• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenal Konsep Manusia Nietzsche dan Ibn ‘Arabi

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 38-42)

pertemuannya dengan seorang perempuan cantik di Makkah yang berjudul Tarjumān al-Ashwāq. Selain itu, terdapat banyak karya lain yang ditulis Ibn ‘Arabī ketika perjalanan mencari ilmu, seperti Risālah al-Anwār dan Fuṣūṣ al-Ḥikām.

Gambaran perjalanan Ibn ‘Arabi sama seperti pada filusuf lainnya yang melakukan perjalanan dari satu tempat menuju tempat lainnya. Beliau mengakhiri perjalanannya dalam mengembara ilmu di kota Damsik. Di kota tersebut, Ibn ‘Arabī menghabiskan sisa kehidupannya setelah berbagai perjalanan yang ditempuh untuk menambah ilmu. Beliau wafat di usia 78 tahun pada malam Jum’at 28 Rabi’ul Akhir tahun 638 H.18

berjudul Als Sprach Zarathustra (Dendang Zarathustra).20 Banyak perdebatan mengenai Zarathustra. Perdebatan yang sering muncul berkisar tentang apa itu Zarathustra? siapa Zarathustra? hingga yang lebih mendalam, apakah Zarathustra itu benar-benar ada? Meskipun Nietzsche dalam buku tersebut secara tegas menjelaskan bahwa Zarasthusra adalah seorang pendiri agama yang ada pada masa Persia kuno dan menuliskan sebuah kita suci, Zend Avesta21, akan tetapi pandangan ini tidak cukup memuaskan banyak pembaca, sehingga bermunculan asumsi bahwa Zarathustra merupakan kritik Nietzsche terhadap kehidupan dengan menggunakan syair-syair.

Meskipun demikian, pembahasan dalam tulisan ini tidak hendak memberikan gambaran utuh mengenai karyanya tersebut.

Pembahasan inti dalam tulisan ini mengenai konsep Nietzsche tentang manusia unggul. Nietzsche berpandangan bahwa manusia unggul adalah manusia yang selalu siap dalam menghadapi segala tantangan, sehingga dalam kondisi apapun tidak pernah mundur untuk melakukan tindakan. Manusia unggul selalu mempunyai dorongan yang kuat untuk menjadi manusia yang berkuasa dan memiliki semangat untuk mengatasi persoalan yang ada pada dirinya maupun di sekitarnya.

Dalam mencapai ubermensch, seseorang membutuhkan kebebasan dan keinginan untuk berkuasa. Hal yang menjadi tolak ukur keberhasilan adalah perasaan akan bertambahnya kekuasaan.

Namun demikian, tetap saja ubermensch hanya dapat dicapai dengan kemampuan yang dimiliki manusia secara individual.

Dalam konteks ini, Friedlin menyatakan bahwa konsep ubermensch merupakan kemungkinan paling optimal bagi seseorang di waktu sekarang dan bukanlah tingkat perkembangan yang berada jauh di depan.22 Ubermensch merupakan cara manusia memberikan nilai pada dirinya tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke

20 Fuad Hassan, Berkenalan dengan eksistensialisme (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000), 48.

21 Friedrich W. Nietzsche, Nietzsche Zarathustra, trans. oleh HB Jassin (Yogyakarta: Narasi, 2015), 27–28.

22 Nanuru, “Übermensch: Konsep Manusia Super Menurut Nietzsche,” 4.

seberang dunia. Nietzsche tidak lagi percaya terhadap bentuk nilai adikodrati dari manusia dan dunia, sehingga pemberian makna hanya dapat dicapai melalui ubermensch.23

Tujuan utama dalam ubermensch adalah menjelmakan manusia yang lebih kuat, lebih cerdas dan lebih berani dan yang terpenting adalah bagaimana mengangkat dirinya dari kehanyutan massa.

Yang dimaksud kehanyutan massa di sini adalah manusia yang ingin mencapai ubermensch haruslah mempunyai jati diri yang khas, yang sesuai dengan dirinya, yang ditentukan oleh dirinya, tidak mengikuti orang lain atau norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat atau massa pada umumnya. Manusia harus berani menghadapi tantangan yang ada di depan mereka dengan menggunakan kekuatannya sendiri 24.

Lalu bagaimana tingkatan dalam mencapai ubermensch dan syarat apa yang dibutuhkan untuk berkehendak dalam kuasa?

Ubermensch, bagi Nietzsche menegaskan “aku ingin” bukan “kamu harus”. Penekan “aku ingin” merupakan tindakan untuk berkuasa dari diri, bukan dengan paksaan dari orang lain. Ini menjadi sebuah kritik terhadap sebuah capaian. Nietzsche memberikan gambaran sesuatu yang telah diajarkan di agama Kristen bahwa setiap manusia harus mencapai tujuannya yang jauh di depan sana.

Ini artinya bahwa setiap manusia mempunyai keharusan dalam mencapai kehidupan. Tujuan hidup yang digambarkan di atas menjadi rendah bagi kehidupan manusia. Begitu juga, konsep der letzte Mensch (the last man) dalam ubermensh harus juga dipahami secara benar.25

Insān al-Kāmil: Gagasan Kesempurnaan dalam Ibn ‘Arabī Pengertian dasar mengenai insān al-kāmil adalah manusia sempurna dari sisi wujud dan pengetahuannya. Wujud yang sempurna yang dimiliki manusia adalah bentuk manifestasi Tuhan yang berasal

23 Nanuru, 4.

24 Nanuru, 4.

25 St Sunardi, Nietzsche (Yogyakarta: LKiS, 2006), 102–3.

dari cerminan sifat-sifat-Nya. Sedangkan kesempurnaan dalam pengetahuan merupakan capaian manusia untuk menyadari esensi Tuhan. Kesempurnaan tersebut menjadikan manusia mencapai tingkatan ma’rifah.26 Meskipun demikian, konsep ini pada dasarnya merupakan konsep yang telah banyak diperbincangkan oleh kalangan sufi lain sebelum Ibn ‘Arabī dengan penggunaan istilah yang serupa, misalnya Abū Yazīd al-Busṭāmī, yang hidup pada abad ke-3 H. dengan konsep al-walī al-kāmil (wali sempurna).

Manusia dalam konsep pemikiran waḥdah al-wujūd Ibn ‘Arabī merupakan bagian martabat terakhir dari rangkaian martabat wujūd. Manusia adalah puncak tertinggi segala yang diciptakan (al-mawjūdāt) dari segi bahwa ia merupakan tempat penampakan seluruh hakikat al-mawjūdāt (alam) dan tingkatan-tingkatannya, di samping ia juga tempat penampakan hakikat ketuhanan (majla ilahiyyah). Ia merupakan akhir mawjūdāt dan juga awal al-mawjūdāt dari segi dia adalah tujuan Tuhan.27 Sebagai penguat dalam menggambarkan insān al-kāmil, dalam al-Futūhāt, Ibn ‘Arabi menuliskan,

Insān al-kāmil diposisikan al-Ḥaq dalam posisi tengah (yang memisah dan menghubung) antara al-Ḥaqq dan alam, sehingga ia menampakkan nama-nama Tuhan. Ia menampakkan hakikat hal yang mungkin (ada dan tidaknya) bergantung pada yang lain, yaitu al-Ḥaq, maka ia adalah makhluk.

Ibn ‘Arabī menjelaskan bahwa jika manusia ingin mencapai derajat insān al-kāmil, maka ia harus mencontoh Nabi Muhammad dengan mengikuti ajaran-ajarannya. Karena wujud insān al-kāmil adalah tajalli Tuhan yang dapat dilihat secara sempurna. Semua ajaran terangkum dalam dua kalimat shahāsudah.28 Kemudian, wujud mutlak ber-tajalli secara sempurna pada alam semesta yang

26 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabî Oleh al-Jîlî (Jakarta: Paramadina, 1997), 60.

27 Ah. Haris Fahrudi, “Al-Insan Al-Kamil Dalam Tasawuf Ibn ‘Arabi,”

MIYAH : Jurnal Studi Islam 11, no. 1 (2015): 16.

28 Ibnu Ali, “Nilai-nilai Dasar Pendidikan Tasawuf dalam Paradigma Mistik Ibnu ’Arabi tentang Insan Kamil,” El-Furqania : Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman 3, no. 01 (2017): 26.

serba ganda. Tajalli terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada.29

Menurut penjelasan Abd al-Karīm al-Jillī yang dikutip oleh Ali, insān al-kāmil terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat permulaan yang merealisasikan sifat-sifat dari Tuhan pada diri manusia. Kedua tingkat menengah (al-tawasuṭ) yang berkaitan dengan realitas kasih Tuhan. Apabila di tingkatan permulaan merealisasikan sifat-sifat Tuhan, dalam tingkatan kedua lebih naik setingkat seperti adanya pengetahuan yang lebih yang di berikan oleh Tuhan. Ketiga, tingkatan terakhir (al-khitām), yaitu kemampuan merealisasikan citra Tuhan secara utuh dan mampu mengetahui segala rahasia takdir yang akan datang.30

Banyak pandangan lain dalam memahami konsep insān al-kāmil. Insān al-kāmil terkadang dimaknai sebagai wali tertinggi (al-quṭb). Dalam perspektif sufi, al-quṭb merupakan pemimpin tertinggi para wali. Di samping itu, al-quṭb juga diartikan sebagai penolong, yang derajatnya paling dekat dengan Tuhan. Di dalam tulisan Ali disebutkan bahwa al-quṭb dikelilingi oleh dua orang imam yang mempunyai tugas sebagai wāzir dan ada empat orang sebagai penjaga pilar. Terdapat pula tujuh orang yang memiliki tugas berbeda-beda, yakni abdāl, nuqaba’, nujaba’, hawariyun, dan rajabiyun.31

Manusia Sempurna dalam Pandangan Filosof dan

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 38-42)