• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan area-area yang perlu diperbaiki guna menguatkan sektor minerba,

kehutanan, kelautan dan penerimaan, dan

perpajakan

Indonesia merupakan satu diantara negara-negara di dunia memiliki keragamanan sumberdaya alam. Indonesia dikaruniai limpahan tambang dan mineral. Juga, kekayaan hayati dan beranekaragam sumber energi. Berlimpahnya sumberdaya alam sejatinya merupakan modalitas menciptakan masyarakat adil dan makmur. Singkatnya, sebagai bagian dari faktor produksi, bergelimangnya sumberdaya alam sekiranya mampu dikelola dan dimanfaatkan secara bijak diyakini mampu meningkatkan derajat pembangunan bangsa. Kekinian, nafas pasal 33 UUD 1945 yang seharusnya menjadi roh pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam belum ditegakkan secara sempurna. Alhasil, besarnya nilai produksi pengelolaan sumberdaya alam tidak serta merta diikuti peningkatan kesejahteraan rakyat. Alih-alih mensejahterakan seluruh bangsa, rakyat acapkali menerima dampak negatif dari keberlangsungan suatu kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam. Situasi sebagaimana tergambarkan dalam kajian evaluasi lingkungan hidup yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup di 9 (sembilan) lokus pertambangan (tabel 5) .

Tabel 5.

Perhitungan Nilai Manfaat Kegiatan Pertambangan

No. Kabupaten Tambang NPV_Operasional NPV_Natural Capital Nilai Manfaat

(NPV Op - NPV NC) 1. Bangka Barat 12.102.457.903.347 348.155.236.596.176 -336.052.778.692.829 2. Belitung Timur -5.231.313.490.006 56.181.302.813.870 -61.412.616.303.876 3. Bogor 5.768.912.145.807 774.198.441.721 4.994.713.704.086 4. Konawe Utara 13.515.465.535.837 4.222.213.186.950.670 -4.208.697.721.414.830 5. Morowali 16.170.165.582.477 261.545.397.214.328 -245.375.231.631.851 6. Tanah Bumbu 1.911.122.383.067 508.625.428.294.042 -506.714.305.910.975 7. Tanah Laut -41.455.750.477.313 503.816.769.624.241 -545.272.520.101.554

No. Kabupaten Tambang NPV_Operasional NPV_Natural Capital Nilai Manfaat (NPV Op - NPV NC)

8. Kutai Kartanegara 408.759.195.211.725 990.198.884.578.721 -581.439.689.366.996

9. Kutai Timur -39.722.566.342.932 4.829.731.835.634.110 -4.869.454.401.977.040

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup, 2013

Disisi lain, terungkapnya kasus korupsi di sektor sumberdaya alam menjadi fakta sempurna carut marutnya pengelolaan sumberdaya alam yang ada. Keberlimpahan kekayaan alam acapkali dimanfaatkan semata memperkaya kelompok ataupun individu. Hal yang tentu saja kontradiktif mengingat pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tegas mengamanahkan ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. .

Dalam kaitan tersebut, kajian-kajian yang telah dilakukan KPK di bidang sumberdaya alam, patut ditindaklanjuti anggota DPR untuk memastikan disain kebijakan maupun pengelolaan sumberdaya alam selaras dengan amanat konstitusi. Setidaknya terdapat empat sektor yang memerlukan perhatian anggota DPR. Ketiganya adalah pertambangan (khususnya mineral dan batubara), minyak dan gas, kehutanan, serta perikanan dan kelautan.

Mineral dan batubara

Di sektor pertambangan, hasil kajian KPK menemukan 10 (sepuluh) aspek penting terkait pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, yang diwajibkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, namun hingga kini belum selesai dilaksanakan87. Kesepuluh aspek tersebut adalah:

Satu, renegosiasi Kontrak (34 Kontrak Karya (KK) dan 78 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)).

Pasal 169 UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) mewajibkan adanya penyesuaian ketentuan yang tercantum dalam kontrak dengan UU Minerba paling lambat 1 (satu) tahun sejak 12 Januari 2009. Sejalan dengannya, dalam kerangka acuan pemerintah terkait renegosasi, setidaknya terdapat enam hal yang akan dinegosiasikan ulang dengan pemegang kontrak. Hal tersebut mencakup: luas wilayah kontrak, penerimaan negara, divestasi, penggunaan komponen dalam negeri, tenaga kerja, 87Hasil kajian Direktorat Penelitian & Pengembangan, KPK, 2013.

dan pengolahan dan pemurnian. Akan tetapi hingga saat ini, belum seluruh kontrak baru (hasil renegosasi) ditandatangani bersama antara pemerintah dengan pemegang kontrak. Dua, peningkatan nilai tambah dalam bentuk pengolahan dan pemurnian hasil tambang mineral dan batubara.

Pasal 170 UU No. 4 tentang Minerba mewajibkan adanya kegiatan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang kontrak karya yang sudah berproduksi, paling lambat 12 Januari 2014. Sementara, kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan mineral oleh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) operasi produksi sesuai dengan pasal 112 PP No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara paling lambat dilakukan 12 Januari 2014. Hingga saat ini pemerintah belum mengambil sikap yang tegas terkait dengan kewajiban pemurnian oleh KK dan pengolahan dan pemurnian oleh IUP dan IUPK. Bahkan pemerintah memberikan kelonggaran (relaksasi) kepada KK dan IUP/IUPK untuk mengekspor bahan mentah mineral (ore) hingga 12 Januari 2017.

Tiga, penataan Kuasa Pertambangan /Izin Usaha Pertambangan.

UU Minerba mewajibkan adanya penyesuaian Kuasa Pertambangan menjadi Izin Usaha Pertambangan. Namun, berdasarkan hasil evaluasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, jumlah IUP yang belum berstatus clean and clear sebesar 4.912 (44,99 persen) dari sebanyak 10.916 IUP. Persentase tersebut baru mempertimbangkan aspek administrasi, kewilayahan, serta keuangan (PNBP), dan belum memperhatikan aspek lingkungan, pajak, kehutanan, pertanahan, tata ruang, dan pertanahan.

Empat, peningkatan Kewajiban Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation).

UU Minerba mewajibkan adanya pemenuhan kebutuhan dalam negeri sebelum hasil tambang mineral dan batubara diekspor. Namun, hingga saat ini belum ada upaya sistematis dari pemerintah untuk meningkatkan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri, antara lain melalui sinergi dari industri ekstraktif dengan sektor hilir yang menyerap bahan tambang

sebagai bahan bakunya. Akibatnya, sebagian besar barang tambang mineral dan batubara dieskpor ke luar negeri.

Lima, pelaksanaan kewajiban pelaporan secara reguler.

UU Minerba mewajibkan pemegang KK, PKP2B, IUP, dan IUPK melaporkan secara reguler kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Demikian pula kewajiban pelaporan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Faktanya, pemegang IUP banyak yang tidak melaporkan kegiatan pertambangannya kepada pemberi izin. Hal yang sama juga terjadi pada pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak melaporkan kegiatan pertambangan yang ada di wilayahnya secara reguler ke pemerintah pusat.

Enam, pelaksanaan Kewajiban Reklamasi dan Pascatambang.

UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya kegiatan reklamasi dan paska tambang oleh pelaku usaha pertambangan. Untuk menjamin pelaksanaan tersebut, pemegang izin/KK/PKP2B wajib menyerahkan jaminan reklamasi dan paska tambang sebesar yang sudah ditetapkan oleh pemberi izin. Faktanya, sulit menelusuri pelaksanaan penempatan jaminan reklamasi dan paska tambang. Hal ini disebabkan tidak semua pemerintah daerah melaporkan keberadaan jaminan tersebut kepada pemerintah pusat. Alhasil, pelaksanaan reklamasi dan kegiatan paska tambang tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Konsekuensinya, penanganan atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan menjadi terkatung-katung.

Tujuh, penerbitan aturan pelaksana dari UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Sesuai amanat pasal 174 UU Minerba, semua aturan pelaksana UU tersebut harus diselesaikan paling lambat 12 Januari 2010. Namun PP pelaksana UU tersebut ditetapkan setelah batas waktu 12 Januari 2010. Sebanyak 15 Peraturan Menteri ESDM (dari 22 Peraturan Menteri ESDM) sebagai pelaksana UU Minerba belum ditetapkan.

Untuk mendorong tata kelola pertambangan minerba yang lebih baik, sistem pendataan dilakukan dengan menggunakan aplikasi teknologi informasi. Hingga saat ini, data yang ada belum dikelola secara terintegrasi dan belum bisa dimanfaatkan untuk memonitor kegiatan pertambangan secara real time. Akibatnya terdapat perbedaan pencatatan produksi mineral dan batubara oleh berbagai instansi pemerintah. Untuk perbedaan data antara Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan Badan Pusat Statistik (BPS), di 2012, negara diperkirakan kehilangan pendapatan pajak sebesar Rp 28,5 Triliun.

Sembilan, pelaksanaan Pengawasan.

UU Minerba mewajibkan dilaksanakannya pengawasan secara intensif kepada pelaku usaha sejak dari perencanaan (eksplorasi), produksi, pengapalan/penjualan, hingga reklamasi dan pascatambang. Namun, jumlah pengawas (termasuk infrastruktur) di lapangan sangat terbatas. Oleh karenanya, kegiatan pengawasan tidak dapat berjalan secara optimal.

Sepuluh, optimalisasi penerimaan negara melalui pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak dan bukan pajak (royalti dan iuran tetap) dari pelaku usaha kepada pemerintah.

Kewajiban sebagaimana dimaksud tertuang dalam kontrak dan PP Nomor 9 Tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berada di Kementerian ESDM. Hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (Tim OPN) menunjukkan adanya kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha dari tahun 2003 sampai dengan 2011 sebesar Rp 6,7 Triliun. Demikian juga dengan hasil perhitungan berdasarkan evaluasi laporan surveyor, diperkirakan selisih pembayaran royalti oleh pelaku usaha di tahun 2011 sebesar US$ 24,66 juta untuk lima mineral utama. Ditambah, untuk kurun waktu 2010 sampai dengan 2012 terdapat selisih pembayaran royalti dari pelaku usaha sebesar US$ 1,22 miliar. Selain itu, hasil rekonsiliasi Ditjen Minerba Kementerian ESDM dengan pemerintah daerah di 8 (delapan) provinsi menunjukkan adanya nilai royalti sebesar US$ 546,11 juta dan iuran tetap sebesar Rp. 331,2 milliar yang belum disetorkan ke kas negara.

Hutan sebagai kekayaan Indonesia merupakan kesatuan utuh dalam sistem kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Di dalam hutan yang berfungsi sebagai ruang publik dan penyangga kehidupan, budaya dan peradaban lahir menjadi cara pandang bangsa tentang bagaimana rahmat sumber daya alam tersebut dimanfaatkan secara adil. Adil bagi sesama, maupun untuk masa yang akan datang. Visi bangsa inilah yang dituangkan dalam konstitusi Pasal 33 UUD 1945. Dalam cita yang demikian, hutan seharusnya dipandang sebagai kekayaan negara terbesar.

Kondisi aktual, praktik penguasaan hutan yang ada justru melupakan bagaimana hutan seharusnya dikelola sebagai bagian dan pembentuk sistem hidup bangsa Indonesia. Ketimpangan pengelolaan dan watak kebijakan sumber daya alam yang otoriter, kelemahan dalam tata kelola, dan ketidakpastian hukum berkelindan dengan salah satu musuh bangsa terbesar abad ini, yaitu korupsi.

Berbagai permasalahan yang terjadi dan terpapar saat ini seolah memberikan hipotesis bahwa perwujudan pasal 33 UUD 1945 di sektor kehutanan telah dikorupsi. Beberapa argumen di bawah ini mengkonfirmasi adanya masalah tersebut88:

1. Penguasaan ratusan juta hektar luas kawasan hutan belum sepenuhnya menjadi jalan kemakmuran bangsa dengan cara yang adil dan bermartabat. Dari total 41,69 juta hektar lahan hutan yang dikelola, hanya 1 persen yang diberikan kepada skala kecil dan masyarakat adat.

2. Deforestasi hutan terus terjadi tiap tahunnya. Deforestasi tidak hanya berdampak pada kerugian ekonomi, tetapi juga menjadi beban langsung yang harus ditanggung 80 juta masyarakat yang hidup dan menggantungkan hidupnya dari hutan.

3. Buruknya pengawasan hutan menyebabkan negara didera kerugian hingga Rp. 35 trilyun pertahun akibat pembalakan liar.

4. Kajian KPK tahun 2010 mengenai perencanaan kehutanan, mengkonfirmasi persoalan dalam tata laksana pengawasan pelaksanaan penggunaan kawasan hutan. KPK menemukan bahwa kelemahan pengawasan dalam izin pinjam pakai menyebabkan 88 Hasil Kajian Direktorat Penelitaian dan Pengembangan KPK, 2012.

terjadinya potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak akibat pertambangan di dalam kawasan hutan sebesar Rp 15,9 trilyun pertahun (tabel 6). Nilai ini berasal hanya dari wilayah Kalimantan, Sumatera dan Papua yang disebabkan oleh 1.052 usaha pertambangan dalam kawasan hutan yang tidak melalui prosedur pinjam pakai.

Tabel 6.

Potensi Kerugian Keuangan Negara dari Sektor Kehutanan dan Minerba

No. Deskripsi Rupiah U$D

1.

Potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) akibat pinjam pakai kawasan hutan oleh pertambangan di Kalimantan (2010)

15.900.000.000.000,00

2.

Potensi royalti yang tidak dibayarkan oleh perusahaan batubara dan mineral (Temuan Tim OPN 2003-2010)

6.777.607.062.722,36

3.

Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Mineral (Laporan Surveyor) dari 180 Perusahaan Pertambangan Mineral (2011)

24.661.547,49

4.

Potensi Kerugian Keuangan Negara berdasarkan verifikasi Data Ekspor Batubara (Laporan Surveyor) dari 198 Perusahaan Pertambangan Batubara (2010-2012)

1.224.212.608,84

5.

Potensi penerimaan pajak yang hilang akibat perbedaan data produksi batubara antara data Ditjen Minerba KemESDM dengan data BPS (2012)

28.500.000.000.000,00

6.

Piutang PNBP (iuran tetap dan royalti) pelaku usaha pertambangan minerba di 8 Provinsi (2011-2013)

331.275.179.147,00 546.111.426,00

TOTAL 51.508.882.241.869,40 1.794.985.582,33

5. Dalam kajian perizinan sumber daya alam yang dilakukan KPK di tahun 2013 diketahui bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam sangat rentan korupsi. Tercatat dari 27 regulasi yang mengatur pemanfaatan hasil hutan kayu dan penggunaan kawasan hutan, 13 regulasi diantaranya mudah disalahgunakan dan menjadi peluang bagi korupsi. Akibatnya, setiap bisnis proses perizinan penuh dengan suap, konflik kepentingan, perdagangan pengaruh, pemerasan, bahkan state capture corruption.

Kelautan dan Perikanan

Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kekayaan bahari yang luar biasa. Dengan luas perairan nusantara 2,8 juta km persegi, laut teritoral seluas 0,3 juta km persegi, panjang garis

pantai lebih dari 81.000 km dan lebih dari 18.000 pulau, sudah sepantasnya jika anggota DPR memberikan perhatian besar terhadap pengelolaan sektor kelautan dan perikanan.

Hasil kajian yang sementara ini dilakukan oleh KPK, menunjukkan sejumlah persoalan membelit pengelolaan sumber daya laut, perikanan, pesisir, dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Pada tataran regulasi, hingga saat ini undang-undang yang mengatur aspek kelautan secara menyeluruh belum disusun. Setali tiga uang, aturan perundangan terkait pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil belum sepenuhnya bisa dijalankan oleh karena aturan pelaksana setingkat peraturan pemerintah hingga peraturan menteri belum sepenuhnya diterbitkan. Demikian pula dengan regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya perikanan. Aturan dimaksud belum sepenuhnya dapat mendorong tata kelola yang berkeadilan, bahkan beberapa diantaranya memiliki nafas yang tidak selaras dengan amanat pasal 33 UUD 1945.

Pada tataran implementasi, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan juga dihadapkan pada persoalan lemahnya pengawasan. Dengan cakupan pengawasan dari Sabang sampai Merauke, armada pengawasan yang ada hingga saat ini belum mencukupi untuk menegakkan kedaulatan negara di sektor tersebut. Masih terdapat banyak kasus illegal, unreported,

unregulated (IUU) fishing di wilayah perairan nusantara hingga Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Hal ini berakibat hilangnya nilai ekonomi, sosial dan lingkungan di sektor tersebut. Dengan potensi sumber daya perikanan yang besar dan volume produksi perikanan tangkap mencapai 5,8 juta ton, penerimaan negara bukan pajak dari sektor tersebut di tahun 2013 hanya mencapai Rp 227,5 Miliar. Dalam kacamata KPK, PNBP yang diperoleh tersebut tidak sepadan dengan potensi yang ada.

Memperhatikan kondisi pengelolaan sumber daya alam di atas, sudah selayaknya anggota DPR memberikan perhatian ekstra agar permasalahan-permasalahan sebagaimana diurai diatas segera mendapat penanganan dari pemerintah. Anggota DPR mesti memastikan pemerintahan baru agar pengelolaan sumber daya alam dilandaskan semangat mengedepankan kepentingan rakyat banyak, terintegrasi dari hulu dan hilir dengan menghilangkan ego sektoral, memberikan porsi yang besar bagi kepentingan dalam negeri, memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan manfaatnya, dan menempatkan penataan ruang dan lingkungan hidup sebagai instrumen penting.

Semua hal di atas hanya dapat dilakukan jika pengambil kebijakan di sektor sumber daya alam memiliki integritas untuk mengelola sumber daya alam sesuai dengan amanat konstitusi. KPK dalam hal ini percaya dengan pendapat bahwa persoalan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam bukan semata-mata persoalan kerugian negara, namun juga merupakan kegagalan negara dalam mengelola sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Optimalisasi Penerimaan Pajak

Pajak sebagai sumber penerimaan negara utama sampai dengan saat ini merupakan komponen vital penyelenggaraan negara. Besarnya kontribusi pajak terhadap penerimaan negara terlihat dari rencana penerimaan pajak tahun 2013 sebesar Rp 1.042,32 triliun atau tumbuh 24,79% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Penerimaan tersebut memberikan kontribusi sebesar 68,14% dari rencana anggaran Pendapatan Negara Tahun 2013 sebesar Rp 1.529,67 triliun. Sumber-sumber penerimaan negara lainnya, yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), kepabeanan dan cukai, serta hibah, hanya menyumbangkan total 31,86 persen dari RAPBN 2013.

Salah satu di antara beberapa sumber penerimaan pajak yang tertinggi adalah sektor pertambangan. Berdasarkan laporan realisasi pajak tahun 2012, sektor pertambangan menempati lima besar sektor terbesar penerimaan pajak. Urutan peringkat teratas sampai peringkat lima, berturut-turut, adalah sektor industri pengolahan, perdagangan, perantara keuangan, pertambangan, dan transportasi.

Sektor pertambangan memberikan kontribusi lebih kurang 9 persen terhadap total pajak dalam negeri. Dari 9 persen itu, pertambangan batubara memberikan kontribusi lebih kurang 20 persen dari total pajak sektor pertambangan89.

Sektor pertambangan layak untuk disorot mengingat masih terdapat perusahaan tambang yang belum memenuhi kewajibannya, baik pajak maupun PNBP. Pemberian hak eksploitasi sumberdaya alam tidak disertai kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan kewajibannya. Laporan audit Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN) menyatakan temuan kekurangan bayar royalti sebesar Rp 6,7 triliun (2003-2011). Hal ini belum termasuk potensi kerugian 89 Kajian Optimalisasi Penerimaan Pajak (Studi Kasus: Sektor Pertambangan Batu Bara), Direktorat Penelitian dan Pengembangan, KPK, 2013-2014.

keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara sebesar US$ 1,224 miliar (2010-2012) dan dari 180 perusahaan pertambangan mineral senilai US$ 24,661 juta (2011)90.

Selain itu, hasil audit BPK di 2013 dengan sampel 20 perusahaan besar dan 60 perusahaan pertambangan kecil menemukan adanya jumlah pajak tak dibayarkan sebesar Rp 628 Milyar. Jumlah ini naik dari tahun-tahun sebelumnya (tidak dibayar di 2012 sebesar Rp. 486 Milyar. Sementara, untuk 2011 sebesar Rp. 328 Milyar91).

Kurang handalnya data terkait pertambangan baik dari sisi data produksi, data ekspor, maupun data penjualan ditengarai berkontribusi membuat potensi penerimaan pajak tidak dapat dihitung secara akurat. Hal lain, belum terintegrasinya data sektor pertambangan dari berbagai instansi untuk mendukung DJP dalam melakukan perhitungan penggalian potensi penerimaan negara dari pajak juga menjadi sumber masalah optimalisasi penerimaan pajak. Perbaikan atas masalahan sektoral yang muncul diatas tidak dapat dipisahkan dari perbaikan pengelolaan pajak secara menyeluruh. Terdapat sejumlah hal yang wajib mendapat perhatian anggota DPR guna mengoptimalkan penerimaan negara di sektor perpajakan.

Satu, keakuratan data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Terdapat 3.826 IUP pertambangan batubara yang dimiliki oleh 3.066 perusahaan. Lalu, sebesar 724 (23,61 persen) perusahaan di antaranya tidak tercatat pada data NPWP yang disampaikan (22,03 persen) dari total IUP. Masih di sektor pertambangan, terdapat perusahaan yang memiliki NPWP induk lebih dari satu atau tercatat pada beberapa Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Dua, mengoptimalkan data pendukung perhitungan potensi pajak.

90 Laporan Hasil Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Mineral dan Batubara, KPK, 2013

91 Musa, Ali M (2014) dikutip pada Antara (2014), <http://www.antaranews.com/berita/419646/bpk-desak- pemerintah-keluarkan-moratorium-pertambangan f dan Fiskal Indonesia (2014) <http://www.fskal.co.id/berita/fskal- 2/1391/bpk-reka-kerugian-negara-dari-pajak-tambang-30-triliunan f , diakses 21 Februari 2014

Tidak akuratnya perhitungan volume dan kualitas batubara yang akan dijual oleh pelaku usaha sebagai dasar untuk perhitungan kewajiban royalti maupun perhitungan pajak menyebabkan hilangnya potensi perolehan pajak. Tabel 7 menggambarkan kondisi ini.

Tabel 7

Perbedaan data produksi DJMB dengan data BPS, WCA dan US EIA*

No. Produksi Batubara 2011 (ton) 2012 (ton)

1. Data DJMB** 319.662.455,76 288.504.125,20

2. Data BPS (data produksi) 415.765.068,00 466.307.241,00

3. Data BPS (ekspor dan dalam negeri) 441.944.522,14 480.473.119,52

4. Data World Coal Association 376.000.000,00 443.000.000,00

5. Data US EIA 414.799.764,59 452.131.743,40

* DJMB : Ditjen Mineral dan Batubara BPS : Badan Pusat Statistik WCA : World Coal Association

US EIA : US Energy Information Administration

** Karena DJMB tidak menghimpun data produksi IUP maka total produksi PKP2B diasumsikan 80 persen produksi nasional.

Sekiranya perbedaan data produksi tersebut di atas dihitung sebagai penerimaan pajak yang hilang, maka besarnya potensi hilangnya penerimaan pajak pada tahun 2012, yakni Rp 28,5 triliun dengan menggunakan data DJMB vs BPS (produksi), Rp. 30,8 T dengan menggunakan data DJMB Vs BPS (data ekspor dan dalam negeri), Rp. 24,8 T atas data DJMB Vs WCA dan Rp. 26, 3 T dengan menggunakan data DJMB VS US EIA.

Tiga, menghilangkan multi tafsir penerapan aturan pengenaan pajak.

Aturan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Atas penerapan PPN atas PKP2B , khususnya Generasi III terdapat perbedaan penafsiran pada kontrak dan aturan pajak. Akibatnya, PKP2B Generasi III dapat mengkreditkan PPN Masukan atas perolehan BKP/JKP (dapat mengajukan restitusi kelebihan bayar PPN) karena berdasarkan isi kontrak pasal 14.6 maka PKP2B Generasi III hanya tunduk pada UU PPN 1994 yang menentukan Batubara sebagai BKP. Atau sebaliknya, PKP2B Generasi III tidak dapat mengajukan restitusi PPN

karena berdasarkan isi kontrak pasal 29.5 dan UU PPN Tahun 2000 berikut aturan turunannya yang menyatakan batubara bukan merupakan BKP.

Aturan terkait tarif PPh. Tarif PPh pada PKP2B berdasarkan isi kontrak pasal 14.3 dan UU PPh pasal 33A yaitu sebesar 30% untuk penghasilan lebih dari 50 juta rupiah. Atau sebaliknya, tarif PPh PKP2B mengikuti perubahan aturan, yang berdasarkan UU PPh 2008 mulai tahun pajak 2010 dikenakan tarif sebesar 25%.

Aturan terkait Pajak Penjualan. Pengenaan pajak penjualan pada PKP2B Generasi I mengikuti isi kontrak, tunduk pada UU PPn 1951 dengan tarif maksimal 5%, tetapi dengan keluarnya PMK 194/PMK.03/2012, tarif atas pajak penjualan tersebut semakin kecil. Atau, pengenaan pajak mengikuti UU No. 8 Tahun 1983 (UU PPN 1983) tentang Pajak pertambangan Nilai dan/atau Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Diubah dengan UU No. 42 Tahun 2009 (UU PPN 2009) karena pengenaan PPN dan PPnBM menggantikan pajak penjualan.

Empat, peraturan terkait perolehan data eksternal.

Kerahasiaan bank membatasi perolehan data. Prinsip kerahasiaan bank diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 41 Undang-Undang tersebut mengatur bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan surat perintah tertulis kepada bank agar memberikan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan kepada Pejabat Pajak.

Pembukaan kerahasiaan data perbankan dalam undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Atas Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Namun, berdasarkan aturan di atas, ruang lingkup dan alasan diperlukannya keterangan data perbankan terkait kepentingan perpajakan belum cukup jelas. Dalam hal ini, perlu dipertegas sejauh mana konteks kerahasiaan perbankan dapat diakses oleh DJP, misalnya DJP sudah dapat mengakses pada tahap pemeriksaan. Ketentuan ini telah beralih kewenangannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 69 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Masalah lain adalah ketidakselarasan aturan terkait akses data. Aturan dimaksud yakni antara UU No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan dengan UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Pasal 35A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 ditentukan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi dan pihak lain berkewajiban untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Akan tetapi, pasal 172 UU No. 28 Tahun 2009 justru mereduksi kewajiban Pemerintah Daerah guna memberikan data perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Terkait permasalahan ini, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-