• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan tantangan yang dihadapi partai politik dan upaya strategis menghadapinya

Di negeri ini, Indonesia, kata “politik” perlahan-lahan mengalami penyempitan makna. Kata “politik” diartikan semata cara mencapai kekuasaan atau jabatan. Praktik politik, karena itu, diarahkan sekadar kepada arena perebutan kewenangan menentukan kebijakan publik. Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri. Padahal, politik sesungguhnya adalah alat menggapai kondisi sosial yang layak. Politik adalah usaha mencapai tatanan masyarakat yang baik dan berkeadilan81.

Data yang ada cenderung mengafirmasi hipotesis di atas: bahwa di Indonesia praktik politik sebagian besar hanya untuk meraih kekuasaan, sehingga setelah kekuasaan diraih, maka kepentingan diri menjadi yang utama, dengan korupsi sebagai cara memperkaya diri. Beberapa tahun belakangan, sejumlah kasus korupsi melibatkan cukup banyak anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah. Dari 2004-per Juli 2014, ada total 75 anggota DPR dan DPRD yang terseret kasus korupsi. Sementara, dalam rentang waktu yang sama, sebanyak sepuluh gubernur dan 35 kepala daerah (walikota, bupati, dan wakilnya) terjerat perkara korupsi82.

Belum lagi kita menghitung para pejabat birokrasi yang juga ikut terjerat korupsi.

Oleh sebab itu, salah satu modus korupsi adalah memanipulasi jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Korupsi adalah milik pemegang kekuasaan. Sebagian besar pemilik kekuasaan itu alpa berpikir dan lupa bertindak untuk kepentingan rakyat. Mereka menggunakan kewenangan menentukan kebijakan publik semata kepentingannya. Etika jabatan publik tak lagi menjadi perhatian. Demos bukan tujuan, melainkan alat memperkaya pribadi. Dari sinilah muncul apa yang biasa disebut korupsi politik.

81 Peter Merkl, 1967; dikutip dari Miriam Budiarjo, 2008, hlm. 15-16.

82 Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, Delapan agenda antikorupsi bagi presiden 2014-2019, Komisi

Bertalian dengan problem korupsi politik, meminjam gagasan Peter Larmour83, timbulnya

korupsi di bidang politik berakar pada tiga domain area. Pertama, penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Para pemilik kekuasaan menggunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Kedua, peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion). Suara rakyat dikecualikan dari pengambilan kebijakan dimana kebijakan tersebut akan berdampak pada masyarakat itu sendiri. Partisipasi publik ditekan. Ketiga, perselingkuhan negara dan bisnis (business and state relation). Yakni, persekongkolan antara pejabat pemerintah (juga, birokrat) dengan pebisnis yang berpotensi memengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Terkait persoalan di atas, partai politik (parpol) sering dilihat sebagai bagian dari masalah korupsi (political parties are often seen as part to the corruption problem)84. Diskursus

korupsi dan strategi-strategi antikorupsi telah mengidentifikasi parpol sebagai aktor kunci yang menyalahgunakan kekuasaannya dalam sistem politik untuk menerima suap, menempatkan anggota-anggotanya pada posisi strategis di sektor publik dan BUMN, merekayasa institusi politik dan ekonomi untuk kepentingan-kepentingan kelompoknya, atau mengendalikan sumber daya-sumber daya publik ke tangan pimpinan atau anggota parpol. Sulit dimungkiri bahwa parpol nampak lemah dalam kanalisasi politik. Parpol hampir kehilangan perannya sebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan publik. Timbul fenomena tersumbatnya aspirasi rakyat untuk memperoleh akses kepada kebijakan yang berkeadilan. Kondisi di atas barangkali juga karena parpol sendiri dikuasai oleh elite-elite parpol yang amat feodal. Mereka mempunyai kewenangan luar biasa untuk menentukan calon-calon legislatif yang akan bersaing dalam pemilu. Proses pemilihan calon bukan berdasarkan sistem kepartaian yang rapi, yang dimulai dari mekanisme rekruitmen yang transparan dan proses pengkaderan yang sistematis-berjenjang. Hal ini memperlihatkan bahwa parpol kita belum terinstitusionalisasi dengan baik.

Dalam konteks itulah perbaikan kelembagaan parpol amat diperlukan. Dengan istilah pelembagaan parpol diartikan bahwa parpol dilihat sebagai sebuah organisasi kelembagaan yang harus dikelola layaknya sebuah institusi moderen yang rapi dan akuntabel.

83Interpreting corruption: culture and politics in the Pacifc Islands, 2012. 84 Blechinger, 2002, hlm. 3

Setidaknya ada tiga aspek penting dalam upaya perbaikan kelembagaan parpol. Pertama, aspek rekrutmen. Kedua, aspek kaderisasi. Ketiga, aspek pendanaan.

Rekruitmen dan kaderisasi

Rekrutmen dan kaderisasi oleh parpol merupakan dua hal yang penting. Pertama, ketika membahas persoalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik, maka sebenarnya yang sedang dibicarakan adalah mengenai sumber permasalahan atau sumber petaka sebuah negara. Kedua, karena persoalan rekrutmen dan kaderisasi partai politik itu pada dasarnya membicarakan mengenai orang-orang yang akan menjadi wakil rakyat, baik level nasional maupun daerah.

Pendeknya, proses rekrutmen dan kaderisasi partai politik adalah proses untuk melahirkan orang-orang yang akan menjadi pemimpin Indonesia, pemimpin provinsi, atau pemimpin kabupaten/kota, dan wakil-wakil rakyat di DPR atau DPRD. Pemimpin politik yang lahir dengan sifat tertentu, berintegritas atau culas, lahir dari proses rekrutmen dan kaderisasi di dalam partai politik.

Terkait rekrutmen dan kaderisasi parpol, mekanisme mengenai dua hal itu sesungguhnya telah diatur dalam undang-undang. Pasal 2 UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik menyebutkan bahwa:

“(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.

(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit: a. asas dan ciri Partai Politik;

b. visi dan misi Partai Politik;

c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik; d. tujuan dan fungsi Partai Politik;

e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; f. kepengurusan Partai Politik;

h. sistem kaderisasi;

i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik; j. peraturan dan keputusan Partai Politik;

k. pendidikan politik;

l. keuangan Partai Politik; dan

m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.”

Lebih lanjut, berdasarkan pasal 29 UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, disebutkan bahwa:

“(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:

a. anggota Partai Politik;

b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan d. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.

(1) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang- undangan.

(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.” Memang harus dipahami bahwa pengelolaan kaderisasi akan bergantung pada tipe fundamen bangunan masing-masing parpol. Setidaknya ada dua tipe partai politik, yakni partai kader dan partai massa. Kedua tipe ini akan membedakan tiap-tiap parpol dalam menentukan komposisi dan fungsi anggota. Partai kader cenderung mengandalkan kualitas, ketaatan, dan

disiplin anggota. Sementara, partai massa cenderung mengandalkan kuantitas anggota, sehingga orientasinya adalah bagaimana memobilisasi massa untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan partai. Tipe partai yang berbeda ini pada akhirnya juga akan menentukan pola-pola rekrutmen dan kaderisasi partai.

Walaupun begitu, kuncinya adalah bahwa struktur keanggotaan di semua parpol dikategorikan secara berjenjang, terlepas dari tipe partai yang ingin dibangun (partai kader atau partai massa). Oleh sebab itu, proses rekrutmen dan kaderisasi menjadi sesuatu yang penting di tiap partai.

Secara umum, terkait rekrutmen dan kaderisasi, dari hasil observasi85, ditemukan bahwa

beberapa parpol yang menjadi mitra diskusi, menyampaikan bahwa sistem rekrutmen dan kaderisasi belum sistematis dan berjenjang. Modul-modul pengkaderan, pada beberapa parpol, memang sudah ada yang dalam bentuk dokumen tertulis. Tetapi, modul-modul tersebut belum dijalankan secara berkesinambungan.

Pendanaan

Kegiatan parpol, pada dasarnya, dapat dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan operasional sehari- hari dan pendidikan politik (termasuk kampanye). Kegiatan-kegiatan parpol ini menuntut pembiayaan yang cukup besar.

Partai politik, karena itu, harus mencari dan mendapatkan sumber-sumber pendanaannya. Sumber pendanaan konvensional, seperti iuran anggota, belum mampu menutup biaya kegiatan parpol selama setahun. Akibatnya, parpol mencari jalan-jalan lain untuk mendanai kegiatannya.

Menghadapi persoalan pendanaan parpol, dibuatlah mekanisme-mekanisme yang memungkinkan parpol mendapatkan uang dari sumber lain. Pertama, negara memberikan sumbangan politik kepada parpol yang memperoleh suara dalam pemilu. Sumber uang berasal dari APBN atau APBD. Kedua, parpol diperbolehkan menerima dana dari pihak ketiga, baik perorangan maupun badan. Tentunya, ada batasan dalam pendanaan dari sumber

85 Direktorat Penelitian dan pengembangan, KPK, 2013, Studi sistem politik berintegritas, hlm. 36.

perorangan atau badan ini. Namun, dalam kenyataannya, sumber-sumber ini belumlah mencukupi.

Pertanyaannya kemudian adalah berapa sesungguhnya jumlah kebutuhan pendanaan yang riil oleh parpol, baik kebutuhan pendapatan maupun kebutuhan pengeluaran, selama satu tahun?. Tabel 4 memberikan gambaran pendapatan dan belanja parpol selama satu tahun.

Tabel 4.

Perkiraan pendapatan dan belanja parpol per tahun

(data hasil simulasi perkiraan rata-rata besaran pendapatan dan belanja parpol)

Pendapatan Jumlah (Rp) Belanja Jumlah (Rp)

Iuran anggota 0 Operasional sekretariat 1,4 miliar

Sumbangan perseorangan anggota

0,6 miliar Konsolidasi organisasi 8,2 miliar

Sumbangan perseorangan non-anggota

Tak diketahui Pendidikan politik dan kaderisasi

33,7 miliar

Sumbangan badan usaha Tak diketahui Unjuk publik 6,7 miliar

Subsidi negara 0,6 miliar Perjalanan dinas 1,2 miliar

Jumlah (yang diketahui) 1,2 miliar Jumlah 51,2 miliar

Sumber: Junaidi, 2011.

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah pendapatan parpol lebih kecil daripada jumlah belanjanya. Tentu saja parpol harus berusaha keras untuk menutup defisit ini.

Mengikuti alur pikir Bawono Kumoro86, sumber pendanaan lain dari parpol biasanya berasal

dari perburuan rente lewat kader-kader mereka di lembaga legislatif maupun eksekutif. Menurut Bawono, ada tiga modus utama perburuan rente parpol. Pertama, melalui lembaga legislatif, yakni, penguasaan dan pembajakan kebijakan anggaran serta transaksi legislasi. Kedua, lewat lembaga eksekutif dengan menempatkan kader di Kementerian, BUMN, atau Lembaga yang punya akses dana melimpah. Ketiga, via pengusaha. Parpol meminta atau menerima sumbangan pengusaha untuk operasional dan kampanye. Nantinya, pengusaha diberikan imbalan kemudahan akses proyek-proyek di pemerintahan.

Kondisi seperti di ataslah yang menjelaskan mengapa proses pendanaan partai politik di Indonesia relatif rentan terhadap potensi korupsi.

Oleh karena itu, dalam rangka memperkuat kelembagaan parpol, pola pendaaan parpol haruslah diatur sedemikian rupa. Salah satu gagasan untuk memperbaiki pola pendanaan parpol adalah bahwa negara menyediakan dana untuk mendanai seluruh kebutuhan parpol. Artinya, parpol semata-mata mengandalkan pendanaannya dari negara, sehingga tidak ada lagi peluang mendapatkan dana dari sumber-sumber lain. Konsekuansinya, parpol harus melaporkan secara rapi dan reguler mengenai pemakaian dana negara tersebut dan mempertanggungjawabkannya kepada negara.

PERSPEKTIF IV:

PENGUATAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM