• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian ini menguraikan kekinian ekonomi indonesia, ketimpangan pertumbuhan serta arah

revitalisasi pembangunan ekonomi

Bangsa Indonesia patut berbangga. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak 2004 sampai triwulan kedua 2014, pertumbuhan ekonomi negara ini rata-rata sebesar 6,2 persen40. Dengan angka

sebesar rata-rata 6,2 persen ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi bila dibandingkan dengan tetangganya di wilayah ASEAN. Pada tahun 2013, misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,8 persen, lebih besar ketimbang Malaysia (4,7 persen), Thailand (1,8 persen), dan Vietnam (5,4 persen)41. Selain itu, berdasarkan penilaian

International Comparison Program 2014 dari World Bank, Indonesia menduduki peringkat sepuluh sebagai negara dengan tingkat paritas daya beli (purchasing power parities)42.

Artinya, kemampuan konsumtif rata-rata orang Indonesia relatif tinggi.

Namun, pada sisi lain, bangsa Indonesia pun layak bila bergundah. Jumlah penduduk miskin di Indonesia relatif stagnan dari tahun ke tahun. Jumlah orang miskin tidak menurun secara signifikan dari waktu ke waktu. Dalam lima tahun belakangan, mulai 2009 sampai 2013, hampir tidak ada penurunan berarti pada tingkat kemiskinan di negeri ini. Pada 2009, penduduk miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta. Sementara, pada 2013, penduduk miskin Indonesia sebesar 28,55 juta43. Hal ini berarti bahwa sejak 2009 hingga 2013 jumlah

penduduk miskin Indonesia hanya berkurang 3,98 juta. Jumlah penduduk miskin ini belum ditambahkan dengan jumlah penduduk yang rentan miskin, yang besarnya sekitar 70 juta orang44. Penduduk rentan miskin adalah mereka yang berpotensi masuk dalam jurang

40 Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS). 41 Diakses pada 26 Agustus 2014 di laman:

<http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG>

42 Sepuluh besar negara tersebut adalah United States (17.1%), China (14.9%), India (6.4%), Japan (4.8%),

Germany (3.7%), the Russian Federation (3.5%), Brazil (3.1%), France (2.6%), the United Kingdom (2.4%), dan Indonesia (2.3%). Diakses pada 26 Agustus 2014 di laman:

<Http://www.statcan.gc.ca/daily-quotidien/140509/dq140509b-eng.htm>

43 Data diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS). 44 Diakses pada 26 Agustus 2014 di laman:

kemiskinan ketika timbul konflik sosial-politik atau bencana alam. Apabila ditotalkan, maka jumlah penduduk miskin dan rentan miskin di Indonesia dapat mencapai 100 juta penduduk.

Ketimpangan pertumbuhan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi tidak serta merta dirasakan oleh seluruh penduduknya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terdistribusi secara merata ke semua wilayah negeri ini. Sebagai komparasi, berdasarkan data BPS per Maret 2014, jumlah penduduk miskin di Lampung adalah 1,1 juta, di DKI Jakarta sebanyak 393 ribu, di Jawa Timur sebesar 4,7 juta, di NTT ialah 994 ribu, di Sulawesi Selatan mencapai 864 ribu, dan di Papua sebanyak 924 ribu penduduk. Singkatnya, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi, sebagian penduduk di negeri ini bagai terlupakan.

Gambaran kondisi memprihatinkan di atas, salah satunya, disebabkan oleh paradigma kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia yang mengedepankan pertumbuhan semata. Walaupun secara teoritik pertumbuhan ekonomi direlasikan dengan perluasan lapangan kerja, patut dicermati pula sejauhmana pertumbuhan ekonomi yang diperoleh nyata dibentuk oleh industri nasional dan dinikmati rakyat. Semangat ini tegas dinyatakan di Pasal 33 ayat 1 UUD 1945, ‘perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’. Aktivitas ekonomi yang diusung harus mampu meningkatkan derajat kesejahteraaan individu atau kelompok yang ekonomi yang lemah. Eksploitasi menjadi hal yang diharamkan.

Mantan penasihat khusus PBB bidang pemberantasan kemiskinan, Jeffrey Sachs, menulis bahwa salah satu alasan masih sulitnya meminimalisir tingkat kemiskinan adalah karena kegagalan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi membuat orang kaya kian kaya, dan makin memiskinkan mereka yang miskin. Orang miskin, menurut Sachs, seringkali dihilangkan peluangnya untuk dapat menaikkan taraf kehidupannya. Hal ini disebabkan kurangnya akses orang miskin pada sarana-sarana kesehatan, pendidikan, dan nutrisi yang sehat. Oleh karena itu, Sachs mengatakan perlunya negara mengalokasikan belanja sosial yang ditujukan kepada orang-orang miskin tersebut. Namun, lanjutnya, negara terkadang gagal menganggarkan belanja sosial tersebut45. Intinya,

meminjam ilustrasi Sachs tadi, dapatlah dikatakan bahwa telah terjadi semacam eksklusi 45 Sachs, J 2005, The end of poverty: how we can make it happen in our lifetime, Penguin Books: London, hlm.

sosial dalam kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia, yang fokus utamanya tertuju sekadar pertumbuhan ekonomi, sehingga melupakan sebagian besar penduduknya yang masih terjebak kemiskinan.

Kebijakan ekonomi yang tak seimbang

Terkait kebijakan pertumbuhan ekonomi Indonesia, dalam dirinya pun menyimpan persoalan laten. Kebijakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tidaklah seimbang. Maksudnya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi negeri ini terlalu mengandalkan pada pengembangan sektor jasa-jasa yang tak bisa diperdagangkan dengan leluasa secara internasional (non-tradable). Sementara, sektor barang, yang terkait erat dengan produksi dan perdagangan (tradable) kurang mendapatkan perhatian besar dari pemerintah, sehingga sektor tradable ini mengalami penurunan dan cenderung melemah46.

Sektor non-tradable adalah sektor pertumbuhan ekonomi yang mencakup jasa-jasa di bidang perniagaan umum, hotel, restoran, konstruksi, transportasi, komunikasi, keuangan-perbankan, penyediaan jasa listrik, gas, dan air. Sementara, sektor tradable adalah sektor pertumbuhan ekonomi yang meliputi bidang pertanian (bahan pangan dan pertanian non-pangan seperti bidang perikanan), pertambangan (minyak dan gas dan non-minyak dan gas seperti mineral dan batubara), dan manufaktur (minuman, tembakau, tekstil, produk hasil hutan, kertas, pupuk, karet, semen, besi, baja, peralatan transportasi)47.

Sektor tradable merupakan sektor yang paling mampu bertahan, bahkan dalam krisis ekonomi sekalipun. Pada krisis 1998, misalnya, pertumbuhan ekonomi sektor non-tradable

anjlok hingga sekitar minus 20 persen, sedangkan sektor tradable hanya turun sampai sekitar minus 8 persen saja. Artinya, kebijakan pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada sektor jasa-jasa belum tepat diterapkan di Indonesia.

Sektor barang yang tradable haruslah menjadi konsentrasi kebijakan pembangunan ekonomi negeri ini. Sektor barang yang tradable lebih menguntungkan bagi Indonesia karena sanggup menyediakan lapangan pekerjaan yang banyak bagi penduduk. Sektor jasa, sebaliknya, hanya

46 Basri, F dan Munandar, H, 2009, Lanskap ekonomi Indonesia: kajian dan renungan terhadap masalah-

masalah struktural, transformasi baru, dan prospek perekonomian Indonesia, Kencana Prenada Media Group: Jakarta, hlm. 42-43.

didominasi oleh segelintir orang yang memiliki keahlian dan pendidikan tinggi, walaupun bukan berarti sektor jasa harus dipinggirkan. Keduanya harus berjalan barbarengan.

Kebijakan pembangunan ekonomi yang adil, dengan begitu, adalah kebijakan yang hasil- hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh penduduknya. Fokus pada pengembangan sektor barang merupakan pilihan logis. Untuk itu, negara harus mulai kembali membenahi bidang pertanian (termasuk perikanan, peternakan, dan kehutanan), pertambangan, dan manufaktur. Bidang pertanian, dalam beberapa tahun belakangan, terlihat kurang diperhatikan oleh pemerintah. Kontribusi bidang pertanian dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif kecil (0,45 persen di tahun 2013), dibandingkan sumbangan bidang jasa (komunikasi, transportasi, hotel, restoran, dan keuangan) yang di 2013 mencapai total 2,83 persen48. Singkatnya, kebijakan

pembangunan ekonomi Indonesia seyogianya berfokus pada penguatan petani dan nelayan.

Revitalisasi paradigma

Pembangunan ekonomi merupakan proses transformasi menuju penyejahteraan kehidupan berbangsa. Aktualisasi pembangunan ekonomi yang selaras ideologi maupun tujuan berbangsa dewasa ini semakin memperoleh tantangan seiring derasnya laju liberalisasi ekonomi yang mengiringi arus globalisasi. Globalisasi sebagai upaya mendorong keterkaitan ekonomi dunia mengusung paradigma pro-pasar yang padanya melekat isme liberalisasi yang mendorong peminggiran peran negara dalam kegiatan ekonomi49.

Dalam konteks tersebut, selaku pelaksana fungsi representasi, DPR wajib mampu mengarahkan maupun menelurkan kebijakan pembangunan ekonomi yang selaras dengan ideologi dan tujuan berbangsa. Arah pembangunan ekonomi bangsa mesti diletakkan dalam kerangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, pembangunan tidak diperuntukan bagi orang-perorang maupun kelompok. Dengan kata lain, kesejahteraan yang dituju dalam pembangunan adalah kesejahteraan bersama.

Atas hal tersebut DPR harus memastikan negara berperan dalam setiap aktivitas pembangunan ekonomi. Pasar tak boleh dibiarkan leluasa berjalan mandiri. Di tengah dorongan peminggiran peran negara dalam aktivitas ekonomi, peran negara mesti diperkuat. Negara wajib berperan dalam memperluas akses modal dan pasar bagi sektor riil berskala 48Diakses pada 26 Agustus 2014 di laman:

<http://www.bps.go.id/brs_fle/pdb_055eb14.pd5f

kerakyatan. Prof Emil Salim menulis bahwa “pemerintah harus aktif mengangkat sang miskin keluar dari lubang kemiskinan melalui kebijakan fiskal dan moneter yang pro-poor”50.

Pada titik inilah dibutuhkan sebuah revitalisasi paradigma pembangunan ekonomi Indonesia. Yang dimaksudkan dengan istilah di atas adalah bahwa ada sebuah perubahan pola atau kerangka pemikiran dari penentu kebijakan, terutama para legislator di parlemen, terhadap konsep pembangunan ekonomi di Indonesia.

Para penentu kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia sudah sewajarnya menyadari bahwa kebijakan pembangunan ekonomi yang mengedepankan pertumbuhan semata tidaklah memadai. Pertumbuhan ekonomi harus juga dapat dirasakan oleh seluruh penduduk Indonesia. Growth through equity: setiap penduduk memiliki persamaan hak sebagai warganegara untuk memperoleh akses pada proses pembangunan dan layanan-layanan dasar, seperti pelayanan kesehatan, kecukupan makanan dan gizi, dan pelayanan pendidikan51.

Ditengah belum imunnya sistem politik dari virus korupsi, perluasan kran liberalisasi berpotensi menimbulkan penguasaan asing –perusahaan multinasional- terhadap sektor strategis negara.

Pada akhirnya, mengutip H. S. Dillon, “cara melaksanakan pembangunan sudah seharusnya konsisten dengan tujuan yang ingin dicapai, bukan sekadar menciptakan gunung-gunung untuk mengisi jurang-jurang atau membangun gedung-gedung menjulang tinggi di kota-kota metropolitan dan berharap kemiskinan di desa-desa akan terkurangi. Pembangunan harus menjunjung tinggi dimensi keadilan, pemerataan, dan kemanusiaan untuk meningkatkan kemandirian, harkat, martabat, dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan’.