• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGIAN KETIGA SUPLEMEN IMAN

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 70-89)

Keikhlasan Abah Roba

Abah Roba, pria tinggi dari Rawasaban ini begitu baik kepada semua orang. Sifatnya yang tidak pemilih kepada siapapun menjadikannya banyak dikagumi. Saat masih tenaganya kuat, kakek ini tidak pandang bulu dalam memilih pekerjaan, pekerjaan apapun yang halal dan bisa dikerjakannya siap untuk dilakukan.

Memang, mata pencaharian utamanya adalah seorang petani padi, namanya petani penghasilan yang didapat hanya pada saat panen saja. Panen di desanya terjadi dua kali dalam setahun, itupun harus bergantung pada air hujan dan aliran sungai. Belum lagi harus waspada setiap saat kepada hama yang ada di sawah. Tapi, dengan kegigihan sikapnya, panennya pun dapat dikatakan sukses. Dari hasil panennya tersebut disimpan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, walaupun tidak pernah mengenyam bangku sekolah, bapak ini tidak pernah menunggak uang sekolah untuk anaknya.

Anak yang ia biayai sebenarnya bukan anak kandung, tapi karena tidak ada rasa pembeda maka ia tetap menyayangi seperti anak kandungnya sendiri. Mereka saling melindungi satu sama lain. Pria kelahiran 1943 ini tidak pernah pilih kasih, semua anggota keluarga sama rata. Memberikan keadilan pada masing-masing individu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Prinsip yang dipakai, tetaplah hidup sederhana dan perbanyak bersyukur atas nikmat yang sudah diberikan Sang Maha Pemberi Kehidupan.

Abah Roba tidak pernah absen salat berjamaah di mushola, walaupun dia sibuk sebagai petani, beliau selalu menjadi muadzin. Sesekali beliau tidak adzan warga kampung pasti bertanya-tanya tentang keberadaannya. Kadang suatu waktu beliau tidak adzan karena jatuh sakit, banyak warga berbondong-bondong menjenguknya. Banyak warga yang peduli

dengan beliau, padahal beliau bukan orang kaya atau pun orang ternama. Karena kepedulian beliau kepada semua orang akhirnya warga pun menjadi peduli dengan dia.

Setiap ada yang pergi haji beliau rela mengantar, memonggok tas besar orang hajian bahkan menginap di rumah keluarga hajian tersebut. Semua yang dilakukannya secara ikhlas dan tidak mengharap imbalan apapun. Beliau bacakan surah-surah pilihan setiap malam jumat, banyak warga yang meminta doa darinya dan banyak juga warga yang mempercayakan beliau untuk menjaga keluarga dan rumah yang ditinggal berhaji.

Semua yang dilakukannya berbuah manis, siapa sangka dari hasil menyuapi anak-anaknya dengan harta yang halal, anak-anaknya kini sukses dan mendapat pekerjaan yang bisa dikatakan mantap. Dari hasil kesabaran Abah Roba beliaupun diberangkatkan ke tanah suci oleh sang anak yang menyayanginya. Sayang, sang istri telah berpulang mendahuluinya, jadi berangkatnya sendirian. Rumah reot yang dulu ditempati sudah dibangun oleh anaknya pula. PELAJARAN:

Barang siapa memberi kelapangan kepada orang lain, sungguh Allah akan berikan kelapangan kepadanya dari arah yang tidak disangkanya. Apalagi jika Allah sudah ridha kepadanya. Maka, marilah kita menebarkan benih-benih kebaikan dengan ikhlas mengharap ridha Allah.

Merasa Menjadi Tuhan

Saat mentari beranjak tinggi, menebar senyum kehangatannya kepada semua makhluk di bumi, seorang pemuda berkoko biru dan berkopiah hitam berkunjung kepada seorang guru sufi di pulau Jawa.

“Assalamualaikum,” sapa pemuda itu ramah.

“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh,” jawab sang guru dengan sopan saat sedang duduk di beranda rumah.

Pemuda itu lalu menyampaikan maksudnya yakni untuk berguru kepada sang syekh. Kemudian, pertemuan pertama itupun langsung mereka isi dengan pembicaraan tentang aqidah dan tasawuf.

Percakapan itu ternyata berlangsung cukup lama, hingga tak terasa tiga jam sudah berlalu. Pemuda itu terpesona oleh gaya bicara sang syekh, tutur katanya sangat sopan, menebarkan aura motivasi dan jihad yang menggebu, terkadang nada bicaranya berapi-api dan penuh energik.

Pemuda itu penasaran, lalu iseng ia bertanya. “Ya tuan guru, bolehkah saya tahu, berapa umur tuan guru sekarang?”

“Umur saya, 20 tahun lagi genap satu abad,” ungkapnya dengan senyuman ramah di wajahnya.

Jawaban sang guru membuat pamuda itu terperanjat kaget. Pemuda itu semakin tertarik, umur yang disandang sang guru itu tidak sepadan dengan kondisi tubuhnya, ia terlihat masih kuat dan energik, gaya jalannya pun masih menampakan semangat pemuda, seakan usianya masih setengah abad atau sekitar 45 tahunan.

“Wahai tuan guru, bolehkah saya bertanya lagi? Bolehkah saya tahu apa rahasia awet muda dan sehat tuan guru?”

Dengan tatapan matanya yang tajam seperti mata Syekh Jamaludin al-Afghani, sang guru itu menjawab, “Kuncinya satu. Jangan memonopoli kekuasaan Allah atas makhluk-Nya. Jangan bertingkah sebagai Tuhan di muka bumi ini! Itu saja”.

Pemuda itu tersentak kaget. Ucapan syekh itu begitu dalam dan menusuk sanubari. Apa gerangan maksudnya?

Setelah percakapan itu dirasa cukup, pemuda itu pun pamit. Setelah berbulan-bulan lamanya, kalimat sang guru itu masih terngian-ngiang jelas di telinganya, menyadarkan nalarnya ke titik god spot.

“Jangan bertingkah sebagai Tuhan di muka bumi ini. Kita hanya makhluk lemah tak berdaya. Hanya Allahlah yang memiliki kekuatan, lâ haula walâ quwwata illa billah, manusia bukan tempat meminta dan bergantung, hanya Allahlah yang layak dijadikan tempat meminta dan bergantung. Manusia tidak mampu sedikitpun memberi petunjuk, hanya Allah yang mampu memberi petunjuk”.

Itulah yang terbersit dalam pemahaman si pemuda tadi. ***

PELAJARAN

“Sekarang semakin banyak kepala keluarga yang hanya karena telah memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, merasa telah memberi rezeki. Seolah menjadi majikan hanya karena telah memberi upah kepada pegawainya, merasa sudah memberi rezeki…” Kata syekh itu lagi yang tidak lain adalah KH. Zaenal Abidin Anwar, wakil talkin Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Fenomena mengaku sebagai Tuhan atau mirip Tuhan atau berkuasa seperti Tuhan, sebenarnya bukanlah fenomena baru, al-Qur’an mengambarkan gambaran sejarah masa silam. Al-Qur’an mengabadikan kisah-kisah orang yang pernah mengaku sebagai Tuhan,

Namrud penentang Nabi Ibrahim, Fir’aun yang sombong, dan Nebukadnezard atau Bukhtansha yang menentang Nabi Danial a.s.

Di zaman modern ini, fenomena yang mengaku sebagai Tuhan hadir dalam bentuk yang halus, tipu daya setan memang menyesatkan secara halus. Demikian halusnya tipu daya itu, hingga kita tidak pernah merasa bahwa perbuatan kita telah melanggar kode etik sebagai makhluk. Sebagai hamba, kita sering takabur, tergelincirnya hati ke lembah ‘merasa besar dan hebat’, terperangkap ke jurang setan dan kroninya.

Ibnu Atha’illah Assakandary, seorang sufi yang telah menulis kitab ‘al-Hikam’, mengajari kita dengan ucapannya, “Allah ta’ala melarang kalian yang bukan hak-hak kalian dari pada makhluk. Apakah Dia akan memperkenankanmu untuk mengaku bersifat (dengan sifat) Allah, padahal Dia adalah pengasuh semesta alam”.

Semoga kita tidak termasuk hamba-hamba-Nya yang merugi, semoga kita bisa me-riyadhahkan hati kita dalam beribadah dan bermuamalah dengan keikhlasan yang sebenar-benarnya. Sebagai seorang hamba Allah, kita harus meyakini bahwa Allah adalah Sang Khaliq, penguasa alam semesta dan pengatur segala-galanya. Sifat sombong hanya layak dimiliki Allah, barang siapa yang bersifat dengan sifat Allah (sombong), berarti ia telah berani menentang Allah.

Apapun yang dilakukan manusia adalah bagian dari sifat ta’abudh (penghambaan diri), kepada Allah Swt. Maka, bersifat sebagai sesama hamba terhadap sesama makhluk Allah sudah selayaknya kita lakukan.

Hidayah Bagi Karl

Hiduplah Izzan, pemuda Indonesia yang bisa kuliah di Institute Teknik Sipil di Jerman. Izzan sangatlah taat beribadah dan selalu meluangkan waktu untuk melakukan amal shalih. Teman-temannya menganggap tindakannya aneh dan tidak masuk akal, maklum saja, sebagian besar teman-temannya adalah orang-orang yang tidak peduli agama. Namun, amalan-amalan Izzan menarik perhatian salah satu temannya, Karl. Karl lahir di lingkungan fasis dan tidak percaya akan adanya Tuhan. Fasisme menuntut kesempurnaan.

Pada suatu minggu, Karl datang dan berbincang dengan Izzan. Karl mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ia yakin Izzan tidak dapat menjawabnya. Namun, dengan bermodalkan sebuah buku yang selalu ia bawa, Izzan mampu menjawab semua pertanyaan Karl.

“What is that book, Izzan? You can answer all my quetions perfectly,” kata Karl. “This is Qur’an el-Karim. We Moslems use this book for our life guidance,” jawab Izzan.

Sejak saat itu, Karl mempelajari al-Qur’an dan isinya kepada Izzan. Izzan juga memberikan MP3 al-Qur’an 30 juz, beserta sebuah al-Qur’an terjemahan berbahasa Jerman, dengan bantuan ini, Karl mempelajari al-Qur’an terus menerus. Karl mempelajari kitab itu, dan begitu takjub karena al-Qur’an adalah satu-satunya kitab yang terjaga keasliannya selama 15 abad sampai sekarang. Ia juga sering berbincang tentang amalan-amalan dan dalil-dalil dengan Izzan.

Hari demi hari terlewati, setelah lama mempelajari Islam, Karl tertarik untuk masuk Islam.

“How?” tanya Karl.

“Just follow me.” Jawab Izzan.

Izzan membawa Karl ke suatu daerah terpencil di sudut kota Berlin. Selama perjalanan, Karl melihat banyak wanita yang mengenakan hijab. Karl tahu, kalau orang lain melihatnya disana ia akan dicap sebagai orang yang beragama, dan hal ini buruk bagi kalangan fasis di sekitar tempat tinggalnya. Tapi, ada suara kecil di hatinya yang menyuruhnya melanjutkan perjalanan ini.

Sampailah mereka di sebuah masjid. Izzan segera mengambil wudhu. “What are you doing Izzan?” tanya Karl.

“I am going to pray. Friday.” jawab Izzan. “Just wait for me here.”

Setelah menunggu, Karl pun akhirnya di ajak masuk ke masjid. Telah menunggu seorang ulama dan puluhan jamaah di depannya. “Are you sure want to be a Moslem?” tanya sang ulama. “Yes, i am”. Jawab Karl mantap.

Syahadat pun dibacakan. Riuh takbir memenuhi masjid kecil di sudut kota itu. “Thank you, Izzan.” kata Karl.

“No, thank to Allah. He’s the one who gave you the way,” jawab Izzan. Dengan petunjuk dari Allah, kini Karl adalah seorang muslim. Dan mengganti nama menjadi Abdullah Azzam.

*** PELAJARAN

Begitulah, jika hati jujur akan ajaran Islam, benar-benar mempelajari Islam, hidayah itu bisa masuk ke dalam jiwa siapapun.

Curhat Wanita Turki di Eminonu

Aku duduk sambil membaca buku Personality Plus di halte terminal Eminonu Istanbul, menunggu bus yang akan melewati rute menuju ke rumahku, disana aku tidak sendiri, ada seorang bapak yang nampak seperti imam masjid, rambut putih, bertongkat, dengan peci besar yang menempel di kepalanya, berkemeja biru sangat rapi. Kerut di wajahnya menjelaskan usianya sudah tak muda lagi, wajahnya sudah keriput, penggambaran banyak pengalaman yang sudah dilaluinya. Namun aura ketenangan bersinar dari wajahnya, ia duduk di sampingku sambil memutar tasbih mengagungkan asma Allah. Sesekali aku melihat kepadanya, ia tetap asyik dengan tasbihnya.

Rumahku berada di Bayrampasa, sekitar empat puluh menit perjalanan dengan bus, dan bus yang menuju ke rumahku sebenarnya sudah berkali-kali lewat, tapi aku masih ingin duduk di hatlte ini, seolah ada yang menahanku. Pemandangan dua masjid besar, Yeni Cami dan Sulaimaniye Cami juga ikut memanjakan mata untuk tidak beranjak. Hembusan angin Bosphorus yang cukup dingin tak mampu mengusirku untuk pergi, hilir mudik warga Turki menjadi pemandangan penghias pandang. Ramai sekali tempat ini, datang dan pergi, itulah kalimat yang pas untuk orang-orang yang berjalan gesit di depan halte.

Tak lama kemudian, seorang wanita muda Turki datang sambil terisak-isak menahan tangis, sisa tangisan masih tampak di wajahnya saat ia mendekati orang yang tadi mengusik perhatiaku, sepertinya ia belum puas menangis tapi terpaksa harus berhenti menangis. Ia duduk di halte dan memangku tas kesayangannya. Dalam posisi duduk, ia menurunkan kepalanya, merebahkan kepalanya ke pangkuan kakinya sambil kembali menangis, aku yang melihat pemandangan ini terheran-heran. Aku mau bertanya, tapi sungkan, lagi pula ia wanita, dan bukan muhrimku.

Sesekali ia mengangkat wajahnya dan menampakan sinar mata yang memancarkan dendam dan kemarahan.

Bapak-bapak yang duduk dari tadi, yang mengusik perhatianku dengan tasbih di tangannya, memberanikan diri bertanya kepada wanita itu.

“Apa yang terjadi denganmu nak?”

Seperti kepada seseorang yang sudah dikenalnya, wanita muda itu langsung menumpahkan isi hatinya, seperti curhat kepada orang kepercayaannya.

“Bapak, Allah seolah sedang membelakangiku. Berbusa sudah bibirku untuk berdoa, tetapi sedikitpun tidak didengar oleh-Nya. Tebal sudah keningku bersujud kepada-Nya namun tak membuahkan hasil apa-apa. Orang tuaku tergolong kaya, tetapi mereka bejat

karena kekayaannya, papaku tak pernah di rumah, sibuk main dengan gadis-gadis belia yang seharusnya menjadi anaknya. Mamaku tak mau kalah, diam-diam main serong dengan seorang pemuda. Aku kesepian, kering kasih sayang, main cinta, mabuk-mabukan, dan aku frustasi. Setelah itu, aku merasa berdosa, dosa besar, lalu insyaf. Aku tempuh jalan untuk kembali kepada Allah. Beribadah dan berdoa kulakukan setiap hari, namun sepertinya Allah enggan melihatku. Allah tak menghargai jerih payahku. Allah mengingkari janji-Nya. Lalu, aku bertanya, apa artinya agama? Dimana kemurahan Allah yang katanya Maha Pemurah? Aku putus asa, benci pada semua orang, benci pada kehidupan, bahkan akhirnya aku benci pada Allah yang ikut memalingkan wajah-Nya padaku….”

Aku yang ikut mendengar kisah wanita muda Turki itu ikut prihatin dengan nasibnya, dan ikut geram dengan makiannya kepada Allah. Berbeda dengan bapak-bapak yang diajak curhat, dengan tenang ia menjawab keluh kesah sang wanita tadi.

“Anakku yang baik, maukah engkah mendengar sedikit kisah dariku?”

Wanita tadi mengangguk, dan aku juga penasaran dengan kisah seperti apa yang akan disampaikan si bapak.

“Dulu… aku pernah punya tetangga, keluarga muda yang miskin, istrinya memang cantik, tapi malang sekali, musibah datang bertubi-tubi menimpa mereka. Anak kesayangannya meninggal tenggelam di sungai. Suaminya tertabrak truk. Kakinya patah dan akhirnya lumpuh, ia tak bisa bekerja lagi. Si istri itu nyaris gila. Akhirnya tak mampu bertahan, ia lalu pergi meninggalkan suaminya dan mengambil jalan pintas jadi pelacur.”

Aku sedikit menggeserkan posisi duduk, mendekat ke bapak-bapak itu, ingin mendengar lebih jelas karena deru angin Bosphorus semakin kencang. Bapak itu lalu melanjutkan.

“Anakku, aku juga punya sahabat seorang guru ngaji. Ia rajin memberikan fatwa keagamaan. Suatu saat di kampungnya dilanda wabah flu babi. Banyak penduduk meninggal dunia. Ia pun berkhutbah bahwa, ‘wabah itu azab Allah, maka hendaknya kita bertobat, beribadah dan berdoa kepada Allah mohon ampunan-Nya, Allah pasti akan melindungi kita.’ Itu katanya. Namun, wabah tidak juga berhenti bahkan menimpa dirinya. Anak kesayangannya mati karena virus itu, kemudian ia goncang, rumus pikirannya berantakan, lantas ia memberontak pada Allah dan murtad.”

Murtad? Sampai kesana arah yang dituju ustadz tadi. Aku semakin penasaran, mengarah kemana kisah-kisah pendek dari sang bapak itu.

“Anakku, selain dari itu, aku juga pernah punya teman yang lain. Ia punya dua orang istri di dua kota, tanpa sepengetahuan istrinya yang lain. Beberapa puluh tahun kemudian ia

pulang dari merantau. Ia terkejut, anaknya dari istri pertama menikah dengan anaknya dari istri kedua. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka saudara seayah. Tapi mereka hidup damai penuh bahagia. Sang ayah ingin menjelaskan bahwa antara mereka masih bersaudara dan haram menikah. Tetapi ia tak tega, karena mereka harus bercerai dan hidup menderita. Mana ada ajaran moral yang menghendaki penderitaan manusia, pikirnya. Akhirnya sang ayah memilih membiarkan rumah tangga anaknya tetap utuh demi moral manusianya. Ia menolak syariat agama.”

Kisah ketiga ini tidak kalah menariknya, apakah ada kisah lain yang akan disampaikan si bapak, aku memasang aba-aba telinga agar lebih fokus mendengar.

“Itulah anakku, ketiga orang itu tersungkur. Namun pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Yunus? Ia ‘lari’ dari kaumnya yang menolak seruannya menyembah Allah. Ia menderita, lalu menumpang sebuah kapal, tetapi kapal itu nyaris tenggelam karena kelebihan penumpang. Ia lalu dibuang ke laut, belum cukup juga penderitaannya ia lantas dimakan ikan besar. Dalam perut ikan besar itu, Nabi Yunus berdoa; ‘Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang yang menganiaya diri sendiri.’ Setelah itu ia dilemparkan Allah ke daerah yang amat tandus. Cobaan macam apa itu? Tetapi Nabi Yunus toh bisa bertahan.

Pernahkah pula engkau mendengar kisah Nabi Musa? Ia saksikan Nabi Khidir membunuh anak kecil. Musa tersentak, akal pikirannya menggugat, kecemerlangan otak yang diandalkannya itu macet dan beku, tetapi Nabi Musa sadar ketika Nabi Khidir menjelaskan semuanya. Dan, ia tidak lagi menyombongkan kehebatan daya pikirnya.

Anakku, pernahkah juga engkau mendengar kisah Nabi Ibrahim? Lama ia merindukan anak. Ia memohon kepada Allah agar dikaruniai keturunan. Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar, dari wanita itu lahirlah Ismail yang dicintainya. Tetapi Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih anak kesayangannya itu. Ajaran moral mana yang mangajarkan seorang bapak membunuh anaknya? Pandangan moral Nabi Ibrahim terguncang hebat, namun ia memilih patuh pada Tuhannya.”

Belum selesai si bapak menjelaskan, wanita muda Turki itu menyela, “Tapi, Nabi Yunus, Musa, Ibrahim adalah nabi, bapak! Mereka Rasul Allah, sedangkan aku orang biasa, mana mampu aku seperti mereka?”

Sambil tersenyum, dan terus memutar bulir tasbihnya, bapak itu menjawab, “Rasul diturunkan untuk kita teladani, anakku, kisah-kisah mereka merupakan simbol yang penuh makna.”

Wanita muda itu rupanya memiliki rasa penasaran seperti yang aku miliki, hikmah besar apa yang akan disampaikan si bapak, wanita muda itu bertanya, “apa gerangan makna kisah-kisah itu, bapak?”

*** PELAJARAN

Lanjutan….

“Dari Nabi Yunus, Musa dan Ibrahim kita kenali tiga ‘chaos’ atau kekacauan dalam hidup manusia. Pertama adalah kekacauan batas kemampuan. Kedua, kekacauan batas pikiran dan ketiga kekacauan visi moral. Itulah benturan-benturan dahsyat dalam hidup manusia. Maka persoalannya adalah, kita harus tetap tegar menghadapi ujian hidup dan berdoa kepada Allah, memohon pertolongan-Nya, karena hanya Dia yang mampu memberikan pertolongan. Kita harus bersabar, karena Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan kita. Dan, Allah pasti punya rencana yang lebih baik buat kita, sebagaimana rencana yang lebih baik setelahnya buat Nabi Yunus, Musa, dan Ibrahim.”

Kemudian, air bening bercucuran dari mata wanita muda itu, namun diimbangi dengan senyuman, senyum bahagia.

Lalu, bapak itu berpamitan karena bus yang ditunggunya sudah datang, aku kaget karena tujuannya adalah Bayrampasa, padahal sudah banyak bus yang datang silih berganti dengan tujuan Bayrampasa, karena tujuanku juga kesana, pulang. Maka, aku ikuti bapak itu.

Gundah Gulana Seorang Pemuda

Di serambi sebuah masjid, Izzudin mengeluh pada sahabat baiknya, namanya Galih, “Tolong aku Galih, aku merasa diriku ini sakit, hatiku selalu gundah, tidak tenang, dan aku merasa gersang, hatiku kering kerontang, aku merasa…, jauh dari Tuhan. Tolonglah aku, apa yang harus aku lakukan?”

Galih dan Izzudin yang semula janjian bertemu di serambil masjid, beranjak menuju ke dalam masjid, Galih mengajak sahabatnya itu untuk masuk ke dalam masjid, mencari salah satu sudut yang nyaman untuk mengobrol berdua.

“Din, coba ceritakan lebih spesifik, apa yang kamu maksudkan?” pinta Galih.

“Aku merasa kehilangan kenikmatan ibadah. Aku sudah tidak seperti dahulu, yang khusyuk shalat, yang senang berada di masjid, yang senang shalat sunnah, senang baca qur’an. Saat ini, aku masih melakukan itu semua, tapi perasaanku itu hanya sebagai rutinitas biasa, yang tidak mengandung kenikmatan ketika menjalaninya.” Jelas Izzudin.

“Din, aku tak bisa menolong apapun dan aku tak bisa mengobati penyakitmu. Aku bukan dokter, apalagi untuk kondisi yang kamu ceritakan. Namun, engkau jangan putus asa, ada yang bisa menyembuhkanmu.”

“Siapa itu? Beritahukan padaku.” Selisik Izzudin penuh penasaran.

“Allah Swt. Mohonlah petunjuk pada-Nya. Ketahuilah hanya dia yang bisa menyembuhkan penyakitmu itu.”

“Bagaimana caranya, aku tak tahu!”

“Cobalah untuk memperbanyak zikir dan rajin shalat malam. Berdoalah, minta padanya agar hatimu diganti dengan hati yang lain, hati yang selalu cenderung pada ketakwaan, hati yang takut pada Allah. Hati yang selalu basah karena zikrullah. Cobalah! Karena aku mengira engkau sudah meninggalkan amalan ini, amalan zikir dan shalat malam.”

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 70-89)