• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISAH INSPIRATIF SAHABAT NABI

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 130-158)

Belajar Keteguhan Iman Pada Zunairah

Budak, mungkin dimata manusia ia hina, tapi dimata Allah bisa begitu mulia, terhormat, dan berpangkat, melebih manusia merdeka dengan kekayaannya dalam pandangan manusia lainnya. Kehadiran Islamlah yang mengangkat derajat para budak, karena dalam pandangan Allah warna kulit dan harta bukanlah indikasi kemuliaan, tetapi iman dalam hati sanubari dan amallah yang menentukannya. Hal ini bisa kita lihat dalam salah satu hadits Nabi Saw:

َوْمَأَو ْمُكِرَوُص َلَِإ ُرُظْنَ ي َلَّ ََّللَّا َّنِإ(( :ملسو هيلع الله ىلص َِّللَّا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق َةَرْ يَرُه ِبَأ ْنَع

َلَِإ ُرُظْنَ ي ْنِكَلَو ْمُكِلا

ملسم هاور .))ْمُكِلاَمْعَأَو ْمُكِبوُلُ ق

Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak

melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)

Budak muslimah yang mulia dalam pandangan Allah Swt itu adalah Zunairah, mantan budak Abu Jahal. Abu Jahal adalah salah satu orang kaya pada zaman Rasulullah Saw, namun ia kejam pada Nabi Muhammad Saw. dan kaumnya, khususnya yang lemah, miskin, dan para budak. Salah satu kekejamannya bisa kita lihat pada budaknya yang telah beriman, Zunairah.

Mengetahui keimanan Zunairah kepada Allah dan Rasul-Nya, Abu Jahal kemudian menginterogasinya.

"Benarkah kamu telah menganut agama Islam?" tanya Abu Jahal.

"Benar. Aku percaya pada seruan Muhammad, karena itu aku mengikutinya." Jawab Zunairah dengan tegas.

Untuk menggoyahkan keyakinan budaknya, Abu Jahal bertanya pada kawan-kawannya. "Hai kawan-kawan, apakah kalian juga mengikuti seruan Muhammad?"

"Tidaaak," jawab mereka berjamaah.

"Nah, sekira apa yang dibawa Muhammad itu baik, tentu mereka akan lebih dulu mengikutinya" kata Abu Jahal melecehkan budaknya.

Zunairah tidak goyah dengan argumentasi Abu Jahal, ia tetap teguh dengan keyakinannya, semua cara dan argumentasi Abu Jahal, mental dihadapan Zunairah. Karena marah, Abu Jahal lalu memukul Zunairah dengan kejam, hingga matanya luka parah dan akhirnya menjadi buta. Melihat mata budaknya menjadi buta, Abu Jahal membujuknya.

"Matamu menjadi buta itu akibat kau masuk Islam. Coba kau tinggalkan agama Muhammad itu, matamu akan sembuh kembali," katanya.

Sebagai budak, tidak banyak yang bisa dilakukan olehnya, seluruh jiwa raganya telah terbeli oleh tuannya, Zunairah hanya bisa menahan sakit dalam hatinya mendengar olok-olokan itu. Namun akhirnya, muncul juga keberanian untuk berbicara.

"Kalian semua adalah pembohong, tak bermoral. Hubal, Lata, Uzza, dan Manat yang kalian sembah itu tak akan bisa berbuat apa-apa. Apalagi memberi manfaat dan madharat," kata Zunairah dengan yakin.

Mendengar hal itu, marahlah Abu Jahal, lalu memukul Zunairah sekeras-kerasnya dan berkata, "Wahai Zunairah! Ingatlah kepada Lata dan Uzza. Itu berhala sembahan kita sejak nenek moyang kita. Tak takutkah jika mereka nanti murka kepadamu? Tinggalkan segera agama Muhammad yang melecehkan kita." Kata Abu Jahal.

"Wahai Abu Jahal. Sebenarnya Latta dan Uzza itu buta. Lebih buta daripada mataku yang buta akibat siksaanmu ini. Meski mataku buta, Allah tak akan sulit mengembalikannya menjadi terang, tidak seperti tuhanmu Latta dan Uzza itu." kata Zunairah.

Merasa kesal dengan prilaku budaknya, Abu Jahal lalu meninggalkan Zunairah. Lain halnya dengan Zunairah, rupanya Allah tidak meninggalkannya. Dengan kuasa-Nya, keesokan harinya, mata Zunairah sembuh kembali. Ia bisa melihat kembali, seperti semula. Subhanallah, inilah salah satu kuasa Allah Swt.

Abu Jahal yang yakin dengan kebutaan budaknya itu, menjadi terheran-heran. Bagaimana bisa itu terjadi. Tapi karena Abu jahal telah mati hatinya, buta nuraninya, dia malah berkata, "Ini pasti karena sihir Muhammad," katanya sembari kembali menyiksa budaknya.

Tidak lama kemudian, datanglah Abu Bakar, sahabat Rasulullah yang baik hati, beliau lalu memerdekakan Zunairah setelah memberi tebusan kepada Abu Jahal, sebagaimana yang dulu dilakukannya untuk membebaskan Bilal.

*** PELAJARAN

Inilah keyakinan, inilah keimanan. Keimanan yang tertanam kuat dalam hati, tidak akan mampu digoyahkan oleh apapun, serta mampu menggerakkan apapun. Belum lama ini kita menyaksikan orang-orang dari Ciamis rela datang berjalan kaki menuju Jakarta untuk melaksanakan Aksi Damai Bela Al-Qur’an, melewati ratusan kilometer karena bus yang mau mereka sewa dilarang beroperasi. Semua ini mereka lakukan tentu karena iman, jika bukan iman, mustahil mereka mau melakukannya.

Maka, marilah kita memohon kepada Allah, agar kita diteguhkan dalam keimanan dan keislaman.

َنَ بوُلُ ق ْغِزُت َلَّ اَنَّ بَر

ُباَّهَوْلا َتْنَأ َكَّنِإ ًةَْحَْر َكْنُدَل ْنِم اَنَل ْبَهَو اَنَ تْ يَدَه ْذِإ َدْعَ ب ا

“Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Dzat yang Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imran: 8).

َكِنيِد ىَلَع ِبِْلَ ق ْتِِّبَث ِبوُلُقْلا َبِِّلَقُم َيَ

“Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” (HR. Tirmidzi no. 3522, Imam Ahmad IV/302, Al-Hakim I/525. Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2792)

Keagungan Putri Rasulullah Saw, Fatimah Az-Zahra

Puncak musim dingin sedang mencekam kota Madinah. Hembusan angin dingin seolah masuk ke tulang. Penduduk seluruh kota terbenam dalam ancaman kebekuan. Seluruh penduduknya menggigil kedinginan. Madinah kala itu.

Di suatu hari yang suram dan dingin itu, dimana angin bertiup kencang bagai sebilah pisau menyayak kulit, tampak seorang tua berangkat memberanikan diri ke luar rumah, melangkah terhoyong-hoyong dengan tongkatnya menantang angin dingin menuju rumah Rasulullah Saw yang amat dicintainya.

Dengan susah payah, lelah, dan lesu ia mancoba meneruskan perjalanannya, seringkali ia merapatkan bajunya agar tak tertembus angin dingin, akhirnya sampailah ia ke depan pintu rumah Rasulullah Saw yang selalu terbuka pintunya bagi mereka yang sengsara dan dilanda derita, pintu yang tidak pernah menampik siapa pun yang ingin dating, baik untuk meminta bantuan dan pertolongan, ataupun untuk bersilaturahim, sebuah pintu yang selalu memberi harapan-harapan indah bagi mereka yang mendambakan kasih sayang. Itulah pintu rumah Rasulullah Saw.

“Assalamu ‘alaika ya Rasulullah,” seru orang tua itu dari luar.

“Wa ‘alaikum salam warahmatullah,” sahut Rasulullah Saw dari dalam dengan suara lembut dan halus sambil membuka pintu.

“Siapa gerangan engkau dan dari mana engkau datang?” Tanya Rasulullah Saw. “Ya Rasulullah, saya adalah orang desa (Badui), datang kepadamu karena sangat lapar, tolonglah aku, berilah aku makanan,” jawab orang tua itu dengan suara dan nafas yang terputus-putus kedinginan, lesu dan lelah.

“Sungguh sayang, pada saat ini aku sedang tak memiliki apa-apa, tatapi engkau jangan putus asa. Akan kutunjukan seseorang yang kira-kira dapat menolong engkau,” jawab Rasulullah Saw.

“Siapakah orang itu?”

Rasulullah lalu berseru memanggil Bilal.

“Hai Bilal, antarlah orang ini ke rumah Fatimah”.

Begitulah prinsip Nabi Saw yang tidak pernah goyah sehelai rambut pun untuk menolong sesama manusia. Bila ada hal-hal yang tidak dapat diatasinya sendiri, maka yang pertama-tama akan menerima tanggungan itu adalah keluarga beliau yang paling dekat dan yang paling beliau sayangi, yakni Fatimah az-Zahra, putrinya. Tetapi sebaliknya bila beliau menerima nikmat atau harta, yang paling beliau dahulukan adalah rakyatnya.

Akhirnya, Bilalpun mengantarkan bapak tua itu ke rumah az-Zahra. Begitu sampai di dekat pintu rumah Fatimah, langsung ia memberi salam dengan suaranya yang agak serak dan gemetar, karena Bilal juga merasakan dingin yang sangat itu.

Dari dalam rumah terdengar suara Fatimah az-Zahra menyahuti salamnya dengan suara yang ramah dan penuh rahmah sambil membuka pintu dan menyambut tamu itu lalu dipersilahkannya masuk dan duduk.

Tidak pernah terbayangkan sebelumnya dalam pikiran bapak tua itu, ternyata rumah putri Rasulullah yang ia tuju itu hanyalah sebuah rumah kecil, sederhana, kosong dan tak berperabot. Ia takjub sekaligus tercengang.

Fatimah memperhatikan tamunya itu. Wajahnya cekung dan pucat pakaiannya compang-camping, kulitnya kering. Kedua belah biji matanya menunjukkan rasa lapar dan menderita. Melihat keadaan orang seperti itu, di hati Fatimah ada rasa iba dan kasihan yang tak terhingga.

“Siapa engkau ini dan membawa berita apa kedatanganmu ini?” Tanya Fatimah lembut menyadarkan bapak tua yang tengah terheran menyaksikan keadaan rumah Fatimah.

“Saya orang desa, miskin dan papa. Berilah saya pakaian dan sedikit makanan,” jawabnya sambil menahan sekujur badannya yang lapar dan kedinginan dengan mengencangkan pakaiannya.

Fatimah teringat akan sabda ayahnya: “Sebaik-baik kebaikan adalah menolong orang

yang sedang menderita, tiap peminta yang berdiri di pintu rumahmu membwa ‘rahmat’, maka terserahlah keadamu untuk menerima rahmat itu atau mnolaknya.”

Fatimah pun bangkit, segera mencari-cari di dalam rumahnya, kalau-kalau masih ada kelebihan makanan atau sehelai pakaian suaminya untuk diserahkan kepada orang tua itu. Tetapi sayang, ia tidak berhasil mendapatkan apa-apa. Sebiji nasi pun tidak ada di rumahnya saat itu. Begitupun pakaian, karena memang suaminya, Ali bin Abi Thalib hanya memiliki dua baju, yaitu pakaian yang melekat di badan dan baju perangnya.

Namun di dalam kamus kehidupan Fatimah az-Zahra tiada tercantum perkataan putus asa atau acuh-tak acuh dan masa bodoh, maka ia berusaha untuk menemukan sesuatu yang kiranya dapat diberikan. Ia segera memasuki ruang dalam rumahnya, mencari sesuatu yang dapat memenuhi permintaan peminta. Pandangannya berpindah ke sana ke mari memeriksa setiap sudut mencari barang yang layak ditukarkan dengan rahmat yang dijanjikan dalam hadits dari ayahnya. Rahmat Allahlah yang selalu dicari oleh Fatimah, karena sepanjang kehidupannya penuh bertaburan butir-butir amal kebajikan berupa perasaan kasih sayang di antara sesamanya.

Betapa sedih dan pedihnya hati Fatimah karena tidak ada sesuatupun di rumahnya yang bisa ia diberikan kepada tamunya, kecuali sehelai kulit kambing tempat tidur Hasan dan Husein anaknya. Lalu Fatimah mengadu kepada Allah seraya menengadahkan wajah dan

kedua telapak tangannya ke langit sambil bermunajat kepada Allah Swt, lalu menghapuskan kedua tangannya ke wajahnya dan lehernya. Setelah tangannya sampai di lehernya, maka tersentuhlah olehnya kalung yang sedang dipakainya. Kalung itu merupakan hadiah dari pamannya Hamzah r.a pada waktu pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, ketik itu legalah hatinya. Langsung ia bersyukur dan mengucapkan: “Alhmdulillahi Rabbil Alamin.”

Kalung itu segera dibuka dari lehernya, lalu diserahkannya kepada tamu si peminta itu. Tak ada sedikitpun perasaan bimbang atau rasa sayangnya terhadap kalung itu. Malah wajahnya berseri-seri dan tersenyum simpul, sedang kedua bola matanya bersinar penuh kegembiraan. Semua itu berkat sentuhan firman Ilahi pada lubuk hatinya, meresapi setiap rongga dalam kalbunya dan menyusuri setiap pembuluh darah di sekujur tubuhnya. Sikap Fatimah itu sesuai dengan apa yang dilukiskan dalam al-Qur’an Surah al-Hasyr ayat 9:

“…mereka senantiasa mengalah, mengutamakan saudaranya melebihi dirinya sendiri, sekalipun ia dalam keadaan miskin dan papa. Maka beruntunglah siapa yang tidak kikir itu.”

Setelah tamu itu menerima kalung dari Fatimah, ia kembali mendatangi Rasulullah Saw untuk mengucapkan terima kasih. Rasulullah tersenyum dan gembira, karena putrinya telah lulus dalam ujian.

*** PELAJARAN

“Adapun hamba-hamba Allah Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di

bumi dengan rendah hati…” (QS. Al-Furqan: 63)

Semoga Allah Swt menjadikan pribadi kita sebagai pribadi yang bermakna. Pribadi yang saat berbaur ia mampu menyemangati dan disaat sendiri ia mampu untuk tegar. Itulah ciri mukmin sejati yang selalu mengasah sifat empati terhadap lingkungan.

Empati adalah sikap emosional untuk berusaha memahami dan mengerti setiap rangkaian keadaan dan peristiwa yang terjadi di sekeliling kita, empati tidak sekedar rasa, empati baru berarti manakala berlanjut pada tatanan aksi atau perbuatan, karena hal ini serasi dengan ajaran Islam bahwa keshalihan hati harus berlanjut pada keshalihan amal.

Merasa empati ketika melihat orang di sekeliling kita sakit dan tak berdaya. Orang tua yang kesusahan untuk mencukupi biaya hidup anak-anaknya, melihat rumah tetangga kebakaran, atau seorang kakek yang di usia senjanya menghabiskan waktu dengan menengadah di jalanan, atau nenek tua yang masih harus jualan barang dagangan sederhana untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tidakkah kita merasa iba? Rasa empati bisa kita munculkan dengan membantu mereka, kita bisa membantu mereka dengan membeli barang jualan mereka walaupun kita sedang tidak membutuhkannya.

Ternyata jika kita mau membuka hati, ada banyak hal di sekitar kita yang membutuhkan kepedulian kita. Walau hanya dengan ucapan terima kasih, ucapan cinta kepada orang yang kita cintai atau hanya sekedar doa. Empati tidak harus berwujud materi dan bantuan dana. Memberi perhatian kepada orang lain, berusaha membuat orang lain tersenyum, berusaha untuk tidak menyakiti dan menyusahkan orang lain adalah wujud lain dari empati. Begitulah Rasulullah Saw., keluarganya, dan para sahabatnya menjadi qudwah (teladan) bagi kita dalam kasih sayang dan menanamkan empati kepada sesama.

Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Sesungguhnya aku berdiri shalat, dan aku ingin

memperpanjang shalat. Lalu aku mendengar tangisan bayi maka aku perpendek, karena aku takut hal itu akan memberatkan ibunya.” (HR Bukhari)

Walaupun semua orang memiliki hati, tapi tidak semua orang mampu menyingkap setiap rangkaian peristiwa yang terjadi di sekitar kita. Inilah arti penting empati bagi seorang Muslim.

Akhirnya, hanya ketajaman mata hati yang dibutuhkan untuk memahami hal-hal yang kasat mata seperti itu. Karena dengan menanamkan rasa empati pada lingkungan, berarti kita telah berbuat baik kepada diri sendiri, karena empati berarti menanam ‘biji cinta’ dan kebahagiaan dunia akhirat yang siap untuk kita semai di akhirat kelak.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Orang-orang yang penyayang maka mereka

akan disayangi Allah, barang siapa yang menyayangi yang di bumi, maka akan disayangi penghuni langit.” (HR. Abu Dawud dan Turmidzi)

Dengan empati kita tidak akan pernah kehilangan apa yang kita berikan, bagai menanam satu biji tanaman kebaikan yang akan kita panen hasilnya, bagai oase di padang pasir yang menghapus dahaga para musafir, karena rasa empati bagaikan mata air yang tidak akan pernah kering.

Mari sama-sama kita simak kata-kata inspiratif dari Dale Carnegie, “Anda, dengan apa yang Anda miliki saat ini, dengan mudah bisa menebarkan kebahagiaan di dunia ini. Caranya? Ucapkanlah kata-kata yang menunjukan perhatian tulus kepada mereka yang sedang dilanda kesepian atau patah semangat. Mungkin, esok hari Anda akan melupakan kata-kata yang Anda ucapkan, tetapi orang yang mendengarnya akan terus mengenangnya sepanjang hayat.”

Umar bin Khattab, sebelum masuk Islam, berada pada barisan orang-orang yang tidak senang terhadap perkembangan Islam, dikarenakan pengaruh Abu Jahal dan tokoh-tokoh Quraisy yang sangat membenci Islam dan umat Islam, Abu Jahal berusaha mempengaruhi Umar dan yang lainnya agar semakin memusuhi Nabi Muhammad Saw dan Islam.

Menurut Umar kala itu, sebab perpecahan yang terjadi di kalangan masyarakat Quraisy adalah Muhammad yang telah membawa pengaruh yang memecah belah suku. Hingga Umar pun berencana membunuh Nabi Muhammad Saw.

Dengan penuh kemarahan, Umar berjalan sambil membawa pedang yang terhunus, hendak mencari Muhammad, dan di tengah perjalanan, Umar bertemu dengan Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya bertanya:

“Hendak kemana engkau ya, Umar?”

“Aku hendak membunuh Muhammad”, jawabnya.

“Apakah engkau akan aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhroh jika engkau membunuh Muhammad?”

“Jangan-jangan engkau sudah murtad dan meninggalkan agama asalmu?” tanya Umar.

“Maukah engkau kutunjukkan yang lebih mengagetkan dari itu wahai Umar, sesungguhnya saudara perempuanmu dan iparmu telah murtad dan telah meninggalkan agamamu”, kata Abdullah an-Nahham.

Betapa terkejutnya Umar mendengar berita itu, dan beliau bermaksud memastikan kabar itu, Umar pun berbelok arah menuju rumah adiknya, Fatimah binti Khattab. Rupanya Allah takdirkan suara al-Qur’an terdengar oleh Umar waktu itu, karena di dalam rumah Fatimah, ada sahabat Rasulullah Saw bernama Khabbab sedang mengajarkan al-Qur’an kepada Fatimah binti Khattab dan suaminya.

Khabbab memiliki firasat yang kuat, beliau merasakan kedatangan Umar, lalu beliau segera bersembunyi dibalik rumah Fatimah. Sementara Fatimah dan suaminya, segera menutupi lembaran al-Quran, namun khawatir dengan apa yang akan terjadi, mengingat Umar amat membenci Islam.

Sebelum masuk rumah adiknya, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya:

“Suara apakah yang tadi saya dengar dari kalian?”,

“Tidak ada suara apa-apa kecuali obrolan kami berdua saja”, jawab mereka “Pasti kalian telah murtad”, kata Umar dengan geram.

“Wahai Umar, bagaimana pendapatmu jika kebenaran bukan berada pada agamamu?”, jawab ipar Umar.

Mendengar perkataan demikian, Umar marah besar lalu menendang adik iparnya hingga terjatuh dan berdarah, melihat suaminya terjatuh, Fatimah lalu mencoba membangunkan suaminya, akan tetapi justru Umar menampar adiknya sendiri hingga bibirnya berdarah.

Dengan nada marah, Fatimah binti Khattab berkata, “Hai, Umar! Jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah.”

Melihat adiknya berdarah, timbul penyesalan dan rasa malu di hati Umar, emosi Umar pun mulai mereda. Lalu beliaupun meminta lembaran al-Qur’an yang tadi didengarnya. Namun, Fatimah menolaknya seraya mengatakan bahwa Umar kotor, dan al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah bersuci. Fatimah meminta Umar untuk mandi dulu jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan rasa penyesalan terhadap apa yang dilakukannya pada adiknya, Umar pun menurutinya.

Setelah membaca baris pertama, “Bismillahirrahmanirrahim”,

Kemudian Umar meneruskan bacaannya, beliau membaca Surat Thaha hingga ayat 14,

َلِإ َلَّ َُّللَّا َنََأ ِنَِّنِإ

ِذِل َة َلََّصلا ِمِقَأَو ِنِْدُبْعاَف َنََأ َّلَِّإ َه

يِرْك

[

٢٠

:

١٤

]

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaha [20]: 14)

Lalu, Umar berkomentar “Ini adalah nama-nama yang indah nan suci. Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku dimana Muhammad.”

Dari balik rumah Fatimah, Khabab bin Art lalu keluar menemui Umar dan memberitakan tentang doa Rasulullah, Khabbab berkata: “Bergembiralah wahai Umar, saya berharap bahwa doa Rasulullah Saw pada malam Kamis lalu adalah untukmu, beliau Saw berdoa: “Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Rasulullah Saw sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit Shafa”.

Hati Umar sudah terketuk kala itu, sudah tersirami indahnya hidayah, tidak Umar sangka, Rasulullah Saw sudah menyebut namanya dalam doanya. Lalu, Umar bergegas menemui Nabi Muhammad Saw. di rumah yang ditunjukki Khabbab seraya membawa pedangnya, yang tadi dia bawa dengan niat untuk membunuh Muhammad.

Setelah sampai di rumah yang dituju, Umar mengetuk pintu. Seseorang yang berada di dalamnya berupaya mengintipnya lewat celah pintu. Dilihatnya Umar bin Khattab datang dengan garang sambil membawa pedangnya. Segera dia beritahu Rasulullah Saw. Mereka pun berkumpul. Dan, Rasulullah memerintahkan agar pintu dibuka dan membiarkan Umar masuk.

Disaksikan sahabat dekat Rasulullah, Umar menyatakan syahadatnya, “Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang disembah selain Allah dan Engkau adalah Rasulullah.”

*** PELAJARAN

Kesaksian Umar tersebut disambut gema takbir oleh orang-orang yang berada di dalam rumah saat itu hingga suaranya terdengar ke Masjidil Haram. Umar bin Khattab r.a. terkenal dengan orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sebelum masuk Islam, ia sangat ditakuti oleh orang Islam. Sebaliknya, sesudah masuk Islam, ia sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya.

Setelah masuk Islam, pendalaman dan pengamalannya terhadap nilai-nilai Islam begitu luar biasa, sehingga beliau diangkat oleh umat Islam sebagai khalifah kedua menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq. Kita bisa mencontoh beliau dalam berislam, benar-benar total berkorban untuk agama ini.

Kisah Blusukan Umar bin Khattab

Pada masa pemerintahannya, amirul mukminin Umar bin Khattab sering melakukan blusukan, yaitu pergi tanpa sepengetahuan orang lain untuk melihat kondisi rakyatnya, hal itu beliau lakukan terkadang sendirian, terkadang juga ditemani sahabat yang sering membantunya. Tujuan dari blusukannya ini adalah untuk mengetahui kondisi masyarakatnya secara langsung.

Pada suatu malam, Khalifah Umar bersama Aslam mengunjungi kampung yang terpencil. Khalifah Umar terperanjat mendengar seorang gadis kecil menangis malam hari. Mereka segera bergegas mendekati asal suara itu. Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah memanaskan panci di atas tungku api, sambil mengaduk-aduk isi panci dengan sendok kayu yang panjang.

Hal itu membuat Khalifah Umar penasaran lalu mendekati perempuan tua itu. Umar pun menanyakan perihal anaknya yang menangis itu.

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 130-158)