SERIBU KILOMETER
Sebuah perjalanan hidup seorang insan biasa dalam menimba ilmu dan menggapai
cita-cita demi mendapatkan masa depan yang cerah
Novel Biografi
Karya:
Teguh Santoso
Tidak ada murid, mahasiswa, anak muda dan prajurit yang salah. Yang ada adalah
dosen, guru yang salah mendidik. Sebagaimana halnya tidak ada prajurit yang salah, yang
ada adalah Jendral yang salah memberi arahan, perintah, atau instruksi. Sebagaimana
orang tua yang menyalahkan anak atau anak muda. Tidak ada anak muda yang salah,
karena orang tualah yang salah mengasuh. Orang tua pernah muda tetapi anak atau anak
muda belum pernah tua jadi bijaklah dalam mendidik ...
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, berkah, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyajikan kisah perjalanan hidup penulis dalam mencari ilmu demi menggapai cita-cita demi impian masa depan yang cerah dan berdasarkan pengalaman kisah nyata yang penulis alami yang terangkum dalam judul SERIBU KILOMETER ini agar dijadikan renungan, motivasi, dan kritikan untuk setiap orang yang berprofesi sebagai pengajar, guru, dosen atau lainnya agar bisa memahami arti pentingnya sebagai seorang pengajar yang bisa mengkondisikan dirinya dengan peserta didiknya. Karena ilmu yang bermanfaat itu tidak dapat dinilai sedikit dan banyaknya ilmu yang dimiliki oleh seorang pengajar sesuai bidang ilmunya, namun bagaimana sebuah ilmu itu bisa diaplikasikan atau diamalkan dengan ikhlas untuk peserta didiknya.
Penulis
Purwodadi, September 2015
DAFTAR ISI
1. Masa Kecil Tegar Bagian Pertama...
2. Masa Kecil Tegar Bagian Kedua...
3. Desa Kelahiranku...
4. Ayahku adalah Seorang Penganut Kejawen...
5. Pranatacara...
6. Primbon...
7. Sekolah di MTS Al-Hamidah Kuwu...
8. Pandangan Agama Islam tentang Ilmu...
9. Sekolah di MAN 1 Semarang...
10.Antara Sekolah di MAN 1 Semarang dan Menimba Ilmu di Pesantren Al-Ishlah Bagian
Pertama...
11.Antara Sekolah di MAN 1 Semarang dan Menimba Ilmu di Pesantren Al-Ishlah Bagian
Kedua...
12.Melanjutkan Kuliah D3 Bahasa Jepang di Semarang...
13.Tinggal di Dershane...
14.Antara Bisnis MLM dan Tinggal di Rumah Pak Dokter...
15.Tidak Ada yang Tahu Kapan Ayahku Pergi untuk Selamanya...
16.Melanjutkan Kuliah S1 Sastra Jepang di Semarang...
17.Menjadi Operator Warnet...
18.KKN di Desa Kediten...
19.Tidak Ada Mahasiswa yang Salah...
20.Meninggalnya Pak Dokter...
21.Hancurnya Maghligai Pernikahanku...
SINOPSIS
Novel ini mengangkat kisah tentang seorang anak desa yang tumbuh di lingkungan
keluarga yang memegang erat tradisi dan budaya Jawa (Kejawen). Dalam pandangan
keluarganya, nasib dan takdir seolah-olah sudah bisa dengan mudah ditebak. Apapun harapan
keluarga Tegar padanya, dia tidak terlalu peduli dengan takdirnya.
Hingga pada usia remaja, dia memutuskan menempuh pendidikan pesantren dan sekolah
di MAN. Dari sini Tegar mulai memilih, memilah dan berpikir tentang dunia. Dia mulai
paham tentang pentingnya menuntut ilmu, sesuai dengan dalil yang berbunyi ’’Tuntutlah ilmu
mulai dari buaian hingga ke liang lahat’’. Dengan penuh semangat, akhirnya Tegar
sampailah ke perguruan tinggi pengalamannya.
Dalam pikiran Tegar seorang guru, dosen adalah teladan yang selalu rela membagi
ilmunya. Tapi ternyata di tingkat inilah kenyataan pahit harus ditelannya. Ada seorang dosen
mencaci-maki dirinya, mempermalukannya dan menghakimi masa depannya. Inilah awal
perjuangan Tegar mencari arti pendidikan yang sebenarnya hingga akhirnya dapat
menyelesaikan kuliahnya ke jenjang pendidikan S1 di Semarang.
TENTANG PENULIS
TEGUH SANTOSO dilahirkan di sebuah desa kecil yaitu: Sarirejo, Dukuh Galsari,
Kecamatan Ngaringan, Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Pada tahun 1996,
lulus dari SDN 02 Sarirejo di tempat kelahirannya, kemudian meneruskan sekolahnya ke
MTs AL-HAMIDAH di daerah Kuwu, Kecamatan Kradenan dan dinyatakan lulus pada tahun
2001, kemudian pada tahun 2004 lulus dari MAN 1 Semarang. Pada tahun 2008 telah
berhasil menyelesaikan studi D3 Bahasa Jepang kemudian pada tahun 2012 berhasil
menyelesaikan studinya ke jenjang S1 Bahasa Jepang Universitas Diponegoro, Semarang.
Saat ini beliau sedang menempuh pendidikan S2 Linguistik Jepang di Universitas
Padjadjaran, Bandung. Cita-citanya adalah menjadi seorang yang ahli di bidang bahasa. Pada
tahun 2007 mengajar bahasa Jepang di SMP-SMA Semesta, Semarang dan di LPK Merdeka
Semarang. Pada tahun 2009-2010 mengajar bahasa Jepang di LPK Aishiro Gakuen, dan SMK
2013 sampai sekarang menjadi staf pengajar luar biasa untuk bidang Bahasa Jepang di
STIKES AN-NUR Purwodadi, Grobogan Jawa Tengah. Email : entossjp@gmail.com. Karya
yang sudah diterbitkannya antara lain:
1. Dasar-Dasar Morfologi Bahasa Jepang (2015), Penerbit Irsyadul Fikr;
2. Dasar-Dasar Morfologi Bahasa Jepang Edisi 2 (2015), Penerbit Morfalingua;
3. Kajian Linguistik Kontrastif: Tingkatan Bahasa dalam Bahasa Jepang dan Undak-Usuk
Bahasa Jawa (2015) Penerbit Morfalingua;
4. Konsep Waktu Masyarakat Kejawen: Kajian Antropolinguistik (Proseding SETALI
UPI, 2015), Penerbit UPI Press.
5. Bahasa Jepang Ragam Bahasa Pria dan Wanita (2015), Penerbit : Morfalingua;
6. Cerita Rakyat Grobogan (2015); Penerbit: Histokultura.
MASA KECIL TEGAR
Bagian Pertama
Di pagi yang cerah itu, Tegar bermain bersama dengan teman-teman seusianya. Tegar
dan teman-temannya waktu itu kebetulan sedang bermain petak umpet. Pada saat itu mereka
hanya bermain bertiga saja. Tegar ditemani oleh Darsih, Temin dan Yatmi. Saat temannya
Tegar bernama si Temin sedang mulai berhitung sebagai tanda permainan telah dimulai,
maka Tegar dan teman-teman lainnya pun segera mencari tempat untuk bersembunyi.
Temannya yang bernama Sudarsih bersembunyi di rumahnya sendiri karena rumahnya hanya
berjarak sekitar 50 meter dari rumah Tegar. Sedangkan Tegar bersembunyi di kolong dipan
yang ada di kamarnya. Yatmi disuruh bersembunyi di kamar mandi oleh Tegar agar bisa
sambil mengambilkan dia air buat mandi atau kungkum.
Waktu masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK), saat mandi, Tegar
memang suka untuk berendam (kungkum) di ember bulat berwarna hitam yang dipenuhi air.
Kalau sudah masuk ember tersebut Tegar pasti malas-malasan untuk menyudahi
kegemarannya itu. Baru kalau sudah merasa kedinginan dia akan menyudahinya sendiri.
Apabila belum puas kungkum sudah dipaksa oleh kakak atau ibunya untuk segera menyudahi
mandinya, Tegar seringkali teriak-teriak sambil menangis pertanda bahwa dia menolak
Saat itu si Yatmi bersembunyi di kamar mandi sambil mengambili air memakai
gayung. Karena waktu itu kebetulan air di bak mandi tinggal sedikit, maka Tegar langsung
meminta bantuan Yatmi untuk memenuhi ember bulat kesayangannya agar dipenuhi dengan
air. Dan saat itu si Lasiman belum sempat mengambil air ke sumur untuk mengisi penuh bak
mandi karena kebetulan masih ada tugas yang lainnya. Saat itu juga kebetulan rumah Tegar
sedang sepi. Ayah dan ibunya sedang pergi keluar rumah karena ada urusan di kantor.
Sedangkan kakak-kakaknya belum pulang dari sekolahnya. Para pekerja yang bekerja di
rumahnya entah pada pergi kemana waktu itu. Tidak biasanya di rumah tampak sepi dengan
penghuni orang dewasa. Waktu itu hanya ada Tegar dan teman-temannya saja yang lagi asyik
bermain petak umpet bersama.
Saat Tegar masih bersembunyi di kamar, dia masih mendengar Yatmi beberapa kali
mengambili air dengan gayung. Setelah beberapa saat kemudian terdengar suara:’’Mak
ceblung’’... di kamar mandi. Setelah itu terdengar suara tangisan dari Yatmi. Setelah itu
Tegar memeriksa dengan sambil mengintip dari celah lubang dinding yang dia temukan di
kamarnya. Ternyata tampak dari celah dinding kamarnya si Yatmi sudah tercebur di bak
mandi yang kedalamannya sekitar 1,5 meter. Tegar bukannya membantunya tetapi dia malah
langsung kabur untuk bersembunyi ke tempat lain agar susah dicari orang karena ketakutan.
Untungnya air di bak mandi waktu itu tinggal sedikit, kalau airnya banyak atau penuh mah
bisa mati tuh anak... Bak mandi di kamar mandinya terbuat dari satu bis (gorong-gorong)
bahan untuk membuat sumur. Makanya untuk anak-anak seusia mereka saat itu bak mandi
seukuran tersebut cukup dalam kalau ingin masuk di bak mandi tersebut. Apalagi kalau sudah
masuk di bak mandi itu, pasti akan butuh bantuan orang dewasa untuk bisa naik keatas.
Kemudian, si Temin mendatangi sumber suara tangisan tersebut. Temin juga tidak bisa
membantu Yatmi untuk keluar dari bak mandi tersebut. Kemudian Temin berlari sambil
berteriak-teriak begini: Wooiiiiii...!!! Yatmi nangis kejegor jedhing...Yatmi nangis kejegor
jedhing... ‘Wooiiiiii...!!! Yatmi nangis kecebur bak mandi....Yatmi nangis kecebur bak
mandi...’ Itulah teriakan Temin waktu itu dan akhirnya di dengar oleh ibu dan bapaknya
Yatmi. Kemudian orang tuanya Yatmi datang ke kamar mandi Tegar dan mengangkat Yatmi
dari bak mandi tersebut. Setelah itu, ayahnya Yatmi bertanya kepada Temin begini, Ayahnya
Yatmi:’’Lah Tegar wonge saiki ngendi Min?’’ ‘Lah, Tegar sekarang dimana Min?’ Temin
pun menjawab:’’Wonge lagi dhelik Lik... ‘Orangnya lagi sembunyi, Om...’ Ayahnya
Tegar yang masih bersembunyi karena ketakutan tidak berani untuk keluar dari
persembunyiannya. Akhirnya setelah itu ayah dan ibunya Tegar pulang. Orang tua Yatmi
kemudian menceritakan semua kejadian tadi pagi yang sudah menimpa anaknya. Tegar pun
dimarahi oleh ayah dan ibunya. Apalagi kakak Tegar juga ikut memarahinya. Akibat ada
kejadian itu Yatmi dilarang keras oleh orang tuanya untuk bermain dengannya lagi setelah
ada kejadian itu.
Sambil dengan berjalannya waktu, akhirnya orang tuanya Yatmi sudah melupakan
dan memaafkan kesalahan dan keteledoran Tegar kepada anaknya sehingga terjadi
kecelakaan tersebut. Tegar pun kembali melakukan kegiatan seperti biasanya yaitu
bersekolah di TK dan bermain setelah pulang dari sekolah. Saat masih duduk di bangku TK
dia belajar mulai jam 07.00 sampai jam 09.00 WIB. Kebetulan saat Yatmi tercebur di bak
mandi di rumahnya waktu itu sekolah mereka sedang diliburkan karena gurunya lagi ada
kegiatan rapat bersama dengan guru-guru lainnya.
Teman-teman yang biasa bermain bersama saat Tegar masih kecil lumayan banyak.
Mereka adalah Sudarsih, Suratmin, Suyatmi, Darno, Darni sepupu Tegar, Tarmi, Hartini,
Sukahar, Saelan, Sugiono, dan lainnya. Jenis permainan untuk bermaian bersama saat Tegar
masih kecil pun beragam, antara lain : bermain kelereng, dam-daman, benthik, gejik,
jithungan, kasti, gobak sodor, congklak, bekel, srobot-srobotan, cublak-cublak suweng dan
jenis permainan tradisional lainnya.
Sedangkan Tegar saat masih duduk di bangku sekolah TK dia terkenal sebagai anak
pendiam. Tidak akan mau ikut bermain kalau tidak ada yang mengajaknya bermain. Saat itu
Tegar mempunyai teman akrab yang bernama Matohari dan Teguh Tri Nugoho putra dari
kepala sekolah SDN Sarirejo 02 waktu itu yang ditakuti oleh banyak siswa dan siswi karena
terkenal galak. Beliau adalah Pak Parno. Kalau ada seorang siswa atau siswi yang kedapatan
nakal dan ditangani oleh beliau tak lupa kepala sekolah tersebut untuk main tangan saat
memberikan hukuman kepada siswa atau siswi tersebut. Entah itu mereka akan mendapat
cubitan yang sakit di tangan, jambakan rambut, mendapat jeweran yang nyeri di telinga atau
mendapat tamparan yang pedas di pipinya atau yang lainnya. Meskipun seringkali siswa
mendapat hukuman seperti itu, tidak ada pihak orang tua siswa yang sampai berani untuk
melaporkannya ke pihak berwajib. Karena semua itu memang sudah dianggap biasa bagi
orangtua siswa dan termasuk didikan yang wajar-wajar saja. Tidak seperti jaman sekarang
Kalau pihak orang tuanya tidak terima anaknya disakiti atau dianiaya oleh oknum guru di
sekolah maka pihak orangtua siswa korban bisa melaporkan oknum guru tersebut ke pihak
berwajib. Karena ada undang-undang tentang perlindungan anak.
Pada masa kecilku, aku (Tegar) sering melihat anak-anak yang mendapat perlakuan
seperti itu, tapi toh orang tua anak tersebut juga tidak merasa anaknya disakiti atau dianiaya.
Buktinya? Tidak ada pihak orang tua yang sampai berurusan ke pihak berwajib saat itu
apabila ada anak mereka diperlakukan oleh oknum kepala sekolah tersebut. Karena baik dari
pihak orang tua kandung siswa yang disakiti tersebut memang tidak ada niat untuk melapor
atau memang tidak tahu bagaimana cara melaporkannya ke pihak berwajib kah atau memang
menganggap hal tersebut itu semua merupakan bagian didikan dari pihak sekolah agar
putranya menjadi lebih disiplin atau gimana aku pun kurang memahaminya.
Setelah Tegar lulus dari TK dia pun beranjak naik ke kelas satu SD. Saat itu,
bangunan sekolah TK dan SD jaraknya masih berada di lingkungan satu tempat. Nama
sekolah TK dan SD dinamai dengan TK Sarirejo dan nama sekolah dasarnya dinamai SDN
02 Sarirejo karena masih terletak di dusun Galsari desa Sarirejo Kecamatan Ngaringan.
Selama duduk di bangku SD mulai kelas satu sampai kelas empat SD Tegar hanya
mendapatkan peringkat 5 besar saja. Itu karena dia tidak rajin dalam belajar. Yang mendapat
peringkat satu di kelas selalu diraih oleh anak kepala sekolah di sekolah tersebut. Teguh Tri
Nugroho namanya. Dia bisa mempertahankan rangking pertamanya mulai kelas satu SD
sampai lulus dari kelas enam SD di sekolah tersebut. Sedangkan yang memperoleh peringkat
duanya adalah Matohari. Kemudian disusul lagi oleh Eko Endah Susanti peringkat ke tiganya,
Saeko Mukti sebagai peringkat empatnya, dan baru Tegar yang mendapatkan peringkat
limanya setelah itu disusul oleh teman lainnya.
Saat naik kelas di kelas empat SD Tegar sudah mulai malas dan malas belajar. Dia
hanya bisa bermain dan minta uang ibu untuk jajan. Karena kebiasaan buruknya yang terus
bermain dan jajan itu, Tegar pernah sekali di hukum kakaknya dengan di kunci di kamar dari
luar agar dia tidak bisa kemana-mana dan mau untuk belajar dan tidak suka jajan terus. Tegar
pun berteriak-teriak sambil menangis saat itu.
Kemudian, saat naik ke kelas lima SD dia mulai mendapatkan teman baru yang tidak
naik kelas. Mungkin mereka kebiasannnya sama seperti Tegar yang malas untuk belajar jadi
tidak naik kelas, bedanya dengan Tegar meskipun malas belajar dia tidak pernah tidak naik
Yanti. Yanti adalah putranya pak carik (sekretaris lurah) di desa Tegar. Mulai kelas lima SD
inilah Tegar tidak lagi mendapatkan peringkat di kelas. Hingga sampai lulus dari kelas 6 SD
yang masih bertahan di peringkat pertamanya masih dipegang oleh Teguh Tri Nugroho. Dia
memang terkenal rajin dalam hal belajar. Mungkin karena didikan dari ayahnya sejak kecil
yang biasa ditanamkan kepada anaknya untuk disiplin dalam hal belajar jadi dia bisa
mempertahankan untuk menjadi peringkat pertamanya terus.
Beda dengan diri Tegar, kalau lagi males belajar sering mendapat marah dari
kakak-kakaknya. Bukannya mengubah kebiasaan buruk Tegar karena malas dalam belajar dan suka
jajan dengan sering dimarahi terus-menerus. Marah bukanlah solusi terbaik dalam mendidik
anak. Marah boleh saja dilakukan dalam kondisi tertentu. Akibat sering mendapat marah
tersebut bukannya dia menjadi anak yang rajin dalam belajar, justru dia malah semakin malas
untuk belajar saat itu.
Di kelas lima sampai kelas enam SDN 02 Sarirejo yang mendapat peringkat di kelas
antara lain Teguh Tri Nugroho sebagai peringkat pertamanya, Eko Endah Susanti dan Saeko
Mukti yang bergantian mendapatkan peringkat kedua, Ngadimin dan Matohari yang
bergantian mendapat peringkat ketiganya, Sukahar dan Mursalin yang bergantian mendapat
peringkat keempatnya dan kemudian disusul oleh teman lainnya. Sedangkan anak-anak yang
dianggap sebagai troublemakers dari kelas lima hingga sampai kelas enam tersebut antara
lain: Tegar, Suwarni, Rumini, Winarsih, Sri Sunardi, Sugiyanto, Wito, Tarmidzi, Bajang, Sati,
Wadiono, Yanti dan lainnya. Karena nilai mereka semua selalu jelek saat ada ulangan
Matematika, IPS, IPA, dan PMP. Pak Kirman selaku guru yang mengampu di kelas mereka
mulai dari kelas lima hingga lulus kelas enam SD sampai garuk-garuk kepala karena merasa
pusing sendiri setiap kali melihat hasil prestasi mereka.
Saat masih duduk di kelas enam SD, saat mengajar pelajaran kesenian dan
ketrampilan Pak Kirman begitu suka memberi tugas kepada kami untuk membuat kerajinan
tangan. Misalnya: membuat vigura, pot gantung, dan lain-lain. Dan yang masih teringat untuk
tugas terakhir kalinya sebelum kami lulus dari sekolah tersebut diadakan kompetisi dalam
kegiatan masak-memasak antara siswa satu kelas VI di kelas tersebut. Ada yang membuat
lontong, rolade, gorengan: seperti tahu pong (tahu isi), bakwan, dan lainnya. Kebetulan
Winarsih, Rumini, Sukahar, Sugiono, Suwarni dan aku menjadi satu tim dalam kelompok
Tim anggota kelompok kami waktu itu dipilih oleh Pak Kirman sesuai dengan siswa
atau siswi yang rumahnya berdekatan saja. Kebetulan waktu itu rumah kami tidak begitu
berjauhan. Dan masakan kami waktu itu adalah lontong tahu sambal kacang. Kami semua
menyiapkan bahan-bahan untuk menu masakan kami. Aku dan Sukahar bertugas membeli
kacang tanah, dan membeli kecambah (taoge) sedangkan bagian yang membeli tahu adalah
Rumini karena ibunya (Yang Ru) adalah seorang pedagang sayuran dan kebutuhan dapur
lainnya yang biasa berjualan keliling di kampung jadi gampang untuk mendapatkan tahunya.
Dan yang bertugas mencari daun pisangnya adalah Sugiono. Kemudian yang menyiapkan
daun pisang sebagai pembungkus lontongnya adalah Winarsih, Suwarni dan dibantu oleh Bu
Supi ibu kandung dari Suwarni. Malam harinya lontong dimasak dirumahnya Bu Supi atau
orang tuanya Suwarni. Saat memasak lontong tersebut tidak ada teman-teman cowok yang
membantunya lagi karena dilarang oleh Suwarni. Dia bilang kepada kami kalau urusan
masak-memasak biar ditangani oleh mereka sebagai cewek.
Keesokan harinya Sukahar dan Sugiono langsung berangkat ke sekolah terlebih dulu.
Sedangkan lontongnya dibawa dalam satu rombong (bronjong) yang ditaruh di belakang
sepedanya Winarsih. Dan aku saat itu disuruh ikut naik juga diatas sepeda tersebut untuk
menemani Winarsih mengantarkan masakan kami sampai ke sekolah untuk dihidangkan
kepada para guru kami di ruang guru nantinya. Sesampainya di sekolah, kami semua sibuk
membantu menyiapkan masakan kami untuk disajikan di ruang guru. Sambil menyajikan
masakan kami ada beberapa kelompok dari grup masak-memasak yang lain saling
tukar-menukar hasil masakan kami untuk dicicipi.
Saat acara makan-makan di ruang guru, kami tidak ada pelajaran seharian pada waktu
itu. Setelah selesai mencicipi masakan kami, semua juri dari pihak para guru mengumumkan
masakan siapa yang paling enak yang sudah disantap oleh para guru kami. Setelah
diumumkan hasil pemenang juara pertama yang mendapat pujian paling enak masakannya
jatuh pada kelompoknya Yanti. Sedangkan untuk juara keduanya yang mendapat pujian enak
jatuh pada kelompoknya Saeko Mukti. Dan kelompokku ternyata mendapat juara ke tiga.
Meskipun tidak mendapat juara pertamanya kami pun senang. Setelah selesai acara penjurian
dan pembagian hadiah, kemudian sisa dari masakan kami yang sudah tersaji di meja guru
kemudian kami ambil kembali dan kami makan bersama-sama dengan teman sekelas.
Ujian nasional dan ujian praktek tak terasa sudah dekat. Atas saran Matohari
Nugroho kemudian mengadakan belajar kelompok bersama di rumahnya Teguh Tri Nugroho.
Hampir tiap malam kami belajar kelompok bersama. Kami libur belajar kelompok tiap
malam minggu saja. Sukahar dan Sugiono sebelum berangkat belajar bersama di rumahnya
Teguh Tri Nugroho selalu mampir ke rumahku terlebih dahulu. Kami bertiga selalu berangkat
bersama menuju rumahnya Pak Parno. Setelah beberapa kali di rumahnya Pak Parno karena
tujuan belajar bersama dengan putranya, ternyata Pak Parno yang kami kenal galak saat di
sekolah ternyata saat dirumah orangnya kelihatan baik kepada kami. Saat belajar kalau ada
makanan seringkali disuguhkan kepada kami saat kami sedang belajar bersama.
Saat belajar kelompok di rumah Pak Parno waktu itu belum ada listrik yang masuk ke
desa kami. Listrik baru masuk ke desa kami pada tahun 1995. Kebanyakan di rumah-rumah
penduduk desa Sarirejo waktu itu untuk penerangan di malam hari masih menggunakan
lampu tradisional yang biasa disebut uplik atau teplok. Lampu teplok yang lumayan bagus
bentuknya dapat di beli di toko yang menjual peralatan rumah tangga di pasar Kuwu.
Ukurannya pun beragam, ada ukuran kecil, sedang dan besar. Kadang-kadang juga ada
penjual yang berjualan lampu teplok keliling di kampung kami. Sedangkan lampu uplik atau
teplok yang sederhana dapat dibuat sendiri dari bahan kaleng susu bekas, kaleng bekas obat
pembasmi hama tanaman dan lainya. Sebagai bahan bakar lampu uplik atau teplok tersebut
adalah minyak tanah. Kebetulan di rumah Teguh Tri Nugroho waktu itu ada lampu
petromaknya. Jadi cahayanya lebih terang lagi ketimbang lampu teplok. Karena lampu
petromak itu tergolong lebih mahal harganya dibanding dengan lampu teplok, jadi tidak
banyak warga yang memilikinya.
***************************************************************************
Tak terasa ujian nasional dan ujian praktek SD kami sudah berhasil kami lewati. Kini
tibalah kami untuk mengambil ijazah tersebut. Pak Kirman menyampaikan ke kelas kami
kalau ijazah dan DANEM tersebut tidak boleh diambil sendiri. Kemudian kami selanjutnya
mengajak orang tua kami masing-masing untuk mengambilkannya.
Bagian Kedua
Aku adalah seorang anak laki-laki yang disayang dan dimanja oleh ayah dan ibuku.
Aku merupakan anak terakhir dari 5 bersaudara. Mereka adalah Mas Murtopo Suparmin,
Mbak Sri Suparni, Mbak Sri Suparmi, Mas Samiko, Mbak Budi Setyaning dan terakhir
adalah aku, bernama Tegar Susanto. Ayahku bernama S. Domo sedangkan ibuku Marsiyem
Darmi. Meski ayahku galak tapi hatinya lembut. Sedangkan ibuku terkenal ulet dan rajin
dalam bekerja.
Saat masih duduk dibangku SD, dulu banyak orang yang ikut dirumahku. Mereka
banyak yang datang dari desa sekitar dan desa yang lain seperti: Setren, Tengger,
Sendangrejo, Tambak, Karangjati, Pamor, Galsari, Kalanglundo, Sulursari dan lainnya yang
masih berada di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah. Kebanyakan mereka bekerja dirumah
orang tuaku hanya demi sesuap nasi. Walaupun mereka dibayar dengan upah makan mereka
cukup senang. Kadangkala kalau ayahku lagi ada rejeki lebih mereka pun diberikan uang
sebagai upah. Mereka antara lain: Lik Gaeb yang mengasuhku saat masih kecil, Sukarti,
Lasiman, Daman dan lainnya. Ada yang bekerja sebagai pencari rumput untuk binatang
ternak keluargaku. Ada yang bekerja menjadi tukang masak. Ada yang bekerja mencari kayu
bakar untuk bahan bakar masak di dapur. Ada pula yang bekerja khusus merawatku,
misalnya: memandikan aku, mengantar dan menjemputku ke sekolah dan menyuapi aku
makan. Lasiman dan Sukarti adalah orang yang bertugas bergantian mengantar dan
menjemput aku sekolah saat masih TK sampai SD kelas IV. Saat masih SD selain ibuku,
Sukarti juga yang biasa menyuapi aku saat makan. Saat waktunya mandi kadang Sukarti dan
Lasiman juga yang bergantian memandikan aku. Yah begitulah kehidupan di keluargaku di
masa kecilku. Keluarga yang bukan tergolong kaya raya namun bisa dibilang berkecukupan.
Ayahku selain bekerja sebagai mantri kesehatan saat itu beliau juga seorang yang multi
talenta dalam bidang pendidikan, kesenian, dan pengobatan.
Ayahku pernah bilang kalau beliau itu lahir dari keluarga yang miskin. Karena
keuletan dan ketekunannya beliau lah akhirnya bisa menjadi sukses. Sebelum sukses, beliau
pernah menjadi seorang penggembala kambing, jualan petasan, menjadi jongos di daerah
Jawa Timur, menjadi pemain ketoprak dan akhirnya mempunyai grup atau rombongan
ketoprak sendiri dengan nama Pamin. Saat menjadi pemain ketoprak selain sudah
mempunyai grup sendiri ayahku juga terikat kontrak kerja dengan grup ketoprak yang lain
Selain itu ayahku juga dipercaya untuk menjadi pranatacara (MC) saat ada acara
pernikahan dan kegiatan tertentu lainnya dan pada puncak kesuksesannya beliau akhirnya
menjadi seorang PNS Mantri Kesehatan di Puskesmas di wilayah Ngaringan, Jawa Tengah.
Sedangkan ibuku merupakan ibu rumah tangga. Ibuku sekolahnya tidak sampai tamat SD
karena sulitnya perekonomian saat itu akhirnya demi membantu memperbaiki perekonomian
keluarga, ibuku terpaksa harus putus sekolah di tengah jalan demi membantu memperbaiki
kondisi ekonomi orangtuanya dengan berdagang dan lainnya.
Waktu aku kecil ibuku selain menjadi ibu rumah tangga, ibu juga mempunyai
kegiatan sambilan, yaitu membuka warung nasi kecil-kecilan. Warung ibu selalu ramai oleh
pengunjung saat itu karena masakan ibuku terkenal enak menurut pelanggan warungnya.
Walaupun masakan yang disajikan di warung ibuku nasi pecel dan lontong, warung ibuku
jarang sepi dari pelanggan.
Dalam bidang kesenian, ayahku mempunyai grup kesenian ketoprak sendiri,
kadangkala aku pun diajak untuk menemani beliau saat akan berangkat pentas di daerah yang
merupakan masih asing dalam diriku. Saat ayahku ada jadual pentas aku seringkali dibiarkan
tidur diruang make up para pemain ketoprak sampai acara selesai. Baru kalau pentas telah
usai ayahku baru akan membangunkanku dari tidur bahkan terkadang bangun tidur tahu-tahu
sudah pindah tempat, yaitu di rumah sendiri tanpa terasa saat aku masih tertidur ayah
menggendongku sampai pulang ke rumah. Selain menjadi pemain ketoprak ayahku selalu
mengisi acara-acara temu temanten (acara pembuka saat pengantin dipertemukan pada pesta
pernikahan dalam adat Jawa) baik di kampung sendiri maupun di kampung lain. Beliau
seringkali diundang kesana kemari untuk menjadi MC diacara tersebut. Saat mengisi acara di
setiap pesta pernikahan (pranatacara), ayahku selalu berbicara dengan menggunakan bahasa
kedhaton (bahasa krama inggil yang dicampur dengan bahasa Jawa kuno atau kawi) yang
tidak aku mengerti bahasanya sama sekali saat itu.
Dalam bidang pendidikan, ayahku pernah bilang saat beliau masih sekolah di bangku
SR (Sekolah Rakyat ) beliau selalu mendapatkan peringkat pertama. Sebagai orang yang ahli
dalam Kejawen ayahku juga sering sekali mendapat tamu dari desa sekitar maupun dari desa
lain yang lumayan jauh letaknya dari rumahku untuk dimintai tolong oleh setiap pasangan
yang akan melangsungkan pernikahan agar dicarikan hari atau penanggalan yang baik
menurut paham kejawen yang tidak sedikitpun aku untuk mengertinya karena ada rumus
padahal aku kurang suka dengan belajar Matematika. Untuk balas terima kasih atas jasa yang
diberikan kepada ayahku biasanya beliau akan mendapat kiriman nasi dengan lauk pauknya
seekor ayam utuh yang sudah dimasak (ingkung) dengan beberapa jenis makanan tradisional
didalamnya. Aku pun merasa senang saat itu karena pada tiap musim pernikahan tiba, ayahku
seringkali mendapat banyak kiriman makanan tersebut. Selain menentukan hari baik untuk
pernikahan, membangun rumah, mencari pekerjaan dan lainnya juga ada aturan
perhitungannya menurut aturan kejawen. Disamping itu, adapula tamu ayahku yang minta
jimat pengasihan atau apalah aku pun kurang memahaminya.
Dalam bidang kesehatan yang berprofesi sebagai seorang mantri kesehatan, ayahku
selalu dimintai tolong orang atau pasien untuk menyuntik yang datang untuk berobat atau
hanya sekedar periksa diri saja. Maklumlah kebetulan ayahku juga sudah menjadi pegawai
negeri sipil mantri kesehatan di kala itu. Tamunya pun berdatangan dari desa sekitar dan dari
beberapa desa yang jauh juga. Mantri kesehatan dulu sudah dikenal seperti dokter jaman
sekarang. Selain menyuntik pasien juga melayani anak laki-laki yang mau disunat.
Sampai kelas 5 SD aku pun masih dirawat oleh para pekerja ayahku yang rela bekerja
hanya demi sesuap nasi tanpa ada gaji bulanan. Kebanyakan mereka adalah laki-laki yang
bekerja di rumahku. Saat sekolah, setiap berangkat dan pulang aku selalu diantar jemput
dengan memakai sepeda. Sepada merupakan alat transportasi yang tergolong mewah saat itu
karena dalam satu kelurahan hanya ada 4 sepeda milik warga yang baru memilikinya.
Saat masih SD aku mempunyai sifat yang keras dalam menginginkan sesuatu,
keinginanku kalau tidak segera dipenuhi pasti akan marah dan nangis. Bahkan sesekali para
pekerja yang ikut dirumahku pernah aku lempari benda yang langsung aku peroleh dan
kadang juga memaki-makinya sambil aku nangis. Apalagi saat pulang sekolah pekerja yang
bertugas antar jemput aku disekolah kalau tidak bisa datang tepat waktu pasti akan aku
marahi. Pernah sekali juga waktu itu si Lasiman karena lupa atau entah ketiduran untuk
menjemputku dari pulang sekolah, aku maki-maki dia dan bahkan seharian aku tidak mau
untuk menegur atau menyapanya gara-gara kesalahannya itu. Kemudian Sukarti akan datang
kepadaku kalau aku lagi marah. Sukarti adalah seorang tukang masak ibuku waktu kecil.
Hobinya adalah makan gereh (sejenis ikan asin). Dia yang biasa merayuku saat aku marah.
Agar membuat aku tenang kembali dia selalu mempunyai cara tersendiri. Yah itulah
kenakalanku di masa kecilku.... Mungkin ada bedanya atau bahkan mungkin sedikit ada
Saat duduk dibangku Sekolah Dasar, Tegar bukanlah tergolong siswa yang pandai di
kelas, karena Tegar malas dalam belajar. Tegar hanya mendapat rangking di peringkat lima
besar saja pada saat Tegar masih duduk di kelas satu sampai di kelas tiga SD aja. Setelah itu,
mulai dari kelas empat sampai kelas enam SD Tegar pun malas dan malas belajar.
Sampai-sampai nilai hasil ujian Ebtanas kelulusan SD kelas enam itu hasil ujiannya jauh dari rata-rata
sehingga Tegar pun sempat dimarahi sama kakak-kakaknya. Itu gara-garanya Tegar
keasyikan nonton acara TV dan main-main terus sampai-sampai kegiatan belajar itu sudah
tidak menarik lagi buatnya. Jangan ditiru ya teman-teman hobinya Tegar saat masih kecil
yang malas belajar dan suka jajan... Meskipun kakak-kakaknya berkali-kali mengingatkan
Tegar untuk belajar, dia pun cuma sekedar bilang iya saja. Sempat juga kakaknya merasa
jengkel melihat ulahnya itu yang hobinya cuma main dan jajan. Pernah juga saat Tegar mau
nonton acara TV kesukaannya, waktu itu ada salah satu dari kakaknya bernama Mbak Sri
Suparmi yang menyembunyikan ACCU yang dipakai untuk saluran listrik agar TV nya bisa
menyala. Kalau tidak ada ACCU tersebut pastinya TV tidak mungkin bisa menyala. Tegar
pun marah dan nangis saat itu. Waktu aku (Tegar) kecil sih belum ada yang banyak
mempunyai pesawat TV seperti pada era sekarang. TV di masa kecilku itu hanya tiga orang
warga yang baru memilikinya saat itu. Itupun masih TV hitam putih dan bukan TV berwarna
yang banyak ditemukan di setiap rumah-rumah warga dari kalangan atas maupun kalangan ke
bawah seperti sekarang. Bahkan banyak model TV yang berbentuk flat pada jaman sekarang,
yang bisa ditonton dirumah, di kendaraan pribadi, di kendaraan umum dan di tempat umum
lainnya juga bisa bahkan channelnya pun beragam, tidak seperti pada masa aku kecil yang
baru ada TVRI saja dan channelnya pun masih terbatas tidak seperti saat ini. Setiap ada acara
ketoprak dari Kediri yang diputar di TVRI misalnya, rumahku selalu penuh dengan banyak
orang yang ingin ikut menonton bersama dalam acara tersebut. Kira-kira hampir ada satu RT
yang bisa hadir untuk menonton TV dirumahku saat itu. Sampai-sampai ada orang yang
berjualan juga di depan rumahku. Kalau saat ini channel TV-nya sudah ada ANTV,
INDOSIAR, RCTI, MNCTV, TRANSTV, TRANS 7, METROTV, TVONE, PROTV, TVKU,
NETTV, BALITV dan lainnya. Belum lagi yang memasang TV kabel atau antena parabola
dapat menonton acara-acara TV dari channel stasiun TV luar negeri lainnya.
Setelah ijazah kelulusan SD ku sudah bisa diambil, akupun mengambilnya ke kepala
sekolah yang bernama Pak Parno saat itu dengan ditemani oleh ayahku sendiri. Ayahku sih
kelihatan kecewa melihat hasil prestasiku setelah tahu dari daftar nilai EBTANAS saat itu.
saat melihat hasil nilaiku. Meskipun sudah dinyatakan lulus, tapi hasil nilainya jauh dari
rata-rata. Aku sih cuek saja karena setelah lulus SD aku sama sekali tidak ada minat untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi saat itu. Akupun istirahat selama satu tahun
saat itu setelah lulus dari SDN 02 Sarirejo, Ngaringan. Selama satu tahun itu akupun cuma
bisa main, jajan dan main saja kerjaannya.
Tibalah saat itu sekitar pertengahan Juli 1996, aku disuruh ibu untuk melanjutkan
sekolah lagi. Awalnya sih aku masih ragu-ragu karena nilai ijazahku yang pas-pasan saat itu.
Pasti tidak mungkin untuk bisa masuk di sekolah SMP favorit di sekitar tempatku. Karena
atas nasehat, dan desakan ibu yang sabar dalam mendidik anaknya maka akhirnya dengan
keadaan terpaksa aku pun mau untuk bersekolah lagi. Waktu itu ibuku berkata begini: Meh
dadi opo kowe le, mengko lek moh sekolah, lek ora sekolah maneh?! Saiki sing penting
sekolah. Sekolah nang ngendi wae iku podho wae sing penting sekolah gak perlu mlebu
sekolah negeri sing favorit, swasta wae yo oraopo.‘Mau jadi apa nak, nanti kalau kamu tidak
mau sekolah, kalau tidak sekolah lagi? Sekarang yang penting itu sekolah. Sekolah dimana
saja itu sama saja yang penting sekolah, tidak perlu masuk di sekolah negeri favorit, yang
swasta saja tidak apa-apa’. Aku pun hanya diam saat ibu berkata begitu padaku. Kemudian,
aku merenungkan semua nasehat dari ibuku. Dan akhirnya aku memutuskan untuk mau
melanjutkan sekolah lagi.
DESA KELAHIRANKU
Desaku itu desa yang kecil. Pastinya banyak orang yang belum tau tentang desaku.
Kalau musim hujan tiba becek, dan lumpur tanah ada dimana-mana. Bagi yang punya
kendaraan seperti motor, sepeda atau yang lainnya pasti capek untuk membersihkan
kendaraan yang dipunya. Karena habis selesai pakai pasti sudah tampak kotor lagi karena
akibat lumpur tanah akibat jalanan yang becek karena hujan. Kalau musim kering atau
kemarau tiba, debu pun ada dimana-mana. Sampai-sampai di pinggir jalan, dedaunan di pagar
tanaman tampak kotor karena tertutub debu yang beterbangan di udara akibat tertiup oleh
angin. Saat musim ini pun susah. Kendaraan pun tampak kotor karena debu yang menempel,
meja kursi kalau tak sering disulak debunya juga akan cepat menutupi. Disamping itu,
sumur-sumur banyak yang kering airnya karena akibat kemarau. Banyak warga yang susah untuk
mendapatkan air untuk keperluan rumah tangga, seperti mandi, mencuci dan lainnya. Bahkan
lumayan jauh dari kampung warga. Meski ada irigasi desa, saat kemarau seringkali tak ada
air yang cukup yang mengalir di irigasi tersebut.
Desaku bernama Sarirejo, yang terdiri dari dusun Galsari, Tambak, Karangjati,
Tengger dan Setren. Aku sendiri dibesarkan di dusun Galsari. Mobilitas untuk menuju
kecamatan desaku lumayan susah. Karena jaraknya lumayan jauh dari kota dan kondisi jalan
yang belum merata pembangunannya. Mayoritas penduduknya adalah petani dan pedagang.
Namun, ada juga yang menjadi tukang kayu, bidan, perawat dan beberapa orang yang
menjadi pegawai negeri guru, dosen, TNI, dan polisi.
Desaku terletak di paling ujung selatan kecamatan Ngaringan, berbatasan kecamatan
Kradenan yang masih wilayah Kabupaten Grobogan, Provinsi Jawa Tengah. Kondisi
geografis Kabupaten Grobogan cocok untuk pertanian karena potensi aliran sungai Tuntang,
Serang, dan Lusi, serta beberapa anak sungainya mampu mengairi sebagian tanah-tanah
persawahan di Grobogan. Disamping itu, untuk tandon air, dibangunlah bendungan Sedadi,
Kali Lanang, Sidorejo, Dumpil, Klambu, serta Waduk Kedungombo, Waduk Nglangon, dan
Waduk Sanggah.
Penduduk Grobogan pernah dijajah oleh Jepang. Tepatnya pada tanggal 1 Maret 1942.
Jepang mulai masuk wilayah Pulau Jawa, yaitu Banten, Indramayu dan Rembang
masing-masing dengan kekuatan dan satu divisi. Pasukan yang mendarat di Rembang dengan cepat
menuju ke ke arah selatan, sehingga dalam waktu sehari berhasil menduduki kota Blora. Dari
Blora pasukan Jepang yang dipimpin oleh Yamamoto dan Matsumoto terus bergerak ke arah
Purwodadi Grobogan dan berhasil menguasai kota ini pada tanggal 3 Maret 1942. Dari
Purwodadi Grobogan pasukan Jepang terus menuju ke selatan sehingga hampir semua kota di
Jawa Tengah bagian selatan berhasil diduduki. Pada masa pendudukan Jepang ini, semua
menderita, termasuk penduduk Kabupaten Grobogan. Mobilitasi penduduk Kabupaten
Grobogan digerakkan oleh Jepang melalui program pengerahan tenaga kerja paksa yang
dikenal dengan 労 務 者 Roumusha. Ribuan tenaga roumusha ini dipekerjakan di
tempat-tempat proyek pembangunan pertahanan militer Jepang, seperti pembuatan jalan, jembatan,
waduk, lapangan udara dan rel kereta api. Disamping itu, penduduk yang masih tinggal di
grobogan wajib menanam tanaman jarak. Di daerah-daerah Kabupaten Grobogan yang
lahannya subur, penduduk wajib menyetorkan padinya demi kepentingan pertahanan militer
Jepang. Menurut cerita nenekku, penderitaan yang paling berat dirasakan adalah ketika
oleh masyarakat Grobogan ini lambat laun menumbuhkan rasa benci kepada Jepang, yang
akhirnya membangkitkan perlawanan. Mereka mulai menghindar untuk setor padi, dengan
cara memanen diam-diam padinya di malam hari, lalu menyimpannya di atas langit-langit
atau loteng rumah. Hal ini memang mengandung resiko tinggi, karena jika ketahuan bisa fatal
akibatnya. Tapi masyarakat Grobogan tidak takut, demi untuk melawan kekejaman tentara
Jepang. (Suparni, 2014: 71-72).
AYAHKU ADALAH SEORANG PENGANUT KEJAWEN
Aku sedari kecil sudah diatur dengan aturan kejawen dalam kehidupanku. Setiap kegiatan
apa saja pasti dikaitkan dengan kejawen. Apapun yang dikatakan ayahku tentang kejawen
tidak ada satu pun anaknya yang berani membantahnya. Walaupun pandangan anaknya
seringkali bergejolak dalam hati. Apa sih sebenarnya Kejawen itu?....
Well, let’s share together....asal-usul kejawen bermula dari dua tokoh misteri yang
bernama Sri dan Sadono. Sri sebenarnya penjelmaan dari Dewi Laksi, istri dari Sadono
penjelmaan dari Wisnu. Itulah sebabnya kalau orang Jawa beranggapan bahwa Sri dan
Sadono merupakan kakak-beradik, kebenaran ceritanya tergantung dari mana akan ditinjau.
Dalam kaitannya ini sesungguhnya Sri dan Sadono adalah suami istri yang menjadi cikal
bakal kejawen. Maka dalam berbagai ritual mistik kejawen, keduanya selalu mendapat
tempat khusus. Dewi Sri dipercaya sebagai Dewi Padi dan Dewi Kesuburan.
Konon ceritanya, Dewi Sri pernah menjelma ke dalam diri tokoh putri Daha yang
bernama Dewi Sekartaji atau Galuh Candrakirana, sedangkan Sadono menjadi Raden Panji.
Keduanya pernah berpisah namun akhirnya berjumpa kembali. Berarti kaum kejawen
sebenarnya berasal dari keturunan orang yang tinggi tingkat sosial dan kulturnya.
Menurut beberapa sumber, pertemuan Sri dan Sadono atau Panji dan Sekartaji terjadi di
gunung Tidar, Magelang. Tempat itu kemudian oleh Sadono dan Sri diberi tanda (tetenger)
dengan menancapkan paku tanah Jawa. Kebetulan pada saat itu di Jawa terjadi pergolakan
yang hebat setelah adanya paku tersebut tanah Jawa menjadi tenang kembali. Paku tersebut
dikenal dengan sebutan Paku Buwana (paku bumi). Paku buwana inilah yang menyebabkan
orang Jawa tenang, sehingga keturunan Sadono dan Sri menjadi banyak. Hanya saja
keturunan mereka ada yang baik dan ada yang buruk. Maka, Batara Guru segera menyuruh
baik-baik, sedangkan Togog mengasuh yang angkara murka (yang tidak baik). Togog dan
Semar pun akhirnya menuruti perintah itu, karena merasa bahwa Batara Guru sebagai rajanya.
Suatu ketika, Batara Guru mengadakan perlombaan menelan gunung untuk menguji
kesaktian Semar dan Togog. Namun, Semar dan Togog dianggap kalah dalam perlombaan
tersebut. Ketika lomba dimulai, Togog mendapat giliran pertama untuk menelan gunung.
Gunung itu tidak dapat masuk ke mulut Togog, tetapi dia memaksakannya. Akibatnya mulut
Togog menjadi sangat lebar. Sedangkan Semar dapat menelan gunung, tetapi gunung itu
tidak dapat keluar dari tubuhnya sehingga menyebabkan bokongnya menjadi besar. Kelak,
gunung yang ada di dalam perut semar berfungsi sebagai senjatanya. Semar terkenal dengan
kentutnya yang sangat bau (busuk) sebagai senjatanya yang mematikan. Dalam perlombaan
menelan gunung, hanya Batara Guru yang sukses. Dia dapat menelan gunung dan akhirnya
berhak menjadi raja di kahyangan. Namun, dia juga tidak bisa mengeluarkan gunung dari
perutnya, bahkan tiba-tiba tangannya bertambah menjadi dua sehingga semuanya menjadi
empat.
Paham mistik Sri dan Sadono, selanjutnya dalam tradisi kejawen dipuja menjadi sebuah
patung kecil bernama Loro Blonyo. Patung tersebut senantiasa diletakkan di kamar
(senthong) tengah dan selalu menjadi pajangan pada saat ada pesta pernikahan. Patung
tersebut juga diwujudkan dalam tarian untuk menyambut pengantin, yaitu tari Karonsih.
Maksudnya, menyatukan dua tubuh laki-laki dan perempuan yang penuh sih (cinta suci).
Tarian ini melambangkan pertemuan antara Dewi Sekartaji dan Raden Panji.
Ajaran kuno yang selalu menjadi pedoman dan dikaitkan dengan Sri-Sadono adalah
falsafah Ajisaka. Ada kepercayaan bahwa dari Ajisaka ini lahirlah aksara Jawa. Falsafah
Ajisaka penuh dengan liku-liku kejawen. Ajisaka berasal dari kata Aji (raja, yang dihormati,
dipuja dan disembah) dan Saka yang berarti tiang atau cabang. Ajisaka berarti tiang
penyangga yang memperkokoh diri manusia, yang berupa religiusitas. Religiusitas Jawa tak
lain adalah tentang mistik kejawen. Mistik kejawen adalah saka guru (empat tiang
penyangga) kehidupan kejawen. Oleh karena itu, jika kejawen tanpa mistik, maka pudarlah
kejawen tersebut. Kejawen dan mistik telah menyatu menjadi sebuah ekspresi religi mistik
kejawen.
Sistem berpikir mistis sering mempengaruhi pola-pola hidup yang bersandar pada nasib.
Nasib ini dalam istilah Jawa dinamakan kebegjan (keberuntungan) yang telah disertai dengan
usaha. Karena usaha dan nasib juga sering menyatu padu. Maka, orang Jawa justru sampai
pada pemikiran homologi antropokosmik, maksudnya dalam langkah dan kehidupannya
Dalam ajaran kejawen, terdapat dua bentuk ancaman besar yang mendasari sikap
kewaspadaan (eling lan waspada), karena dapat menghancurkan kaidah-kaidah kemanusiaan,
yakni; hawanepsu dan pamrih. Manusia harus mampu meredam hawa nafsu atau nutupi
babahan hawa sanga. Yakni mengontrol nafsu-nafsunya yang muncul dari sembilan unsur
yang terdapat dalam diri manusia, dan melepas pamrihnya. Macam-macam nafsu pada diri
manusia terdapat tujuh macam, diantaranya:
1. Nafsu amarah. Nafsu manusia yang terendah tingkatannya, dimana orang termasuk di
dalam golongan ini adalah orang yang sangat jelek sifat dan wataknya. Ciri-cirinya:
Gampang tersinggung, selalu marah-marah, tidak mau kalah, dendam, ringan tangan,
nafsu sex yang tidak terkendali, tidak ada rem dalam dirinya (Norma atau etika).
(Qs:Yusuf: 10, ayat: 53)
2. Nafsu lawwamah. Setingkat lebih baik daripada nafsu amarah, namun dia belum stabil
betul, karena terkadang dia kembali kepada tingkat nafsuamarah. Ciri-ciri : Tidak stabil,
setelah menjadi baik bahkan mengajak orang untuk baik pula, setelah ada ujian atau
godaan sedikit saja masih kembali ke asal (maksiat) dan tidak sabar. (Qs: Al-Qiyamah:
75, ayat: 2).
3. Nafsu mulhimah, telah cukup mengetahui tentangkebenaran (haq) dan kesalahan(bathil),
namun belum mampu untuk melaksanakannya dengan baik, dikarenakan kelemahannya.
Ciri-cirinya :telah mengetahui kebathilan atau kemaksiatan tapi tetap saja melakukannya
dengan kesadaran, telah mengetahui kebenaran tapi tidak ada kemauan untuk
melaksanakannya. (Qs: Asy-Syam: 91: ayat: 8)
4. Nafsu muthmainah. Tingkatan ini adalah orang yang telah dijanjikan Allah SWT untuk
masuk ke dalam syurga-Nya (Al-Jannah). Ciri-cirinya :Jiwa tenang, kembali kpd
Rabbnya dgn hati yang puas, kepribadian yang mantap mengerjakan perintah Allah,
meninggalkan larangan, tidak mudah terpengaruh, Istiqamah. (Qs: Al-Fajr: 89, Ayat:
27-30)
5. Nafsu radhiah. Tingkatan ini berada setingkat diatas nafsu Muthmainah, ditambah
dengan rasa ikhlas dan penyerahan total kepada Allah SWT,
kesusahan/musibah/-tantangan menjadi nikmat baginya. Ciri-ciri :penuh dengan ketaqwaan, menerima segala
ujian, musibah, tantangan dengan keikhlasan dan penuh kesabaran (tidak lemah, tidak
lesu dan tidak menyerah).(Qs: Al-Baqarah, 2/45 & AliImran, 3/146).
6. Nafsu mardhiah. Tingkatan ini beradan setingkat lagi di atas Nafsu Radhiah, Sesuatu
dimiliki pada tingkatan nafsu radhiah ditambah mempunyai daya amal ma'ruf nahi
munkar sejati, menjadi pemberi peringatan dan berita gembira. (Qs: Ali mran, 3/104 &
19/97).
7. Nafsu kamilah. Tingkatan nafsu yang sempurna, ini hanya dimiliki oleh setingkat
Nabi-nabi dan Rasul-rasul. (Penyerahan diri secara totalitas pengabdian kepada Allah).
Ciri-cirinya:Sifat Nabi / Rasul : Siddiq (jujur/ benar), amanah (dipercaya) Fathonah (cerdas),
Tabliq(menyampaikan). (Qs: Ali-Imran, 3/110, 33/21)
Dalam perspektif kaidah Jawa, nafsu-nafsu merupakan perasaan kasar karena
menggagalkan kontrol diri manusia, membelenggu, serta buta pada dunia lahir maupun batin.
Nafsu akan memperlemah manusia karena menjadi sumber yang memboroskan
kekuatan-kekuatan batin tanpa ada gunanya. Lebih lanjut, menurut kaidah Jawa nafsu akan lebih
berbahaya karena mampu menutup akal budi. Sehingga manusia yang menuruti hawa nafsu
tidak lagi menuruti akal budinya (budi pekerti). Manusia demikian tidak dapat
mengembangkan segi-segi halusnya, manusia semakin mengancam lingkungannya,
menimbulkan konflik, ketegangan, dan merusak ketrentaman yang mengganggu stabilitas
kebangsaan.
Sistem berpikir mistis biasanya terpantul dalam tindakan nyata yang disebut laku. Orang
Jawa gemar menjalankan laku yang identik dengan prihatin. Laku juga senada dengan tirakat
(ngurang-ngurangi), yang lebih eksplisit lagi sering dinamakan tapa brata (bersemedi
ditempat yang tidak boleh terkena cahaya matahari). Karena itu, orang Jawa sering
menjalankan tapa ngrowat (makan yang tidak berbiji), tapa ngidang (hanya makan sayuran),
mutih (hanya makan nasi tanpa garam maupun lauk-pauk). Berbagai laku tersebut dilakukan
untuk membersihkan diri secara batin.
Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan seseorang.
Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang sangat dasyat sehingga
seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia biasa. Perilaku
tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah rohani.
Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan suatu
ilmu. Atau biasa disebut juga Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan
bekas pada seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa
yaitu Penabungan Energi. Jika badan atau fisik kita memerlukan pengisian 3 kali sehari
kekuatan supranatural, kita perlu mengisi energi. Hanya saja dalam Ilmu Gaib pengisian
ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup. Penabungan energi ini dapat
dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung jenis ilmu yang ingin dikuasai.
Cara-cara penabungan energi lazim disebut Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat
mendapatkan ilmu) yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu.
Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa, wirid tertentu, mantra, pantangan, puasa atau
penggabungan dari kelima unsur tersebut. Ada puasa yang disebut patigeni (tidak makan,
minum, tidur dan tidak boleh kena cahaya), nglowong, ngebleng dan lain-lain. Biasanya
beratnya tirakat sesuai dengan tingkat kesaktian suatu ilmu. Seseorang harus banyak
melakukan kebajikan dan menjaga bersihnya hati ketika sedang melakukan tirakat.
Macam-macam ilmu aliran Islam Kejawen diantaranya adalah klasifikasi ilmu gaib
bedasarkan fungsinya menurut Erlangga. Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang
berbeda dengan klasifikasi menurut Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang
tidak ada rumusan baku tentang klasifikasi ilmu Gaib.
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal. Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela
diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap
serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya
ilmu Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.
2. Ilmu Kewibawaan dan Ilmu Pengasihan. Inilah ilmu supranatural yang fungsinya
mempengaruhi kejiwaan dan perasaan orang lain. lmu Kewibaan dimanfaatkan untuk
menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang
menguasai Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak
satupun orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila
Anda memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut
perintah Anda tanpa berpikir panjang. Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah
ilmu yang berkaitan dengan masalah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju
menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat
pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat lawan
yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan memulangkan orang
3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo. Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat
kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan
berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus,
melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah
kelanjutan dari Ilmu Trawagan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang
berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo seseorang
bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Baik Ilmu
Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit dipelajari karena
membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang
sudah tua dan sudah tenang jiwanya.
4. Ilmu Khodam. Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut bisa
berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah makhluk
pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan perintah-perintah
tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan jin atau setan, meskipun sama-sama
berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis kelamin.
5. Ilmu Permainan (Atraksi). Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk
pertunjukan di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa
memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras.
Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertarung pada keadaan sesungguhnya.
Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6. Ilmu Kesehatan. Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran
pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang
berhubungan dengan fungsi biologis tubuh manusia.
Manusia yang mengalami tingkatan mistis berarti telah mencapai makrifat yang tertinggi.
Senada dengan ini, Simuh (1995:28-30) juga menjelaskan bahwa untuk mencapai makrifat
tertinggi dapat ditempuh melalui:
a. Distansi, yaitu upaya manusia mengambil jarak antara diinya dengan nafsu-nafsu yang
berusaha memperhamba jiwanya serta mengambil jarak dengan ikatan dunia. Segala
sesuatu selain Allah. Distansi ini merupakan syarat mutlak bagi sarana untuk menemukan
kesadaran lakunya. Sehingga benar-benar dapat berdiri sebagai khalifah, yakni
mendekatkan diri dan tidak menghambakan hawa nafsu ataupun penghambatan dunia.
Langkah ini untuk mencapai suasana hati yang suci, terbebas dari ikatan selain hanya
b. Konsentrasi, yaitu upaya berdzikir kepada Allah untuk mendapatkan penghayatan
langsung terhadap alam gaib yang puncaknnya makrifat kepada Allah, bahkan bersatu
dengan Tuhan. Ajaran ini tergolong tasawuf murni untuk menemukan hakikat Tuhan. Hal
ini biasanya dilakukan oleh golongan khawas (para wali Allah) yang benar-benar sanggup
menyucikan hatinya.
Ajaran kejawen, dalam perkembangan sejarahnya mengalami pasang surut. Hal itu tidak
lepas dari adanya benturan-benturan dengan teologi dan budaya asing (Belanda, Arab, Cina,
India, Jepang, dan AS). Yang paling keras adalah benturan dengan teologi asing, karena
kehadiran kepercayaan baru disertai dengan upaya-upaya membangun kesan bahwa budaya
Jawa itu hina, memalukan, rendah martabatnya, bahkan kepercayaan lokal disebut sebagai
kekafiran, sehingga harus ditinggalkan sekalipun oleh tuannya sendiri, dan harus diganti
dengan “kepercayaan baru” yang dianggap paling mulia segalanya. Dengan naifnya
kepercayaan baru merekrut pengikut dengan jaminan kepastian masuk syurga. Gerakan
tersebut sangat efektif karena dilakukan secara sistematis mendapat dukungan dari kekuatan
politik asing yang tengah bertarung di negeri ini.
Selain itu “pendatang baru” selalu berusaha membangun image buruk terhadap
kearifan-kearifan lokal (baca: budaya Jawa) dengan cara memberikan contoh-contoh patologi
sosial (penyakit masyarakat), penyimpangan sosial, pelanggaran kaidah Kejawen, yang
terjadi saat itu, diklaim oleh “pendatang baru” sebagai bukti nyata kesesatan ajaran Jawa. Hal
itu sama saja dengan menganggap Islam itu buruk dengan cara menampilkan contoh
perbuatan sadis terorisme, menteri agama yang korupsi, pejabat berjilbab yang selingkuh,
kyai yang menghamili santrinya, dst.
Tidak berhenti disitu saja, kekuatan asing terus mendiskreditkan manusia Jawa
dengan cara memanipulasi atau memutar balik sejarah masa lampau. Bukti-bukti kearifan
lokal dimusnahkan, sehingga banyak sekali naskah-naskah kuno yang berisi ajaran-ajaran
tentang tatakrama, kaidah, budi pekerti yang luhur bangsa (Jawa) Indonesia kuno sebelum era
kewalian datang, kemudian dibumi hanguskan oleh para “pendatang baru” tersebut.
Kosa kata Jawa juga mengalami penjajahan, istilah-istilah Jawa yang dahulu
mempunyai makna yang arif, luhur, bijaksana, kemudian dibelokkan maknanya menurut
kepentingan dan perspektif subyektif disesuaikan dengan kepentingan “pendatang baru” yang
tidak suka dengan “local wisdom”. Akibatnya; istilah-istilah seperti; kejawen, klenik, mistis,
tahyul mengalami degradasi makna, dan berkonotasi negatif. Istilah-istilah tersebut “
gugon tuhon, budak setan, menyembah setan, dst. Padahal tidak demikian makna aslinya,
sebaliknya istilah tersebut justru mempunyai arti yang sangat religius sebagai berikut;
1. Klenik
Merupakan pemahaman terhadap suatu kejadian yang dihubungkan dengan hukum sebab
akibat yang berkaitan dengan kekuatan gaib (metafisik) yang tidak lain bersumber dari
Dzat tertinggi yakni Tuhan Yang Maha Suci. Di dalam agama manapun unsur “klenik”
ini selalu ada.
2. Mistis
Adalah ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia, sebagai
upayanya untuk memahami Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam agama Islam ruang mistik
untuk memahami sejatinya Tuhan dikenal dengan istilah tasawuf.
3. Tahyul
Adalah kepercayaan akan hal-hal yang gaib yang berhubungan dengan makhluk gaib
ciptan Tuhan. Manusia Jawa sangat mempercayai adanya kekuatan gaib yang
dipahaminya sebagai wujud dari kebesaran Tuhan Sang Maha Pencipta. Kepercayaan
kepada yang gaib ini juga terdapat di dalam rukun Islam.
4. Tradisi
Dalam tradisi Jawa, seseorang dapat mewujudkan doa dalam bentuk lambang atau
simbol. Lambang dan simbol dilengkapi dengan sarana ubo rampe sebagai pelengkap
kesempurnaan dalam berdoa. Lambang dan simbol juga mengartikan secara kias bahasa
alam yang dipercaya manusia Jawa sebagai bentuk isyarat akan kehendak Tuhan.
Manusia Jawa akan merasa lebih dekat dengan Tuhan jika doanya tidak sekedar
diucapkan di mulut saja (NATO: not action talk only), melainkan dengan diwujudkan
dalam bentuk tumpeng, sesaji dsb sebagi simbol kemanunggalan tekad bulat. Maka
manusia Jawa dalam berdoa melibatkan empat unsur tekad bulat yakni hati, fikiran,
ucapan, dan tindakan. Upacara-upacara tradisional sebagai bentuk kepedulian pada
lingkungannya, baik kepada lingkungan masyarakat manusia maupun masyarakat gaib
yang hidup berdampingan, agar selaras dan harmonis dalam manembah kapada Tuhan.
Bagi manusia Jawa, setiap rasa syukur dan doa harus diwujudkan dalam bentuk tindakan
riil (ihtiyar) sebagai bentuk ketabahan dan kebulatan tekad yang diyakini dapat membuat
doa terkabul. Akan tetapi niat dan makna dibalik tradisi ritual tersebut sering dianggap
sebagai kegiatan gugon tuhon/ela-elu, asal ngikut saja, sikap menghamburkan, dan bentuk
Kejawen adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa
dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat
dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama: Tiyang Jawi)
itu ada. Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam Bahasa Indonesia
adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)".
Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya
menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, kejawen sebagai filsafat yang memiliki
ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang
mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi
sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama dimana semua agama yang
dianut oleh orang Jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.
Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta
filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku
Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan
mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya.
Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang
(termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan
praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran
filsafat kejawen. Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi
ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini
sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang
terhadap tantangan perubahan zaman.
Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan
dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak
menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak
dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran
agama yang dianut oleh filsuf Jawa.
Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen,
yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi ("Dari mana datang dan kembalinya
Kawula lan Gusthi ("Bersatunya Hamba dan Tuhan"). Dari kemanunggalan ‘Ketuhanan’ itu,
ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
a. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
b. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
c. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
d. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda halnya dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya,
dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap
menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang
mendorong untuk taat terhadap Tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran
filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen,
Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap
melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.
Pada tahun 1633 Masehi, Sultan Agung berhasil menyusun dan mengumumkan
berlakunya sistem perhitungan tahun yang baru bagi seluruh kerajaan Mataram yakni
perhitungan tahun Jawa, yang hampir secara keseluruhan menyesuaikan dengan tahun
Hijriyah, berdasarkan atas perjalanan bulan. Namun, awal perhitungan Jawa ini tetap pada
tahun Saka, yaitu tahun 78 Masehi. Penciptaan tahun Jawa yang diberlakukan sejak tahun
1633 tersebut merupakan perpaduan antara Hijriyah dan Saka. Karena secara keseluruhan
menyesuaikan dengan tahun Hijriyah, baik mengenai bilangan dan nama-nama hari setiap
minggunya ataupun nama-namanya.
Bagi masyarakat kejawen, perubahan dari tahun Saka yang berdasarkan atas peredaran
matahari ke tahun Jawa yang berdasarkan ke peredaran bulan, sebenarnya menghadapi
persoalan yang cukup rumit. Namun, persoalan ini dapat diatasi, karena awal perhitungan
tahun Saka tetap dipertahankan. Konversi dari kerajaan Hindu-Buddha ke Islam
menimbulkan jenis kepustakaan Jawa yang disebut primbon, serat dan suluk. Dalam hal ini,
Simuh (2008) menamakannya dengan kepustakaan Islam kejawen.
Primbon, sebenarnya dikenal di berbagai suku di Nusantara, tetapi tampaknya lebih
menggejala di dalam masyarakat Jawa, Bali dan Lombok. Bahkan Alfani Daud (1997),
menemukan tradisi perhitungan waktu primbon pada masyarakat Islam Banjar. Dalam
waktu yang asali dan primordial, dan semua waktu berakar pada waktu asali itu, serta
mendapatkan identitas dan mutunya disana. Semua peritiwa alami dikuasai oleh takdir, dan
semua peristiwa manusiawi harus menyesuaikan diri dengan keteraturan yang telah
ditetapkan. Arti waktu bagi seseorang, merupakan waktu yang baik, bagi yang lain tidak baik.
Waktu itu bukan linear, tetapi siklis, teratur dalam periodisitas-periodisitas. (Soemardjo,
2002).
Bakker (1995) menggolongkan pemikiran tentang waktu dalam 4 golongan, yaitu 1)
subjektivisme (waktu itu sesuatu yang tidak riil, hanya merupakan subjektif-individual yang
berasal dari pikiran) 2) relisme ekstrem (waktu itu realitas absolut otonom yang universal,
tidak memiliki kesatuan intrinsik, tetapi menunjukkan urutan-urutan murni), 3) realis lunak
(waktu merupakan aspek perubahan riil, tetapi dihasilkan oleh subjek, dan terabstraksi oleh
kreativitas pengkosmos), 4) subjektivisme lunak (menurut Henri Begson waktu itu memang
riil, tetapi selalu berciri kualitatif, tidak bereksistensi, dan tidak terukur, sebab kesadaran
manusia memang tidak bereksistensi.
Karena waktu itu netral moralitas, maka dalam waktu, terdapat apa yang disebut baik atau
selamat, dan apa yang disebut tidak baik atau tidak selamat. Waktu itu baik, dan tidak baik
sekaligus, begitu pula ruang, itu baik dan tidak baik. Waktu yang sama dan ruang yang sama,
bagi subjek yang koordinat waktu dan ruangnya amat berbeda dalam tertip kosmos, maka
bagi yang satu baik dan bagi yang lain tidak baik. Karena waktu dan ruang itu mengandung
paradoks di dalam dirinya.
Aspek tidak baik dalam waktu mendapat perhatian utama bagi masyarakat kejawen.
Waktu yang tidak baik dikuasai oleh Bathara Kala, bukan Brahman itu sendiri. Apalagi
kepercayaan itu bersifat pantheistik, sebab waktu dan ruang tidak lain Brahman sendiri, dan
juga segala yang ada ini adalah emanasi atau pancaran Dzat Brahman. Bathara Kala
mengincar dan awas bagi mereka yang melanggar larangan atau tabu dalam hitungan
Primbonnya. Pelanggaran tabu ini akan dapat dibetulkan dan disucikan lewat upacara
ruwatan kepada Bathara Kala, sang penguasa waktu. Primbon dan ruwatan tidak dapat
dipisahkan bagi orang yang melanggar tabu. Itulah sebabnya bagi masyarakat kejawen,
primbon dianggap penting. Primbon diletakkan dalam kerangka berpikir Harai Brahma,
hanya saja tidak jelas di masa yang mana. Apakah termasuk masa Kaliyuga (zaman
kegelapan), Dwaparayuga (zaman ketika moral manusia sempurna), atau Tretayuga (zaman