Studi Qur’an dan studi Tafsir adalah dua ranah yang berbeda. Paling tidak, keduanya bisa menjadi dua area riset yang berbeda. Perbedaan keduanya cukup jelas dari segi objek kajian, tapi, bagi banyak pengkaji, tidak demikian dengan konsekuensi metodologisnya.
Posisi tafsir sebagai pintu masuk untuk makna Al-Qur’an diterima
‘begitu saja dan apa adanya’ (taken for grated), membuat tidak sedikit kajian yang dirancang menggunakan perspektif kesejarahan dalam studi tafsir tapi secara halus menyimpan asumsi hermeneutis-normatif yang seharusnya berada di bawah bendera studi Qur’an.
Perbedaan antara dua disiplin ilmu dibentuk terutama sekali oleh perbedaan pendefinisian objek kajiannya. Al-Qur’an dan tafsir jelas adalah dua entitas ontologis yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diyakini oleh Muslim diterima oleh Nabi Muhammad selama masa kerasulannya, sementara tafsir adalah resepsi intelektual Muslim atas Al-Qur’an. Studi Qur’an adalah cabang ilmu yang membincang Al-Qur’an dan hal-hal sekitarnya, sementara studi tafsir adalah disiplin yang mengkaji karya-karya tafsir sepanjang sejarah. Makna kata, interpretasi/penafsiran, sejarah teks, qirāʿāt, gharīb, tajwīd, dan sebagainya adalah sub-disiplin studi Qur’an. Dalam ranah ini, Al-Qur’an diposisikan sebagai poros utama, baik dalam konteks sejarahnya di abad ke-7 maupun masa-masa selanjutnya hingga saat ini. Sementara itu, tafsir dan hal-hal di sekitarnya, seperti sejarah, mazhab, bentuk, diskursus intelektual di sekitarnya, produk dan proses produksi, dan sebagainya adalah studi tafsir. Tafsir adalah salah satu sub-disiplin penting dalam studi Qur’an. Akan tetapi, bahwa karya tafsir secara ontologis adalah hal yang berbeda dengan Al-Qur’an pada satu sisi dan bahwa ia telah
berkembang dengan dinamika tertentu sepanjang sejarah, ia bisa didekati sebagai sebuah objek studi yang spesifik dengan metode dan pendekatan yang spesifik pula; karenanya, tafsir adalah ranah studi tersendiri.
Keberadaan tafsir sebagai salah satu ‘hal-hal di sekitar Al-Qur’an’—bahkan salah satu yang terpenting—membuat peta pisah antara studi Qur’an dan studi tafsir menjadi kabur. Tafsir dalam sejarah intelektual Islam adalah pintu masuk untuk makna Al-Qur’an, dan sudah sangat tepat dan selayaknya seorang pengkaji mendekati tafsir untuk tujuan mengungkap makna Al-Qur’an.
Sejarah tafsir sendiri terus menerus mengkonfirmasi perspektif ini.
Setiap karya tafsir, klasik dan kontemporer; musalsal, tartīb nuzulī, maupun tematik; terjemahan, parafrastik, hingga encyclopedic—
kecuali sebagian yang sangat kecil sekali5—menjadikan penelusuran atas tradisi tafsir sebagai tulang punggung; suatu hal yang membentuk tafsir memiliki karakter genealogis yang kuat, sebagaimana yang nanti akan dijelaskan secara lebih lanjut.
Kenyataan besar ini membuat tafsir dalam sejarah kesarjanaan Islam maupun Qur’an diposisikan sebagai auxiliary science (ilmu bantu) untuk memahami Al-Qur’an daripada sebagai sebuah disiplin spesifik tertentu 6.
Paradigma kunci dalam mengasumsikan studi tafsir sebagai ranah tersendiri dan berbeda dari studi Qur’an adalah bahwa tafsir merupakan ‘memori historis dari perjumpaan panjang Muslim dengan makna Qur’an’ atau sejarah respons pembaca atas Al-Qur’an. Tafsir tidak dipandang sebagai makna Al-Qur’an yang
5 Modernisasi tafsir ditandai dengan keinginan untuk berpaling dari tradisi tafsir. Teorisasi modern atas tafsir dengan meminjam teori-teori sastra dan komunikasi diupayakan dalam rangka mendelegitimasi tradisi tafsir, namun, kecenderungan besarnya, semakin sebuah tafsir bergerak menjauh dari pakem tradisi tafsir, semakin mudah ia untuk mendapatkan penolakan Pink and Görke, “Introduction”; Rotraund Wielandt, “Exegesis of the Qur’ān: Early Modern and Contemporary,” in Encyclopaedia of the Qur’ān, ed. Jane Dammen McAuliffe (Leiden - Boston - Köln: Brill, 2002).. Contoh yang ekstrem untuk upaya membebaskan diri dari tradisi tafsir ini bisa kita lihat dalam kesarjanaan Shahrur dan Edip Yüksel.
6 Pink and Görke, “Introduction,” 1.
universal dan ahistoris, melainkan sebagai wujud dari pengetahuan manusia mengenai makna Al-Qur’an. Dalam ranah studi Qur’an, asumsi ini digunakan untuk menggarisbawahi kontekstualitas dan relativitas kebenaran tafsir. Untuk studi tafsir, konsekuensi dari asumsi ini adalah bahwa tafsir perlu diperlakukan sebagai sebuah konstruksi sosial, atau paling tidak, sebagai dokumen sejarah.
Mengkaji tafsir artinya memosisikannya dalam ruang sejarahnya dan memahaminya berdasarkan ruang tersebut. Mengkaji tafsir berarti mengkaji sejarah intelektual Muslim yang secara spesifik terekam dalam kitab-kitab tafsir. Mengkaji tafsir berarti mengkaji lintasan perkembangan bentuk-bentuk tafsir, institusi-institusi transmisi dan transformasi keilmuan tafsir, jejaring antara tafsir dengan tafsir lainnya, dan sebagainya. Ketika seorang pengkaji meneliti makna sebuah kosa-kata Al-Qur’an dalam pandangan mufasir tertentu, dalam perspektif studi tafsir ia harus tetap menempatkannya sebagai sebuah produk pikir situasional manusia. Sudut pandang yang harus dipakai adalah bahwa pandangan tersebut adalah hasil dari dinamika intelektual yang manusiawi, empiris, dan historis.
Proliferasi studi tafsir sebagai ranah studi tersendiri adalah proses yang masih berjalan, baik dalam kesarjanaan Islam di Barat maupun di negara-negara Muslim seperti Indonesia. Di penghujung 1980s Andrew Rippin menyuarakan sedikitnya minat spesifik kepada sejarah tafsir semenjak Ignaz Goldziher, tapi di tahun 2014, Andreas Görke dan Johanna Pink masih menyebut studi tafsir sebagai kajian yang ‘analytically underdeveloped’. Kuatnya kecenderungan historis dalam kajian keislaman di kesarjanaan Barat cukup membantu memperjelas peta studi tafsir ini, sehingga kita saat ini mulai melihat banyak kajian spesifik atas karya atau fase tertentu dalam tradisi tafsir yang tidak lagi berada di bawah bayang-bayang studi Qur’an. Meskipun tidak banyak yang secara eksplisit memisahkan keduanya, tidak berlebihan jika saat ini kita menyebut studi Qur’an dan studi tafsir telah bergerak ke arahnya masing-masing dengan figur-figur spesialisnya sendiri-sendiri.
Akan tetapi dalam konteks kesarjanaan Al-Qur’an dan Tafsir di
Indonesia, garis demarkasi antara studi Qur’an dan studi tafsir berada dalam situasi yang lebih kompleks.
Paradigma besar dalam kesarjanaan Al-Qur’an di Indonesia adalah memandang tafsir sebagai pintu masuk menuju pemahaman terhadap Al-Qur’an; sebuah sudut pandang hermeneutis-normatif.
Ini adalah sudut pandang yang cukup jelas yang berkembang di jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir yang tersebar di PTKI dan tentu saja di pesantren-pesantren. Dorongan teologis Al-Qur’an di pundak setiap muslim jelas mengambil peran dalam pembentukan paradigma ini. Al-Qur’an adalah kitab suci yang darinya muslim mendapatkan petunjuk teologis. Karena itu, mengkaji Al-Qur’an dan tafsir adalah menggali petunjuk teologis tersebut. Mengkaji Al-Qur’an dengan perspektif teologis-konstruktif terhadap Al-Al-Qur’an adalah salah satu dasar dalam kesarjanaan Islam, dan tafsir adalah salah satu pintu masuk utama untuk tujuan itu. Kajian seperti ini perlu terus dikembangkan, dan kita masih menyaksikannya berkembang. Bukan hanya dengan mempelajari materi-materi tafsir klasik, kesarjanaan Al-Qur’an dan Tafsir di Indonesia seperti yang direkam oleh sejumlah IAT di PTKI juga mempelajari materi-materi tafsir progresif kontemporer. Di situ lah mahasiswa mengenal sarjana-teolog seperti Amina Wadud, Abdullah Saeed, Fazlur Rahman, dan sebagainya, dan di jalur itu pula sejumlah sarjana Indonesia terus menulis tafsir atau sub-disiplin seputar Al-Qur’an lainnya, seperti Quraish Shihab, Nur Rofiah, Musdah Mulia, Sahiron Syamsuddin, Abdul Mustaqim, dan sebagainya. Di tahap ini, studi tafsir sering kali dianggap identik dengan (studi untuk) penafsiran Al-Qur’an.
Namun demikian, kita juga perlu menyadari bahwa perspektif teologis bukanlah satu-satunya jalan, juga bukan perspektif yang memayungi semua kajian terkait Al-Qur’an dan tafsir. Satu dorongan yang menguat di kesarjanaan Al-Qur’an di Barat saat ini mengakomodasi keragaman perspektif sebagai antitesis terhadap dominasi pendekatan historis yang digawangi oleh tradisi Jerman.
Selain pendekatan historis, pendekatan teologis konstruktif dan
societal Qur’an (lebih kurang sepadan dengan Living Qur’an yang dikembangkan di Indonesia) juga termasuk kepada ranah studi Qur’an. Untuk konteks Indonesia, Amin Abdullah lebih dari dua dekade lalu memperkenalkan dua sisi agama, sisi historisitas dan normativitas. Sisi normativitas adalah sisi ajaran teologis agama, yang mengacu kepada das sollen, yaitu sebuah ajaran yang semestinya, sementara sisi historisitas adalah realitas empiris keberagamaan manusia—mengacu kepada das sein, sesuatu yang sebenarnya terjadi. Dua sisi agama ini berujung kepada implikasi metodologis yang berbeda dalam kesarjanaan Islam. Di satu sisi, agama adalah yang normatif dan didekati secara normatif konstruktif, dan di sisi lain, agama—atau keberagamaan—adalah yang empiris, dan harus didekati secara historis-empiris.
Selanjutnya, Amin Abdullah mengartikulasikan pendekatan integratif-interkonektif dalam studi Islam. Artikulasi ini adalah konseptualisasi teoretis-filosofis atas dorongan reaktualisasi ajaran Islam yang kuat digemakan di Indonesia paling tidak sejak tahun 1970an. Bagi Amin Abdullah, studi Qur’an—tentu saja bersama studi Hadis—berada di pusat paradigma integrasi-interkoneksi, dan dengan paradigma ini, ia mendukung adaptasi pendekatan hermeneutika untuk diterapkan dalam memahami Al-Qur’an.
Dukungan Amin Abdullah ini disampaikan dalam rangka reorientasi kesarjanaan Al-Qur’an dan Hadis yang dikembangkan di IAIN Sunan Kalijaga (saat ini UIN Sunan Kalijaga). Baginya, kesarjanaan Al-Qur’an harus mempertimbangkan aspek historisitas agama, dan pemahaman Al-Qur’an harus relevan dengan situasi empiris tersebut. Ia juga memperkenalkan Fazlur Rahman sebagai contoh yang layak untuk diikuti. Pilihannya terhadap Rahman dapat dipahami, karena teori double movement yang ia inisiasi merupakan kombinasi antara semangat normatif-konstruktif dengan kesadaran historis yang kuat, baik kesadaran historis atas momen pewahyuan maupun atas konteks kontemporer yang dihadapi Muslim saat ini.
Meskipun mengadvokasi perspektif historis, dalam mazhab Integrasi-interkoneksi studi atas tafsir masih berada di
jalur teologis-konstruktif. Formulasi ajaran normatif agama harus menjawab persoalan real yang tampak pada historisitas keberagamaan manusia, dan untuk tujuan itu, penafsiran Al-Qur’an harus mempertimbangkan pendekatan-pendekatan sosial humaniora yang berkembang di Barat. Kajian tafsir dalam makna ini substansinya adalah ‘penafsiran’, dan karena objek kajiannya sebenarnya adalah kosa kata Al-Qur’an maka ia tergolong kepada studi Qur’an. Namun demikian, satu perspektif baru muncul dan berkembang, yaitu hermeneutika historis. Historisitas tafsir mulai diungkap sebagai satu fenomena sejarah yang lokal. Bagi perspektif ini, output teologis dipinggirkan karena kepentingan utamanya adalah deskripsi sejarah. Dengan perspektif ini, karya-karya tafsir atau produk pemikiran dari tafsir dibicarakan dalam konteks ruang historisnya untuk memahami satu segmen tertentu dalam sejarah intelektual Islam. Kecenderungan ini lah yang kemudian berkembang menjadi studi tafsir. Kesarjanaan Islah Gusmian adalah contoh paling baik yang mewakili kecenderungan ini.
Di manakah terminologi tafsir Indonesia akan kita tempatkan?
Apakah di ranah studi tafsir dengan pendekatan sejarah atau di ranah studi Qur’an dengan pendekatan hermeneutika konstruktif?
Menempatkan dan mengembangkan terminologi tafsir Indonesia di ranah pertama berarti mendekati materi-materi tafsir yang lahir di Indonesia sebagai sebuah dokumen sejarah. Sementara itu, jika di ranah kedua, maka kita berbicara mengenai kontekstualisasi Al-Qur’an di ruang historis Indonesia. Setiap peneliti perlu berhati-hati dalam hal ini, karena masing-masing kelompok kajian berdiri di atas asumsi metodologis dan teoretis yang berbeda. Kajian pertama berkembang dalam ranah studi tafsir, sementara kajian kedua termasuk kepada kelompok studi Qur’an.
Ada peluang untuk mengembangkan unsur konseptual terminologi tafsir Indonesia di bawah payung besar studi Qur’an.
Dengan demikian, tafsir Indonesia memiliki asumsi hermeneutis, yaitu kontekstualisasi Al-Qur’an ke ruang historis Indonesia.
Islah Gusmian sebenarnya juga telah menggunakan istilah tafsir
Indonesia ke makna ini di buku pertamanya, Khazanah Tafsir Indonesia. Ia menempatkan tafsir-tafsir yang memberikan titik tekan kepada konteks penafsir kepada satu klasifikasi yang ia beri judul
“Pendekatan Kontekstual: Menuju Tafsir Keindonesiaan.” Tafsir yang ia kategorikan kepada kelompok ini, bagi Islah Gusmian, “telah membuka jalan mengenai suatu tafsir yang spesifik keindonesiaan, seperti yang secara paradigmatik telah dirumuskan oleh Hasan Hanafi dalam konteks masyarakat Muslim Mesir, Farid Esack dalam konteks masyarakat Muslim Afrika Selatan, dan Mahmūd Mohammed Thahā dalam konteks masyarakat Muslim Sudan”.
Akan tetapi, ada kelemahan dalam mengembangkan terminologi tafsir Indonesia sebagai sebuah proyek hermeneutis.
Mengambil posisi ini artinya menggunakan istilah tafsir Indonesia kepada produk kontekstualisasi yang dianggap sesuai dengan visi teologis Islam pada satu sisi dan visi ke-Indonesiaan pada sisi lain dan kepada tilikan metodologis untuk merumuskan metode yang paling cocok dalam penafsiran Al-Qur’an yang menjawab persoalan real di ruang historis Indonesia. Menggunakan terminologi tafsir Indonesia untuk perspektif ini, menurut saya, tidak sepenuhnya cocok, karena Indonesia dalam ‘tafsir Indonesia’
tidak memiliki konotasi metodologis. Memang kita mendengar istilah fiqh Indonesia seperti yang digaungkan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy, akan tetapi, Indonesia sebagai terminologi lebih dekat kepada konotasi sosiologis dan historis, bukan metodologis. Dalam perspektif ini, pilihan Sahiron Syamsuddin untuk menyebut metode penafsirannya dengan maʿnā-cum-maghza atau Abdul Mustaqim dengan tafsir maqāṣidī—meskipun keduanya bisa digunakan untuk mencari penafsiran yang kontekstual Indonesia—adalah pilihan yang lebih tepat daripada menyebutnya sebagai tafsir Indonesia.
Dengan demikian, saya berpandangan, terminologi tafsir Indonesia lebih pas untuk dikembangkan dalam ranah studi tafsir, bukan studi Qur’an atau lebih spesifiknya studi penafsiran Al-Qur’an. Konotasi historis dan sosiologis pada Indonesia sebagai sebuah terminologi sangat dekat dengan apa yang diinginkan oleh
kajian studi tafsir sebagai sebuah sejarah. Tafsir Indonesia, dengan demikian, adalah sejarah tafsir Indonesia; bukan metode tafsir Indonesia.