• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan tantangan dalam pelaksanaan otonomi daerah serta konsekuens

yang timbul dari pembentukan daerah otonom

baru

Desentralisasi pemerintahan menjadi pilihan strategi penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Desentralisasi pemerintahan pada gilirannya menciptakan daerah-daerah otonom yang diberikan mandat mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat. Akselerasi kesejahteraan masyarakat merupakan muara yang ingin dicapai dalam otonomi daerah98.

Sejatinya, Pelaksanaan otonomi daerah di Republik Indonesia bukan barang baru. Semangat desentralisasi sebagai prasyarat utama pelaksanaan pemerintahan daerah bahkan telah ditetapkan kurang lebih 3 bulan setelah kemerdekaan99. Saat ini aturan pelaksanaan otonomi

daerah telah dituangkan dalam dua paket perundangan. Terbitnya dua paket undang-undang otonomi daerah yaitu UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 jo UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menunjukan tingginya komitmen politik pemerintahan di era reformasi dalam pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah.

Sejak paket undang-undang otonomi daerah diluncurkan di 1999, daerah dituntut mampu menjalankan urusan rumah tangganya. Daerah dituntut tidak hanya mampu menyelenggarakan urusan-urusan yang telah didelegasikan. Lebih dari itu, daerah juga diharapkan mampu mensejahterakan rakyat. Plus, meningkatkan daya saing daerah.

98Percepatan perwujudan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui melalui peningkatan, pelayanan,

pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lihat, dasar pertimbangan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

99 Keberadaan Komite Nasional Daerah merupakan bagian dari upaya pelaksanaan pemerintahan di daerah.

Lihat, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, pasal 2.

Desentralisasi kewenangan serta desentralisasi fiskal menjadi alat dalam mewujudkan keinginan tersebut.

Fenomena Korupsi di era Otonomi Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah tak terbebas dari praktik korupsi. Desentralisasi politik dan desentralisasi fiskal telah menggoda penguasa lokal bertindak korup. Adagium power tends to corrupt menemukan perwujudannya pada para pemegang kuasa di daerah. Walhasil, korupsi menjadi terdesentraliasi. Statistik penindakan korupsi oleh KPK menunjukan sejak 2004 sampai dengan Juli 2014 sudah 41 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Jumlah ini bertambah sekiranya mempertimbangkan unsur birokrat.

Celah korupsi dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan keniscayaan. Desentralisasi kewenangan dan fiskal belum secara optimal diiringi penguatan dari sisi akuntabilitas pemegang mandat kuasa. Hal ini setidaknya terlihat di tiga area.

Pertama, penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah wajib mengacu kepada norma, standar, prosedur dan atau kriteria (NSPK). NSPK merupakan kebijakan nasional sebagai panduan penyelenggaraan urusan pemerintah daerah. NSPK Adalah amanat PP No. 38 tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 9 ayat 1 PP No. 38 tahun 2007 mengamanahkan menteri/kepala

lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan. Sayangnya, evaluasi atas NSPK belum termonitor secara optimal. Penilaian

atas seberapa jauh NSPK yang telah dibakukan dilaksanakan pemerintah daerah masih

menjadi pekerjaan rumah di era otonomi daerah. Kesudahannya, menjadi wajar sekiranya pemegang kuasa memiliki ruang mengarahkan pelaksanaan pemerintahan bagi kepentingannya.

Kedua, manajemen penggunaan dana pusat ke daerah. Transfer pusat ke daerah beranekaragam. Bentuknya dapat terwujud dalam dana perimbangan ataupun transfer langsung pusat ke daerah. Permasalahannya, memastikan penggunaan dana pusat di daerah

sesuai dengan peruntukannya menjadi sebuah soal tersendiri. Situasi seperti yang muncul dalam pemanfaatan dana alokasi khusus (DAK). DAK masuk ke APBD. Menjadi sulit meneguhkan kesepekatan politik di pemerintahan daerah mengalokasikan DAK sebagaimana desain awal pemberiannya. Disamping itu, akurasi penerima dari transfer langsung pusat di daerah masih memerlukan perhatian serius. Misal terkait atas tunjangan profesi guru.

Ketiga, penerbitan izin oleh pemerintah daerah. Berjalannya otonomi daerah, terjadi peningkatan yang signifikan terhadap perizinan yang diterbitkan pemerintah daerah. Pada hakekatnya izin merupakan bagian dari instrumen pengaturan. Namun, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, izin kerap dimaknai sebagai instrumen menggenjot pendapatan asli daerah (PAD). Akibatnya, permasalahan kerap muncul. Mengambil kasus sektor pertambangan, obralisasi izin usaha pertambangan (IUP) oleh pemerintah daerah berkonsekuensi merusak lingkungan hidup.

Pemekaran Pemerintah Daerah

Pemekaran pemerintah daerah menjadi sebuah fenomena yang mengiringi pelaksanaan otonomi daerah. Idealnya, pembentukan daerah ditujukan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat100. Akselerasi pembangunan serta memperpendek rantai birokrasi

pelayanan kepada warga menjadi hal yang diidamkan paska terbentuknya daerah otonom baru (DOB).

Sejak dibukanya kran pembentukan daerah melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah, dari tahun 1999, telah terbentuk 223 DOB, terdiri dari 8 provinsi, 181 kabupaten dan 34 kota101. Jumlah ini

berpotensi bertambah mengingat sampai dengan Desember 2013 telah masuk 65 rancangan undang-undang pembentukan DOB dari DPR ke Pemerintah.

Pesatnya laju pemekaran daerah menimbulkan kekhawatiran serius. Beban keuangan APBN semakin membengkak. Diakui tidak semua daerah otonom baru langsung mandiri. Transfer pusat ke daerah dalam bentuk dana perimbangan masih menjadi primadona untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah.

100 Kementerian Dalam Negeri, 2012,’Laporan Hasil Evaluasi Perkembangan 57 Daerah Otonomi Baru (EPDOB)’.

Selain itu, pemekaran daerah mengancam kelestarian lingkungan. Hal ini tidak terlepas dari diumbarnya penerbitan izin pemanfataan sumberdaya alam oleh pemerintah daerah. Izin menjadi pilihan untuk menarik investasi ke daerah. Permasalahan kelestarian lingkungan menjadi potret suram pemekaran daerah. Sebagai contoh, sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diberlakukan, izin usaha pertambangan (IUP) yang dikeluarkan bupati meningkat tajam, total telah mencapai mencapai 10.566 izin. Hanya, IUP yang dikeluarkan sering berada di kawasan hutan. Data Direktorat Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan, April sampai April 2014, dari 38.894.231 ha luas izin pertambangan terdapat 25.983.486 ha di kawasan hutan. Akibatnya, kerusakan hutan makin parah.

Maka sangat beralasan bila pemerintah di depan sidang paripurna DPR-RI pada tanggal 3 September 2009 memberlakukan kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran daerah. Moratorium pemekaran daerah dilakukan untuk mengevaluasi menyeluruh, konsisten, dan sungguh-sungguh terhadap hasil-hasil pemekaran daerahi102. Namun demikian, usulan

pemekaran dari inisiasi DPR masih muncul.

Secara normatif, inisiasi pembentukan daerah baru dari DPR masih dimungkinkan. Kebijakan moratorium yang digaungkan pemerintah belum menjadi sebuah konsensus politik nasional. Selain itu, kebijakan moratorium pemerintah-pun belum diikuti upaya yang optimal guna membendung arus masuk usulan pembentukan daerah baru. PP No. 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah belum mengadopsi semangat kebijakan moratorium. Akibatnya, usulan pembentukan daerah baru masih terus bermunculan. Atas hal ini, secara normatif selaku representasi rakyat, DPR melalui anggotanya diamanahkan memperjuangkan aspirasi daerah pemilihannya, termasuk yang terkait dengan usulan pemekaran wilayah.

Pemekaran Daerah: Suatu Kebutuhan Nyata atau Semata Upaya Politis

Saatnya kita bertanya dan menjawab dengan jujur, apakah motivasi pemekaran daerah murni mensejahterakan rakyat di daerah ataukah semata politis untuk kepentingan golongan saja?. Apakah pemekaran daerah menjadi solusi tunggal mensejahterakan rakyat dan meredam konflik diakar rumput?. Fenomena di depan mata menunjukan bahwa banyak daerah otonom 102 Kementerian Dalam Negeri, 2010, ‘Desain besar penataan daerah di indonesia tahun 2010-2025’.

daerah terlilit permasalahan mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Perlu diperhitungkan secara matang, apakah daerah telah siap mengantisipasi persoalan yang mungkin muncul sehingga waktu dan energi DOB tidak habis untuk mengurus persoalan- persoalan yang tidak terkait langsung dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

Bila kita lihat hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri terhadap 57 DOB di 2012, terlihat bahwa terdapat berbagai permasalahan yang belum dapat diselesaikan daerah otonom baru seperti pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen (P3D), pengalihan aset, realisasi dana hibah, penegasan batas wilayah, penyusunan rencana tata ruang wilayah (RTRW), dan pemfungsian ibukota yang belum sesuai dengan undang-undang pembentukannya.103

Perlu disadari, anggota dewan memiliki tanggungjawab atas keberadaan suatu DOB. Sebagai inisiator, anggota dewan wajib mempertimbangkan kelayakan, kesiapan, dan dampaknya secara hati-hati. Perlu dipikirkan dengan jernih bahwa keputusan pemekaran akan berimbas terhadap beban anggaran negara guna membiayai infrastruktur daerah dan kelestarian alam untuk masa yang amat panjang.

Setelah DOB terbentuk-pun anggota dewan wajib bertanggungjawab untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja DOB. Perlu dipastikan, bahwa pemerintahan daerah baru yang disusun benar-benar bisa diandalkan untuk memenuhi janji pemekarannya. Tidaklah cukup hanya melihat apakah syarat kelengkapan pembentukan daerah sudah terpenuhi (misalnya apakah gedung sudah dibangun atau apakah konflik batas daerah sudah dibereskan). Yang lebih penting lagi adalah pembentukan DOB mampu secara nyata mensejahterakan rakyat.

Dari hal tersebut DPR perlu jeli melihat apakah pemekaran daerah menjadi solusi tunggal mensejahterakan rakyat dan meredam konflik diakar rumput?. Anggota DPR mesti mampu melihat secara utuh akar permasalahan di daerah. Sejauhmana efektifitas kualitas pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan-urusan pemerintah harus ditelisik mendalam sebelum sampai pada keputusan membentuk DOB. “Buat rakyat percuma punya kantor bupati, rumah dinas, dan kendaraan dinas yang mewah, jika dimana-mana jalanan rusak, sekolah mahal dan biaya kesehatan tak terjangkau.”104.

PENUTUP

103 Laporan Hasil Evaluasi Perkembangan 57 Daerah Otonomi Baru (EPDOB) Tahun 2012

104 Ed. M. Djadijono, M, I Made Leo Wiratma, IML & Legowo, TA, 2006, Membangun Indonesia dari Daerah,

Pemberantasan korupsi merupakan tantangan yang dihadapi banyak negara. Korupsi menyebabkan terhambatnya kemajuan suatu bangsa. Di beberapa negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, masif intensifnya korupsi bahkan berkontribusi menjerumuskan bangsa ke jurang krisis.105.

Korupsi menjadi pekerjaan rumah besar bagi bangsa Indonesia. Peralihan kekuasaan dari orde baru ke era reformasi telah memberikan pesan yang lugas bagi segenap elemen penyelenggara negara untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme106. Korupsi telah

ditasbihkan sebagai penyebab kerugian keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan. Sistemiknya dampak korupsi tersebut, menjadikan upaya pemberantasan korupsi gencar dikumandangkan.

Sayangnya, walaupun pemberantasan korupsi telah dilakukan sejak masa-masa awal republik berdiri, capaian yang diperoleh masih jauh dari harapan. Di tingkatan global, Indonesia masih dikategorikan negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Tatakelola pemerintahan belum terbebas dari virus korupsi. Kebijakan publik sebagai instrumen penyelenggara negara menyelenggarakan negara masih memungkinkan diintervensi untuk kepentingan individu maupun kepentingannya. Parahnya, aparatur negara selaku pemegang mandat dan pelaksana penyelenggaraan negara belum sepenuhnya dikelola secara profesional.

Masif dan intensifnya korupsi, pada akhirnya menuntut kesungguhan penyelenggara negara berdaya upaya mengoptimalkan kuasa yang dimiliki dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam perspektif tersebut anggota DPR merupakan bagian elemen negara yang memiliki posisi strategis mewujudkannya. Selaku representasi rakyat, anggota DPR terlibat dihampir keseluruhan penyelenggaraan negara. Anggota DPR sebagai pelaksana fungsi institusi 105 Radelet, S & Sachs, J, 1998, ‘The east asian financial crisis: diagnosis, redies, prospect’,

diakses 29 Agustus 2014 pada laman:

<http://www.brookings.edu/~/media/Projects/BPEA/

1998%201/1998a_bpea_radelet_sachs_cooper_bosworth.PDF>

106 Lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam menjalankan fungsi dan tugasnya harus jujur, adil, terbuka, dan terpercaya serta mampu membebaskan diri dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, Lihat, TAP MPR Nomor XI/MPR/1998, pasal 2.

memiliki kewenganan membahas dan memberikan persetujuan anggaran nasional. Anggota DPR berperan pula dalam pembentukan undang-undang serta melakukan pengawasan terhadap berjalannya undang-undang dan berjalannya APBN. Selain itu, anggota DPR diberikan amanah untuk memilih pejabat publik.

Peran penting yang ditempati anggota DPR pada akhirnya menuntut-nya tidak hanya cerdas dalam menjalankan kuasanya, namun juga akuntabel atas setiap pilihan kebijakan yang diambilnya. Tuntutan akuntabilitas dibutuhkan bukan hanya sebagai bentuk kepatuhan terhadap penerapan asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Lebih dari itu penegakan akuntabilitas juga merupakan bentuk pertanggungjawaban anggota DPR selaku pelaksana daulat rakyat. Pasal 1 ayat 2 amandemen keempat UUD 1945 tegas menyatakan ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar’.. Atensi dan langkah nyata anggota DPR atas materi-materi tulisan dalam buku ini diharapkan menjadi bagian penting dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan institusi. Tema-tema yang disampaikan merupakan kekinian kondisi yang akan dihadapi anggota DPR dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya, tindak lanjut anggota DPR atas perspektif yang disampaikan diharapkan menjadi bagian langkah mewujudkan Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang bebas dari korupsi.