• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terorisme dan Budaya Kekerasan

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 194-200)

Secara etimologis, istilah terorisme berasal dari bahasa Latin, terrere yang berarti menyebabkan ketakutan. Dalam bahasa Inggris, kata teror berasal dari kata to terrify yang berarti menakutkan atau mengerikan. Sedangkan, secara terminologi, terorisme didefinisikan dengan beberapa pengertian. Terorisme dapat diartikan sebagai tindakan kekerasan, penyerangan, penyanderaan warga sipil yang dilakukan oleh sebuah organisasi politik untuk menimbulkan kesan kuat atas suatu negara. Begitu juga, terorisme mengandung pengertian penggunaan kekerasan dan intimidasi terutama untuk tujuan politik. Terorisme juga dapat merujuk pada bentuk kekerasan yang dilakukan untuk menimbulkan rasa takut yang menyebar ke mana-mana dan karenanya mempengaruhi kebijakan-kebijakan

pemerintah. Makna lain yang dapat digunakan untuk menyebut terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan.5

Dari beberapa definisi di atas, bisa digarisbawahi bahwa terorisme mencakup unsur-unsur sebagai berikut: (a) tindakan yang disengaja untuk menimbulkan ketakutan pihak lain; (b) ada tujuan yang ingin dicapai oleh pembuat ketakutan dan teror; (c) korban dari tindakan tersebut tidak berkaitan secara langsung dengan tujuan yang dikehendaki oleh pembuat teror. Dengan demikian, ketakutan yang muncul akibat ketidaksengajaan, ancaman hukum bagi orang yang tidak mematuhi, peraturan kedisiplinan dan semacamnya yang kepentingannya ada pada pihak yang ditakut-takuti, tidaklah termasuk dalam pengertian teror. Terorisme berhubungan dengan segala bentuk ancaman kekerasan, baik dari ucapan, tulisan, gambar, simbol atau gerakan tubuh yang dapat menyebabkan ketakutan individu atau masyarakat dan membatasi kebebasan esensial individu atau masyarakat.6

Selain terorisme, fenomena radikalisasi juga menjadi salah satu tindakan yang berwujud kekerasan. Radikalisasi merupakan fenomena mengkhawatirkan yang mempengaruhi masyarakat di seluruh dunia. Bahaya dari tindakan ini dilakukan oleh pembuat teror sebagai titik akhir dari proses yang dijalaninya untuk melakukan penolakan terhadap status quo politik dengan menggunakan kekerasan.7 Hal yang sama diungkapkan Kamali yang menyebutkan bahwa teror dapat bersumber dari praktik ekstremisme, baik lokal, nasional atau internasional dengan bentuk aksi teror, kekerasan, dan pengeboman untuk membunuh

5 Machasin, Fundamentalisme dan Terorisme (Yogyakarta, 2004), 6–7; Shaen Corbet et al., “The impact of terrorism on European tourism,” Annals of Tourism Research 75 (Maret 1, 2019): 1–17.

6 Aria Nakissa, “Security, Islam, and Indonesia An Anthropological Analysis of Indonesiaâs National Counterterrorism Agency,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 176, no. 2–3 (2020): 203–239.

7 Philip Baugut dan Katharina Neumann, “Online news media and propaganda influence on radicalized individuals: Findings from interviews with Islamist prisoners and former Islamists,” New Media and Society 22, no. 8 (2020): 1437–1461.

orang tidak bersalah dan menyebabkan kehancuran.8 Tindakan ekstremisme yang dilakukan oleh kelompok radikal dapat menjadi fenomena lain yang melahirkan berbagai ancaman, kekerasan dan tindakan teror.

Kelompok yang menggunakan cara kekerasan menolak untuk disebut sebagai teroris. Mereka melakukan penolakan atas identifikasi tersebut, namun mereka menerima perilaku kekerasan dan menggunakannya sebagai cara dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Penerimaan terhadap tindakan kekerasan terhadap orang lain didasarkan pada kewajiban melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Kewajiban mencegah kemungkaran dilakukan dengan memberantas ritual atau tradisi yang dinilai menyimpang dari ajaran agama. Kasus seperti ini pernah terjadi di Bantul tahun 2018 dengan perusakan dan pemasangan spanduk berbunyi “kami menolak semua kesyirikan berbalut budaya”.9 Sikap serupa juga sering terjadi di berbagai tempat yang lain, sehingga memunculkan prinsip “dakwah itu merangkul bukan memukul, dakwah itu memikul bukan memacul” dan slogan lain yang bertujuan untuk melakukan penolakan terhadap berbagai aksi kekerasan dengan membawa kewajiban agama.

Kekerasan sering kali dijadikan tindakan yang lumrah dalam menegakkan ajaran agama. Hal ini juga disebutkan oleh Volk yang menyebutkan bahwa sumber Islam (al-Qur’an) dapat disalahgunakan untuk melegitimasi kekerasan.10 Pandangan yang sama juga diungkapkan oleh Esposito yang menyatakan bahwa al-Qur’an memang tidak memerintahkan atau membenarkan kekerasan dan terorisme, tapi pada waktu yang bersamaan, ayat-ayat al-Qur’an menegaskan hak untuk menanggapi agresi, menyerang

8 Mohammad Hashim Kamali, “Extremism, Terrorism and Islam:

Historical and Contemporary Perspectives,” ICR Journal 6, no. 2 (2015): 148–

165.

9 Pradito Rida Pertana, “Tradisi Sedekah Laut Ditentang, Banyak Kalangan Meradang,” detikNews, last modified Oktober 14, 2018, diakses Juni 13, 2021, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4255648/tradisi-sedekah-laut-ditentang-banyak-kalangan-meradang.

10 Thomas Volk, Islam – Islamism: Clarification for turbulent times, Published by Konrad Adenauer Stiftung (Berlin: Konrad Adenauer Stiftung, 2015).

dan melawan.11 Esposito menambahkan bahwa Al-Qur’an memuat aturan yang mewajibkan umat Islam untuk berjuang atau melakukan jihad diri sendiri untuk mengikuti dan mewujudkan kemauan Tuhan, menjalani hidup yang bajik, melawan ketidakadilan dan penindasan, mereformasi dan menciptakan masyarakat yang adil.

Untuk mewujudkan hal tersebut, jika diperlukan, maka diizinkan untuk terlibat dalam perjuangan bersenjata untuk membela komunitas dan agama.12 Sedangkan Venkatraman menyatakan bahwa al-Qur’an mengizinkan kekerasan sebagai tindakan pembelaan untuk melindungi syariat Islam.13

Penggunaan kekerasan dengan dalil keagamaan merupakan bagian dari bentuk pemahaman sempit atas narasi agama. Nāṣir bin Musfir al-Zahrānī memberikan penjelasan yang relevan untuk menolak pandangan tersebut. Menurutnya, klaim keabsahan menggunakan kekerasan–ekstremisme dan terorisme–di kalangan umat Islam didasarkan atas firman Allah dalam QS. al-Anfal [8]: 60,

َّو ُد َع هِب َنْوُبِهْرُت ِلْيَخْلا ِطاَبِّر ْنِمَّو ٍةَّوُق ْنِّم ْمُتْعَطَت ْسا اَّم ْمُهَل اْوُّدِعَاَو ا ْو ُق ِفْنُت ا َمَو ْۗمُهُمَلْعَي ُهّٰللَا ْۚمُهَنْوُمَلْعَت َلا ْۚمِهِنْوُد ْنِم َنْيِرَخٰاَو ْمُكَّوُدَعَو ِهّٰللا

َنْوُمَلْظُت َلا ْمُتْنَاَو ْمُكْيَلِا َّفَوُي ِهّٰللا ِلْيِب َس ْيِف ٍءْيَش� ْنِم

Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizalimi (dirugikan).

Menurut al-Zahrānī, ayat ini tidak terkait dengan dukungan Islam untuk aktivitas terorisme. Menurutnya, ayat ini justru

11 John L. Esposito, “Islam and political violence,” Religions 6, no. 3 (2015):

1067–1081.

12 Ibid.

13 Amritha Venkatraman, “Religious basis for Islamic terrorism: The Quran and its interpretations,” Studies in Conflict and Terrorism 30, no. 3 (Maret 2007): 229–248.

mendorong umat Islam agar memiliki kekuatan, keagungan, dan kemuliaan yang harus dicapai dengan menguasai berbagai hal yang bisa mengantarkan umat Islam pada kondisi tersebut, bukan menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menakut-nakuti atau menghancurkan orang lain.

Al-Zahrānī menambahkan penjelasannya dengan mengungkapkan bahwa tindakan kekerasan dan sikap ekstrem yang dilakukan oleh para teroris justru bertentangan dengan muatan ayat di atas, karena aksi terorisme berakibat melemahkan umat Islam. Dalam berbagai kasus, aksi terorisme justru menjadi teror terhadap umat Islam sendiri, karena akibatnya bukan hanya menimpa mereka yang dianggap bersalah, tetapi juga menimpa orang yang tidak berdosa. Lebih lanjut, al-Zahrānī menyatakan,

Agama kita memerintahkan kita untuk menghindari kezaliman, mencegah kita bertindak secara berlebihan, mendorong pada keadilan, mengajak pada perdamaian, mewajibkan kita menjaga perjanjian, menghormati kesepakatan, menghiasi diri dengan akhlak, menjalankan pertemanan, dan menghindari kekejaman.14

Kandungan makna atas ayat yang menjadi dasar keabsahan tindakan teror, justru mengandung pengertian yang berlawanan.

Dilihat dari sudut pandang sejarah, tindakan terorisme tidak terbatas pelakunya dari kelompok agama tertentu, akan tetapi berasal dari kelompok-kelompok lain yang tidak mengatasnamakan agama. Setiap agama memiliki sejarah kekerasan sendiri, misalnya gerakan milisi Kristen oleh Jeffrey Kaplan, gerakan identitas Kristen oleh James Aho, gerakan militan Sikh oleh Cyntia Keppley Mahmood, gerakan aktivis Yahudi oleh Ehud Sprinzak, pengeboman World Trade Centre oleh umat Islam dan berbagai gerakan lainnya.

Sementara, terorisme yang berasal dari non-agama terlihat dalam kasus-kasus pembantaian yang dilakukan oleh Stalin, pembantaian dengan dukungan pemerintah di Elsalvador, pembantaian

14 Nāṣir bin Musfir Al-Zahrānī, Ḥaṣād Irhāb (Riyād: Maktabah al-Ubaikan, 2004), 29–31.

rezim Khmer Merah di Kamboja, pembersihan etnis di Bosnia dan Kosovo, kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar, pengeboman Hirosima dan Nagasaki oleh Amerika dan aksi teror lainnya. Beberapa kasus terorisme lain bahkan dipicu oleh masalah separatisme, seperti terorisme oleh Shining Path dan Tupac Amaru di Peru, Basqua di Spanyol, Kurdi di Timur Tengah, dan Tentara Merah di Jepang.

Sudah barang tentu, aksi terorisme tidak selalu dilakukan secara sendirian oleh pelakunya. Mark Jurgensmeyer dalam kajiannya tentang terorisme di berbagai agama memperlihatkan bahwa pelaku tindakan ini tidak dilakukan oleh pelaku tunggal.

Setiap tindakan teror memiliki dukungan dari berbagai jaringan dan ideologi yang mengesahkan dan membenarkan tindakan tersebut. Adanya jaringan dalam aksi-aksi terorisme tampak dalam kasus pembunuhan Yitzak Rabin dan Yigal Amir yang melibatkan jaringan Zionis Messianik di Israel. Hal yang sama juga terjadi dalam kasus pengeboman Timothy McVeigh dan Buford Forrow yang melibatkan cabang Kristen militan di Amerika, kasus pengeboman Theodore Kaczynski yang melibatkan “kultur” aktivis mahasiswa demonstran, pembunuhan murid sekolah terhadap tiga belas temannya di Littleton Colorado yang melibatkan pasukan “berjubah” yang menyamar menggunakan topeng kultur simbolisme agama, dan lain sebagainya. Termasuk dalam kategori ini, tindakan teror yang dilakukan oleh sebagian umat Islam yang melibatkan berbagai jaringan, seperti ISIS, JAD dan lainnya.

Jurgensmeyer juga memperlihatkan bahwa aksi terorisme bukan hanya didukung oleh adanya jaringan tersebut, melainkan juga didukung oleh persepsi bahwa dunia membutuhkan tindakan kekerasan. Pandangan ini muncul akibat tekanan, serangan, tindakan tidak menghargai terhadap satu komunitas, sehingga respons yang muncul sebagai bentuk pembelaan diri menggunakan kekerasan. Kekerasan berbalas kekerasan inilah yang menurut Jurgensmeyer melahirkan budaya kekerasan dan mendorong aksi

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 194-200)