• Tidak ada hasil yang ditemukan

KISAH INSPIRATIF PARA ULAMA

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 116-130)

Dakwah Bilhikmah Para Ulama

Tahu lagu Tombo Ati? Yang liriknya seperti ini:

Tombo Ati (Obat Hati)

Tombo Ati iku limo perkorone

Kaping pisan moco Qur’an lan maknane Kaping pindo sholat wengi lakonono Kaping telu wong kang sholeh kumpulono Kaping papat kudu weteng ingkang luwe Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe Salah sawijine sopo iso ngelakoni Mugi-mugi Gusti ALLOH nyembadani

Beberapa siswa yang saya tanya, siapa pencipta lagu ini, jawabnya Opick. Benarkah? Salah. Yang benar, pembuat lagu ini adalah Sunan Bonang (Syekh Maulana Makdum Ibrahim). Dalam metode dakwahnya, beliau menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat Jawa yang menggemari wayang dan musik gamelan, maka beliau mencipta lagu ini. Sungguh, suatu dakwah yang melihat latar belakang objeknya. Penuh hikmah. Penuh bijaksana.

Karya Sastra Sunan Bonang, banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil, antara lain Suluk Wijil. Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Pendekatan lokal ini, bijak untuk ditiru.

Selain Sunan Bonang, pendekatan kultural, juga dilakukan oleh adik Sunan Bonang, yaitu Sunan Drajat (Syekh Syarifuddin). Pendekatan kultural yang beliau lakukan, yakni dengan menciptakan tembang pangkur. Lagi-lagi tembang. Selain itu, perhatian serius Sunan Drajat pada masalah sosial dan orientasi kegotong royongan juga mumpuni dalam hasil dakwahnya. Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal sosiawan sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin, terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan ajaran. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan

untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha kearah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempunyai otonomi.

Dan, yang paling popular dalam pendekatan budaya adalah Sunan Kalijaga (Raden Syahid, Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, Raden Abdurrahman). Dakwahnya begitu intelektual dan aktual, sehingga para bangsawan dan cendekiawan banyak yang bersimpati padanya. Beliau yang mengembangkan wayang menjadi media dakwah dengan cerita bercorak Islami. Mengembangkan seni suara, seni ukir, seni busana, dan seni pahat dan kesusastraan. Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi.

Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Kedua tembang ini, hingga kini masih ditembangkan.

Sunan Kalijaga-lah yang menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu (”Petruk Jadi Raja”). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga. Metode dakwah tersebut sangat efektif, merebut hati, bukan merebut tembok. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Kita merindukkan sosok pendakwah yang tidak melulu bilang bid’ah, sesat, kafir, terhadap orang lain. Kita merindukan sosok pendakwah, yang memperhatikan kultur (budaya), dalam dakwahnya. Alangkah mirisnya, jika kemudian ada sosok budayawan yang sebenarnya adalah pendakwah, dibilang sesat, syi’ah, dan embel-embel negatif lainnya. Marilah, kita berkaca pada sejarah. Jasmerah, jangan lupakan sejarah, begitulah pesan Bung Karno.

Begitu banyak bukti, bahwa para susuhunan amat memperhatikan lingkungan objek dakwahnya. Seperti pendekatan kultural yang dilakukan oleh Sunan Kudus (Syekh Jakfar Shadiq). Penyebaran agamanya dilakukan dengan pendekatan kultural, menciptakan berbagai cerita agama, bernama gending mijil. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat masjid yang disebut Masjid Menara Kudus. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk

menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.

Masih ada contoh lain, yang merupakan sesepuh para sunan, yaitu Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim), berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Beliau juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka, sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Kemudian beliau mendirikan pondokan untuk belajar agama. Tapi sebelum menyentuh kepada ajaran agama, beliau menyentuh hati masyarakat terlebih dahulu.

Lalu, siapakah yang kini yang melanjutkan dakwah para sunan? Dalam kacamata saya, tokoh nasional yang getol melakukan dakwah bilhikmah seperti para sunan, adalah Emha Ainun Najib (mbah Cak Nun). Siapa beliau? Wikipedia memberi penjelasan bahwa mbah Cak Nun (lahir di Jombang, 27 Mei 1953; umur 63 tahun) adalah seorang tokoh nasional dan intelektual berkebangsaan Indonesia yang mengusung napas Islami. Menjelang kejatuhan pemerintahan Soeharto, Cak Nun merupakan salah satu tokoh yang diundang ke Istana Merdeka untuk dimintakan nasihatnya yang kemudian kalimatnya diadopsi oleh Soeharto berbunyi "Ora dadi presiden ora patheken". Emha juga dikenal sebagai seniman, budayawan, penyair, dan pemikir yang menularkan gagasannya melalui buku-buku yang ditulisnya.

Dalam kesehariannya, Mbah Cak Nun terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan, beliau juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10 sampai15 kali per bulan bersama Gamelan Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40 sampai 50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Kajian-kajian islami yang diselenggarakan oleh mbah Cak Nun antara lain:

Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki.

Mocopat Syafaat Yogyakarta

Padhangmbulan Jombang

Gambang Syafaat Semarang

Bangbang Wetan Surabaya

Paparandang Ate Mandar

Obro Ilahi Malang, Hongkong dan Bali

Juguran Syafaat Banyumas Raya

Maneges Qudroh Magelang

*** PELAJARAN

Semoga, semakin banyak tokoh umat Islam yang dakwah bilhikmah, penuh kebijaksanaan, membaur dan merangkul adat istiadat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, sehingga masyarakat tergerak untuk mengamalkan ajaran Islam.

Doa Sia-sia Karena Sebutir Kurma

Seorang ulama ahli ibadah bernama Ibrahim bin Adham, telah selesai menunaikan ibadah haji, lalu ia ingin melanjutkan perjalanannya menuju Masjidil Aqsa. Sebelum berangkat, beliau membeli satu kilo kurma kepada pedagang tua yang ada di sekitar Masjidil Haram, sebagai bekal perjalanannya ke Palestina.

Pedagang tua itupun membungkuskan dan menimbang kurma untuk Ibrahim bin Adham, sesaat setelah proses menimbang selesai, Ibrahim melihat satu butir kurma dekat bungkusan kurma untuknya, tanpa pikir panjang, ia memungut dan memakannya, karena menyangka itu bagian dari kurma yang dibelinya.

Setelah transaksi itu, Ibrahim bin Adham pun berangkat menuju Palestina, butuh waktu empat bulan perjalanan untuk sampai disana waktu itu. Ibrahim mencari lokasi favoritnya untuk beribadah, yakni di bawah kubah Sakhra. Sakhra adalah kubah di Yerusalem, juga dikenal dengan nama Pierced Stone karena memiliki lubang kecil di pojok tenggara untuk memasuki gua yang berada dibawahnya, yang dikenal dengan nama "Well of Souls". Tempat ini merupakan lokasi Holy of Holies, dan merupakan tempat suci dalam Yahudi dan Islam.

Saat Ibrahim berdoa dengan khusyuk disana, jiwa sucinya mampu mendengar percakapan dua malaikat tentang dirinya.

“Itu, Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara’ yang doanya selalu dikabulkan Allah Swt,” kata malaikat yang satu.

“Tetapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena empat bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua dekat Masjidil Haram,” jawab malaikat yang satu lagi.

Bukan main terkejutnya Ibrahim bin Adham, pikirannya menerawang ke transaksi jual beli empat bulan yang lalu, dan ia teringat ketika membeli kurma dekat Masjidil Haram.

Karena kejadian itu, ibadahnya, solatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah gegara memakan sebutir kurma yang bukan haknya.

“Astaghfirullâhal azhim,” Ibrahim beristigfar.

Kemudian, Ibrahim segera berkemas untuk kembali ke Mekkah, untuk menemui pedagang tua penjual kurma untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.

Begitu Ibrahim sampai di Mekkah, ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda. “Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua, kemana ia sekarang?” tanya Ibrahim.

“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma,” jawab anak muda itu.

“Innalillâhi wa innâilaihi râji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?”. Lantas ibrahim menceritakan peristiwa yang dialaminya, anak muda itu mendengarkan penuh minat.

“Nah, begitulah” kata ibrahim setelah bercerita, “Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?”

“Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya.”

“Di mana alamat saudara-saudaramu? biar saya temui mereka satu persatu.”

Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui mereka. Biar berjauhan, Ibrahim rela melakukannya, dan dengan izin Allah, akhirnya selesai juga. Semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim bin Adham.

Beberapa bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada di bawah kubah Sakhra lagi. Tiba tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap-cakap. “Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gegara makan sebutir kurma milik orang lain.”

“O, tidak.., sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat halalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas.”

*** PELAJARAN

Berhati-hatilah dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh kita, sudah halalkah? lebih baik tinggalkan bila ragu-ragu (syubhat), apalagi sampai mengkonsumsi yang haram. Di antara penghalang doa yang paling besar adalah memakan sesuatu yang haram. Nabi Saw bersabda:

َو ماَرَح ُهُمَعْطَمَو ِِّبَر َيَ ِِّبَر َيَ ِءاَمَّسلا َلَِإ ِهْيَدَي ُّدَُيَ َرَ بْغَأ َثَعْشَأ َرَفَّسلا ُليِطُي َلُجَّرلا فِ

ماَرَح ُهُسَبْلَمَو ماَرَح ُهُبَرْشَم

َكِلَذِل ُباَجَتْسُي َّنََّأَف ِماَرَْلِْبِ َىِذُغَو

“(Kemudian Nabi Saw menceritakan tentang) seorang laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut, masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a: “Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan memperkenankan doanya?”

Apel Pengantar Jodoh

Kita tentu pernah mendengar nama Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit, pendiri mazhab Hanafi, seorang yang cerdas dan alim. Bahkan ada sebuah perbandingan, jika seandainya seluruh otak masyarakat Madinah digabung, belum cukup untuk menandingi kecerdasan Imam Abu Hanifah. Beliau lahir dari seorang ayah dan ibu yang shalih dan diridhai Allah. Berikut ini adalah kisah pertemuan orangtua Imam Abu Hanifah.

Tsabit bin Ibrahim, lelaki shalih luar biasa itu sedang berjalan di pinggiran kota Kufah, Irak. Cuaca benar-benar panas ketika itu, hingga membuat siapapun yang berjalan di luar rumah akan kehausan.

Lalu, Allah takdirkan ia menemukan satu buah apel tergeletak di hadapannya. Karena kehausan luar biasa, tanpa pikir panjang ia memakannya. Belum habis buah itu di tangannya, ia segera tersadar bahwa apel itu bukan miliknya, "Astaghfirullâh, aku memakan yang bukan

hakku. Siapakah pemilik apel ini?" gumam Tsabit.

Takut apel itu akan menjadi daging haram di tubuhnya dan menghalangi setiap doanya, ia pun gelisah. Tanpa pikir panjang, ia bergegas mencari siapa pemilik buah apel itu. Setelah menelusuri jalan yang dilaluinya, mencari pohon apel di sekitar tempat itu, ia sangat berharap agar si pemilik apel mau merelakan apel yang ada di tangannya itu untuk dimakan.

Benar saja, tidak jauh dari lokasi ditemukannya apel, ada banyak pohon apel dengan buahnya yang banyak di sebuah kebun. Apel ini mungkin dari sana sumbernya, begitu pikir Tsabit.

Setelah mencari-cari sang pemilik, tak lama kemudian Tsabit bertemu dengan orang yang ada di sekitar kebun apel tersebut, dan menceritakan maksud kedatangannya.

Lelaki tersebut berkata, "Saya bukan pemilik apel itu. Saya hanyalah seorang penjaga kebun di sini."

"Baiklah, jika demikian di manakah rumah majikanmu?"

"Butuh waktu sehari semalam untuk tiba di sana. Perjalanannya pun tidak mudah. Mengapa tidak kaumakan saja apel itu? Toh, ia tidak akan memedulikan sebuah apel itu karena hasil kebunnya begitu melimpah ruah!" usul si penjaga kebun.

"Sejauh apa pun rumahnya, aku harus tiba di sana meskipun harus melalui berbagai rintangan. Sebagian apel ini sudah aku telan, artinya di dalam tubuh ini terdapat makanan yang tidak halal bagiku karena belum meminta izin pemiliknya. Bukankah Rasulullah Saw. bersabda, 'Setiap daging yang tumbuh dari makanan haram maka api nerakalah yang layak baginya' " tukas Tsabit tegas.

Keteguhan hati Tsabit membuat penjaga kebun apel itu kagum dan memberitahukan alamat tuannya. Tsabit berterima kasih atas kesediaan penjaga kebun memberi tahu alamat majikannya. Tanpa buang waktu, Tsabit segera beranjak menuju rumah pemilik apel.

Setelah berjalan sehari semalam menempuh perjalanan yang tidak mudah, akhirnya sampai juga Tsabit di rumah pemilik kebun apel. Ia mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam. Seorang lelaki tua membukakan pintu untuknya.

"Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, ada apa anak muda?" tanyanya. Rupanya dialah pemilik kebun itu.

"Wahai Tuan, kedatangan saya kesini untuk meminta keikhlasanmu atas buah apel yang terlanjur aku makan. Semoga engkau memaafkanku," Tsabit menjelaskan apa yang merisaukannya kepada si pemilik kebun.

Pemilik kebun menyimak dengan seksama. Lalu ia berkata, "Aku tidak akan menghalalkannya kecuali dengan satu syarat!"

"Apakah itu, Tuan?"

"Kamu harus menikahi putriku dan aku akan menghalalkan apel itu untukmu."

Tentu saja Tsabit terkejut dengan syarat itu. Haruskah ia menebus kesalahannya dengan pernikahan? Belum habis keterkejutan Tsabit, lelaki tua pemilik apel itu melanjutkan, "Putriku bisu, tuli, buta, dan lumpuh. Bagaimana? Apakah kamu menyanggupinya?"

Tsabit makin terkejut. Ia harus menikahi perempuan cacat yang akan mendampinginya seumur hidup. Namun, ia tidak memiliki pilihan lain, jika jalan ini dapat membuka pintu ampunan Allah Swt, ia harus menjalaninya dengan ikhlas. Tsabit pun menyanggupinya.

Akhirnya pernikahan pun berlangsung, tanpa Tsabit lihat terlebih dahulu calon istrinya, dan ketika pernikahan itu dilangsungkan, mempelai wanita juga berada di dalam rumah, menanti disana. Baru setelah akad selesai dilaksanakan, Tsabit diperkenankan menemui istrinya.

Setelah ditunjukkan kamar dimana istrinya berada, Tsabit mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Tsabit hendak membuka pintu kamar, terdengar suara wanita menjawab salamnya. Ia urung masuk ke dalam kamar itu karena yang ia tahu istrinya bisu, tuli, dan buta, "Oh, maaf, aku salah kamar!" ujar Tsabit.

"Kau tidak salah. Aku istrimu yang sah!" kata wanita di dalam kamar itu, "silakan masuk, wahai suamiku!"

Tsabit benar-benar dibuat bingung dengan semua kejadian yang belakangan ini ia hadapi. Rasanya mustahil jika sang pemilik kebun berdusta tentang putrinya. Apa untungnya

bagi dia? Pikir Tsabit.

Ketika Tsabit masih berdiri tertegun di depan kamar, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Yang membuka adalah seorang wanita cantik yang sehat wal afiat tanpa cacat seperti yang dikatakan mertuanya. Ia makin yakin bahwa ini bukanlah istrinya. Tsabit bertanya kepada wanita yang berdiri di hadapannya itu, "Jika kau benar istriku, ayahmu berkata bahwa kau buta. Tetapi, mengapa kamu bisa melihat?"

"Ayahku benar, mataku buta karena tidak pernah melihat apa-apa yang diharamkan Allah," jawab putri pemilik kebun buah itu.

"Lalu, mengapa ayahmu mengatakan kamu tuli? Padahal, kau dapat mendengar salamku!" tanya Tsabit kembali.

"Itu juga benar, beliau tahu bahwa aku tidak pernah mau mendengar berita atau cerita yang tidak diridhai Allah Swt," jelas sang istri.

"Kau pun tidak bisu seperti yang dikatakan ayahmu? Apa artinya?"

"Aku bisu karena tidak pernah mengatakan dusta dan segala sesuatu yang tercela. Aku banyak menggunakan lidahku untuk menyebut asma Allah."

"Terakhir, apa maksud ayahmu mengatakan kau lumpuh?" tanya Tsabit lagi. "Itu karena aku tidak pernah pergi ke tempat-tempat yang dibenci Allah."

Betapa bahagianya Tsabit bahwa yang ia nikahi adalah sosok wanita salehah yang sempurna fisiknya. Dari hasil pernikahan mereka lahirlah ulama yang menjadi imam terbesar bagi umat Islam, yaitu Imam Abu Hanifah An-Nu'man bin Tsabit, guru dari para fuqoha umat Islam.

*** PELAJARAN

Sungguh, kisah cinta yang luar biasa. Kisah ini menjawab satu pertanyaan, bisakah mendapatkan jodoh tanpa pacaran? Jawabnya, bisa. Kisah ini adalah buktinya.

Rasulullah Saw pernah berpesan dalam sabdanya, "Berjanjilah kepadaku enam hal dan aku akan menjanjikan engkau surga. Bicaralah jujur (benar), tepati janjimu, penuhi kepercayaanmu, jaga kesucianmu, jangan melihat yang haram, dan hindarilah apa yang dilarang." (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).

Penyesalan Syaikh Ubaidillah al-Qawariri

Mungkin kita sudah familiar dengan nama Imam Bukhari dan Imam Muslim, kisah ini datang dari guru beliau, seorang ulama besar bernama Ubaidillah al-Qawariri. Seorang ulama yang mumpuni dalam bidang hadits.

Suatu ketika, setelah Shalat Magrib, ada tamu berkunjung ke rumahnya. Ia pun menerima tamu tersebut dengan penuh hormat. Saking hormatnya kepada tamu, ia pun harus tertinggal Shalat Isya. Setelah tamunya pulang, ia segera pergi ke masjid. Ternyata, di masjid sudah tidak ada jamaah. Akhirnya ia mengajak orang-orang di sekitarnya untuk melaksanakan Shalat Isya berjamaah. Akan tetapi, seluruh masyarakat di sekitar masjid sudah melaksanakan Shalat Isya berjamaah di masjid.

Dengan hati resah, ia menyesal telah kehilangan kesempatan mendapatkan pahala 27 derajat. Untuk menebus kelalaian dan menentramkan hatinya, Ubaidillah melakukan Shalat Isya sebanyak 27 kali. Usai shalat, ia pun beranjak tidur.

Di dalam tidurnya, Ubaidillah bermimpi sedang berkuda di belakang serombongan penunggang kuda yang gagah perkasa. Derap kuda-kuda mereka begitu cepatnya sehingga Ubaidillah dan kudanya tertinggal di barisan paling belakang.

Salah seorang penunggang kuda menoleh ke Ubaidillah dan berseru, “Wahai Ubaidillah, jangan engkau susahkan kudamu itu dengan menyuruhnya berlari lebih cepat lagi. Bagaimana pun tak akan dapat menyusul kami.”

“Mengapa begitu? Kenapa aku tak mungkin menyusul kalian?” Tanya Ubaidillah keheranan. “Karena kami Shalat Isya berjamaah, sedangkan engkau shalat sendirian.” Jawab seorang penunggang kuda.

Ubaidillah Al-Qowariri terbangun dan beristighfar. Mimpi itu rupanya telah memberinya gambaran bahwa meski dia telah melakukan 27 kali Shalat Isya, hal itu tetap tak dapat disamakan dan dibandingkan dengan 27 kali lipat pahala kebaikan shalat berjamaah.

Maka dengan sedih Ubaidillah menyesali kelalaiannya meninggalkan shalat berjamaah hanya demi melakukan aktivitas yang bisa ditundanya sejenak, yaitu melayani tamu. Dan sejak itu, Ubaidillah bertekad untuk tidak pernah lagi ketinggalan shalat berjamaah. Kebaikan shalat berjamaah tak tergantikan dengan mengulangi shalat hingga 27 kali.

*** PELAJARAN

Mengenai hadits keutamaan shalat berjamaah, bisa kita temukan dalam kita Shahih Bukhari. Imam al-Bukhari ra berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibn Yusuf yang berkata: Telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi’, dari Abdullah ibn Umar ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Shalat berjama’ah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Sahih Bukhari, hadis no. 609. Selain oleh al-Bukhari, hadis ini juga diriwayatkan oleh: Muslim, hadis no. 1038-1039; al-Tirmizi, hadis no. 199; al-Nasa’i, hadis no. 828; Ibn Majah, hadis no. 781; Ahmad, hadis no. 4441, 5080, 5518, 5651 dan 6166; Malik, hadis no. 264).

Kisah Belajar Ibnu Hajar (Anak Batu)

Ada seorang ulama besar bernama Ibnu Hajar al-‘Asqalany. Ibnu Hajar, kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, artinya anak batu, dan bukan berarti secara harfiah beliau lahir dari batu. Nama aslinya adalah Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad. Asqalany adalah tambahan untuk namanya, dikarenakan kemasyhuran nenek moyangnya yang berasal dari Ashkelon, Palestina.

Kisah penamaan Ibnu Hajar disebabkan suatu kejadian yang beliau alami selama

Dalam dokumen BAGIAN KESATU OASE HIKMAH (Halaman 116-130)