• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: LANDASAN TEORI

B. Perilaku Seksual

1. Pengertian Perilaku Seksual

Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong

oleh hasrat seks, baik dengan lawan jenis ataupun sesama jenis (Sarwono,

2012). Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) mengatakan bahwa perilaku

seksual merupakan aktivitas yang melibatkan tubuh dalam ekspresi erotis

atau perasaan kasih sayang, perilaku seksual ini dapat melibatkan

repoduksi atau hanya stimulasi sensual. Sarwono (2012) menyebutkan

bahwa objek seksual ini tidak hanya orang lain, melainkan dapat juga

berupa khayalan atau diri sendiri. Peneliti sendiri menarik kesimpulan

bahwa perilaku seksual merupakan kegiatan fisik yang bersifat erotis yang

didorong oleh hasrat seksual. Perilaku seksual ini dapat dilakukan dengan

pasangan ataupun hanya diri sendiri dengan tujuan memuaskan hasrat

2. Bentuk Perilaku Seksual

Rathus, Nevid, dan Rathus (2007) membagi bentuk perilaku

seksual menjadi 2 bagian, yaitu perilaku seksual yang dilakukan oleh diri

sendiri dan perilaku seksual yang dilakukan dengan pasangan.

a. Diri Sendiri

1) Masturbasi

Masturbasi merupakan salah satu ekspresi seksual seseorang yang

tidak melibatkan orang lain. Masturbasi ini disebut juga sebagai

merangsang seksual diri sendiri (Sexual Self-Stimulation).

Seseorang yang melakukan masturbasi mendapatkan kepuasan

seksual dengan menyentuh alat genitalnya, misalnya dengan

guling, ataupun dildo.

b. Orang Lain

1) Foreplay

Foreplay merupakan kegiatan-kegiatan seksual yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual sebelum bersenggama.

Foreplay dapat berupa berciuman sampai saling menyentuh alat kelamin. Dalam beberapa budaya, berciuman dan menyentuh alat

kelamin ini tidak hanya ditujukan sebagaiforeplay, melainkan juga sebagai sebuah pengalaman atau kegiatan itu sendiri.

2) Kissing

Kissingatau berciuman merupakan salah satu caraforeplaydengan cara menyentuh pasangan dengan menggunakan bibir. Berciuman

identik dengan dua bibir yang saling bersentuhan. Ciuman dibagi

menjadi dua, yaitu:

a) Simple Kissing

Simple kissingdilakukan dengan mulut tertutup dan menyentuh bibir pasangan menggunakan bibir atau lidah. Simple kissing

ini dapat juga dilakukan dengan menggigit bibir bawah

pasangan.

b) Deep Kissing

Deep kissing atau yang sering juga disebut French kiss. Deep kissing / French kiss ini dilakukan dengan mulut terbuka dan lidah masuk ke dalam mulut.

3) Touching

Menyentuh pasangan menggunakan tangan atau anggota tubuh

lainnya dapat menaikkan gairah seksual seseorang, misalnya

merangsang gairah seksual dengan memegang penis, vagina, atau

area lainnya.

4) Stimulation of the Breasts

Merangsang payudara dapat meningkatkan gairah seksual untuk

kedua jenis kelamin, laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi,

kebanyakan laki-laki heteroseksual lebih memilih merangsang

payudara wanita daripada payudaranya. Merangsang payudara ini

dapat dilakukan menggunakan tangan ataupun mulut dan areanya

5) Oral-Genital Stimulation

Merangsang gairah seksual menggunakan mulut pada laki-laki

disebut juga fellatio sedangkan pada perempuan disebut

cunnilingus. Fellatiodilakukan dengan cara memasukkan penis ke dalam mulut lalu melakukan gerakan naik turun, atau pun dengan

menjilat penis dan buah zakar.Cunnilingus dilakukan dengan cara mencium atau menjilat vagina.

6) Sexual Intercourse

Sexual Intercourse atau bersenggama adalah kegiatan seksual dimana penis masuk ke dalam vagina.

3. Faktor Penyebab Perilaku Seksual

Sarwono (2012) mengatakan bahwa ada beberapa faktor remaja

melakukan hubungan seks, yaitu:

a. Meningkatnya Libido Seksualitas

Remaja mengalami perubahan-perubahan hormonal yang

meningkatkan libido seksualitas remaja. Dimana hasrat remaja ini

perlu disalurkan dalam bentuk perilaku seksual tertentu.

b. Penundaan Usia Perkawinan

Seiring meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat Indonesia,

usia perkawinan menjadi tertunda karena adanya norma dan hukum

yang berlaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat Indonesia

membuat tuntutan dari orang tua semakin tinggi juga. Orang tua

yang baik, serta persiapan mental sebelum memasuki perkawinan. Ada

juga undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai batasan

usia perkawinan adalah yaitu Undang-Undang No. 1/1974 Pasal 7 ayat

1 yang berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah

mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16

tahun”.

J.T. Fawcett (1973) mengatakan beban (cost) dan hambatan (barriers) juga menjadi faktor tertundanya usia perkawinan dari sisi individunya. Perkawinan menjadi beban bagi individu karena

hilangnya kebebasan dan mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban

dan usaha, serta bertambahnya bebas ekonomi. Sedangkan yang

dianggap hambatan adalah kebiasaan dan norma yang menyulitkan

perkawinan, adanya piilihan lain selain menikah, hukum yang

dianggap mempersulit perkawinan maupun perceraian, adanya

keserbabolehan seksual, serta undang-undang yang membatasi usia

minimum perkawinan.

c. Tabu atau Larangan

Seksualitas masih menjadi hal yang tabu di Indonesia, dimana

norma agama masih melarang seseorang melakukan hubungan seks pra

nikah. Psikoanalisis melihat seksualitas dianggap tabu karena seks

merupakan dorongan yang bersumber dari “id”. Dorongan-dorongan

sehingga dorongan ini harus ditekan dan tidak boleh dimunculkan ke

orang lain dengan tingkah laku terbuka.

d. Kurangnya Informasi tentang Seks

Seksualitas yang masih dianggap tabu ini juga berpengaruh pada

sulitnya remaja atau bahkan orang tua untuk berdiskusi mengenai

seksualitas. Remaja yang tidak mendapatkan penjelasan mengenai

seksualitas dari orang tua maupun tenaga pendidik membuat remaja

mencari informasi melalui media massa lain. Media massa ini dipilih

karena mudahnya akses untuk mencari informasi, walaupun belum

tentu informasi tersebut benar.

e. Pergaulan Semakin Bebas

Pada tahun 1987 pergaulan remaja antar jenis kelamin di Jakarta

menunjukkan bahwa remaja dalam berpacaran selain berpegangan

tangan dengan pacarnya, mereka juga berciuman, meraba payudara,

memegang alat kelamin, serta berhubungan seks. Rex Forehand (dalam

Sarwono, 2012) mengatakan bahwa pengawasan dari orang tua

dibutuhkan agar dapat memantau pergaulan anak.

4. Karakteristik Remaja yang Aktif Secara Seksual

Berk (2012) mengatakan aktivitas seksual remaja seringkali dikaitkan

dengan beberapa hal di bawah ini, yaitu:

a. Pengaruh perkembangan diri

Pengaruh perkembangan dari diri ini meliputi kontrol pribadi yang

b. Pengaruh keluarga

Kondisi keluarga yang mempengaruhi aktivitas seksual remaja

meliputi perceraian keluarga, keluarga dengan orang tua tunggal,

tinggal dengan keluarga besar, keterlibatan dalam aktivitas keagamaan,

pengawasan lemah dari orang tua, hubungan komunikasi anak– orang

tua yang buruk dan saudara yang aktif secara seksual.

c. Teman sebaya

Teman sebaya yang juga aktif secara seksual dapat memicu remaja

untuk semakin melakukan aktivitas seksualnya.

d. Pendidikan

Prestasi buruk di sekolah dan kecenderungan untuk melakukan

tindakan yang melanggar norma.

Dokumen terkait