• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN KEEMPAT GURU – MURID

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 89-101)

I Gede

Di sebuah sekolah menengah pertama berbasis Islamic boarding, yang mengharuskan semua siswa untuk tinggal menginap di asrama sekolah, hiduplah seorang siswa bernama I Gede yang datang dari keluarga yang tidak memperhatikan pendidikan agama, Gede tidak bisa mengaji dan shalat. Orangtuanya menyadari kesalahan mereka, untuk itulah mereka menyekolahkan Gede ke sekolah Islami.

Sebenarnya, saat tes masuk Gede tidak lulus, karena tidak bisa ngaji, tidak bisa baca huruf hijaiyah, tidak bisa shalat, apalagi dalam tes hafalan ayat dan hadits, sama sekali nilainya 0. Namun, karena besarnya keinginan orangtuanya untuk memasukkan anaknya ke sekolah ini, mereka berhasil meyakinkan pihak sekolah, akhirnya Gede ‘terpaksa’ diloloskan. Dengan berbagai konsekuensi tentunya.

Karena sekolah ini berbasis Islamic boarding dengan seleksi ketat saat masuk, teman-teman Gede adalah siswa dengan input unggul, jangankan amalan harian, bahkan banyak diantara mereka yang sudah hafal al-Qur’an dan ratusan hadits. Mengetahui teman-temannya demikian pintar dalam agama, perasaan minder sangat wajar Gede rasakan.

Di minggu-minggu pertama, Gede berusaha menutupi kekurangan dirinya dengan tidak terlalu aktif di kelas, namun akhirnya semua teman-teman sekelasnya tahu bahwa Gede tidak bisa apa-apa, gurunya juga terkadang kesal karena tidak mengerti pelajaran yang disampaikan, yang menurut Gede, materinya susah difahami. Terlalu berat baginya.

Apa yang dikhawatirkan Gede akhirnya terjadi, beberapa temannya mengejek kelemahan kemampuannya dalam pelajaran, menjadikannya sebagai bahan bully. Kelamahan Gede, akhirnya menyebar ke kelas lain. Gede mulai merasa tertekan, terkadang muncul perasaan ingin pindah sekolah, perasaan merasa dibuang orangtua, dan pikiran negatif lainnya. Gede pun menjadi sering jadi bahan perbincangan guru-guru.

Dua bulan lamanya, Gede merasa terkekang, di satu sisi ia ingin bisa memahami pelajaran, disisi lain ia susah mengikuti pelajaran karena semua materi asing baginya. Di tingkat dasar, ia sekolah di sekolah umum yang tidak mengajarkan banyak hal tentang pendidikan agama.

Sekolah tempat Gede belajar memiliki banyak afiliasi sekolah, dan suatu ketika, datanglah guru baru yang akan menjadi walikelas baru bagi Gede dan teman-temannya, namanya Pak Yusuf, walikelas lama dipindah tugas ke sekolah lainnya. Walikelas lama memberikan informasi atau keterangan setiap siswa kepada Pak Yusuf, satu persatu disampaikan, hingga tibalah pada nama Gede, disinilah ia menyampaikan banyak hal. Pak Yusuf faham apa yang terjadi. Ia menemui kepala sekolah dan mencari tahu lebih banyak tentang Gede, dan kepala sekolah menceritakan awal mula Gede bisa diterima.

Di suatu sore setelah pelajaran selesai dan semua siswa akan kembali ke asrama, Pak Yusuf memanggil Gede ke suatu tempat, mengajaknya berbicara dari hati ke hati. Dengan ilmu komunikasi yang dimiliki oleh Pak Yusuf, Gede akhirnya mau terbuka menceritakan masalahnya. Pak Yusuf melihat sosok Gede sebagai anak yang pintar dan penuh semangat, hanya karena ia tidak memiliki ilmu-ilmu dasar, maka ia kesulitan memahami materi-materi di tingkat menengah.

Karena kuatnya keinginan Gede untuk bisa, khususnya mengaji dan shalat, maka kuat juga keinginan Pak Yusuf untuk mengajari Gede. Akhirnya, mereka membuat perjanjian, setelah Shalat Ashar, saat semua teman-temannya sibuk dengan ekstrakurikuler, Gede bertemu Pak Yusuf di suatu tempat, dan disinilah Pak Yusuf mulai mengajari Gede secara perlahan-lahan, privat, mulai dari mengenal huruf hijaiyah, membaca tulisan-tulisan Arab, mengenal dan menghafal gerakan dan bacaan shalat.

Setiap hari kecuali hari Minggu Pak Yusuf mendidik Gede secara khusus. Minggu pertama Gede bisa membaca Hijaiyah, minggu kedua Gede bisa membaca deretan pendek tulisan Arab, dan pada akhir bulan, Gede bisa bacaan-bacaan shalat. Keinginan kuat Gede untuk belajar menjadi motivasi tersendiri bagi Pak Yusuf. Setiap bulan kemampuan Gede tentang agama semakin banyak, ia mulai menghafal surat-surat pendek dalam al-Qur’an, menghafal hadits, menulis kaligrafi, membaca buku-buku agama, dan jika tidak faham ia

segera menemui Pak Yusuf untuk berkonsultasi. Demikianlah keakraban Pak Yusuf dengan Gede.

Selama dua bulan sebelumnya, sebelum kedatangan Pak Yusuf, Gede tidak memahami apa-apa tentang yang diajarkan di kelas, karena tingkat materi yang disampaikan bagi Gede sudah tinggi, dan yang lebih besar berperan akan susahnya memahami materi adalah perasaan tertekan Gede berada di kelas, dengan siswa-siswa yang sudah pada pintar materi agama.

Beberapa bulan berlalu, Gede sudah cukup mahir dalam materi-materi agama. Ia juga mulai meningkatkan hafalan surat yang lebih panjang. Tallaqi atau face to face dengan Pak Yusuf, amat berharga baginya.

Suatu waktu, saat ia baru memulai kelas dua sekolah menengah pertama, datanglah sebuah berita yang menyedihkan bagi Gede, pihak manajemen sekolah akan memindah tugaskan Pak Yusuf ke Afghanistan. Persahabatan antara Gede dan Pak Yusuf akan segera berakhir. Dan mengetahui hal ini, Gede benar-benar kehilangan, dia tidak bisa tidur sepanjang malam.

Perpisahan yang tidak diinginkan Gede itupun tiba, Pak Yusuf berangkat ke Afghanistan.

Dengan pengetahuan yang sudah diajarkan Pak Yusuf secara khusus, Gede sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah, sudah mulai memahami materi-materi yang diajarkan, bahkan kemampuan Gede membanggakan pihak sekolah dengan menjuarai lomba seni islami.

Setelah lulus dari lembaga pendidikan tersebut, Gede melanjutkan ke tingkat atas di sekolah yang sama, setelah lulus Gede pun kuliah di kota yang sama. Setelah sekitar sembilan tahun lamanya ia berpisah dengan Pak Yusuf, kabar gembira datang menghampiri Gede, Pak Yusuf akan kembali ke Indonesia. Mengetahui hal ini, maka Gede bersiap-siap untuk menjemput Pak Yusuf di bandara.

Akhirnya, ia bertemu dengan Pak Yusuf. Rupanya, Pak Yusuf sudah lupa pada Gede, selain karena usia Pak Yusuf yang sudah menua, lama waktu tidak bertemu, juga karena begitu banyaknya siswa yang pernah berinteraksi dengan Pak Yusuf, hal itu tidak mengapa bagi Gede, lalu terjadilah pertemuan yang mengharukan.

“Kamu masih ingat sama bapak, Nak?” Kata Pak Yusuf saat bertemu.

“Tentu pak, saya tidak mungkin melupakan bapak, saya akan ingat bapak sepanjang hidup saya karena jasa-jasa bapak, karena bapak saya bisa shalat, karena bapak saya bisa mengaji, karena bapak saya memahami ajaran agama ini.”

*** PELAJARAN

Demikianlah, kebaikan yang kita berikan kepada orang lain, yang kita tanam dimanapun, mungkin kita akan melupakannya. Tapi orang lain yang menerima kebaikan kita, akan tetap mengingatnya.

Sekepal Garam

Pada suatu hari, ada seorang pria datang kepada seorang ustadz. Pria itu mengeluhkan permasalahan hidup yang ia hadapi. Dalam menjalani hidup ini, ia sangat sulit mencari kebahagiaan. Ia sangat sulit menikmati dan mensyukuri hidup ini.

“Pak ustadz, apa yang harus saya lakukan? Saya merasa hidup ini menghimpit saya, saya selalu pusing dimana pun saya berada. Saya tidak menikmati hidup ini, tolong saya pak ustadz.” Keluh pria itu.

Dengan ketenangan sikap, ustadz itu menjawab, “Pulanglah ke rumahmu, dan besok datang lagi kesini. Bawalah sebungkus garam halus, insya Allah kita akan menemukan jawabannya”.

Pria itupun menuruti perintah sang ustadz, ia pulang justru dengan membawa seribu pertanyaan, “Untuk apa saya harus membawa garam? Apa hubungannya garam dengan masalah yang kuhadapi?” pikir pria itu dalam hatinya. Tapi ia tidak mau membantah perintah ustadz itu.

Keesokan harinya, pria itu datang lagi dengan membawa pesanan sang ustadz. Sebungkus garam halus.

“Ini ustadz, garamnya.” Katanya sambil menyuguhkan sebungkus garam. “Pak ustadz, boleh saya tahu untuk apa garam itu?”

“Sabarlah. Sesungguhjnya Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Nanti juga kamu akan tahu.” Kata ustadz itu menjelaskan.

Kemudian ustadz itu memanggil istrinya. Mendengar panggilan suaminya, sang istri ustadz keluar.

“Umi, tolong bawakan abi segelas air ya!”

Tanpa bicara, sang istri lalu pergi ke dapur. Tiga menit kemudian, istri sang ustadz datang lagi dengan membawa segelas air. Kemudian masuk lagi ke dalam rumah.

“Sekarang, masukanlah sekepal garam ini ke dalam gelas dan minumlah.” Perintah ustadz itu.

Karena rasa takzhimnya, pria itupun menurut saja.

ekhuaa…

“Asin pak ustadz”.

“Sekarang, ikutlah denganku ke belakang rumah”.

Pria itu mengikuti kemana sang ustadz pergi. Sesampainya di belakang rumah, ternyata disana ada sebuah danau yang indah, air bening terhampar luas, pepohonan hijau menghiasi pinggir danau, angsa-angsa putih tampak asyik bermain air di danau itu.

“Sekarang, ambil lagi sekepal garam dan lemparkanlah ke danau ini”. Perintah ustadz itu lagi.

Pria itu menuruti lagi kata-kata sang ustadz. “Sudah pak ustadz”.

“Sekarang, minumlah air danau ini dan rasakanlah”. Tanpa aba-aba lagi, pria itu meminum air danau. “Hmm.. airnya segar pak ustadz.”

“Terasa asin atau tidak?” “Tidak pak ustadz”.

Ustadz itu lalu memegang pundak pria tadi sambil berkata, “Ketahuilah, seperti inilah hati kita. Kita selalu menganggap segala sesuatu itu menghimpit dan sempit. Sesungguhnya, bukan keadaan sekitar yang mesti kita rubah, tapi cara pandang kita yang salah, hati kita mestilah lapang. Garam yang kau masukan ke dalam segelas air dan yang kau masukan ke danau ini, jumlahnya sama, sama-sama sekepal tangan. Tapi rasa keduanya berbeda. Kita akan merasa asin (sempit dan sulit) jika menyempitkan hati kita dalam memandang segala sesuatu. Dan, kita akan merasa segar (luas hati dan tenang) jika kita melapangkan hati kita. Beginilah kita seharusnya memandang dunia. Memandang dengan penuh optimis dan semangat, tanpa sekalipun putus asa kepada rahmat Allah Swt.”

*** PELAJARAN

Bersikaplah terbuka dan berprasangka baik kepada Allah. Serta janganlah berputus asa terhadap rahmat (kasih sayang) Allah. Allah Swt berfirman: “Dan janganlah kamu

berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah melainkan kaum yang kafir.”(QS. Yusuf : 87)

Dikisahkan dua orang santri sedang memperbincangkan perilaku Kyainya yang selalu menganak-emaskan salah satu santrinya. Mendengar perbincangan dua santrinya itu, sang Kyai pun memanggil mereka, juga santri yang mereka anggap telah dianak emaskan. Kepada para santrinya, sang Kyai berkata: “Ambillah burung-burung ini, lalu sembelihlah di tempat yang tidak ada satu pun mengetahuinya. Setelah itu kembalilah kepadaku.”

Ketiga santri itu bergegas membawa burung yang diberikan sang Kyai dengan pemotongnya sekaligus. Mereka menyebar ke seluruh tempat yang dianggap sepi. Ada yang pergi ke belakang rumah, bawah jembatan, dan sebagainya.

Dengan bangga, mereka kembali membawa burung-burung yang sudah dipotong. Sementara satu santri kembali dengan membawa burung yang masih hidup. Kedua santri itu mengejeknya dengan berkata: “Dasar santri kesayangan, takut, ya tidak berani memotong burung?” Si santri ini pun diam saja sambil menuju rumah sang Kyai, diikuti kedua santri lainnya.

Sesampainya di rumah sang Kyai, kedua santri itu berkata, “Kyai, kami sudah melakukan apa yang Kyai perintahkan, kecuali satu santri ini. Ternyata, santri yang selama ini Kyai sayang adalah seorang penakut”.

Kemudian sang Kyai bertanya kepada si santri yang tidak memenuhi perintahnya itu, ”Kenapa kamu tidak memenuhi perintahku?”.

Si santri ini menjawab, “Kyai, bagaimana saya bisa memenuhi permintaan Kyai, sementara saya tidak menemukan tempat yang tidak ada sesuatu pun yang tidak dapat melihat, karena itulah saya tidak menyembelih burung ini.”

Sang Kyai meminta penegasan lagi, “Tolong jelaskan mengapa kamu tidak memenuhi perintahku?”

“Di dunia ini tidak ada tempat yang sepi dari penglihatan Allah dan malaikat-malaikat-Nya. malaikat Rakib dan Atid selalu mengawasi dan mencatat apa yang dilakukan manusia. Atas dasar itulah saya tidak bisa memenuhi perintah Kyai.”

Sang Kyai dengan bangganya mengatakan kepada santri yang lain, “Saya sangat menyayangi santri ini karena ia jujur. Siapa yang jujur akan saya sayangi”. Semua santri tertegun mendengar pernyataan sang Kyai.

*** PELAJARAN

Marilah kita senantiasa menjaga kejujuran, karena kejujuran itu akan menuntun pada akhlak-akhlak mulia lainnya, dan akhlak mulia, akan menunjukkan jalan menuju surga-Nya. Rasulullah Saw bersabda: “Dari Abdullah ibn Mas’ud, Rasulullah Saw. bersabda,

“Sesungguhnya jujur itu menunjuk kepada kebaikan dan kebaikan itu menunjuk ke surga...”

(HR. Bukhari).

Santri Susah Shalat Khusyuk

Di sebuah masjid pesantren, saat shalat berjamaah telah usai, dan banyak santri bertebaran ke berbagai penjuru masjid untuk melaksanakan shalat sunnah, sang kyai yang baru saja menjadi imam, memperhatikan salah seorang santrinya yang sedang shalat sunnah. Dengan penuh seksama.

Setelah santri itu selesai melaksanakan shalat, lalu sang kyai mendekatinya. “Nak, shalatmu tadi perlu diulang, tadi aku lihat engkau terlalu buru-buru hingga tuma’ninahmu tidak sempurna.”

Tanpa banyak bertanya dikarenakan rasa takzim kepada kyai-nya, santri itu melaksanakan titah sang kyai. Ia mengulangi shalatnya. Namun kali ini, sang kyai masih mengatakan hal yang sama. Kejadian ini berulang sampai tiga kali. Setelah tiga kali shalat, kali ini santri tersebut mencoba mengutarakan isi hatinya.

“Maaf kyai, entah kenapa, saya tidak bisa shalat dengan baik sebagaimana arahan pak kyai. Saya merasa, inilah shalat terbaik yang bisa saya lakukan.”

“Nak, tapi tuma’ninahmu tidak sempurna, engkau terlalu cepat bergerak. Saat engkau ruku’, belum sampai tuma’ninah, engkau sudah berdiri kembali. Rukun shalatnya tidak dapat kalau demikian. Begitu pula ketika engkau i’tidal dan sujud.” Pak Kyai menjelaskan dengan penuh lemah lembut.

“Lalu, apa yang harus saya lakukan pak kyai?”

“Sebelum engkau takbiratul ihram, mintalah perlindungan kepada Allah dengan membaca ta’awudz. Agar engkau terhindar dari gangguan setan. Lalu, ketika engkau shalat, bayangkalah… bahwa itu adalah shalat terakhirmu. Shalat terakhirmu.”

Santri tersebut mendengar baik-baik nasihat kyainya, “Baik, pak kyai, kali ini saya akan coba lagi.”

Lalu, santri tersebut mengulangi shalatnya sebagaimana dengan petunjuk dari kyainya. Dan benar saja, kali ini shalat santri tersebut lebih sempurna dan khusyuk.

*** PELAJARAN

Disebutkan di dalam kitab Musnad Imam Ahmad dan Sunan Ibnu Majah dari hadist Abu Ayyub Al-Anshari ra, beliau berkata: Sesungguhnya seorang laki-laki datang kepada

Nabi Saw, lalu berkata: ”Nasihatilah aku dan persingkatlah!” dalam riwayat lain disebutkan: “Ajarilah aku dan persingkatlah!”.

Beliau Saw bersabda:

َوُم َة َلََص ِِّلَصَف َكِت َلََص ِفِ َتْمُق اَذإ

ِساَّنلا ِيَدَي ِفِ اَِّمِ َسأَيلا ِعِْجَْأَو ،اًدَغ ُهْنِم ُرِذَتْعَ ت ٍم َلََكِب ْمَّلَكَت َلََّو ،ٍعِِّد

“Jika kamu hendak melaksanakan shalat, maka shalatlah seperti shalat orang yang berpamitan dan janganlah mengatakan sesuatu yang akan membuatmu beralasan darinya dan berputus asa lah terhadap apa yang ada di tangan manusia.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Hadist ini hadist hasan dengan sebab penguat-penguatnya.

Hadist yang mulia ini berisi tiga wasiat agung yang mengumpulkan semua kebaikan. Barang siapa yang memahaminya dan mengamalkannya, niscaya mendapatkan semua kebaikan di dunia dan di akhirat. Salah satu wasiatnya adalah, Nabi Saw menyeru bagi orang yang hendak memulai shalat supaya melaksanakannya seperti shalat orang yang berpamitan (terakhir kali).

Orang yang berpindah dari sebuah negeri dengan harapan kembali lagi berbeda keadaannya dengan orang yang berpindah dengan tidak berharap kembali lagi. Orang yang berpamitan akan membahas panjang lebar yang tidak dilakukan orang lain.

Apabila seorang hamba shalat dengan mengingat shalatnya tersebut shalat terakhir dan merasa tidak akan pernah shalat lagi, maka dia akan bersungguh-sunguh mengerjakannya, memperbagus pelaksanaannya dan melakukan ruku’, sujud atau kewajiban dan sunnah-sunnah shalat lainnya dengan seksama.

Oleh karena itu, hendaknya setiap Mukmin untuk mengingat wasiat ini pada setiap shalat yang dikerjakannya. Mengingat shalat orang yang berpamitan dan merasakan di dalamnya, inilah shalat yang terakhir, tidak ada lagi shalat setelahnya. Apabila merasakan hal itu, maka perasaan tersebut akan membawa perbaikan dalam pelaksanaan dan kesempurnaannya. Aamiin.

Murid Mengajar Guru

Sore hari di sekolah boarding di Semarang, seorang guru berniat pulang, karena memang jam kerja sudah selesai. Saat jalan kaki ke parkiran motor, guru tersebut melihat anak-anak SMP sedang asyik bermain futsal di lapangan sekolah. Lalu ia pun berhenti dan melihat sebentar. Tiba-tiba, ada satu siswanya yang lain datang menghampiri, dan siswa tersebut memberikan sebuah permen bergagang ke gurunya.

Lalu siswa tadi berkata, “Pak, kemarin saya memberi sedekah untuk teman, eh paginya ada kakak kelas yang memberikan minuman untuk saya. Wah beruntung banget pak. Apalagi saya haus waktu itu. Dan hari ini saya mau memberikan (sedekah) permen ini untuk bapak. Siapa tahu saya mendapatkan yang lebih.”

Guru itu akhirnya tidak memperhatikan futsal, lalu berdiskusi ringan dengan siswanya tentang pengalamannya dan tentang keutamaan tangan di atas jauh lebih baik dari pada tangan di bawah. Sambil berdecak kagum pada siswanya dalam hati, anak sekecil itu sudah memahami manfaat sedekah. Setelah itu, siswa itu pun berlalu pergi namun sang guru tetap disana karena kembali asyik melihat anak-anak bermain futsal.

Sekitar sepuluh menit kemudian, siswa tadi kembali dengan membawa pengalaman luar biasa.

“Pak, benar kan apa kata saya? Kalau saya yakin akan dapat yang lebih baik dari apa yang saya sedekahkan. Ini saya dapat makanan dari Pak Mas’ud.” katanya dengan penuh antusias sambil menunjukkan sebuah makanan basah berukuran kotak yang memang lebih bernilai dari permen yang dia sedekahkan, yang ia dapatkan dari guru biologi.

*** PELAJARAN

Pengalaman semacam ini sering kita dengar dari beberapa ceramah. Dan anak ini, dengan status sebagai siswa, justru memberikan pelajaran berharga bagi gurunya secara langsung, tentang keajaiban sedekah. Sungguh Maha Benar Allah yang berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada

kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah [2]:

277)

Allah Swt berfirman: “Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan ganjaran bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261)

Imam Syafi’i dan Gurunya

Suatu ketika, Imam Syafi’i yang sedang mengajar santri-santrinya di kelas, tiba-tiba dikejutkan kedatangan dengan seseorang berpakaian lusuh, kumal dan kotor. Seketika itu

Imam Syafi’i mendekati dan memeluknya. Para santri kaget dan heran melihat perilaku gurunya itu.

Mereka bertanya: “Siapa dia wahai guru, sampai engkau memeluknya erat-erat. Padahal ia kumuh, kotor, dan menjijikkan?”

Imam Syafi’i menjawab: “Ia guruku. Ia telah mengajariku tentang perbedaan antara anjing yang cukup umur dengan anjing yang masih kecil. Pengetahuan itulah yang membuatku bisa menulis buku fiqh ini.”

*** PELAJARAN

Sungguh mulia akhlak Imam Syafi’i. Ia menghormati semua guru-gurunya, meskipun dari masyarakat biasa. Imam Ali pernah mengatakan, siapapun yang memberi ilmu,

walalupun itu hanya satu huruf Alif, maka dia adalah guruku.

Gurulah yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu kepada kita. Sebagai pendidik, guru membentuk kita menjadi manusia yang beriman, mengerti baik dan buruk, berbudi pekerti luhur,

dan menjadi orang yang bertanggung jawab, baik kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, maupun negara. Gurulah yang menjadikan kita orang yang pandai dan memahami ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, kita akan memperoleh kedudukan yang tinggi di hadapan Allah Swt., sebagaimana firman-Nya: ”...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat...” (QS. al-Mujadalah [58]: 11)

Mbah Sholeh dan Kepala Ikan

Di sebuah perkampungan, hiduplah seorang kyai yang dikenal bijak dan sederhana, Mbah Sholeh namanya, beliau sering mengisi pengajian untuk para santri disana. Tak jauh dari rumahnya terdapat sungai besar dengan aliran yang jernih. Setiap hari Mbah Sholeh memancing disana untuk menangkap ikan, dan setiap hasil tangkapannya selalu diberikan kepada tetangganya, sementara Mbah Sholeh hanya mengambil bagian kepala ikan, hal itu dilakukan sebagai wujud menjalani hidup zuhud.

Suatu waktu, salah seorang murid Mbah Sholeh hendak melakukan perjalanan ke kota. Kebetulan di kota itu terdapat seorang ulama karismatik, yang tak lain adalah gurunya

Mbah Sholeh. Kepada sang murid, Mbah Sholeh berpesan untuk dimintakan nasihat bagi dirinya atas kegelisahan jiwa yang dirasakannya.

Santri itu mengiyakan dan berangkatlah santri itu ke kota. Sesampainya disana, ia bergegas menghadap sang ulama karismatik untuk menyampaikan pesan gurunya. Tidak sulit baginya untuk menemukan rumah sang ulama karismatik tersebut, lantaran hampir semua

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 89-101)