• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagian Pertama: Pilihan-pilihan Sehubungan Dengan Implementasi

Materi VIII – Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya

B. Bagian Pertama: Pilihan-pilihan Sehubungan Dengan Implementasi

Pijakan asumsi dalam pilihan-pilihan pada Bagian Pertama ini adalah bahwa undang-undang tetap sama, dan pilihan kebijakan apapun harus sesuai dengan ketentuan yang ada dibawah UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (untuk selanjutnya disebut “UU No. 37 atau UU Kepailitan”). Untungnya, adanya perubahan teknologi, 10 tahun pengalaman, dan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 37 itu

sendiri menyediakan banyak kesempatan untuk memperbaiki sistem kepailitan tanpa harus mendapatkan persetujuan DPR.

1. Haruskah AKPI dan IKAPI Mencalonkan Kurator atau Pengurus Untuk Setiap Perkara?

Sejak kurator privat diperkenalkan sepuluh tahun yang lalu, praktek umum dari pengadilan adalah menunjuk kurator yang namanya tercantum dalam surat permohonan kepailitan oleh pihak yang sukses mengawali proses kepailitan. Dalam kasus-kasus Penundaan Kewajiban Penyelesaian Utang (selanjutnya disebut PKPU), Pengurus juga ditunjuk dengan cara yang mirip.

Praktek ini tidak diatur secara kaku oleh UU No. 37. Dalam proses kepailitan, Pasal 15 (2) menyebutkan bahwa Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP) akan ditunjuk jika pihak pemohon tidak mengajukan usul pengangkatan kurator dalam surat permohonannya. Hal ini menyiratkan bahwa nama orang/kurator yang tersebut dalam surat permohonan harus ditunjuk, tapi mengharuskan seperti itu. Dalam proses PKPU, tidak terdapat yang menyiratkan demikian sama sekali. Pengadilan, dibawah Pasal 225, bebas untuk menunjuk pengurus berlisensi manapun tanpa mengindahkan pilihan dari pemohon.

Praktek yang mengikuti keinginan pemohon dalam penunjukan kurator ataupun pengurus menjadikan lebih sulit untuk memastikan apakah orang-orang tersebut bebas/tidak berpihak dan tidak memiliki konflik kepentingan – suatu syarat dalam proses kepailitan dan PKPU.1 Selain itu, ketika orang-orang ini telah ditunjuk, kreditor-kreditor akan sulit untuk mengganti mereka, meskipun terdapat ketentuan yang menyebutkan bahwa mereka dapat mengganti kurator/pengurus.2

Maka dari itu, tidak mengherankan jika banyak negara melakukan pendekatan yang berbeda dari yang digunakan oleh Indonesia. Pengadilan dapat membuat keputusan yang bebas dalam hal siapa yang harus ditunjuk, atau sebuah lembaga pemerintah yang terpisah, yang bertanggung jawab atas kurator dan pengurus, yang akan melakukan penunjukan tersebut.

Indonesia tidak memiliki lembaga yang mengatur kurator dan pengurus. Untuk hal tersebut, asosiasi atau organisasi profesi yang mengurusnya. Saat ini terdapat 2 (dua) organisasi profesi: Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dan Ikatan Kurator dan

Pengurus Indonesia (IKAPI).

Dengan tidak memperhatikan apakah pengaturan dua organisasi ini optimal atau tidak, mungkin hal tersebut dapat dijadikan sarana untuk membentuk suatu sistem pencalonan yang memberikan kepastian yang lebih besar bahwa kurator atau pengurus yang ditunjuk merupakan kurator/pengurus yang tepat. Tidak akan sulit bagi pengadilan niaga, ketika menerima permohonan kepailitan atau PKPU, untuk meminta dari setiap organisasi untuk mengirimkan daftar nama maksimal tiga orang kandidat kurator/pengurus dan menjamin bahwa kandidat-kandidat tersebut memenuhi standar untuk ditunjuk berdasarkan UU No. 37, bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang sesuai dengan perkara yang bersangkutan, dan bersedia untuk bekerja jika nantinya ditunjuk.

Prosedur ini sebenarnya akan mengambil keuntungan dari pengaturan dua organisasi tersebut di Indonesia dimana hal ini akan membawa kompetisi laten diantara keduanya ke arah yang positif. Dua organisasi tersebut akan berkompetisi untuk mencari kandidat yang tepat dan untuk mengungkapkan informasi yang berguna mengenai kandidat tersebut. Hal ini juga akan membantu masing-masing organisasi untuk mengelola dan mengatur

1

Pasal 15(3), 234.

2

Pengadilan setiap waktu dapat mengabulkan usul penggantian kurator, atas permohonan debitor atau hakim pengawas (Pasal 71 (1)). Kreditor konkuren dapat memberhentikan kurator berdasarkan putusan Rapat Kreditor (Pasal 71 (2)). Diskusi dengan hakim-hakim pengawas menunjukkan bahwa hal ini jarang terjadi.

anggota mereka. Bagaimana cara melakukan pencalonan merupakan kebijakan masing-masing organisasi.

Pada saat yang bersamaan, pendekatan ini juga mempunyai risiko. Sistem ini dapat menyebabkan terjadinya lebih banyak keberatan atas penunjukan kurator/pengurus, meskipun mengenai hal ini tidak seharusnya dapat diajukan keberatan. Lebih lanjut, tidak jelas peraturan seperti apa yang harus dibuat untuk pengaturan seperti ini. Walaupun Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan untuk hal tersebut, tapi jika tindakan serupa dilakukan oleh pengadilan niaga tingkat pertama akan ada kemungkinan diajukan keberatan atas peraturan tersebut.

2. Dapatkah Penjualan di Bawah Tangan Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Dibuat Menjadi Lebih Kompetitif dan Transparan?

Pasal 187 UU No.37 menyebutkan bahwa hakim pengawas dapat mengadakan suatu rapat kreditor untuk mendiskusikan mengenai cara pemberesan harta pailit. Keputusan yang diambil berdasarkan Pasal 187 tersebut harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 185. Ayat 1 pasal tersebut mewajibkan bahwa semua harta debitor harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Ini berarti harta tersebut harus dilelang di Balai Lelang Negara dan dilaksanakan berdasarkan atas peraturan yang berlaku disana.

Namun, Pasal 185 ayat (2) menyebutkan bahwa “dalam hal penjualan di muka umum tidak tercapai maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas.”

Hakim Pengawas jarang membuat Rapat Kreditor untuk mendiskusikan pendekatan-pendekatan yang akan dilakukan untuk menjual harta debitor. Tidak adanya panduan mengenai hal ini, membuat kurator mengikuti Pasal 185 (1) dan melakukan penjualan melalui pusat pelelangan pemerintah/Balai Lelang Negara.

Metode tersebut tidak terlalu efektif. Banyak lelang yang gagal karena para penawar menolak untuk mengikuti harga dasar yang telah ditetapkan. Banyak pihak yang menyatakan bahwa dalam banyak perkara, para penawar dalam proses lelang bersengkongkol untuk menawar tidak jauh dari harga dasar atau tidak menawar sama sekali, membuat kurator harus membatalkan lelang dan mencoba lagi pada harga yang jauh lebih murah.

Proses tersebut dapat terjadi dua hingga tiga kali. Sebelum lelang pertama, dilakukan penilaian terhadap harta untuk menentukan nilai pasar dan nilai likuidasinya. Pada lelang kedua, harga dasar yang ditetapkan adalah setengah dari nilai pasar dan nilai likuidasi. Pada lelang ketiga, harga dasar adalah nilai likuidasi.

Ketika harta tidak menarik pembeli melalui lelang-lelang ini, pembeli biasanya datang dan bersedia membeli harta pada harga yang sama dengan harga dasar terakhir. Seringkali, pembeli ini adalah salah satu partisipan lelang atau koleganya. Dengan adanya pembeli dan perasaan yang lega, kurator akan datang kepada Hakim Pengawas untuk meminta persetujuan atas lelang di bawah tangan pada harga yang sesuai dengan harga dasar pada lelang terakhir yang gagal. Pada saat ini, kurator telah mendapatkan serangkaian fakta yang seakan-akan menjustifikasi penjualan pada harga tersebut.

Pendekatan ini pada dasarnya membutuhkan tiga kali lelang dan sekitar satu tahun untuk menghasilkan harga yang rendah tapi dapat dipertahankan, dimana harta dipindahkan melalui “lelang di bawah tangan”.

Tidak terdapat satupun ketentuan dalam undang-undang yang sekiranya dapat menahan kurator untuk mencoba metode alternatif dalam mencari pembeli ketika lelang pertama gagal. Tapi ini dapat berarti menggunakan pendekatan baru untuk mendapatkan persetujuan hakim untuk menyetujui penjualan di bawah tangan.

Daripada menunggu gagalnya tiga lelang, mencoba mencari pembeli dan kemudian datang ke Hakim Pengawas untuk meminta persetujuan, lebih baik kurator

mempertimbangkan untuk mencoba lelang sebanyak satu kali dan kemudian datang ke Hakim Pengawas dengan membawa solusi alternatif. Idenya adalah untuk mendapatkan persetujuan awal dari Hakim Pengawas mengenai proses penjualan daripada mengenai hasil penjualan. Selama harga dasar untuk usaha penjualan di bawah tangan adalah sama dengan atau lebih tinggi daripada harga dasar yang telah ditentukan pada lelang yang telah gagal maka penjualan di bawah tangan seperti ini akan dapat dibenarkan dan dipertahankan.

Selama disetujui oleh kreditor dalam rapat kreditor sesuai dengan ketentuan Pasal 187, seluruh prosedur penjualan di bawah tangan sesudah lelang dapat diusulkan. Hal yang paling mudah dilakukan adalah kurator membuat daftar harta tidak bergerak melalui agen real estate. Pendekatan lain yang lebih aktif adalah dengan mengorganisasi lelang di bawah tangan melalui perusahaan lelang swasta. Alternatifnya, organisasi kurator dapat membuat situs internet dimana ditampilkan semua harta yang gagal dilelang dan kemudian dijual melalui situs internet pada harga yang sama dengan atau diatas harga dasar yang telah ditetapkan pada lelang yang gagal tersebut.

Pendekatan ini tidak membutuhkan perubahan pada undang-undang atau peraturan lokal. Ini hanya membutuhkan perubahan pada praktek.

Tentunya, pada sesuatu yang baru, selalu terdapat risiko dimana hakim mungkin menolak usul tersebut, pembeli juga menolak, atau bahkan Mahkamah Agung berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan semangat dari Undang-undang. Ada juga kemungkinan dimana pihak ketiga atau Departemen Keuangan akan menolak penjualan seperti itu dengan alasan penjualan dilakukan tanpa adanya izin.

3. Haruskah Kode Etik Hakim dan Kurator/Pengurus Melarang Adanya Komunikasi Selain di Ruang Sidang dan Melalui Jalur Resmi?

Larangan tersebut berarti bahwa kurator dan pengurus tidak lagi dapat bertemu dengan hakim untuk memutuskan bagaimana menjalankan perkara. Permohonan apapun yang membutuhkan persetujuan hakim harus diajukan dalam bentuk tertulis yang formal dengan juga memberitahukan pihak-pihak lain yang terkait. Diskusi antara hakim dengan kurator/pengurus harus dilakukan di sidang terbuka, dengan dihadiri oleh para kreditor.

Peraturan seperti itu akan, secara substansial, mengubah cara kurator dan pengurus dalam berhubungan dengan pengadilan niaga. Kebanyakan kurator dan pengurus bertemu secara rutin dengan hakim pengawas perkara mereka, untuk mendiskusikan pilihan-pilihan dan untuk mendapatkan konfirmasi atas tindakan yang dilakukan, bahkan meskipun konfirmasi tersebut sebenarnya tidak diwajibkan. Hal-hal tersebut tidak akan terjadi lagi jika peraturan yang diusulkan diterima.

Usulan tersebut berasal dari kekhawatiran yang sama yang melarang komunikasi diluar pengadilan antara hakim dengan para pihak. Lihat Pedoman Perilaku Hakim, Pedoman No.1.2.3 Penerapan larangan yang sama untuk para kurator dan pengurus layak untuk didiskusikan.

Sebagai titik awal, sangat penting untuk dimengerti adanya konflik yang potensial yang dimiliki oleh kurator atau pengurus dalam suatu perkara serupa. Di satu pihak, tugas kurator/pengurus adalah untuk melayani kepentingan kreditor secara keseluruhan. Tanggung jawab kepada kreditor ini dapat saja bentrok dengan kebutuhan untuk menjaga agar hakim tetap senang. Kurator dan pengurus ditunjuk oleh pengadilan dan pengadilanlah yang

3 Pedoman Perilaku Hakim No. 1.2.1 menyebutkan bahwa hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan. Selanjutnya, dalam rangka menjamin terciptanya keadilan tersebut, Pedoman Nomor 1.2.2 menetapkan bahwa hakim tidak boleh berkomunikasi:

Dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakukan dan ketidak berpihakan.

menetapkan gaji mereka. Ini mungkin saja membuat kurator/pengurus menjadi mengkompromikan tugasnya kepada kreditor demi membuat hakim senang.

Di negara-negara lain, ketika hakim dan kurator/pengurus sudah terlalu akrab dan santai satu sama lain maka yang akan terbentuk adalah “mafia kepailitan” (bankruptcy mafia)4. Hakim dan kurator bersekongkol, kadang-kadang juga dengan debitor, untuk mengambil harta dari debitor dengan biaya yang ditanggung oleh kreditor. Hal tersebut akan lebih sulit lagi ditolak dan lebih mudah untuk dilakukan ketika hakim dan kurator/pengurus dapat berbicara dengan hakim di ruang tertutup secara rutin.

Peraturan untuk tidak boleh melakukan kontak akan membuat hal tersebut sulit dilakukan. Kurator atau pengurus tidak boleh berada di pengadilan selain hari-hari dimana ada sidang. Hubungan via telepon memang mungkin terjadi, tapi teknologi saat ini memungkinkan pembicaraan via telepon dapat dilacak dan disadap. Lebih lanjut lagi, hubungan via telepon merupakan merupakan cara pengganti yang buruk dibandingkan dengan hubungan langsung tatap muka dalam hal salah satu pihak berusaha untuk meyakinkan pihak lain untuk “berkompromi”.

Jika peraturan ini diterapkan, mungkin pertama-tama akan terdapat kebingungan dan ketidakteraturan tapi kemudian para pihak pasti akan cepat beradaptasi. Sebenarnya, ini merupakan hal yang diinginkan oleh UU No. 37 dimana kurator dan pengurus diharapkan bertindak secara independen. Hanya terdapat beberapa kecil contoh dalam UU Kepailitan dimana kurator atau pengurus diwajibkan untuk meminta persetujuan hakim untuk melanjutkan jalannya perkara. Peraturan ini akan memaksa kurator dan pengurus untuk bertanggung jawab atas setiap tindakannya. Jika kurator atau pengurus memaksa untuk mendapatkan persetujuan atas tindakan sementara hal tersebut tidak diwajibkan, maka hal itu tetap dapat dilakukan tapi hanya melalui jalur resmi yaitu surat dan sidang/rapat yang terbuka. Pada saat bersamaan, terdapat alasan untuk berpikir bahwa peraturan seperti itu dapat membatasi kebebasan kemajuan jalannya perkara kepailitan dan PKPU dengan hanya memberi sedikit manfaat sebagai kompensasinya. Jika kurator dan hakim ingin berkolusi secara ilegal, mereka tentunya akan menemukan jalan meskipun terdapat larangan formal apapun. Hal ini hanya akan berpengaruh terhadap hakim-hakim dan kurator/pengurus yang jujur dimana mereka terikat oleh hambatan secara hukum ketika hal paling penting yang harus dilakukan adalah menyelamatkan debitor dan hartanya.

4. Haruskah Pengadilan Niaga Membuat Contoh-contoh Formulir Untuk Setiap Permohonan yang Akan Diajukan Oleh Debitor, Kurator, Pengurus atau Kreditor di Bawah UU No. 37?

Terdapat lusinan contoh dalam UU No. 37 dimana seorang hakim harus membuat keputusan untuk kepentingan debitor dan para kreditor. Kebanyakan dari keputusan-keputusan tersebut disebabkan oleh adanya permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan. Permohonan yang rasional dan terfokus untuk satu keputusan atau tindakan sangat mungkin membantu agar hakim mengambil keputusan yang cepat dan efektif.

Proses ini dapat dipermudah dengan membuat serangkaian contoh permohonan untuk para pihak dalam perkara kepailitan. Contoh formulir biasa akan menyajikan elemen-elemen dimana pemohon harus menjelaskan atau membuktikan agar hakim mau mengeluarkan penetapan atau putusan yang diminta. Formulir-formulir semacam ini akan berguna jika komunikasi informal sepihak antara hakim dengan kurator/pengurus dilarang.

4 Ini adalah istilah yang digunakan oleh media di Serbia untuk mendeskripsikan salah satu skandal korupsi terbesar beberapa tahun terakhir.

Namun, terdapat beberapa hambatan untuk membuat hal ini menjadi kenyataan. Membuat satu paket model formulir permohonan akan membutuhkan tingkat kerjasama dan komunikasi yang terjaga dengan baik antara pengadilan-pengadilan niaga, dua organisasi kurator/pengurus, dan para kreditor. Lebih lanjut, tidak ada kepastian apakah pengadilan niaga mempunyai kewenangan untuk menjadikan formulir-formulir tersebut sebagai bentuk yang resmi. Selama ini, Mahkamah Agung dipandang sebagai instansi tunggal yang dapat mendistribusikan buku-buku pedoman dan model-model formulir.

5. Haruskah Pengadilan Niaga dan Organisasi Kurator Membuat Formulir Rujukan Kepada Jaksa Jika Terbukti Bahwa Terjadi Pelanggaran Atas Ketentuan-ketentuan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berhubungan Dengan Perkara Kepailitan?

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, Undang-Undang No.1 Tahun 1946 (selanjutnya disebut KUHP), mengenali beberapa tindak pidana yang berhubungan dengan perkara kepailitan. Contoh tindakan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, dari pihak debitor, adalah lalai menyerahkan laporan perusahaan, tidak dapat mempertanggungjawabkan harta, dan menciptakan atau menggembungkan nilai tagihan kreditor tertentu. Kreditor juga dapat dipidana, misalnya dalam kasus dimana mereka memalsukan tagihan atau menggembungkan jumlah tagihan yang mereka miliki.5

Pada umumnya, setiap orang yang membuat kesaksian palsu dibawah sumpah, baik lisan maupun tulisan dapat dipidana. Dengan tidak memperhatikan apakah orang tersebut bersaksi secara langsung atau dengan surat kuasa khusus.6

Yang selama ini diketahui tindak pidana seperti ini sering sekali dilakukan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Namun, jikapun ada laporan mengenai tindak pidana ini, hanya sedikit yang kemudian dituntut.

Kewenangan untuk memeriksa perkara pidana dibawah KUHP bukan merupakan yurisdiksi pengadilan niaga. Pengajuan perkara pidana merupakan tanggung jawab pihak Kejaksaan.

Baik di Indonesia maupun di negara lain, banyak prosedur telah dikembangkan untuk mempermudah pelaporan tindak pidana kepada pihak yang berwenang. Di Indonesia, contoh yang paling mudah dilihat adalah pelaporan kegiatan yang mencurigakan dibawah Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Di negara-negara lain, instansi pemerintah diwajibkan mengajukan formulir rujukan adanya tindak pidana kepada pihak yang berwenang ketika mereka menemukan adanya bukti bahwa suatu tindak pidana telah terjadi.

Kelihatannya akan ada manfaatnya untuk membuat suatu prosedur laporan yang serupa jika tampak bukti adanya tindak pidana sehubungan dengan perkara kepailitan. Program ini dapat dilakukan secara sukarela atau wajib. Pelaporan tindak pidana tersebut dapat dipermudah dan didorong dengan membuat formulir pelaporan baku dan mengumumkan mengenai pasal-pasal KUHP yang terkait di papan pengumuman di gedung pengadilan. Dari pihak Kejaksaan, dapat dilakukan klarifikasi atas beberapa perbedaan kecil dalam UU No. 37 dan bagaimana cara menginterpretasikan formulir saat diterima oleh Kejaksaan.

Agar adil dan seimbang, harus diingat bahwa pihak Kejaksaan sudah mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukan, dan ancaman hukuman yang tidak terlalu berat tersedia pada pengadilan niaga dan kurator/pengurus. Para pembuat kebijakan harus hati-hati dalam menimbang biaya dan usaha dalam pembuatan sistem pelaporan ini hingga ke potensi keuntungan yang mungkin didapatkan dari sistem ini.

5 Lihat KUHP, Pasal 396-402.

6

C. Bagian Kedua: Pilihan-Pilihan Sehubungan Dengan Perubahan atau Penggantian