• Tidak ada hasil yang ditemukan

TIDAK ADA MAHASISWA YANG SALAH

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 155-159)

Qod Anshoha

TIDAK ADA MAHASISWA YANG SALAH

Setelah pulang dari KKN, aku akhirnya melanjutkan bimbingan skripsiku hingga ke BAB IV. Setelah itu aku melanjutkan bimbingan ke SINOPSIS skripsiku. Mungkin karena sudah terbiasa dengan model didikan belajar gaya militer yang sudah ditanamkan oleh ustadzku saat masih di pondok Al-Ishlah dulu, misalkan salah satunya adalah: kalau mengerjakan sesuatu itu harus terus dan terus dilakukan alias tidak boleh setengah-stetengah. Makanya saat aku bimbingan SINOPSIS bahasa Indonesia kepada dosen pembimbing kedua sekaligus

melakukan bimbingan SINOPSIS ( 要旨) ke native orang Jepang langsung sebagai

pembimbing youshi ‘sinopsis’ skripsiku dengan maksud agar segera selesai tanpa minta ijin ke dosen pembimbingku tersebut dulu. Akibatnya aku kena marah dari dosen pembimbing keduaku itu. Setelah itu akhirnya skripsiku selesai juga.

Akhirnya sidang skripsiku pun digelar. Sidang skripsiku dilakukan di tempat pengujian sendiri-sendiri oleh masing-masing dosen pengujiku. Dosen penguji kedua sekaligus pembimbing kedua menguji skripsiku terlebih dulu. Aku tidak tahu maksudnya dosen tersebut menguji skripsiku ditempat terbuka dengan dilihat oleh dosen-dosen yang lainnya. Aku tidak tahu kenapa beliau mengujiku ditempat banyak dosen lainnya seperti itu. Maksudnya ingin menguji mentalku agar bisa tambah berani kah? Atau ingin menjatuhkan martabatku sebagai mahasiswanya kah? kalau aku ini hanyalah mahasiswa sedangkan dia itu dosen atau gimana masih berkecamuk saja pikiran dan hatiku saat itu. Imbasnya aku kurang semangat saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya saat itu. Salah satunya adalah mengenai apa bedanya linguistik kontrastif dengan linguistik komparatif? Apalagi saat itu aku masih dalam suasana berduka, galau dan lain-lainnya. Disisi lain, aku malah teringat tentang almarhum ayahku juga saat itu. Aku pikir dengan menulis skripsi tentang perbandingan Bahasa Jawa dengan Bahasa Jepang mengenai undak-usuk-nya atau tingkatannya paling tidak ada sesuatu yang bisa aku tunjukkan ke beliau meskipun beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini. Ternyata karyaku nasibnya terombang-ambing kesana- kemari seperti perahu kecil yang sedang terkena ombak besar di tengah lautan. Akhirnya, selesai juga pengujian skripsi dengan pembimbing kedua. Karena aku dianggap kurang maksimal dalam menjawab pertanyaan dari penguji kedua akhirnya aku mendapat nilai B dari penguji tersebut.

Sebelum aku menghadap dosen pembimbing pertama untuk ujian sidang skripsiku kemudian aku menghadap penguji sidang selanjutnya sebagai penguji ketiga yaitu Prof. Dr.

Kyouji Honda, M. A. Saat diuji oleh Prof. tersebut ternyata beliau memang sangat berbeda. Beliau menguji skripsiku hanya dilakukan di tempat tertutup, tidak boleh orang lain atau dosen yang lain untuk mengetahuinya. Dari sini aku baru mengetahui kalau orang Jepang yang berpendidikan memang sangat bagus dalam menghargai orang lain, termasuk mahasiswanya. Tidak ingin mahasiswanya mendapatkan malu. Setelah ujian sidang skripsiku selesai diuji oleh Honda Sensei, akhirnya selesai juga. Ternyata aku dikasih nilai A oleh beliau. Padahal banyak pertanyaan yang lewat aku jawab saat beliau bertanya.

Setelah aku melakukan ujian sidang ke dosen pembimbing kedua dan ketiga selesai akupun melaksanakan ujian sidang skripsi ke pembimbing ke tiga pada tanggal 18 Nopember 2012. Kemudian aku pun melakukan presentasi skripsiku selama kurang lebih 15 menit dihadapan beliau. Setelah aku selesai melakukan presentasi lalu beliau berdalih kepadaku begini: ’’Skripsi Anda salah semua!’’. Setelah dia berkata begitu pikiranku langsung tidak tenang, campur aduk tidak karuan setelah karyaku dianggap tidak ada harganya di depan beliau. Karena masih ada gejolak hati yang berkecamuk dalam diriku saat itu, akhirnya aku menjawab sekenaku saja. Kemudian aku pun berkata: ’’Emmm....itu sudah benar dari pembimbing kedua kok, Pak’’...Lalu sang penguji pertamaku berdalih lagi begini: ’’Anda jangan bawa-bawa nama pembimbing Anda ya disini!!!....Anda harus bisa tanggung jawab dengan hasil karya Anda....!!! Ya sudah! Kalau begitu saya belum bisa memberikan nilai kepada Anda. Silakan Anda minta nilai kepada dosen pembimbing kedua saja...!!!’’

Setelah acara sidang terakhir itu aku pun semakin galau, panik dan gak tau mau dikemanakan skripsiku itu. Kemudian pada hari berikutnya aku pun menemui wali kelasku yang sekaligus ketua jurusan S1 Sastra Jepang UNDIP bernama Drs. Surono, S.U. saat itu dan menceritakan semuanya kepada beliau kenapa penguji terakhir sekaligus dosen pembimbing pertamaku tidak mau memberikan nilai? Setelah aku bercerita semuanya ke wali kelasku, wali kelas pun tidak membelaku. Aku tidak merasa puas tentang jawabannya beliau kepadaku. Beliau juga bilang kalau skripsiku memang salah semua dan harus diperbaiki.

Kemudian pada hari berikutnya saat selesai ketemu dengan wali kelasku tersebut malam harinya aku pun bertandang ke rumah Pak Haryo selaku penguji skripsiku yang belum memberikan aku nilai. Sesampainya dirumah beliau ternyata aku masih tidak disambut dengan baik. Meskipun aku berusaha untuk meminta maaf kepada beliau kalau memang aku bersalah. Beliau malah berdalih lagi begini: ’’Maaf untuk saat ini saya tidak ingin diganggu dulu. Anda itu jahat! Saya mendapatkan surat tugas dari fakultas untuk menjadi pembimbing

Anda, saya harus bertanggung jawab kepada Anda dan juga fakultas!. Anda sudah melawan sistem lo! Kalau misalkan skripsi Anda disuruh mengulang lagi dari awal, tidak ada dosen yang mau membimbing Anda lagi! Silakan Anda pulang saja! Saya lagi sibuk, sementara waktu ini saya tidak ingin diganggu dulu!’’ Walaupun beliau berkata seperti itu padaku aku pun berusaha menerima semuanya. Meskipun dalam keadaan hujan malam itu, kemudian aku berpamitan untuk pulang menuju rumahnya Pak Dokter saat itu juga dengan harapan yang hampa.

Sesampainya di rumah Pak Dokter aku pun mengganti bajuku yang sudah basah kuyub karena kehujanan. Sesampainya di kamarku aku pun susah untuk tidur, makan pun rasanya malas walaupun perut terasa lapar karena pikiran masih melayang, tidak bisa tenang dengan apa yang barusan aku alami malam itu.

Kemudian, pagi harinya aku menelpon kakak iparku yang berada di Kalimantan yang sudah lulus S2 dari UGM. Aku menceritakan semua peristiwa yang menimpaku semua kepada kakakku saat itu. Kakak iparku, Mas Eka suami dari kakak kandungku yang ke-5 kemudian memberikan aku saran lewat telepon begini: ’’Kalau memang satu dosen pembimbing kamu memang tidak ingin diganggu untuk sementara waktu coba ditunggu aja kira-kira dua minggu perkembangannya gimana dulu, kalau memang belum ada perkembangan ditunggu lagi satu bulan lagi setelah itu baru lah datang ke rumahnya lagi dengan membawa oleh-oleh apalah terserah Tegar aja. Sepertinya orang Jawa memang suka diperhatikan, siapa tahu kalau datang lagi meminta maaf dengan dikasih oleh-oleh nantinya dapat terketuk hatinya, akan berubah dengan sendirinya nanti sambil berjalannya waktu. Intinya, saat dosenmu itu yang belum bisa ngasih nilai, saat kamu mau datang lagi untuk meminta maaf ke rumahnya nanti jangan singgung tentang skripsimu dulu, apalagi nilaimu.’’

Aku pun mengikuti sarannya kakak iparku saat itu. Setelah dua minggu berlalu, aku masih belum mendapat kabar apa-apa dari kampusku. Begitu pula saat sebulan sudah berlalu aku juga belum mendapat kabar apa-apa lagi. Sampai-sampai teman-teman yang awalnya aku mau bareng wisuda dengan mereka ternyata mereka sudah selesai diwisuda duluan. Kelulusanku terhambat akibat aku salah ucap, salah membela diri saat ujian sidang skripsiku saat itu, dianggap sudah mengadu domba terhadap dosen dan dinggap melawan sistem yang ada.

Ternyata dari kesalahanku dalam berucap saat itu aku pun bisa mengerti ternyata kedudukan dosen senior itu memang sangat berpengaruh dibanding dengan dosen yang masih

dianggap junior. Buktinya? Saat aku membela diri kalau skripsiku itu sudah benar dari pembimbing kedua, dosen pembimbing pertamaku meski bimbingan skripsiku sudah disuruhnya menyerahkan bimbingan kepada pembimbing kedua ternyata masih dianggap salah semua hasilnya. Berarti kemampuan pembimbing keduaku yang sudah membimbing skripsiku hingga selesai masih dianggap remeh juga tentunya karena bisa jadi karena masih dianggap sebagai dosen pembimbing junior. Senioritas yang mempraktekkan bentuk rasis dan penghegemonian dalam dunia kerja masih berlaku terus ternyata. Tidak seperti saat di pesantren dulu seorang guru, ustadz yang berpangkat dan sudah menjadi da’i yang hebat masih mau untuk belajar dengan salah satu santrinya yang kelihatan cerdas dan menonjol diantara semua santri-santrinya. Yah taulah mungkin dosen pembimbing kedua ku masih dianggap rendah ilmunya dibanding dengan dosen senior tersebut.

Dari kejadian yang aku alami tersebut aku bisa mengerti kalau dosen senior itu tidak mau dikalahkan ilmunya dengan dosen junior, dosen senior tidak mau dianggap ilmunya lebih tinggi dibanding dengan dosen junior. Yah, pada intinya akhirnya mahasiswa lah yang menjadi korbannya dari sifat egoisme yang masih ditinggikan dari dosen senior tersebut. Sifat kesembongan yang dimiliki orang yang berkuasa tersebut akan semakin memudahkan untuk menghegemonik orang yang dikuasainya. Dari sini, dapat disimpulkan bahwa si penguasa adalah dosen dan yang dikuasai adalah mahasiswa. Itulah sistem kekuasaan yang ada di dunia ini. Jika ingin mengetahui sifat, karakter seseorang itu bagaimana maka berilah orang tersebut sebuah kekuasaan, jabatan atau kedudukan maka akan terbuka semua dengan sendirinya bagaimana dia akan memegang sistem kekuasaan yang dimilikinya.

Saat sebulan berlalu dan belum ada kabar mengenai skripsiku aku pun mempersiapkan buah tangan yang sudah aku persiapkan dari rumah istriku. Buah tangan tersebut sengaja dibuat sendiri oleh ibu mertua dan istriku. Kebetulan saat itu ayam yang berada dirumah istriku saat itu masih lumayan banyak jumlahnya, maka aku berikan satu ekor ayam matang (ingkung) saja buat oleh-oleh untuk dosenku tersebut. Aku yang memotong sendiri ayam tersebut kemudian istri dan ibu mertuaku yang memasakkannya. Sedangkan ibu kandungku hanya menitipkan jadah buatan tangannya sendiri. Karena ibuku sudah berumur jadi aku tidak mengajaknya untuk ikut ke Semarang kemudian aku mengajak ibu mertuaku untuk menemaniku datang kerumah dosen tersebut dengan tujuan untuk meminta maaf.

Setelah sampai di Semarang, ibu mertuaku aku suruh untuk istirahat sebentar di rumah Pak Dokter karena habis perjalanan dengan motor dengan jarak tempuh kurang lebih 3,5 jam

dari Wirosari menuju Semarang bersamaku yang lumayan jauh jaraknya. Setelah selesai beristirahat kami pun langsung menuju ke rumah dosen tersebut. Sesampainya di rumah dosen tersebut ternyata wajahnya beliau masih menunjukkan marah kepadaku. Buktinya? Dibelakangku dosen tersebut malah menasehati ibu mertuaku. Kalau aku disebut-sebut sebagai anak yang kurang ajar lah, berani sama dosen lah atau apalah yang aku dengar malam itu membuat kupingku panas saja untuk mendengarnya tetapi aku tahan saja emosiku karena aku kesana hanya dengan satu tujuan, yaitu minta maaf, titik. Aku datang dengan niat minta maaf saja susahnya bukan main, tujuanku waktu itu bukanlah untuk mengemis nilai. Kalau memang aku tidak ditakdirkan untuk lulus S1 Sastra Jepang waktu itu yah biarlah itu memang sudah nasibku kalau memang harus begitu... katanya seseorang yang habis menunaikan ibadah haji dari tanah suci itu harus bisa lebih tawadzu’, rendah diri dan harus bisa untuk menjaga sikap atau mengekang emosinya... Kalau begitu ibadah hajinya memang harus dipertanyakan lagi dong? Haji mabrur atau sekedar mabur aja?!? Ya Allah...Paringana sabar...Duh Gusti...’’Itulah gumamku saat itu.’’ Aku pun meninggalkan oleh-oleh yang aku bawa dari kampung yang diserahkan langsung oleh ibu mertuaku saat itu. Entah mau diterima atau tidak terserah lah...dalam hatiku berkata begitu saat itu. Semoga takdirku bisa berubah menjadi lebih baik suatu hari nanti. Amin YRA. Karena takdir itu erat kaitannya dengan nasib. Allah tidak akan merubah nasib kaumnya sebelum mereka mau untuk merubahnya sendiri.

ﺮﯾدﺎـــﻘﻣ (Magadir) ‘Takdir’

Dalam dokumen KISAH PERJALANAN SEORANG INSAN BIASA DAL (Halaman 155-159)