• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aturan moralitas kedua: tidak melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan

Dalam dokumen Pergi Berlindung Mengambil Aturan Moralitas (Halaman 183-187)

Mengambil Aturan Moralitas

II. Lima Aturan Moralitas

2. Aturan moralitas kedua: tidak melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan

Aturan moralitas yang kedua dibaca: Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami, “Saya mengambil aturan latihan untuk tidak melakukan pengambilan barang yang tidak diberikan.” Kata adinna, secara harfiah berarti “barang yang tidak diberikan,”

menandakan kepemilikan-kepemilikan orang lain yang mana orang tersebut memperoleh hak kepemilikannya dengan cara yang legal dan tak tercela (adandaraho anupavajjo). Dengan demikian, tidak ada pelanggaran yang dilakukan jika benda yang diambil tidak ada pemiliknya, sebagai contoh., jika batang kayu diambil untuk membuat api atau batu dikumpulkan untuk membangun tembok. Lebih jauh lagi, orang yang satunya harus memiliki kepemilikan atas benda tersebut yang diambil secara legal dan tak tercela; yaitu, ia memiliki hak legal atas benda tersebut dan juga harus tak tercela dalam penggunaannya. Frasa yang terakhir disebut ini nampaknya berlaku dalam kasus dimana seseorang memperoleh kepemilikan yang sah atas sebuah benda namun menggunakannya dengan jalan yang tidak tepat atau menggunakannya untuk tujuan-tujuan

Mengambil Aturan Moralitas

yang tidak etis. Dalam kasus seperti ini mungkin saja terdapat dasar-dasar yang masuk akal untuk mencabut barang tersebut darinya, sebagaimana ketika hukum mengharuskan seseorang yang melakukan pelanggaran hukum untuk membayar denda atau mencabut senjata tertentu yang dimiliki secara sah oleh orang tersebut yang mana barang tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan menghancurkan.

Tindakan mengambil barang yang tidak diberikan secara

formal didefinisikan sebagai berikut: “Mengambil barang yang

tidak diberikan adalah kehendak dengan niat mencuri yang membangkitkan aktivitas pengambilan suatu benda yang secara legal dan tidak tercela merupakan milik orang lain di dalam dirinya di

mana orang tersebut mengetahui bahwa benda itu adalah milik orang

lain.”[7] Seperti halnya pada kasus aturan moralitas yang pertama,

pelanggaran di sini terutama berpusat pada kehendak. Kehendakini dapat menyebabkan tindakan pencurian dengan memulai perbuatan melalui tubuh atau ucapan; dengan demikian sebuah pelanggaran terjadi baik dengan mengambil sesuatu secara langsung oleh orang itu sendiri ataupun secara tidak langsung, dengan memerintahkan orang lain untuk mengambil benda yang diinginkannya. Tujuan yang mendasar dari aturan moralitas ini adalah untuk melindungi harta milik individual dari pengambilalihan yang tidak dibenarkan oleh orang lain. Efek etisnya adalah untuk mendorong kejujuran dan mata pencaharian benar.

Menurut kitab-kitab komentar, untuk suatu pelanggaran penuh dari aturan moralitas ini terjadi harus ada lima faktor: (1) sebuah benda yang merupakan milik orang lain secara legal dan tak tercela; (2)

pengetahuan bahwa benda tersebut merupakan milik orang lain; (3)

pemikiran atau kehendak mencuri; (4) aktivitas pengambilan benda tersebut; dan (5) pengambilan aktual benda tersebut. Berdasarkan alasan faktor kedua, maka tidak ada pelanggaran dalam mengambil

tersebut milik kita, seperti ketika kita mungkin bingung dengan mantel yang terlihat sama, payung, dll. Faktor ketiga sekali lagi memberikan suatu pengamanan terhadap pengambilan yang tidak disengaja, sementara faktor yang kelima menyatakan dengan jelas

bahwa untuk jatuh kedalam kategori pelanggaran, perbuatan itu

harus mencabut benda tersebut dari pemiliknya. Tidaklah perlu dia menyadari kepemilikannya hilang, dengan hanya kepemilikannya itu diambil dari lingkup kendalinya meskipun hanya sementara maka faktor kelima sudah terpenuhi.

Mengambil barang yang tidak diberikan dapat dibagi ke dalam jenis-jenis pelanggaran yang berbeda. Kita mungkin menyebutkan beberapa yang paling menonjol. Pertama adalah mencuri, yaitu, mengambil barang yang tidak diberikan, secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pemiliknya, seperti dalam pembobolan rumah untuk mencuri, pencurian bank di tengah malam, mencopet, dll. Jenis lainnya adalah perampokan, mengambil barang yang tidak diberikan dengan paksa, baik dengan menyambar kepemilikan orang lain atau dengan memaksa orang tersebut untuk memberikan barang tersebut dengan cara mengancam. Jenis ketiga adalah penggelapan, menggunakan klaim-klaim palsu atau menceritakan kebohongan untuk memperoleh kepemilikan orang lain. Hal lainnya adalah penipuan, menggunakan cara-cara yang memperdaya untuk mencabut suatu barang dari seseorang atau untuk memperoleh uangnya seperti ketika penjaga toko menggunakan beban timbangan dan pengukur yang salah atau ketika orang-orang mencetak uang palsu untuk digunakan.

Pelanggaran dari aturan moral ini tidak perlu berurusan dengan tindak

kriminal besar. Aturan moralitas ini halus dan menawarkan banyak

kesempatan untuk pelanggarannya, beberapa dari pelanggaran itu tampaknya ringan. Sebagai contoh, pelanggaran akan terjadi ketika

pegawai mengambil barang milik majikan mereka, mengantongi

Mengambil Aturan Moralitas

dengan pemikiran bahwa perusahaan tidak akan merindukan

barang-barang tersebut; ketika menggunakan telepon orang lain

untuk melakukan sambungan jarak jauh tanpa izin, membiarkan si pemilik untuk membayar tagihannya; membawa benda-benda

masuk ke dalam sebuah negara tanpa melaporkannya kepada bea cukai dengan tujuan untuk menghindari membayar pajak

atas barang tersebut; bermalas-malasan dan membuang waktu di

pekerjaan yang mana seseorang telah dibayar dengan harapan agar orang tersebut bekerja dengan rajin; mempekerjakan seseorang tanpa memberikan mereka kompensasi yang memadai, dll.

Melalui akar-akar yang mendasarinya, tindakan mengambil barang yang tidak diberikan dapat berlanjut baik dari keserakahan atau kebencian, dengan keduanya berpasangan dengan kebodohan batin. Mencuri dengan alasan keserakahan adalah kasus yang sangat jelas, namun pelanggaran aturan moralitas ini dapat juga didorong oleh kebencian. Kebencian berfungsi sebagai motif untuk mencuri ketika seseorang mencabut suatu benda dari orang lain bukan karena ia benar-benar menginginkan benda tersebut untuk dirinya sendiri tetapi karena ia membenci orang lain tersebut memiliki benda itu dan ia ingin membuatnya menderita melalui hilangnya benda itu dari orang tersebut.

Kadar kecelaaan yang melekat pada tindakan mencuri diyakini ditentukan oleh dua faktor yang mendasari, nilai dari benda yang diambil dan kualitas-kualitas moral pemiliknya. Dalam mencuri sebuah benda yang sangat bernilai, kadar kecelaan jelaslah lebih besar dibandingkan dengan mencuri benda yang nilainya tidak

seberapa. Namun ketika nilai barang tersebut sama, kecelaan dari

perbuatan tersebut tetaplah bervariasi relatif terhadap individu yang menjadi korban pelanggaran tersebut. Sebagaimana ditentukan oleh faktor ini, mencuri dari seseorang dengan kualitas-kualitas moral yang tinggi atau seorang yang membantu dirinya adalah suatu pelanggaran yang lebih serius dibandingkan dengan mencuri

barang dari seseorang yang memiliki kualitas moral yang lebih rendah atau dari seseorang yang tidak ada hubungannya dengan dirinya. Faktor ini, sesungguhnya, bahkan dapat menjadi lebih penting dibandingkan nilai tunai dari objek yang dicuri. Jadi jika seseorang mencuri mangkuk pindapata dari seorang bhikkhu meditatif, yang membutuhkan mangkuknya untuk mengumpulkan makanannya, bobot moral dari tindakan tersebut lebih berat dibandingkan dengan bobot moral yang terlibat dalam kecurangan yang dilakukan seorang penipu untuk mendapatkan beberapa ribu dolar, dikarenakan karakter orang yang terkena dampak perbuatan tersebut. Motivasi di balik perbuatan dan kekuatan kekotoran- kekotoran batin juga sangat menentukan kadar keseriusan moral, kebencian dianggap lebih tercela dibandingkan keserakahan.

3. Aturan moralitas ketiga: tidak melakukan perilaku yang

Dalam dokumen Pergi Berlindung Mengambil Aturan Moralitas (Halaman 183-187)