• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia Sempurna dalam Pandangan Filosof dan Sufi

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 42-48)

serba ganda. Tajalli terjadi bersamaan dengan penciptaan alam yang dilakukan oleh Tuhan dengan kodrat-Nya dari tidak ada menjadi ada.29

Menurut penjelasan Abd al-Karīm al-Jillī yang dikutip oleh Ali, insān al-kāmil terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, tingkat permulaan yang merealisasikan sifat-sifat dari Tuhan pada diri manusia. Kedua tingkat menengah (al-tawasuṭ) yang berkaitan dengan realitas kasih Tuhan. Apabila di tingkatan permulaan merealisasikan sifat-sifat Tuhan, dalam tingkatan kedua lebih naik setingkat seperti adanya pengetahuan yang lebih yang di berikan oleh Tuhan. Ketiga, tingkatan terakhir (al-khitām), yaitu kemampuan merealisasikan citra Tuhan secara utuh dan mampu mengetahui segala rahasia takdir yang akan datang.30

Banyak pandangan lain dalam memahami konsep insān al-kāmil. Insān al-kāmil terkadang dimaknai sebagai wali tertinggi (al-quṭb). Dalam perspektif sufi, al-quṭb merupakan pemimpin tertinggi para wali. Di samping itu, al-quṭb juga diartikan sebagai penolong, yang derajatnya paling dekat dengan Tuhan. Di dalam tulisan Ali disebutkan bahwa al-quṭb dikelilingi oleh dua orang imam yang mempunyai tugas sebagai wāzir dan ada empat orang sebagai penjaga pilar. Terdapat pula tujuh orang yang memiliki tugas berbeda-beda, yakni abdāl, nuqaba’, nujaba’, hawariyun, dan rajabiyun.31

Manusia Sempurna dalam Pandangan Filosof dan

mereka sama-sama berbicara tentang eksistensi manusia, konsep yang diberikan memiliki perbedaan signifikan.

Nietzsche berpendapat bahwa dalam upaya mengenali diri sendiri, manusia cenderung bertindak dan berkehendak melampaui kemampuan yang dimiliki. Dalam konteks ini, pemahaman atas diri manusia justru tidaklah mudah. Hal yang diperlukan untuk memahami diri sendiri adalah kesadaran akan kemampuan yang dimiliki pada dirinya. Nietzsche memberikan penekanan untuk lebih mengenal “Aku”. Dalam proses pengenalan “ke-Aku-an”, manusia akan cenderung untuk kreatif, sehingga mampu menggapai cita-cita setinggi mungkin.

Alasan mengapa Nietzsche harus “membunuh” Tuhan, tidak langsung diartikan secara nyata membunuh Tuhan sebagaimana kita yakini. Akan tetapi tanpa Tuhan, manusia dapat menjadi dirinya sendiri tanpa ada ikatan yang mengharuskan menjadi sesuatu sesuai dengan yang digariskan. Ini menggambarkan bahwa manusia mempunyai kesempatan dalam menentukan dirinya sendiri. Apabila Tuhan ada, maka manusia kehilangan kesempatan untuk memahami segala hal yang terdapat di dunia dan memahami ke-aku-an yang ada dalam dirinya.32

Dengan menggaungkan “kematian” Tuhan, bukan berarti Nietzsche seorang yang ateis atau seorang agnostisis. Ia hanya mengingkari adanya Tuhan secara eksplisit (anti-teis). Namun, dalam tindakan anti-teis-nya, Nietzsche justru membahas mengenai Tuhan dalam Zarathustra.

Akhirnya! Kembalilah!

Pun dengan siksaMu yang nyeri Padaku orang terakhir yang sepi.

Kembalilah!

Air mataku yang pedih menggabak mengalir padamu!

Dan hatiku membarasempurna!

Mendambakan Dikau!

32 Friedrich W. Nietzsche, Kehendak untuk Berkuasa, trans. oleh Chairul Arifin (Jakarta: ISTN, 1996), 67.

Kembalilah.

Tuhanku yang asing bagiku! Deritaku!

Bahagiaku sempurna.

Syair ini menggambarkan keyakinan Nietzsche terhadap Tuhan. Tidak menutup kemungkinan, latar belakangnya sebagai bagian dari keluarga agamawan masih tersisa dalam dirinya untuk menonjolkan sisi-sisi religius, walaupun pada akhirnya Nietzsche menyatakan “kematian” Tuhan.33 Bahkan, dalam isi syair tersebut, Nietzsche menyebut “Tuhan yang asing bagiku!” yang menandakan Tuhan sebenarnya ada dalam diri Nietzsche.

Nietzsche hendak menjelaskan bahwa manusia super merupakan manusia yang dapat menentukan sikapnya sendiri, tanpa ada pertolongan dari orang-orang di sekitarnya, bahkan juga tanpa pertolongan dari Tuhan. Pengungkapan ini selaras dengan penjelasan Heidegger yang menyebutkan manusia memikul bebannya sendiri. Bahkan, lebih jauh lagi tanpa bantuan dari agama, karena agama dianggap sebagai penghalang dalam bertindak. Karena ada batasan-batasan yang diajarkan oleh agama, sehingga manusia sendiri tidak dapat bergerak dengan bebas dalam bertindak atau menyelesaikan sebuah masalah.

Berbanding terbalik dengan pandangan Ibn ‘Arabī yang dengan tegas mengungkapkan bahwa manusia sempurna tidak lepas dari perwujudan Tuhan. Peran Tuhan mempunyai otoritas yang besar, karena untuk mencapai tingkatan manusia sempurna (insān al-kāmil) yang derajatnya tinggi harus mampu merealisasikan citra Tuhan. Penanaman sifat-sifat atau asma’ Tuhan dalam diri manusia menandakan kedudukannya telah mencapai manusia sempurna.

Namun, berbicara mengenai kekuasaan yang dimiliki manusia, antara Nietzsche dan Ibn ‘Arabi sedikit ada kemiripan. Sikap berkehendak atas kekuasaan menjadi sebuah perwujudan atas ubermensch, karena dengan menjadikan manusia sempurna dan mampu mengatasi diri sendiri akan memunculkan keinginan

33 Nietzsche, 69.

untuk memimpin segalanya di bawah kekuasaan diri atas kekuatan yang diperoleh. Sikap berkuasa pun sebenarnya bisa disamaartikan dengan kepemimpinan atas satu hal. Dalam konsep ini, kekuasaan yang dimiliki seseorang yang dihasilkan dari kehendak untuk berkuasa akan mengantarkannya menjadi pemimpin (khalifah) sebagai wakil Tuhan di muka bumi dengan syarat mampu bersikap adil. Dalam konteks ini, relevansi pemikiran Nietzsche dengan Ibn

‘Arabi memiliki garis penghubungnya.

Penutup

Pandangan Nietzsche dan Ibn ‘Arabī terhadap capaian kesempurnaan manusia memiliki sedikit perbedaan. Konsep ubermensch menuntut manusia untuk menemukan cara sendiri dalam menemukan jati dirinya sendiri, sehingga menjadikannya unggul. Sedangkan insān al-kāmil yang dipaparkan Ibn ‘Arabī merupakan manusia sempurna dari sisi wujud dan pengetahuannya. Wujud yang sempurna yang dimiliki oleh manusia adalah bentuk manifestasi dari Tuhan yang berasal dari cerminan sifat-sifat-Nya. Ubermensch dalam konsep Nietzsche diperoleh dari upaya manusia untuk mengenali dan menjadi diri sendiri dengan segala kemampuan yang dimiliki. Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang disebutkan oleh Ibn

‘Arabī yang menganggap bahwa untuk dapat menjadi sempurna, manusia harus menjadikan Tuhan sebagai acuannya. Tetapi perlu digaris bawahi, untuk dapat mencapai derajat sempurna, manusia harus terlebih dahulu merealisasikan sifat-sifat Tuhan yang diberikan kepadanya dan hal ini tidak mudah.

Daftar Pustaka

Al-Fayyadl, M. Teologi Negatif Ibn ‘Arabi; Kritik Metafisika Ketuhanan.

Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara, 2012.

Ali, Ibnu. “Nilai-nilai Dasar Pendidikan Tasawuf dalam Paradigma Mistik Ibnu ’Arabi tentang Insan Kamil.” El-Furqania : Jurnal Ushuluddin dan Ilmu-Ilmu Keislaman 3, no. 01 (2017): 16–37.

Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn Arabî Oleh al-Jîlî. Jakarta: Paramadina, 1997.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Bistara, Raha. “Wahdah al-Wujud Ibn Arabi dalam Imajinasi Kreatif Henry Corbin.” Academic Journal of Islamic Principles and Phylosophy 1, no. 1 (2020): 1. https://doi.org/10.22515/ajipp.

v1i1.2344.

Dewi, Ernita. “Konsep Manusia Ideal dalam Perspektif Suhrawardi al-Maqtul.” Substantia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 17, no.

1 (2015): 41–54. https://doi.org/10.22373/SUBSTANTIA.

V17I1.4107.

Fahrudi, Ah. Haris. “Al-Insan Al-Kamil Dalam Tasawuf Ibn ‘Arabi.”

MIYAH : Jurnal Studi Islam 11, no. 1 (2015).

Hassan, Fuad. Berkenalan dengan eksistensialisme. Jakarta: Pustaka Jaya, 2000.

Mahmud, Abdullah. “Filsafat Mistik Ibnu Arabi tentang Kesatuan Wujud.” Suhuf 24, no. 2 (2012): 85–98.

Mahmud, Akilah. “Insan Kamil Perspektif Ibnu Arabi.” Sulesana:

Jurnal Wawasan Keislaman 9, no. 2 (2014): 33–45. https://doi.

org/10.24252/.V9I2.1297.

Munir, Misnal. “Pengaruh Filsafat Nietzsche terhadap Perkembangan Filsafat Barat Kontemporer.” Jurnal Filsafat 21, no. 2 (2016): 134–46. https://doi.org/10.22146/jf.3113.

Nanuru, Ricardo Freedom. “Übermensch: Konsep Manusia Super Menurut Nietzsche,” n.d. https://doi.org/10.31219/OSF.IO/

SW6Y7.

Nietzsche, Friedrich W. Kehendak untuk Berkuasa. Diterjemahkan oleh Chairul Arifin. Jakarta: ISTN, 1996.

———. Nietzsche Zarathustra. Diterjemahkan oleh HB Jassin.

Yogyakarta: Narasi, 2015.

Purwanto, Muhammad Roy. “Filsafat Eksistensial Nietzsche dan Wacana Agama: Studi Filsafat Nietzsche dan Kontribusinya dalam Dekonstruksi Wacana Agama.” An-Nur: Jurnal Studi Islam 1, no. 2 (2005).

Rahmat, Ali. “Konsep Manusia Perspektif Filosof Muslim: Studi Komparatif Pemikiran Ibn Sina dengan Al-Ghazali.” Jurnal Kariman 4, no. 2 (2016).

Sahadewa, Ngurah Weda. “Konsep Manusia Menurut Mohandas Karamchand Gandhi.” Jurnal Filsafat 23, no. 1 (2013). https://

doi.org/https://doi.org/10.22146/jf.13154.

Sunardi, St. Nietzsche. Yogyakarta: LKiS, 2006.

Wibowo, A. Setyo. Gaya filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Galang Press, 2004.

Tesis Eyad Abuali yang menyebutkan dunia sufisme merupakan dunia phonocentric yang mengedepankan budaya lisan daripada tulis layak dijadikan dasar untuk melakukan pembuktian selanjutnya.

Bahkan, dengan tesis tersebut Abuali mendistingsikan tradisi Islam secara keseluruhan dengan tradisi Barat yang disebutnya lebih mengedepankan pada tradisi tulis (ocularcentric).1 Apa yang disebutkan oleh Abuali dapat dibenarkan jika mengacu pada fokus kajiannya yang diarahkan pada tokoh sufi Iran abad pertengahan, yakni Najm al-Dīn Kubrā (w. 617 H./1221 M.). Namun, tesis ini perlu mendapat bantahan jika penyebutannya diarahkan pada keseluruhan tradisi sufisme dalam Islam. Abū Hayyān al-Tawḥīdī (w. 414 H./1023 M.), yang hidup sebelumnya, telah mengenalkan tradisi tulis untuk menyebarkan konsep pemikirannya. Terdapat dua faktor yang menjadikan tradisi tulis al-Tawḥīdī tidak banyak dikenal. Pertama, karya al-Tawḥīdī tidak populer di mata pembaca karena gaya tulisannya yang rumit. Kedua, kajian al-Tawḥīdī cenderung monoton dan minim relevansi dengan konteks dan

1 Eyad Abuali, “Words Clothed in Light: Dhikr (Recollection), Colour and Synaesthesia in Early Kubrawi Sufism,” Iran 58, no. 2 (2 Juli 2020): 279–92, https://doi.org/10.1080/05786967.2019.1583046.

H. Zuhri

Menelusuri Ulang Jejak Sufisme

Dalam dokumen Terorisme, Jihad dan Perdamaian dalam Islam (Halaman 42-48)