• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan permasalahan birokrasi dan hal-hal utama yang harus diperhatikan guna

mengakselerasi pembenahan birokrasi dan

aparatur negara secara menyeluruh

Penataan birokrasi menjadi salah satu faktor krusial dalam pembenahan aparatur negara. Signifikansi birokrasi muncul sebagai pelaksana maupun pendetail kebijakan pejabat politik. Disamping itu, birokrasi menjadi garda terdepan dalam memberikan pelayanan kepada publik.

Signifikansi peran birokrasi menjadikannya rawan dikooptasi pejabat politik52. Peters dan

Pierre dalam bukunya The politicization of civil service menyampaikan bahwa kooptasi birokrasi dalam politik tidak dapat dipisahkan dari peran pentingnya sebagai penyelenggara administrasi negara. Politisasi birokrasi merupakan bagian dari strategi, utamanya guna memastikan kebijakan yang ditetapkan pejabat politik dilaksanakan aparatur dibawahnya53.

Di Indonesia ruang politisasi birokrasi masih terbuka. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari dua hal, pertama, kewenangan pembinaan kepegawaian. Otoritas pembinaan kepegawaian ada di tangan pimpinan lembaga54. Peran yang diemban tersebut membuka celah pimpinan lembaga

mengintervensi pengelolaan sumberdaya manusia. Sela intrusi semakin muncul mengingat belum berjalannya Komisi Aparatur Sipil Negara –KASN- sebagai lembaga yang memonitor kebijakan dan manajemen sumberdaya manusia55.

52 Pejabat politik didefinisikan sebagai pejabat yang bukan berasal dari birokrat. Di era orde baru pejabat politik

menjadi bagian dari pejabat negara. Namun, di era reformasi, dikotomi antara pejabat politik, pejabat negara dan pejabat birokrasi belum diklarifikasi secara tuntas. Lihat, Thoha, M 2014, ‘Jabatan negara dan jabatan politik’, Kompas, 17 April 2014, hlm. 6.

53 Peters & Pierre 2004, ‘Politicization of the civil service:concepts, causes, consequences’ dalam Peters &

Pierre (ed) , Politicization of the civil service in comparative perspective:the quest for control, Routledge, London, hlm. 7.

54 Di pemerintah pusat, pejabat eselon I diusulkan oleh pimpinan lembaga. Semantara, di tingkat daerah berada

di tangan kepala daerah. Lihat, Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2005 tentang Kedudukan Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia. D

55 Komisi Aparatur Sipil Negara –KASN- merupakan lembaga nonstruktural mandiri, bebas dari kepentingan

politik yang dibentuk untuk menjalankan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan dan manajemen Aparatur Sipil Negara –ASN- guna menjamin terwujudnya sistem merit serta pengawasan terhadap

Lebih dari itu, celah politisasi semakin terbuka mengingat sistem kerja di birokrasi belum seluruhnya terstandarisasi. Masih ditemukan sistem kerja yang partisan. Akibatnya, pejabat politik memiliki peluang mengarahkan kinerja birokrat untuk kepentingan individu maupun kelompoknya. Dalam perspektif pelayanan publik, sistem yang partisan merugikan masyarakat. Masyarakat tidak memperoleh kepastian atas alur proses suatu layanan. Ditengah belum optimalnya peran pengawas internal pemerintah –APIP- mengevaluasi kinerja organisasi56, sistem yang partisan membuka ruang pula bagi birokrat ditingkat pelaksana

kebijakan menangguk keuntungan dari pemohon layanan.

Upaya penataan birokrasi tidak dapat dipisahkan pula dengan pembenahan dari sisi etika penyelenggara negara. Hal yang disasar menyoal atas norma dan perilaku penyelenggara negara. Adanya standar etika diharapkan mampu menciptakan aparatur negara yang mampu bersikap dan bertindak selaras dengan nilai yang diusung institusi, profesional dikala menjalankan fungsi institusi serta dalam bertindak memberikan manfaat bagi banyak pihak57.

Mencermati uraian diatas, pembenahan birokrasi menjadi sebuah keharusan. Reformasi birokrasi merupakan bagian upaya perwujudannya. Secara normatif arah reformasi birokrasi tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Area perubahan yang dituju mencakup seluruh aspek pemerintahan, dengan rincian: organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan pola pikir dan budaya kerja aparatur.

Pelaksanaan 8 (delapan) agenda perubahan tersebut diturunkan dalam tiga tahap periodisasi. Lima tahun pertama (2010-2014), berfokus pada penguatan birokrasi pemerintah dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat, serta meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Lima tahun kedua (2015-2019), melanjutkan upaya yang belum dicapai pada berbagai komponen strategis birokrasi pada lima tahun pertama.

penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN. Sampai dengan materi ini disusun, Komisi Aparatur Sipil Negara masih dalam tahap membangun kelembagaannya.

56 APIP masih banyak berkutat pada kepatuhan dari penggunaan anggaran.

57 Konsep dasar etika mengacu kepada virtue, fungsi dan kemanfaatan. Lihat, Childress, J & Beauchamp, T,

2001, ‘Utilitarianism, kantianism, moral excellece’, dalam Principles of Biomedical Ethical, edisi kelima, Oxford University, hlm. 340-355.

Kemudian, lima tahun ketiga (2020-2024) melakukan upaya peningkatan kapasitas birokrasi secara terus-menerus untuk menjadi pemerintahan kelas dunia sebagai kelanjutan dari reformasi birokrasi pada lima tahun kedua.

Memasuki periode lima tahun pertama, sejumlah agenda reformasi birokrasi belum menunjukkan hasil menggembirakan. Beberapa survei dan penilaian memperlihatkan kondisi yang cukup suram mengenai birokrasi pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Bila membandingkan Peraturan Presiden No 81 Tahun 2010 tentang Grand Design

Reformasi Birokrasi 2010-2025 dengan kondisi aktual, maka akan muncul beberapa kesenjangan.

Tabel 3

Area Perubahan dan Hasil yang Diharapkan dalam Reformasi Birokrasi

No Area Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual

1. Organisasi Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran (right sizing)

Sampai tahun 2013, dari 34

Kementerian, 6 Lembaga

Pemerintah, dan 28 Lembaga Pemerintah Non Kemeterian, baru 16 K/L yang sudah dievaluasi dan akan dirampingkan.

2. Tatalaksana Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance

Beberapa kajian KPK selama kurun waktu 2006-2013 menunjukan ruang korupsi masih rentan muncul akibat sistem kerja di internal organisasi

belum mengadopsi secara

menyeluruh prinsip-prinsip tatakelola pemerintahan yang baik.

3. Peraturan Perundang- Undangan

Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kolutif

Masih ditemui kebijakan publik yang terumuskan dalam peraturan membawa nafas kelembagaan. Bukan spirit pengaturan secara komprehensif atas suatu sektor.

4 Sumberdaya

Manusia Aparatur

SDM aparatur yang berintegritas,

netral, kompeten, capable,

profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.

Hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK di tahun 2011 terhadap pengadaan dan pemberhentian PNS, ditemukan bahwa dalam proses manajemen SDM PNS belum mendukung terciptanya SDM aparatur yang

No Area Hasil yang Diharapkan Kondisi Faktual

berintegritas dan profesional, tercermin dari salah satu temuan yang menyorot belum kredibelnya proses seleksi CPNS yang berasal dari tenaga honorer.

5. Pengawasan Meningkatnya penyelenggaraan

pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN

Hasil pemeriksaan BPK semester II 2013 menemukan bahwa tatakelola sistem pengawasan APIP belum mendukung pengelolaan audit dan reviu laporan keuangan.

Masalah lain yang muncul di APIP berkenaan dengan independensi, pedoman operasi, kode etik dan SDM serta audit dan reviu laporan

keuangan yang belum

mempertimbangkan resiko dalam pemilihan objek pengawasan serta perolehan dan pemilihan bukti audit dan reviu laporan keuangan yang tidak lengkap atau bahkan tidak ada.

6. Akuntabilitas Meningkatnya kapasitas dan

akuntabilitas kinerja birokrasi

Hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2012, jumlah LKPD yang memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) baru 27 persen dari total 415 LKPD yang diaudit.

7. Pelayanan

Publik

Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat

Survei Integritas KPK (2013) menunjukkan kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai indeks 6,80 dari skala 10.

Transparensy International (2013) mencatat indeks korupsi Indonesia masih rendah (skor 32 dari 100). 8. Pola pikir (mind

set) dan budaya kerja aparatur

Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi

Sumber: Perpres No. 81/2010, MenPAN-RB (2013), TI (2013), BPK (2012:2013), KPK (2013), KOMPAS (diolah)

Belum optimalnya capaian program reformasi birokrasi tidak dapat dipisahkan dari beberapa kelemahan yang mengiringi pelaksanaannya. Mengutip pendapat Agus Dwiyanto, terdapat tiga kelemahan mendasar pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi58.

Pertama, kebijakan reformasi birokrasi menerapkan prinsip one fits all. Kementerian, lembaga dan daerah dalam melakukan reformasi birokrasi dituntut melakukan perbaikan di delapan area perubahan. Akibatnya, kontekstualisasi pelaksanaan kebijakan reformasi 58 Dwiyanto, A , 2014, ‘Mengembalikan reformasi birokrasi ke jalur yang benar: fokus, kontekstual, dan

berorientasi ke pelayanan publik’, makalah disampaikan pada Tim Politik Direktorat Litbang KPK, 25 September 2014, hlm 1-2.

birokrasi di kementerian, lembaga dan daerah terhadap kebutuhan spesifik masyarakat dan pemangku kepentingan berpotensi hilang.

Kedua, banyaknya dokumen yang mesti dibuat kementerian, lembaga, dan daerah ketika melaksanakan kebijakan reformasi birokrasi. Alhasil, energi perancang –KemenPAN, UKP4- maupun pelaksana kebijakan tersita banyak untuk kelengkapan dokumen ketimbang fokus pada substansi dan kualitas perubahan.

Ketiga, kebijakan renumerasi sebagai insentif dalam program reformasi birokrasi mendistorsi orientasi dan nilai kebijakan reformasi birokrasi. Tidak heran apabila kementerian, lembaga dan daerah menjadikan renumerasi sebagai tujuan pokok ketimbang fokus pada pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi yang mampu merespon kebutuhan masyarakat dan pemangku kepentingannya.

Atas hal tersebut, dalam upaya meningkatkan kualitas capaian organ-organ negara, DPR selaku lembaga harus memberikan perhatian mendalam terhadap pembenahan birokrasi. Tiga hal yang mesti menjadi perhatian anggota DPR atas soal birokrasi, yakni sejauhmana institusi dapat memenuhi ekspektasi pengguna layanan dan pemangku kepentingan, responsif menjawab tantangan masa depan, serta mencegah munculnya laku dan tindak korupsi. Untuk mencapai tiga hal dimaksud maka pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi harus diletakan dalam kerangka penerapan prinsip-prinsip good governance (akuntabilitas, transparansi dan partisipasi).

Secara praktik, fokus perhatian anggota DPR tidak dibatasi hanya di lingkup birokrasi pemerintah. Namun juga aparatur negara secara menyeluruh. Hal ini wajib dilakukan anggota dewan mengingat liputan area pelaksanaan fungsi dan kewenangan DPR yang mencakup keseluruhan institusi negara. Adapun, dalam implementasinya anggota DPR terdapat beberapa hal yang mesti menjadi atensi anggota DPR dalam terdapat beberapa hal yang mesti menjadi perhatian anggota DPR dalam penataan birokrasi maupun aparatur negara secara menyeluruh.

Penyelenggaraan kehidupan bernegara seyogianya tidak boleh terlepas dari unsur etika. Etika menjadi ukuran sejauhmana tindakan penyelenggara negara benar dan memiliki kebaikan terhadap pencapaian tujuan berbangsa.

Secara teoritis seseorang disebut beretika ketika memenuhi tiga aspek. Pertama, sikap maupun tindakan yang dilakukannya memberikan kebaikan yang luas bagi masyarakat. Artinya, ukuran baik atau buruk, benar atau salah bergantung kepada sejauhmana keluasan dampak positif yang dihasilkannya59.

Kedua, motif dalam berlaku dan bersikap. Motif mengacu pada fungsi atau tugas yang melekat pada individu bukan pada keinginan individu60.

Terakhir, perbuatan penyelenggara negara menjadi beretika ketika selaras dengan nilai-nilai kebaikan –virtue ethics-. Singkatnya, perspektif virtue ethics berfokus pada upaya pencarian ‘individu seperti apa seharusnya saya’ bukan atas ‘apa yang mesti individu lakukan’61.

Dalam ranah individu sebagai penyelenggara negara, etika mesti dikontekstualkan ke ranah publik. Etika publik adalah “refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik”62.

Menurut Haryatmoko (2011) ada tiga hal yang menjadi lingkup etika publik.

Pertama, berbeda dengan etika politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang berkualitas dan relevan.

Kedua, etika publik bukan hanya kode etik atau norma, tetapi terutama adalah dimensi reflektifnya. Poin kedua ini maksudnya adalah bahwa etika publik berfungsi sebagai 59 Price, T, ‘Mill’s utilitarianism’, dari Leadership ethics (Cup 2008), hlm. 192-194.

60 Sandel, M, ‘What matters is the motive’ dalam Farrar, Straus dan Giroux 2010, Justice:what’s the right thing

to do?, hlm. 112.

61 Sullivan & Segers, ‘Ethical Issues and Public Policy’, dalam Fisher, Miller dan Sidney (eds) 2007, Handbook

of public policy Analysis, CRC Presss 2007, hlm. 311.

62 Haryatmoko, 2011, Etika publik: untuk integritas pejabat publik dan politisi, Penerbit PT Gramedia Pustaka

bantuan dalam menimbang pilihan wadah kebijakan publik dan sarana evaluasi yang memperhitungkan konsekuensi etisnya. Lalu, dengan etika publik sebagai lampu penerang, upaya politik, sosial, budaya, dan ekonomi akan dianggap sudah sesuai standar etika bila mampu menciptakan institusi-institusi yang lebih adil.

Ketiga, etika publik berfokus pada modalitas etika, yakni bagaimana menjembatani antara norma moral dengan kondisi faktual.

Kompetensi etika dalam hal ini menjadi hal yang mutlak. Penyelenggara negara dan pejabat publik wajib memiliki kompetensi etika. “Tiadanya kompetensi etika membuat pejabat publik tidak peduli pada masalah keadilan dan mendorong banalitas

korupsi. Lemahnya perilaku etis melemahkan institusi-institusi sosial politik. Padahal hakikat kekuasaan terletak dalam tanggung jawab moral” (Haryatmoko, 2011). Karena itu, sudah seharusnya para penyelenggara negara dan pejabat publik mengintegrasikan etika publik dalam tiap pikiran, sikap, dan perilakunya.

Tetapi, lebih dari itu, pembangunan sistem yang mengedepankan etika menjadi lebih penting lagi. Termasuk penegakannya. Haryatmoko menyatakan bahwa etika publik mencakup orang dan sistem: harus ada upaya menciptakan budaya etika publik pada pelaku dan sistem, yang pada dasarnya merupakan pembentukan kultur moralitas pengabdian pada masyarakat.

Sebuah contoh penyelenggaraan kehidupan bernegara (dan, tentu pula kehidupan pemerintahan) yang melanggar etika publik adalah perilaku rangkap jabatan.

Rangkap Jabatan

Rangkap jabatan sesungguhnya menabrak prinsip-prinsip etika publik karena rawan benturan kepentingan dan potensi korupsi. Rangkap jabatan, dengan begitu, berpotensi menyimpangkan perilaku, tindakan, dan keputusan untuk mengarahkan kebijakan publik kepada kepentingan pribadi dan golongan. Rangkap jabatan, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, sebenarnya akan bisa melemahkan komitmen penyelenggara negara dan pejabat publik pada nilai-nilai etika, seperti kejujuran, keadilan, dan tanggung jawab. Lemahnya komitmen ini memungkinkan

akan menggerogoti integritas publik dari para penyelenggara negara, pejabat publik, dan politisi.

Beberapa waktu belakangan muncul gejala perangkapan jabatan oleh penyelenggara negara atau pejabat publik. Mereka, pada umumnya, menjabat rangkap dengan menduduki kursi penyelenggara negara dan, pada saat bersamaan, menjadi pengurus atau ketua umum pada sebuah partai politik (parpol).

Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, beberapa menteri menjabat rangkap sebagai ketua umum atau pengurus elite parpol. Tiga menteri diantaranya merangkap sebagai ketua umum parpol, yakni Menteri Agama Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP), Menko Perekonomian Hatta Radjasa (Ketua Umum PAN), dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar (Ketua Umum PKB).

Kenyataan adanya rangkap jabatan tersebut merambah pula ke partai pemenang pemilu 2009, Partai Demokrat. Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM), Syarifuddin Hasan, menjabat sebagai Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat. Kemudian, Menteri Perhubungan, Everte Ernest (EE) Mangindaan, memegang jabatan sebagai Ketua Harian Dewan Pembina Partai Demokrat63. Bahkan, Presiden SBY sendiri turun tangan langsung dengan menjabat

Ketua Umum Partai Demokrat, ketika masa jabatannya sebagai presiden tersisa sekitar satu tahun lagi, hingga pertengahan 2014.

Padahal, menelusuri waktu ke belakang, Presiden SBY pernah secara tegas meminta para menterinya, yang berasal dari parpol, untuk mendahulukan kewajiban-kewajiban pemerintahan. SBY bahkan mempersilakan menteri-menterinya untuk mundur bila tak bisa membagi waktu. Presiden SBY, saat acara rapat kabinet beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa menteri menjadi pengurus atau ketua partai “itu wajar, demokrasi begitu. Saudara yang juga tentu berasal dari parpol akan menjalankan tugas-tugas politik, tetapi sekali lagi saya ingatkan jangan tinggalkan tugas utama kita, tugas 63 http://www.antaranews.com/berita/366259/pengurus-demokrat-sambut-baik-dipilihnya-syarif-hasan, diunduh

pokok kita, sumpah kita untuk memperioritaskan tugas-tugas pemerintahan, memperioritaskan tugas-tugas melayani rakyat”64.

Permintaan tegas Presiden SBY pada saat rapat kabinet beberapa waktu lalu itu sesungguhnya tepat, bahwa kepentingan negara di atas segala-galanya. Telah menjadi pendapat yang umum bahwa menduduki kursi penyelenggara negara atau jabatan publik dan, secara paralel, berperan sebagai pengurus parpol adalah dua posisi berlainan. Dua kedudukan ini relatif berbeda dalam ruang lingkup. Pejabat publik bertugas mengayomi seluruh warganegara. Sementara, pada sisi lain, pengurus parpol mengutamakan kepentingan kelompok atau partainya.

Pertanyaannya kemudian adalah apakah pejabat publik yang politisi atau politisi yang pejabat publik akan cenderung bersikap tidak netral dalam pengambilan kebijakan?. Dalam konteks ini, memang dibutuhkan pelbagai pandangan yang jernih untuk menyikapi fenomena perangkapan jabatan oleh pejabat publik. Meskipun begitu, tulisan ini, seperti disampaikan di atas, berpendapat bahwa rangkap jabatan oleh pejabat publik adalah melanggar etika publik. Ada sejumlah alasan yang dapat diajukan sebagai argumen.

Pertama, rangkap jabatan berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Benturan kepentingan adalah situasi dimana penyelenggara negara memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi sehingga dapat memengaruhi kualitas dan kinerjanya. Rangkap jabatan rawan penyalahgunaan kewenangan. Seseorang yang merangkap jabatan akan relatif sulit untuk bekerja secara independen, secara imparsial. Dia akan berada di antara dua atau lebih kepentingan. Dia dapat berpotensi menjadi pintu lahirnya tindakan koruptif untuk mengamankan kepentingan pribadi, kelompok, dan partainya.

Kedua, terkait poin satu sebelumnya, pencegahan benturan kepentingan telah diatur melalui aturan yang formal. Benturan kepentingan telah diatur dalam pasal 7 ayat 4

United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006. Di dalam aturan ini disebutkan bahwa tiap negara 64 http://www.setkab.go.id/berita-5098-tidak-bisa-bagi-waktu-presiden-ijinkan-menteri-mundur.html, diunduh

peserta wajib, sesuai prinsip-prinsip dasar hukum domestiknya, berusaha keras mengadopsi, memelihara, dan memperkuat sistem yang meningkatkan transparansi dan mencegah benturan-benturan kepentingan (each State Party shall, in accordance with the fundamental principles of its domestic law, endeavour to adopt, maintain and strengthen system that promote transparency and prevent conflicts of interest).

Ketiga, walau memang di Indonesia belum ada aturan hukum positif yang secara eksplisit melarang menteri untuk merangkap jabatan publik dan di partai politik, tetapi perangkapan jabatan oleh menteri dalam beberapa aturan dilarang. Pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyatakan bahwa menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan atau APBD. Di sana disebutkan bahwa menteri dilarang merangkap sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN atau APBD. Apabila mengacu pada pasal 34 ayat 1 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2/2008 tentang Partai Politik, yang menyatakan bahwa salah satu sumber keuangan partai politik berasal dari bantuan keuangan APBN atau APBD, maka menteri yang menjabat rangkap di parpol sesungguhnya berada dalam domain pasal 23 UU Nomor 39 tahun 2008.

Keempat, rangkap jabatan berpotensi meruntuhkan semangat profesionalisme. Kemampuan manajerial dan fokus seseorang mungkin akan terdegradasi saat diberi beban yang berlebih, baik itu dari sisi waktu, perhatian, dan tanggungjawab.

Regulasi

Pertanyaan lanjutan dari uraian-uraian di atas adalah apakah etika publik sudah memadai?. Jawabannya adalah belum. Etika publik memang belum cukup, walaupun ada anggapan bahwa etika atau norma moral merupakan sesuatu yang khusus bila dibandingkan dengan norma hukum, norma sopan santun, dan norma agama.

Norma moral, menurut J. Sudarminta65, memiliki kekhususan bila dibandingkan

dengan norma-norma yang lain.

65 J. Sudarminta, 2012, Etika umum: kajian tentang beberapa masalah pokok dan teori etika normatif, Pusat

Pertama, norma moral merupakan norma yang paling dasariah. Norma moral yang menjadi tolak ukur penilaian mengenai baik-buruknya atau benar-salahnya perilaku seseorang manusia sebagai manusia langsung mengenai inti pribadi seseorang tersebut. “Tuduhan bahwa seseorang tidak bermoral, jauh lebih berat daripada bahwa dia tidak patuh pada hukum, atau tidak sopan. Cukup umum diterima bahwa norma moral mempunyai otoritas yang lebih tinggi sebagai pedoman perilaku manusia daripada pedoman perilaku yang lain” 66.

Kedua, norma moral menegaskan kewajiban dasariah manusia dalam bentuk perintah atau larangan. Menurut J. Sudarminta, “dalam bentuk perintah atau larangan (seperti bertindak adil, jangan merampas hak orang lain, bertindak jujur, jangan bohong, hormatilah hidup manusia, jangan membunuh) norma moral merupakan pedoman baik-buruk atau benar-salah bagi manusia dalam bertindak menghayati hidupnya sebagai manusia”.

Ketiga, norma moral berlaku umum (universal). Norma moral mesti berlaku umum atau berlaku secara kurang lebih sama bagi setiap orang dalam situasi yang kurang lebih sama. Norma moral menetapkan aturan untuk perilaku setiap manusia sebagai manusia; jadi entah dia itu pandai atau bodoh, berpangkat tinggi atau rendah, kaya atau miskin, berhadapan dengan norma moral semua manusia berkedudukan sama” 67.

Keempat, norma moral mengarahkan perilaku manusia pada kesuburan dan kepenuhan hidupnya sebagai manusia, pada kesejahteraan umum, atau sekurang- kurangnya pada kepedulian terhadap kepentingan orang lain. “norma moral mengarahkan perilaku manusia pada kesuburan dan kepenuhan hidupnya sebagai manusia, pada kesejahteraan umum, atau sekurang-kurangnya pada kepedulian terhadap kepentingan orang lain”68.

Oleh sebab itu, musti ada regulasi yang mengatur supaya seseorang tidak lagi menjadi anggota atau pengurus parpol segera setelah dia diangkat atau terpilih sebagai penyelenggara negara, pejabat publik, atau anggota parlemen. Dia wajib melepaskan 66 Idem, hlm. 16.

67 Idem. 68 Idem, hlm 17.

semua atribut kepartaiannya, dan berkonsentrasi pada perannya mengabdi segenap warga. Mengganti fokusnya: dari partai ke bangsa.