• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan tantangan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial serta langkah

startegis guna meresponnya

Perintah UUD 1945 yang paling mendasar adalah terbangunnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali. Untuk itu melalui UU No. 6 tahun 1967 jo UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pemerintah mengimplementasikannya melalui berbagai program dan menginvestasikan porsi belanja negara yang cukup besar untuk tercapainya tujuan tersebut. APBN yang dianggarkan untuk bantuan sosial dan hibah melalui mekanisme APBD dan APBN cukup besar seperti yang terlihat dalam tabel 12.

Tabel 12

Anggaran Bansos dalam APBD dan APBN

Tahun Anggaran Bansos APBD

(dalam Triliun Rp)

Anggaran Bansos APBN (dalam Triliun Rp) 2007 11,89 49,75 2008 11,63 57,74 2009 12,98 73,81 2010 11,96 71,17 2011 12,05 77,8 2012 6,54 40,12 2013 7,91 68,73

Sumber: KPK (diolah dari berbagai sumber)

Sementara, sebagai tindak lanjut pelaksanaan sistem jaminan sosial, berdasarkan UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) pemerintah merubah PT Askes menjadi Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan dan PT. Jamsostek menjadi BPJS ketenagakerjaan. Pemerintah juga mengalokasikan anggaran sejumlah Rp. 19,9 T untuk BPJS kesehatan sebagai pembayaran premi bagi 86,4 juta warga tidak mampu yang dikenal dengan istilah PBI (Penerima Bantuan Iuran).

Mengingat besaran dana yang dikelola, manfaatnya bagi masyarakat banyak dan potensi Tindak Pidana Korupsi yang ada maka KPK menjadikan kebijakan kesejahteraan sosial sebagai bagian dari area strategis yang patut mendapat perhatian.

Pengelolaan Bantuan Sosial

Terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian Dewan mendatang dalam pengelolaan bantuan sosial, yakni:

1. Jumlah dana bantuan sosial baik oleh Pemerintah Daerah dan juga Pemerintah Pusat cukup besar, sekitar Rp 50 triliun sampai dengan Rp 95 triliun setiap tahun. Jumlah dana yang cukup banyak ini berpotensi untuk diselewengkan.

2. Penyaluran bantuan sosial belum memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan warga, terutama kaum miskin dan rentan. Belum terlihat secara signifikan pengaruh positif pemberian bantuan sosial terhadap pengentasan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin hanya menurun sekitar satu sampai dua persen tiap tahun.

3. Ada hubungan antara penyaluran dana bansos dengan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada.

4. Tingkat akuntabilitas, transparansi dan profesionalisme aparat pemerintah dalam pengelolaan bantuan sosial yang masih lemah. Terdapat indikasi bahwa dana bantuan sosial tidak sampai ke tangan rakyat yang seharusnya memperoleh bantuan.

Dalam kajian KPK ditemukan bahwa lemahnya pengelolaan Bantuan Sosial berkisar pada tiga aspek, yakni:

1. Perencanaan Kebijakan, diantaranya: Adanya kerancuan antara aturan mengenai batasan pengertian bantuan sosial (bansos), perencanaan program bansos yang tidak matang, adanya intervensi dari oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)

dalam proses penganggaran bansos yang berpengaruh pada pemilihan atau penyaluran ke Penerima Bantuan Sosial di daerah dalam penganggaran bansos.

2. Pelaksanaan Kebijakan : Lemahnya koordinasi penyaluran akibat pelaksanaan otonomi daerah, serta lemahnya dukungan sumber daya manusia dan dana pendamping untuk menyalurkannya.

3. Monitoring dan Evaluasi: Pelaporan bantuan sosial lemah, dan mayoritas program bansos tidak memiliki pelaporan pertanggungjawaban yang handal.

Perbaikan pengelolaan dana-dana bantuan sosial di pemerintahan yang akan datang menjadi kunci bagi tercapainya tujuan bernegara yakni tercapainya kesejahteraan sosial.

Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Per 1 Januari 2014 BPJS kesehatan dan BPJS ketenagakerjaan mulai beroperasi. Terdapat lima program jaminan yang menjadi ruang lingkup dalam pelaksanaan SJSN, yakni:

1. Program Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

2. Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang dikelola oleh BPJS ketenagakerjaan yang terdiri atas:

A. Program Jaminan Hari Tua.

B. Program Jaminan Kecelakaan Kerja. C. Program Jaminan Kematian.

D. Program Jaminan Pensiun.

Pelaksanaan Jaminan Kesehatan yang dikelola oleh BPJS yang merupakan transformasi dari PT Askes, dilakukan melalui mekanisme asuransi sosial. Setiap warga Negara dikenakan iuran yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan dan akan mendapatkan layanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit ketika membutuhkan yang seluruh biayanya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Saat ini, belum semua warga Negara terdaftar pada BPJS Kesehatan dan baru pada tahun 2019 ditargetkan seluruh warga Negara telah terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan.

KPK menganggap penting pencegahan korupsi dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini berkaca pada program sejenis di negara lain dimana telah terjadi banyak

fraud dalam Asuransi sosial kesehatan dan juga permasalahan kualitas layanan yang tidak baik diterima masyarakat.

Permasalahan dalam pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini antara lain:

1. Potensi tumpang tindih antara JKN dan Jamkesda yang telah ada sebelumnya di beberapa daerah. Jamkesda menjadi salah satu promosi / janji politik pada hampir seluruh kepala daerah pada saat kampanye dan menjabat. Akibat buruk dari permasalahan ini adalah terjadinya pemborosan anggaran baik di APBN maupun APBD.

2. Buruknya database kepesertaan terutama database warga miskin dan rentan miskin yang menerima bantuan iuran dari APBN. Data terakhir berdasarkan survei tahun 2011, dan belum ada pemutakhiran data kepesertaan yang memadai lagi sehingga membuat akurasi data kepesertaan menjadi buruk.

3. Terjadinya adverse selection dimana hanya penduduk yang sakit yang menjadi peserta BPJS Kesehatan sedangkan yang sehat tidak ikut mengiur. Hal ini tentunya memperberat dana jaminan yang dikelola BPJS Kesehatan. Jika terus berlangsung, hal juga berpotensi mengganggu fiskal negara karena negara wajib menalangi ketika dana jaminan yang dikelola BPJS Kesehatan tidak mencukupi.

4. Potensi fraud yang tinggi dalam layanan yang dilakukan oleh fasilitas kesehatan membuat beban klaim yang ditanggung BPJS Kesehatan membesar dan kualitas layanan menurun. Hal ini diperparah dengan belum jelasnya pihak yang mengawasi

fraud dalam layanan kesehatan karena membutuhkan kompetensi khusus dan sumber daya yang cukup besar untuk melakukannya.

5. BPJS Kesehatan dalam menyelenggarakan JKN tidak hanya melayani layanan kesehatan kelas III, namun juga layanan kesehatan untuk kelas II dan kelas I yang berpotensi memberatkan dana jaminan, dimana terjadi penggunaan iuran dari orang yang kurang mampu untuk membiayai layanan kesehatan orang yang mampu.

6. Penyaluran dana kapitasi yang besar dari BPJS kesehatan ke fasilitas kesehatan primer seperti Puskesmas, klinik, dokter keluarga saat ini belum didukung oleh regulasi dan sistem yang memadai. Hal ini berpotensi menimbulkan moral hazard dan kecurangan yang tinggi bagi petugas kesehatan yang menerima dana kapitasi.

Terkait hal di atas KPK mendorong anggota dewan periode 2014-2019 untuk:

1. Melakukan pengawasan terhadap regulasi yang dibuat pemerintah tidak terjadi tumpang tindih program jaminan kesehatan.

2. Meminta pemerintah untuk memperbaiki data kependudukan secara nasional sehingga kepesertaan BPJS Kesehatan juga dapat lebih baik dan akurat.

3. Meminta pemerintah untuk membuat aksi untuk mempercepat upaya cakupan kepesertaan semesta sehingga iuran kepada BPJS Kesehatan dapat diterima dari seluruh warga Negara.

4. Meminta pemerintah menyiapkan regulasi, prosedur operasional dan pembinaan yang menyeluruh agar petugas fasilitas kesehatan primer di daerah dapat mengoptimalkan dana kapitasi dan mencegah terjadinya moral hazard dan fraud dalam penggunaannya.

5. Meminta pemerintah untuk merancang sistem pengawasan terhadap layanan medis termasuk regulasi, kelembagaan dan kompetensinya sehingga potensi moral hazard

dan fraud dapat diminimalkan.

6. Mengevaluasi sistem JKN yang juga melayani layanan kelas I dan II, karena secara

best practice, asuransi sosial tidak dapat digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan premium.

Sementara, untuk program jaminan ketenagakerjaan, meski baru dimulai pada 1 Juli 2015, anggota dewan perlu memerhatikan dua hal.

Pertama, melakukan pengawasan terhadap pemerintah terhadap pembentukan maupun pelaksanaan kebijakan jaminan pensiun, karena program ini relatif baru, dan berdasarkan pengalaman di negara-negara Eropa, memicu terjadinya krisis ekonomi.

Kedua, melakukan pengawasan terhadap tata kelola jaminan ketenagakerjaan, mengingat jumlah dana kelolaan yang nantinya terkumpul di BPJS Ketenagakerjaan cukup besar.