• Tidak ada hasil yang ditemukan

AYAHKU PERGI UNTUK SELAMANYA

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 140-142)

Saat itu adalah malam minggu. Aku kebetulan diberi tugas oleh pak dokter yang rumahnya aku tempati untuk mempersiapkan acara rapat RT antar warga Graha Wanamukti, Semarang. Pak dokter tidak bisa hadir sebagai tuan rumah dalam kegiatan rapat RT tersebut karena beliau lagi ada jadual praktek jaga di RS Mardirahayu, Kudus. Oleh karena itu semua persiapan dan lain-lain diserahkan sepenuhnya kepadaku. Setelah semua persiapan untuk kegiatan rapat seperti: menggelar karpet, menyajikan makanan yang dikirimkan oleh Tante Nung, dan lainya selesai aku persiapkan, maka tibalah acara rapat akan segera dilaksanakan. Waktu yang ditentukan pada undangan rapat yang telah disebarkan ke rumah-rumah warga komplek Graha Wanamukti adalah pukul 19.30 sampai selesai. Pak Mulyo selaku sekretaris RT pada acara rapat di komplek tersebut kebetulan datang duluan masuk ke rumah pak dokter. Kemudian disusul oleh pak RT nya sendiri yaitu Pak Winarta. Setelah itu baru disusul oleh kedatangan bapak-bapak yang lainnya.

Akhirnya semua tamu undangannya berkumpul di rumah pak dokter. Kemudian pak Mulyo membuka acara rapat tersebut. Pada saat acara rapat baru dibuka dengan satu patah dua patah kata-kata dari Pak Mulyo sebagai awal pembukaan kegiatan tersebut, tiba-tiba hpku berdering. Kemudian aku pun mengangkat telpon genggap yang berada di saku hpku.

Ternyata yang menelpon adalah Paklikku sendiri yaitu Lik Suhadi adik kandung dari ibuku. Beliau berbicara dalam telpon begini: Dik Tegar, kiro-kiro iso bali ning ndeso saiki pora? Bapak lagi kumat gerahe. Nek iso ndang bali ning ndeso saiki yo. ‘Dik Tegar, kira-kira malam ini bisa pulang kampung sekarang, ndak? Bapak sedang kumat lagi sakitnya. Kalau bisa segera pulang kampung sekarang ya.’ Akupun menjawab: ’’Oh nggih, Paklik...’’. ‘Oh iya, Paklik’... Hatiku pun mulai bergejolak tidak tenang saat itu. Kira-kira ada apa di rumah di kampungku?. Selang beberapa menit kemudian ponakanku yang bernama Dian Puspita Dewi yang tinggal di daerah Sendangmulyo mendadak menelponku juga. Akupun mengangkat dan langsung menjawab telponnya: ’’Om, bisa pulang kerumah Mbah kah sekarang? Mbah Kung ninggal’’... Aku pun langsung diam, lemas dan tak bisa berkata-kata lagi setelah selesai mengangkat telpon dari Dian saat itu. Tak terasa air mataku pun meleleh dari pipiku. Kemudian aku sms ke hp Dian kalau aku mau jemput dia untuk ikut pulang bersama denganku malam itu juga. Dengan terpaksa kegiatan rapat RT pun akhirnya langsung dibubarkan. Setelah semua mendengar berita tentang ayahku yang meninggal kemudian para tamu undangan rapat pada menghampiriku dan saling mengucapkan ucapan belasungkawa kepadaku. Pak RT pun langsung ke kamarku untuk menenangkan diriku. ’’Saya turut berbela sungkawa ya Mas Don...tenangkan dirimu... kemudian disusul lagi ungkapan belasungkawa lainnya lagi...’’Yang sabar Tos...hati-hati ya di jalan jangan ngebut bawa motornya’’. Itulah kata-kata yang diucapkan oleh Pak Win, Pak Hendro, Pak Dito, Pak Samsul, Pak Mulyo dan lainnya saat itu, sambil menyerahkan amplop kepadaku dan sambil berkata lagi: ’’Tos, ini ada sedikit bantuan ungkapan belasungkawa dari bapak- bapak semua malam ini, mohon diterima ya..., Sing sabar yo Tos, Kata Pak Hendro menenangkanku lagi..’’.

Waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB malam saat itu. Aku pun memutuskan untuk pulang kampung pada malam itu juga. Setelah aku menjemput Dian di kostnya akupun langsung pulang ke kampung halamanku sambil memboncengkan Dian dibelakang dengan motorku Yamaha Vega R tahun 2004. Sambil mengendarai motorku aku pun masih sambil meneteskan air mata. Tak berapa lama kami telah sampai di Pom Bensin daerah Wirosari. Karena stok bensin pada tangki motorku mau habis maka aku putuskan berhenti untuk mengisikan premium disana terlebih dahulu. Sambil mengisi bensin disana ada sms yang masuk di hpku lagi. Setelah aku buka sms di inbox hpku ada pesan dari Paklikku yang berbunyi: Wis tekan ngendi? ‘Sudah sampai mana?’ Kemudian aku pun langsung membalas pesan singkat Paklikku begini: Iki aku lagi tekan pom bensin Wirosari, Paklik...‘Ini aku baru

sampai di pom bensin Wirosari, Paklik...’. di pom bensin tersebut aku pun istirahat sebentar dengan Dian karena kaki dan punggungku terasa pegal-pegal habis memboncengkan ponakanku yang chubby itu mulai dari kota Semarang sampai ke Wirosari.

Setelah istirahat kira-kira 15 menit kami pun melanjutkan perjalanan pulang. Kira- kira 30 menit-an lagi aku dan ponakanku akan segera sampai di rumah. Itulah gumamku saat itu. Setelah sampai dirumah akupun langsung memarkirkan motorku tanpa mengambil kunci motornya. Di depan rumah aku pun langsung disambut ibuku yang sambil menangis kemudian memeluk dan menciumiku dengan sambil berkata: ’’Wis dadi bejanmu le...bapakmu wis ora ono maneh’’... ‘Dah jadi nasibmu nak, bapakmu sudah tidak ada lagi...’ Akupun ikut terisak mendengar kata-kata ibuku. Dirumahku sudah ada banyak kerabat, saudara dan tetangga yang ikut menunggui jasad ayahku. Kemudian aku pun memandangi jasad ayahku yang terbujur kaku yang sudah dikafani. Karena tak tahan dengan kesedihanku itu aku langsung menuju kamarku sambil meneteskan airmata lagi. Tak terasa kenangan- kenangan masa lalu dengan ayahku silih berganti muncul di depanku. Saat beliau mengajakku mencukur rambutku yang sudah mulai memanjang ke tukang cukur di daerah Kuwu aku seringkali diajak mampir untuk makan masakan kesukaanku yaitu asem-asem di rumah makan Sari Roso atau terkenal dengan sebutan Manna disana. Saat kecil aku juga pernah dibelikan mainan mobil-mobilan, dimarahi saat lupa akan tugasku mencabut rumput, dimarahi saat lupa menunggui tanaman padi di sawah dari gangguan burung dan ayam dari rumah penduduk sekitar dan lainnya. Yang paling teringat lagi saat tiga minggu sebelum beliau tiada adalah saat aku pamiti hendak berangkat ke Semarang beliau kelihatan berat untuk melepaskan keberangkatanku menuju Semarang. Seakan-akan tidak mau ditinggalkan olehku. Baru kali itu aku melihat ayahku meneteskan air mata saat aku pamiti pergi. Teringat akan saat kenangan terakhir itu dadaku pun terasa sesak dan air mataku pun kembali meleleh. Dalam kesedihanku itu, kemudian aku teringat dengan lirik tembang shalawat yang berjudul Qad Anshaha oleh seorang pelantun sholawat dari Ponpes Langitan, Tuban Jawa Timur.

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 140-142)