• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahaya-bahaya yang berkenaan dengan rangkaian umum dari eksistens

Dalam dokumen Pergi Berlindung Mengambil Aturan Moralitas (Halaman 132-136)

Pergi Berlindung

I. Alasan-Alasan untuk Mengambil Perlindungan

3. Bahaya-bahaya yang berkenaan dengan rangkaian umum dari eksistens

A. Aspek objektif. Bahaya-bahaya yang padanya kita terpapar adalah jauh lebih besar dibandingkan dengan yang baru saja dibahas. Di luar kesengsaraan dan ketidakberuntungan yang nyata dalam kehidupan sekarang dan risiko akan kejatuhan ke alam penderitaan, terdapat sebuah bahaya yang lebih mendasar dan komprehensif yang mengalir melalui seluruh rangkaian

dari eksistensi duniawi. Bahaya ini adalah ketidakpuasan

intrinsik dari samsara. Samsara adalah siklus penjadian, lingkaran dari kelahiran, penuaan, dan kematian, yang telah

berputar melalui waktu yang tanpa awal. Kelahiran kembali

kehidupan selanjutnya. Proses-kehidupan mengulang dirinya sendiri berulang kali, keseluruhan pola itu mengulang dirinya sendiri lagi dan secara penuh dengan setiap tikungan yang baru: setiap kelahiran menghasilkan pelapukan dan kematian, setiap kematian memberi jalan pada kelahiran yang baru. Kelahiran kembali dapat berupa keberuntungan atau kemalangan, namun di mana pun ia terjadi, tidak ada penghentian pada perputaran roda. Hukum ketidakkekalan memberlakukan aturannya pada seluruh bidang dari kehidupan yang berkesadaran; apa pun yang timbul pada akhirnya harus berakhir. Bahkan surga- surga tidak menyediakan jalan keluar; kehidupan di sana juga

berakhir ketika kamma yang membawa pada kelahiran surgawi

telah habis, dan kemudian diikuti dengan kemunculan kembali di alam lainnya, mungkin di alam penderitaan.

Oleh karena ketidakkekalan ini, semua bentuk dari eksistensi yang berkondisi di depan mata kebijaksanaan tampil sebagai dukkha, ketidakpuasan atau penderitaan. Tidak ada satu pun dari sokongan dan sandaran kita yang terbebas dari kebutuhan untuk berubah dan berlalu. Karenanya, apapun yang kita gunakan untuk kesenangan dan kenikmatan, pada kenyataannya adalah bentuk tersembunyi dari penderitaan; yang kita jadikan sandaran untuk keamanan juga terpapar pada bahaya; yang kita jadikan sebagai proteksi itu sendiripun perlu dilindungi. Tidak ada apa pun yang ingin kita pegang dapat kita pegang untuk selamanya, tanpa menjadi hancur: “Itu mulai hancur, itu mulai hancur, karenanya itu disebut ‘dunia’.”

Masa muda menghasilkan usia tua, kesehatan menghasilkan sakit, kehidupan menghasilkan kematian. Setiap pertemuan berujung dengan perpisahan, dan dengan rasa sakit yang

menemani perpisahan tersebut. Namun untuk memahami

situasi tersebut pada kedalamannya yang paling penuh, kita harus mengalikannya dengan ketidakterbatasan. Mulai dari

Pergi Berlindung

waktu yang tanpa awal, kita telah bertransmigrasi melalui

lingkaran eksistensi, mengalami pengalaman yang sama berulang kali dengan frekuensi yang begitu cepat: kelahiran, penuaan, sakit, dan kematian, perpisahan dan kehilangan, kegagalan dan frustasi. Kita berulang kali terperosok ke dalam

alam penderitaan; dalam waktu yang tak terhitung, kita telah

menjadi binatang, hantu, dan penghuni neraka. Berulang kali kita telah mengalami penderitaan, kekejaman, dukacita, dan

keputusasaan. Buddha menyatakan bahwa jumlah air mata dan

darah yang telah kita kucurkan dalam pengembaraan samsara kita lebih banyak dibandingkan air di samudra; tulang belulang yang kita tinggalkan dapat membentuk tumpukan yang lebih tinggi dibandingkan gunung-gunung Himalaya. Kita telah

menemui penderitaan ini dalam waktu yang tak terhitung

banyaknya di masa lalu, dan selama penyebab perputaran kita dalam samsara tidak dipotong, kita mengambil risiko untuk menemui lebih banyak lagi hal-hal yang sama tersebut dalam jalur pengembaraan kita di masa depan.

B. Aspek subjektif. Untuk lepas dari bahaya-bahaya ini, hanya terdapat satu jalan pelepasan: untuk memalingkan diri dari semua bentuk eksistensi, bahkan yang paling luhur. Akan tetapi, agar pemalingan diri itu efektif, kita harus memotong sebab- sebab yang mengikat kita pada lingkaran itu. Sebab mendasar yang menopang pengembaraan kita di dalam samsara terdapat di dalam diri kita sendiri. Kita mengembara dari kehidupan ke kehidupan, Buddha mengajarkan, karena kita didorong oleh dorongan yang tidak pernah terpuaskan yang amat besar untuk mengabadikan diri kita. Dorongan ini oleh Buddha disebut sebagai bhava-tanha, nafsu keinginan untuk eksistensi. Selama nafsu keinginan untuk eksistensi tetap beroperasi, meski jika hanya bersifat laten, kematian pun bukanlah penghalang

bagi kelanjutan proses-kehidupan. Nafsu keinginan akan

menghasilkan bentuk eksistensi yang baru yang ditentukan oleh simpanan kamma yang telah terakumulasi sebelumnya. Oleh karenanya, nafsu keinginan dan eksistensi menyokong

satu sama lain secara bergantian. Nafsu keinginan membawa

eksistensi yang baru; eksistensi yang baru memberikan dasar bagi nafsu keinginan untuk melanjutkan pencariannya untuk kenikmatan.

Yang mendasari hubungan kesalingbergantungan yang amat buruk ini, yang menghubungkan nafsu keinginan dan eksistensi yang berulang, adalah faktor yang lebih mendasar atau lebih

awal lagi, yang disebut “ketidaktahuan” (avijja). Ketidaktahuan

adalah ketidakwaspadaan yang mendasar mengenai sifat

sebenarnya dari hal-hal, suatu keadaan ketidaktahuan spiritual

yang tidak berawal. Ketidakwaspadaan ini beroperasi dalam

dua cara yang berbeda: pada satu sisi, ia mengaburkan kognisi yang benar, di sisi lain, ia menciptakan jaring distorsi kognitif dan pencerapan. Dikarenakan ketidaktahuan, kita melihat keindahan pada hal-hal yang sebenarnya menjijikkan, melihat kekekalan pada yang tidak kekal, kesenangan pada yang tidak menyenangkan, dan keakuan pada fenomena tanpa aku, sementara, dan tanpa inti. Kebodohan-kebodohan batin ini menyokong majunya dorongan nafsu keinginan. Seperti seekor

keledai yang mengejar sebuah wortel yang digantungkan

dari sebuah gerobak, menguntai di depan matanya, kita tanpa berpikir panjang lagi langsung menyerbu penampakan keindahan, kekekalan, kesenangan, dan keakuan, hanya untuk menemukan diri kita sendiri masih bertangan kosong, terjerat semakin kuat di dalam lingkaran samsara.

Untuk terbebas dari pola yang sia-sia dan tidak menguntungkan ini, adalah penting untuk menghancurkan nafsu keinginan yang membuatnya tetap bergerak, tidak hanya untuk sementara, namun secara permanen dan menyeluruh. Untuk menghancurkan

Pergi Berlindung

nafsu keinginan, ketidaktahuan yang menyokongnya harus dicabut, karena selama ketidaktahuan diijinkan untuk merajut ilusi-ilusinya, dasar bagi nafsu keinginan untuk timbul kembali

tetaplah ada. Obat penawar untuk ketidaktahuan adalah

kebijaksanaan (pañña). Kebijaksanaan adalah pengetahuan menembus yang merobek selubung ketidaktahuan dalam rangka untuk “melihat hal-hal sebagaimana mereka adanya.” Kebijaksanaan bukanlah sekedar pengetahuan konseptual, namun sebuah pengalaman yang harus dihasilkan dari dalam diri kita; pengalaman itu harus dibuat langsung, segera, dan personal. Untuk membangkitkan kebijaksanaan ini, kita membutuhkan instruksi, bantuan, dan bimbingan – seseorang yang akan mengajari kita apa yang harus kita pahami dan lihat sendiri, serta metode-metode yang dengannya kita bisa membangkitkan kebijaksanaan yang membebaskan dan akan memotong kabel-kabel yang mengikat kita ke penjadian yang berulang. Karena mereka yang memberikan bimbingan ini, dan instruksi-instruksinya itu sendiri, menyediakan proteksi dari bahaya-bahaya transmigrasi, mereka dapat dianggap sebagai sebuah perlindungan yang sejati.

Ini adalah alasan ketiga untuk pergi berlindung – kebutuhan untuk pembebasan dari ketidakpuasan yang meresap dari Samsara.

Dalam dokumen Pergi Berlindung Mengambil Aturan Moralitas (Halaman 132-136)