengurus dirinya sendiri. Penelitian yang dilakukan
oleh Dwyer, Richardson, Hansen, Sussman, Brannon, Dent, dan Flay di San
Diego dan Los Angeles (1990) menemukan bahwa ada sekitar 67,8 % pelajar
kelas 8 yang mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan dari orang tua
selama beberapa waktu dalam satu minggu, 23,5 % yang mengurus diri
selama 1 sampai 4 jam per minggu, 15,7 % yang mengurus diri selama 5
sampai 10 jam per minggu, dan 28,6 % yang mengurus diri selama lebih dari
11 jam per minggu. Hasil dari penelitian ini mengatakan bahwa pelajar yang
mengurus dirinya sendiri tanpa pengawasan orang tua lebih dari 11 jam per
minggu memiliki kecenderungan untuk merasa marah, memiliki masalah
keluarga, mengalami stres, menganggap teman sebagai sumber utama yang
mempengaruhinya dan menghadiri pesta 1,5 sampai 2 kali lebih tinggi.
Richardson, Radziszewska, Dent, dan Flay (1993) yang melakukan
penelitian di Los Angeles dan San Diego memiliki hasil penelitian yang
bahwa remaja yang tidak diawasi oleh orang dewasa di rumah lebih memiliki
kemungkinan masalah perilaku dibandingkan yang mendapat pengawasan dari
orang dewasa. Akan tetapi, tidak adanya pengawasan dari orang tua tidak
begitu saja menaikkan risiko perilaku bermasalah pada remaja jika orang tua
secara konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.
Risiko masalah perilaku pada remaja akan semakin meningkat jika remaja
tidak mendapatkan pengawasan dari orang tua dan orang tua tidak secara
konsisten mengamati kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh remaja.
Berdasarkan penelitian-penelitan sebelumnya yang dilakukan di Los
Angeles dan San Diego tersebut peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan pengawasan yang dilakukan oleh kedua orang tua bekerja di kota
besar dengan perilaku seksual remajanya. Peneliti ingin melakukan penelitian
ini di Indonesia karena peneliti melihat di budaya barat yang mementingkan
kemandirian anak saja pengawasan orang tua masih menjadi sebuah masalah
pemicu kenakalan remaja, bagaimana dengan Indonesia yang mengganggap
bahwa penting bagi orang tua untuk membangun hubungan dengan anak.
Peneliti ingin melakukan penelitian ini khususnya di kota Batam. Hal
ini dikarenakan Batam merupakan kota dengan biaya hidup tertinggi di
Indonesia berdasarkan survey BPS tahun 2007 (Aufa, Masbar, dan Nasir,
2013). Batam dengan biaya hidupnya yang tinggi menuntut kedua orang tua
untuk bekerja demi mencukupi biaya hidup keluarga. Tuntutan orang tua
waktu untuk mengawasi anak remajanya sehingga peneliti di sini ingin
meneliti persepsi remaja mengenai pengawasan dari orang tuanya.
Batam yang terkenal dengan biaya hidup yang tinggi dan angka
seksualitas serta HIV/AIDS yang juga tinggi membuat peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian di Batam. Peneliti juga melihat belum banyak penelitian
mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas di Batam, selama ini peneliti
hanya menemukan informasi mengenai persepsi pengawasan dan seksualitas
melalui opini atau tulisan di blog maupun berita.