• Tidak ada hasil yang ditemukan

MELANJUTKAN KULIAH S1 SASTRA JEPANG DI SEMARANG

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 146-151)

Qod Anshoha

MELANJUTKAN KULIAH S1 SASTRA JEPANG DI SEMARANG

Aku dengar dari teman pada tahun 2009 kalau surat ijin dari DIKTI pusat Jakarta, bahwa pengajuan ijin untuk membuka program studi baru S1 Bahasa Jepang di UNDIP sudah turun ijinnya. Pada awal Juni 2010, di UNDIP mulai lah membuka jurusan baru yaitu S1 Bahasa Jepang yang awalnya bahasa Jepang hanya dibuka untuk program D3 Bahasa Jepang saja sejak tahun 2001. Pada program studi baru dibuka untuk lulusan baru (fresh graduated) SMA/SMK/MA sederajat atau Reguler 1 disingkat R1 yang ingin mengambil jurusan Bahasa Jepang. Untuk alumni D3 Bahasa Jepang pun dibuka juga untuk program transfer atau dikenal dengan Reguler 2 (R2). Maka, sejak pertama kali dibukanya program baru R2 S1 Sastra Jepang di UNDIP tersebut kemudian aku langsung ikut mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi ujian masuknya. Alhasil, aku pun diterima menjadi mahasiswa baru disana. Sayangnya, untuk program R2 saat itu hanya dibuka sampai dua angkatan saja karena Pemerintah sudah tidak mengijinkan lagi ada perkuliahan R2 atau lintas jalur lagi untuk semua fakultas yang ada di UNDIP.

Saat itu aku harus memutuskan dua hal, misalnya, kalau masuk kuliah transfer S1 Bahasa Jepang di UNDIP aku masih mau melanjutkan mengajar Bahasa Jepang-ku di LPK Aishiro Gakuen atau memilih melanjutkan kuliahku ke jenjang S1. Akhirnya aku pun lebih memilih memutuskan untuk melanjutkan kuliahku ke jenjang S1 saja. Karena jam ngajarnya bertabrakan dengan jam kuliahku.

Saat kuliah S1 Bahasa Jepang di UNDIP, aku mendapatkan mata kuliah yang baru

diantaranya: Honyaku ‘Terjemahan Tulisan’ (翻 訳), Nihongo Chukyuu ‘Bahasa Jepang

Tingkat Menengah’ (日本語中級), Keitairon‘Morfologi’ (形態論), On-inron‘Fonologi’ (音 韻論), Kaiwa Chukyuu‘Percakapan Tingkat Menengah’(会話中級), dan lainnya.

Saat kuliah transfer R2 aku mendapatkan teman-teman baru lagi, antara lain: Nunung, Nining, Oki, Agung, Zaenal, Bahri, Siska, Adi, Rizal, Ani, Ana, Asepta, Tina, Evi dan lainnya.

Kuliah di jurusan S1 Bahasa Jepang UNDIP saat itu ada tambahan pengajar dari native dari Jepang, diantaranya: Ota Ribeka Sensei, Asada Michiko Sensei, Yuko Tabata Sensei, dan Kyouji Honda Sensei. Sedangkan dosen orang Indonesia antara lain: Budi Mulyadi Sensei, Lina Rosliana Sensei, Utami Sensei, Nur Hastuti Sensei, Fajria Noviana Sensei, Yulia Rahmah Sensei, Zakky Ainul Fadly Sensei.

Mahasiswa baru untuk S1 Bahasa Jepang di UNDIP dari fresh graduated SMA ada sekitar 200 mahasiswa baru pada tahun 2010 sedangkan yang dari D3 Bahasa Jepang transfer ke S1 Bahasa Jepang awalnya ada 32 mahasiswa baru, kemudian keluar empat orang dan drop out satu mahasiswa. Saat memasuki semester III di S1 R2 Bahasa Jepang kelas kami yang terdiri dari 30-an mahasiswa kemudian dipecah menjadi dua kelas peminatan penjurusan, yaitu: sastra dan linguistik. Saat itu aku masuk di kelas linguistik. Kelas linguistik hanya terdiri dari 12 mahasiswa saja waktu itu. Teman-teman linguistik yang satu kelas bersamaku antara lain: Fransiska, Zaenal, Tina, Budi, Dewi, Asepta, Nunung dan lainnya.

Kuliah pun berjalan lancar. Tetapi saat bimbingan skripsi saat itu aku mengalami banyak rintangan dan cobaan. Diantaranya: istriku melahirkan saat operasi caesar dan putraku tidak bisa diselamatkan, aku mengalami kecelakaan saat berkendara motor dan yang paling menghebohkan saat skripsiku hampir tidak diluluskan. Kejadian demi kejadian, cobaan demi cobaan datang silih berganti.

Apalagi saat aku lagi butuh buku teori yang ada di jimusho ‘kantor (Jurusan S1 Jepang UNDIP)’, saat itu aku hendak pinjam baik-baik kepada Utami Sensei, Yuli Sensei dan Novi Sensei mereka tidak memberikan ijin untuk mengcopy buku tersebut. Aku hanya boleh diijinkan untuk mencatat, menulis, atau menfoto dengan kamera hpku. Ternyata aku merasa mereka masih pelit akan hal ilmu. Belum total untuk mengamalkan ilmunya. Jadi teringat dalil yang berbunyi :’’Orang pelit itu tidak akan masuk surga meskipun tekun ibadahnya. Orang pelit itu jauh dari Allah, jauh dari dari manusia, sedangkan orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia.’’ (Al-Hadits).

Padahal aku cuma ingin mengcopy bukunya pada saat itu dan ingin mengembalikan bukunya langsung saat itu juga, itu pun tidak mendapatkan ijin dari mereka. Meminjam buku untuk dicopy aja tidak boleh, apakah yang ingin pinter dosennya saja? Apakah mahasiswa tidak diijinkan untuk berkembang juga dalam ilmunya? Sungguh ironis melihat fenomena tersebut apalagi alasan buku yang tidak boleh dicopy pun tidak logis yang telah diutarakan kepadaku, yaitu: takut kalau bukunya rusak, karena dulu pernah ada senpai yang pinjam buku dari jimusho bukunya jadi rusak. Kalau memang takut bukunya nantinya rusak dipinjam oleh mahasiwa kenapa mereka tidak menyediakan back up foto copyian satu buah buat jaga-jaga kalau ada mahasiswa yang butuh ingin mengcopy buku tersebut?

Setelah itu aku berkunjung ke kampus UDINUS (Universitas Dian Nuswantoro) Semarang. Sesampainya di kampus tersebut aku pun langsung bertemu dengan temanku sekaligus dosen yang menjabat menjadi ketua jurusan S1 Sastra Jepang disana, bernama Andi Bangkit, Ph. D. waktu itu. Setelah aku menceritakan semua masalahku aku pun akhirnya mendapatkan buku apa yang aku cari-cari meskipun beliau itu konsentrasinya bukan tentang ilmu linguistik Bahasa Jepang. Saat itu juga aku diijinkan untuk mengcopy bukunya dan mengembalikan pada hari itu juga. Malahan beliau juga pernah bilang kalau soal buku tinggal ngomong saja silakan dicopy aja kalau belum mampu untuk membeli buku yang aslinya.

Semua kejadian dan cobaan datang silih berganti saat itu. Apalagi saat bimbingan skripsi dengan dosen. Cerita berawal dari sini. Ketika itu, saat aku mengajukan dosen pembimbing skripsiku aku memang lebih memilih Suharyo, M. Hum. sebagai pembimbing pertamaku karena saat bimbingan tugas akhir saat D3 Bahasa Jepang dulu pun aku di bimbing oleh beliau. Itu karena saat bimbingan dengan beliau tugas akhirku saat itu hanya memakan waktu dua minggu saja untuk menyelesaikannya. Aku masih terbayang-bayang cerita para senpai saat D3 dulu agar jangan memilih dosen pembimbing yang dianggap suka meng-php-kan atau

mempersulit mahasiswanya saat bimbingan. Kemudian, untuk pembimbing kedua-nya aku memilih Lina Rosliana Sensei sebagai pembimbing karena kelihatannya baik orangnya.

Saat hendak mengajukan proposal skripsi ke pembimbing pertama, proposalku awalnya memang ditolak oleh beliau. Beliau tidak mengatakan atau meluruskannya dengan jelas mengenai kesalahan-kesalahannya dimana tentang salahnya yang aku tulis dalam proposalku saat itu. Karena bikin penasaran dan tidak puas atas penolakan tersebut kemudian aku tidak sengaja mengatakan hal yang membuat beliau agak tidak nyaman kepadaku saat itu. Kemudian, beliau langsung berdalih kepadaku begini: ’’Anda lebih baik bimbingannya ke dosen kedua saja lah’’...Kemudian aku pun menjawab: ’’Ya Pak. Oh ya kalau habis selesai bimbingan dengan pembimbing kedua bagaimana Pak? Apa masih menghadap ke Bapak lagi?’’ lalu beliau menjawab lagi begini: ’’Tidak usah...Anda sepertinya sudah nyaman dengan pembimbing kedua, Anda.’’

Setelah menghadap ke dosen pembimbing pertama aku langsung menghadap ke dosen pembimbing kedua. Kemudian, aku menceritakan semua apa yang diinginkan oleh pembimbing pertama tentang skripsiku. Kemudian dosen pembimbing kedua menyuruhku untuk memastikannya lagi. Akhirnya dengan berat hati aku pun menanyakan lagi ke dosen pembimbing pertama. Setelah aku menghadap ke dosen pembimbing pertama lagi jawabannya masih sama. Sebaiknya memang aku harus dibimbing oleh dosen pembimbing kedua, ’’Itulah kata-kata dari beliau pembimbing pertamaku’’. Wah bakal akan terjadi sesuatu nih di kemudian hari, ’’Begitulah gumamku saat itu.’’

Setelah itu aku pun menjalani bimbingan skripsi ke dosen pembimbing kedua. Hari demi hari waktu demi waktu pun terus berlalu. Karena dosen pembimbing pertama sedang menunaikan ibadah haji dan malas kepadaku saat itu, maka bimbingan skripsiku diserahkan sepenuhnya ke dosen pembimbing kedua. Akhirnya bimbingan skripsiku sudah menginjak ke BAB II. Saat selesai bimbingan ke BAB II bimbingan skripsiku masih tetap berlanjut meskipun waktu itu ada kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang diwajibkan diambil oleh semua jurusan mahasiswa UNDIP sebagai salah satu syarat untuk lulus S1.

Selain KKN salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk lulus dari S1 semua jurusan FIB UNDIP adalah mendapatkan sertifikat Toefl Bahasa Inggris dari SEU (Service English Unit) dengan skor minimal 400 untuk S1 yang non Bahasa Inggris, sedangkan syarat dari jimusho adalah minimal lulus N3 (Nihongo Nouryoku Shiken Level 3 ‘Ujian Kemampuan Bahasa Jepang Tingkat 3’). Karena banyak dari teman-teman mahasiswa saat itu belum banyak yang

mengikuti N3 jadi dari jimusho diberikan aturan sendiri untuk mengadakan ujian lokal di jurusan. Saat itu kami disuruh untuk membayar uang pelatihan dan sertifikat seharga 410.000 oleh jurusan kalau ingin pelatihannya ditambah dengan sertifikat lulusnya.

Awalnya kami merasa keberatan karena untuk ikut ujian Toefl Bahasa Inggris waktu itu saja hanya disuruh untuk membayar 50.000 saja oleh SEU bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UNDIP. Kemudian sebagai dosen yang mempunyai ide untuk menyelenggarakan pelatihan dan ujian N3 lokal di jurusan S1 Sastra Jepang saat itu adalah Utami Sensei kemudian beliau berdalih begini: ’’Uangnya yang mengelola SEU ya jadi kalau bagi yang sudah membayar uangnya tidak bisa diambil lagi. Jadi, semua sudah menjadi aturan dari SEU FIB UNDIP Kampus Pleburan’’. Saat itu beliau juga pernah bilang kalau dengan membayar uang tersebut pelatihan N3 lokal akan dilakukan selama 2 bulan dan setelah itu baru dilakukan ujian N3-nya. Ternyata, eh ternyata... Pelatihan N3 bagi yang sudah membayar dana 410.000 ke jimusho hanya dilakukan dalam waktu seminggu saja, itupun dua kali tatap muka doang dan soal ujian N3 nya kebanyakan dari perkuliahannya Asada Sensei. Setelah itu sertifikat N3 dibuatkan lulus semua. Dari fenomena kejadian tersebut aku pun menjadi curiga. Apa benar uang pelatihan sebanyak itu uangnya memang benar masuk ke SEU? Pihak SEU sendiri yang mengelola? Daripada kecurigaanku tak berujung akhirnya aku pun ngecek langsung ke ketua SEU saat itu karena aku kebetulan kenal orang yang ada di dalamnya. Setelah aku cerita semua ke kantor SEU tersebut ternyata pihak SEU tidak tahu menahu tentang sistem tersebut. Malahan pimpinannya SEU waktu itu bilang kepadaku bahwa kalau sampai rektornya tahu tentang hal ini semua bisa-bisa oknum-oknum dosen yang berada dibelakang penyelenggaraan sistem tersebut yang tanpa adanya ijin yang resmi bisa-bisa akan dipecat dari jabatannya...

Akhirnya aku pun mengurungkan niatku untuk melaporkannya ke rektorat karena tidak sampai hati sebab ada dosen yang sudah baik hati kepadaku yang tidak sengaja dijadikan bahan kambing hitam yang sudah mau untuk tanda tangan pada sertifikat N3 tersebut. Karena laporanku ke SEU itu akhirnya sebagian uang teman-temanku yang sudah masuk ke jimusho pun dikembalikan 150.000 ke masing-masing mahasiswa yang sudah membayar dana untuk N3 lokal sebesar 410.000 oleh oknum dosen tersebut. Sedangkan aku tidak akan pernah mau untuk menerima lagi uang tersebut. Mending lebih baik diserahkan ke anak yatim atau orang yang lagi membutuhkan saja. ’’Itulah pikirku saat itu’’.

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 146-151)