• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional Kepailitan Usaid in Acce Project Akpi"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL KEPAILITAN

“Antisipasi Krisis Keuangan Kedua,

Sudah Siapkah Pranata Hukum

Kepailitan Indonesia?”

(2)

Seminar Nasional tentang Kepailitan telah dilaksanakan oleh Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) dengan dukungan dari rakyat Amerika melalui USAID (United States Agency for International Development). Materi yang terdapat dalam prosiding hasil seminar ini merupakan tanggung jawab penulis dan bukan menggambarkan kebijakan dari USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

(3)

Susunan Acara Seminar Nasional Kepailitan

Rabu, 29 Oktober 2004

08:00 - 09:00 : Pendaftaran Peserta Seminar 09:00 - 09:45 : Sambutan

09:45 - 10:00 : Rehat

10:00 - 12:00 : Sesi Pertama, Moderator: GP. Aji Wijaya, S.H

1. Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia (Analisis Kritis mengenai Keberhasilan dan Kegagalan)

Oleh: Kartini Muljadi, S.H.

2. Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan dari Segi Prosedural

Oleh: Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

3. Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak Versus Kedudukan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan Perusahaan

Oleh: Elijana Tansah, S.H.

4. Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya

Oleh: Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF.CIP 12:00 - 13:00 : Makan Siang

13:00 - 15:00 : Sesi Kedua, Moderator: Paul Sukran, S.H.

1. Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator

Oleh: Yan Apul Girsang, S.H.

2. Peran Hakim Pengawas dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit

Oleh: Agus Subroto, S.H., M.H.

3. Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Penyidik

Oleh: AKBP. CH. Patoppoi, SSTMK, S.H. 15:00 - 15:15 : Rehat

15:15 - 17:00 : Sesi Ketiga, Moderator: Ali, Ak. BAP., M. Com., CPA.

Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya

(4)

Working Committee

Seminar Nasional Kepailitan Kerjasama AKPI dan Proyek In-ACCE

Steering Committee

Fred B. G. Tumbuan, S.H.

DR. Syamsudin Manan Sinaga, S.H., M.H. Ricardo Simanjuntak, S.H., LL.M., ANZIIF, CIP. Yan Apul, S.H. Gunawan Widyaatmadja, S.H. Edino Girsang, S.H. Mike Sheppard Patrick J. Wujcik Daniel J. Fitzpatrick Organizing Committee Ketua : Junaedi, S.H., LL.M.

Wakil Ketua : Ali, Ak., BAP, M.Comm, CPA Muhammad Ismak, S.H. Paul Sukran, S.H. Marjan E. Pane, S.H. Sekretaris : Ferhat Sartono, S.H., M.H.

Iva Diah Noor, S.H. Sheila Salomo, S.H.

Bendahara : Duma Hutapea, S.H.

Ria Nuri Dharmawan, S.H. Pengkaji Makalah : Timur Sukirno, S.H., LL.M.

DR. Andre Sitanggang, S.H., MM. William E. Daniel, S.E., S.H., LL.M., MBL. Chemby J. Hutapea, S.H.

Darwin Marpaung, S.H.

PR & LO : Safitri Hariyani Saptogino, S.H., M.H. Denny A. Latief, S.H.

Desita Sari, S.H. General Affair &

Dokumentasi

: Jimmy Simanjuntak, S.H. Otto Bismark Simanjuntak, S.H. Akomodasi : Maria Leweresia, S.H.

Titik Kiranawati Soebagjo, S.H. Sahroni, S.H.

Other Contributors

Bellatrix Shaula Vanessa Bogar Cucu Asmawati, S.H.

Diah Lestari Pitaloka, S.H., MKn. Fitria Djemaat, S.H., MKn. Nur Hayati, S.H.

Panji Nindyaputra Sudoyo, S.H. Rizkiansyah

Seruni Lissari Saerang, S.H. Susan Kumaat, MBA.

(5)

Kata Pengantar

Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI)

Pertama-tama, sebagai Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), saya sangat mendukung dan mengucapkan terimakasih atas kerjasama Tim USAID In Acce Project dan Media Hukumonline, sehingga dapat dipublikasikannya Prosiding dari Seminar Nasional kepailitan dengan topik: ”Antisipasi Krisis Keuangan Kedua, Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?” yang dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2008 lalu di Jakarta, sebagai hasil Kerjasama USAID In ACCE Project dan AKPI sebagai suatu langkah refleksi dari 10 tahun Reformasi Undang-Undang Kepailitan Indonesia (UU Kepailitan).

Melihat kebelakang, yaitu 10 tahun lalu, kebutuhan untuk mereformasi UU Kepailitan diyakini oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu kebutuhan yang sangat urgent, dan bahkan bersifat emergency dalam upaya menyelesaikan konflik utang-piutang - yang diduga meningkat secara luar biasa diantara kreditur dan debitur sebagai akibat dari krisis moneter yang melanda Indonesia ketika itu – secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Undang-Undang Kepailitan peninggalan Belanda, Faillisements Verordening, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 secara tegas-tegas dianggap tidak dapat diandalkan lagi begitu pula dengan keberadaan Pengadilan Indonesia ketika itu. Sehingga, dalam keyakinan atas kepentingan yang memaksa, reformasi UU Kepailitan ketika itu dilakukan dengan memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) no. 1 Tahun 1998.

Krisis ekonomi global yang juga mengalir ke Indonesia saat ini, membangunkan kembali pertanyaan sampai sejauh mana Reformasi UU Kepailitan (yang dihadirkan melalui PERPU No. 1 tahun 1998 dan kemudian diundangkan menjadi UU No. 4 tahun 1998 dan kemudian disempurnakan melalui UU No. 37 tahun 2004 tersebut), telah mampu menyelesaikan konflik utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif dan berkepastian hukum? Masa 10 tahun keberlakuannya menjadi jawaban untuk dapat menyimpulkan apakah Hukum Kepailitan Indonesia telah dapat diandalkan, atau malah sebaliknya, masih harus mengalami penyempurnaan lagi? Mengapa kepercayaan pencari keadilan terhadap UU Kepailitan tidak begitu menggembirakan?

Bentuk-bentuk pemikiran tersebut di ataslah yang menjadi latar belakang dari kerjasama AKPI dan USAID In Acce project dalam menyelenggarakan Refleksi 10 tahun UU Kepailitan Indonesia. Dari seminar nasional tersebut ternyata muncul keinginan untuk kembali memperbaiki UU Kepailitan dan juga konsekuensi dari pelaksanaannya. Hal tersebut terlihat dalam pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para Pembicara begitu pula respons dari beberapa peserta seminar yang hadir.

Untuk itulah Prosiding ini menjadi penting untuk dipublikasikan, untuk dapat dibaca dan direspons oleh lebih banyak pihak, yang kesemuanya bertujuan untuk membangun suatu UU Kepailitan dan Pengadilan Niaga yang benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan utang piutang secara adil, cepat, terbuka, efektif dan berkepastian hukum. Hormat saya,

Jakarta, Juni 2009

Ricardo Simanjuntak, S.H.,LL.M.,ANZIIF.CIP Ketua Umum

(6)

Kata Pengantar

USAID Indonesia ACCE (In-ACCE) Project

Dalam tiga tahun terakhir ini, proyek In-ACCE (Proyek Peningkatan Pengadilan Tipikor & Pengadilan Niaga – Indonesia) yang didanai oleh USAID telah bekerjasama erat dengan Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk mendukung upaya reformasi di lima pengadilan negeri di Indonesia yang memiliki wilayah hukum Pengadilan Niaga dan Pengadilan Tipikor. Karena perkara kepailitan dan PKPU merupakan bagian yang penting dalam agenda pengadilan niaga, maka In-ACCE melakukan kerjasama dengan AKPI dalam menyelenggarakan Seminar Nasional tentang Kepailitan dan Krisis Keuangan yang terjadi baru-baru ini.

Pertanyaan pokok pada seminar tersebut adalah apakah sistem kepailitan di Indonesia telah siap untuk membantu debitor dan kreditor dalam menyelesaikan masalah keuangan yang terjadi sebagai akibat dari krisis keuangan yang melanda Indonesia. Hampir sepenuhnya disepakati di antara para pembicara dan kontributor bahwa masih banyak yang harus diselesaikan. Sepuluh tahun setelah diberlakukannya undang-undang kepailitan “modern” Indonesia, masih terdapat masalah-masalah, baik dalam teks undang-undang kepailitan itu sendiri dan mungkin juga yang terlebih penting adalah tentang bagaimana pelaksanaannya.

Banyak pembicara memperhatikan bahwa secara relatif hanya sedikit permohonan kepailitan yang diajukan setiap tahun, walaupun kita mendengar bahwa cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa banyak utang yang tidak terbayar dan banyak terjadi kesulitan keuangan. Ada kemungkinan bahwa baik kreditor dan debitor sudah kurang percaya lagi kepada pengadilan dalam membantu mereka menyelesaikan masalah mereka.

Untuk memulihkan kepercayaan ini tidaklah mudah dan akan memakan waktu serta kesabaran. Tetapi, tidak diragukan lagi bahwa hal ini patut diusahakan. Saya hanya ingin memberi contoh mengenai negara asal saya, Amerika Serikat. Perusahaan Chrysler dan General Motors telah mengajukan permohonan pailit atas desakan Washington. Negara Amerika Serikat, yang mengusung reformasi undang-undang kepailitan di Eropa Timur, negara-negara pecahan Uni Soviet, dan Asia Tenggara selama 15 tahun terakhir, pada akhirnya mempraktikkan apa yang mereka selama ini wacanakan. Mereka telah mendorong dua perusahaan produsen mobil terbesar di dunia untuk menyelesaikan kesulitan keuangan yang dihadapinya melalui undang-undang kepailitan.

Pada pundak dua orang hakim kepailitan yang menyidangkan dua perkara tersebut terletak nasib dari ribuan pekerjaan dan usaha kecil yang bergantung pada industri mobil Amerika Serikat. Apabila berhasil, maka kedua perusahaan tersebut setelah proses kepailitan akan menjadi perusahaan yang lebih kecil, tetapi akan dapat bersaing dengan Toyota dan Volkswagen di kancah dunia. Tetapi apabila tidak berhasil, maka kedua perusahaan mobil tersebut seperti berada di atas jembatan yang menghubungkan antara pengadilan akhirat dan surga dimana di bawah jembatan tersebut terdapat neraka (shiroothol mustaqiim) selama bertahun-tahun, karena bank, pemegang surat berharga dan buruh akan saling berebut harta pailit dari proses tersebut.

Walaupun akan memakan waktu lama bagi kita untuk mengetahui nasib dari Chrysler dan General Motors, setidak-tidaknya kita mengetahui bahwa Amerika Serikat mempunyai keyakinan akan dapat mengatasinya melalui pengadilan yang menangani kepailitan pada saat krisis terjadi.

(7)

Publikasi prosiding ini mungkin tidak memberikan jawaban terhadap pertanyaan di atas. Akan tetapi, perlahan-lahan harus ditanamkan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap undang-undang kepailitan serta pelaksanaannya yang saat ini masih dalam perjalanan menuju arah yang tepat. Pembahasan dalam publikasi ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana persepsi yang ada terhadap undang-undang kepailitan serta pelaksanaannya, dan hal-hal apa yang masih harus ditangani untuk perkembangan selanjutnya. Hormat Saya,

Jakarta, Juni 2009

Daniel J. Fitzpatrick

(8)

Daftar Isi

Seminar Nasional Kepailitan “Antisipasi Krisis Keuangan Kedua,

Sudah Siapkah Pranata Hukum Kepailitan Indonesia?”

Materi I – Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia ... 1

A. Catatan Pendek Sejarah Perundang-undangan Kepailitan di Indonesia ... 1

B. Apakah Banyak Perkara Kepailitan Yang Telah Masuk Pengadilan Niaga? Jika Tidak, Mengapa? ... 1

Materi II – Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan dari segi Prosedural ... 9

A. Pengantar ... 9

B. Pertimbangan Perlunya Perubahan Sistem Pemeriksaan ... 9

C. Peranan Pengadilan Tinggi Sebagai Hakim Instansi Pertama dalam Perkara Kepailitan ... 10

D. Kendala-kendala Yang Dihadapi ... 10

E. Kesimpulan ... 11

Materi III – Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak versus Kedudukan Kreditur Separatis dalam Kepailitan Perusahaan ... 12

A. Arti Kepailitan ... 12

B. Lima Golongan Kreditur dalam Kepailitan ... 12

C. Cara Kurator Melakukan Pembayaran Kepada Para Kreditur dari Debitur Pailit ... 14

D. Batas Waktu Tanggung Jawab Kurator terhadap Pembayaran Utang Wajib Pajak Yang Pailit dari Harta Pailit ... 16

E. Penutup ... 16

Materi IV – Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 sehubungan dengan Penyelesaian Kewajiban Perseroan Pailit terhadap para Krediturnya ... 17

A. Pendahuluan ... 17

B. Sebagai Legal Entity, Perseroan Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Ataupun Dimohonkan Pailit ... 19

C. Tidak Dilunasinya Utang Yang Telah Jatuh Tempo Merupakan Dasar dari Dapat Dipailitkannya Sebuah PT ... 24

D. Kepailitan PT bukan Kepailitan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Kecuali Terbukti Terjadinya Pelanggaran Hukum ... 26

E. Kedudukan Hukum PT Secara Tegas Dicantumkan dalam Anggaran Dasarnya ... 28

F. Badan Hukum Persero Yang Juga Tunduk pada Ketentuan UU No. 40 Tahun 2007, Dapat Dipailitkan Tanpa Membutuhkan Izin Menteri Keuangan ... 29

G. PT yang sedang Dilikuidasi Akibat dari Pembubaran (Winding Up) Masih Dapat Dipailitkan 30 H. Putusan Pailit Pengadilan Indonesia Tidak Dapat Dieksekusi di Negara Asing ... 34

Materi V – Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Kurator... 36

A. Pendahuluan ... 36

(9)

C. Hambatan yang Ditemui Kurator dalam Praktek ... 37

1. Asset Tracing dan Asset Recovery ... 37

2. Peranan Asosiasi Kurator ... 40

3. Hak Panitia Kreditur vs Kewenangan Kurator ... 41

D. Solusi Yang Ditawarkan ... 41

E. Penutup ... 41

Materi VI – Peran Hakim Pengawas dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ... 42

A. Pendahuluan ... 42

B. Proses Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit ... 44

C. Melanjutkan Usaha (On Going Concern) ... 47

D. Rapat Verifikasi (Pencocokan Piutang) ... 47

E. Perdamaian (Akoord) ... 48

F. Insolvensi ... 50

G. Penutup ... 52

Materi VII – Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan Pemecahannya dari Sudut Pandang Penyidik ... 69

A. Pengertian ... 69

B. Hukum Acara UU Kepailitan ... 70

C. Tugas POLRI yang Berkaitan dengan Kepailitan ... 70

D. Pasal KUHP yang terkait dengan Kepailitan ... 71

E. Permasalahan dalam Penyidikan Tindak Pidana yang Berkaitan dengan Kepailitan ... 74

F. Kesimpulan dan Saran Pemecahan ... 74

Materi VIII – Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya ... 76

A. Pendahuluan ... 76

B. Bagian Pertama: Pilihan-pilihan Sehubungan Dengan Implementasi ... 76

1. Haruskah AKPI dan IKAPI Mencalonkan Kurator atau Pengurus Untuk Setiap Perkara? . 77 2. Dapatkah Penjualan di Bawah Tangan Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan Dibuat Menjadi Lebih Kompetitif dan Transparan? ... 78

3. Haruskah Kode Etik Hakim dan Kurator/Pengurus Melarang Adanya Komunikasi Selain di Ruang Sidang dan Melalui Jalur Resmi? ... 79

4. Haruskah Pengadilan Niaga Membuat Contoh-contoh Formulir Untuk Setiap Permohonan yang Akan Diajukan Oleh Debitor, Kurator, Pengurus atau Kreditor di Bawah UU No. 37? ... 80

5. Haruskah Pengadilan Niaga dan Organisasi Kurator Membuat Formulir Rujukan Kepada Jaksa Jika Terbukti Bahwa Terjadi Pelanggaran Atas Ketentuan-ketentuan Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berhubungan Dengan Perkara Kepailitan? ... 81

C. Bagian Kedua: Pilihan-Pilihan Sehubungan Dengan Perubahan atau Penggantian UU No. 37 ... 82

1. Haruskah Masing-masing Pengadilan Niaga Mempunyai Kewenangan Untuk Mengeluarkan Peraturan Lokal Mereka Sendiri Sehubungan Dengan Praktek-praktek Kepailitan? ... 82

(10)

2. Haruskah Indonesia Memperkenalkan Ketentuan Mengenai “Awal Baru/Fresh Start” (Contohnya: Memperbolehkan Penghapusan Utang) Untuk Debitor Perorangan? ... 83 3. Haruskah Undang-Undang Mewajibkan Bahwa Untuk Setiap Putusan Kepailitan

Diumumkan Di Internet Sebagai Syarat Keabsahan? ... 84 4. Haruskah Kreditor Yang Berhasil Mengawali Proses Perkara Diberikan Status Istimewa

Sehubungan Dengan Surat Permohonan Mereka?... 85 5. Haruskah Peringkat Dari Berbagai Tagihan Dibuat Secara Ekslusif Berdasarkan Prioritas

Yang Ada di UU Kepailitan? ... 85 6. Haruskah Undang-Undang Diubah Agar Dapat Mengakomodasi Prosedur Perdamaian

Yang Lebih Rumit dan Menyeluruh? ... 87 7. Apakah Prosedur Yang Mengizinkan Kurator Untuk Membatalkan Saham Debitor Pailit,

Menerbitkan Saham Baru dan Kemudian Menjualnya Secara Cepat akan Mendorong Likuidasi yang Lebih Cepat Dan Lebih Efisien? ... 88 8. Haruskah Suatu Proses Formal Dibentuk Untuk Menangani Kepailitan Transnasional? ... 89 9. Jika Diperlukan Perubahan Yang Besar Terhadap UU No. 37, Haruskah Perubahan

Tersebut Dalam Bentuk Undang-Undang Baru ataukah Cukup Dengan Amandemen Terhadap Undang-Undang Yang Ada Sekarang? ... 91 D. Bagian Ketiga: Pilihan Sehubungan Dengan Lingkungan Perundang-undangan Di Luar

Kepailitan Yang Dapat Mempengaruhi Pelaksanaan UU No. 37 atau yang Menggantikannya ... 92 1. Haruskah Pihak-pihak Swasta, Dengan Lisensi, Diizinkan Untuk Melaksanakan Putusan

Pengadilan? ... 92 2. Apakah Mengurangi Prioritas yang Diberikan Terhadap Otoritas Pajak Dapat

Meningkatkan Jumlah yang Ditagih Melalui Proses Kepailitan Melalui Peningkatan Jumlah Pengajuan Kepailitan? ... 93 3. Haruskah Likuidator Perusahaan Di Luar Proses Kepailitan Dibuat Secara Eksplisit dan

Secara Penuh Bertanggung Jawab Terhadap Utang Perusahaan? ... 95 E. Kesimpulan ... 95

(11)

Materi I

Sepuluh Tahun Berlakunya Peraturan Perundang-undangan Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia

Oleh Kartini Muljadi, S.H.

A. Catatan Pendek Sejarah Perundang-undangan Kepailitan di Indonesia

Bermanfaat kiranya jika kita mulai dengan mengingat kembali pengaturan kepailitan di Indonesia. Sudah sejak tahun 1906, di Indonesia (ketika itu “Hindia Belanda”), berlaku

Faillissements Verordening. Mulai tahun 1997, kita mengalami terpuruknya mata uang Rupiah

dan mulainya krisis ekonomi dan keuangan. Maka, dirasakan perlu untuk antara lain mengadakan perbaikan/penyempurnaan peraturan perundang-undangan kepailitan. Pada tanggal 22 April 1998, Faillissements Verordening tersebut diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) No. 1 Tahun 1998 dan perubahan tersebut berlaku sejak tanggal 20 Agustus 1998. Perpu tersebut kemudian diberlakukan sebagai undang-undang oleh Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Saya anggap tahun 1998 ini sebagai titik awal peraturan kepailitan nasional. Pada tanggal 18 Oktober 2004 mulai berlaku Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal 307 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku Faillissements

Verordening dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

B. Apakah Banyak Perkara Kepailitan Yang Telah Masuk Pengadilan Niaga? Jika Tidak, Mengapa?

Hemat saya, belum banyak permohonan pernyataan pailit diajukan pada Pengadilan Niaga di tahun-tahun belakangan ini. Apakah hal ini pertanda baik bahwa banyak Debitor menepati kewajiban pembayaran utang mereka? Jika benar, hal ini merupakan suatu kemajuan bagi dunia perbankan kita dan dunia usaha kita pada umumnya.

Ataukah kecilnya jumlah permohonan pernyataan pailit yang diajukan itu, disebabkan karena UU No. 4 Tahun 1998 dan UU No. 37 tahun 2004 (“UU Kepailitan”) telah diberlakukan, dan peraturan kepailitan ini memang memenuhi tujuannya untuk memberikan perlakuan yang adil dan seimbang, baik bagi Kreditor maupun bagi Debitor, dan dengan demikian mengurangi risiko bagi pihak yang meminjamkan dana kepada pihak lain?

Namun, hemat saya, sedikit sekali Kreditor dan Debitor mengajukan permohonan kepailitan ke Pengadilan Niaga karena alasan utama sebagai berikut:

1. Saya peroleh kesan bahwa pencari keadilan kurang percaya pada jalannya peradilan di Indonesia, dan pada konsistensi putusan Pengadilan Niaga;

2. Masing-masing pihak dalam perkara saling mencurigai pihak lainnya, karena mengira bahwa pihak lawan mempunyai hubungan tertentu yang lebih baik dengan pihak, yang baik langsung maupun tidak langsung, mempunyai hubungan di Pengadilan Niaga, sehingga lebih mudah untuk memenangkan perkaranya walaupun sebenarnya pihak lain tersebut tidak mempunyai posisi hukum yang kuat untuk memenangkan perkaranya;

3. Selain alasan tersebut di atas, Debitor sendiri enggan mengajukan permohonan pailit, karena kepailitan menunjukkan antara lain kegagalan Debitor dalam menjalankan usahanya sebagaimana mestinya. Lagipula, akibat dinyatakan pailit, Debitor, demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit, sejak tanggal Putusan Pernyataan Pailit diucapkan. Yang kemudian melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit adalah Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas (Pasal 24 dan Pasal 16 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Mengingat Putusan Pernyataan Pailit bersifat serta merta, maka baik upaya hukum kasasi maupun peninjauan kembali tidak dapat mencegah terjadinya status pailit Debitor tersebut di atas, sejak tanggal Putusan Pailit diucapkan;

(12)

4. Memang perkara kepailitan yang diajukan ke Pengadilan Niaga jumlahnya tidak begitu banyak jika dibandingkan dengan jenis perkara lainnya. Karenanya, tidak dapat diperoleh banyak yurisprudensi atau tulisan tentang kepailitan yang dapat membantu para Hakim, Advokat, Kurator, Pengurus dan pihak lainnya untuk mengembangkan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menangani dan menyelesaikan perkara kepailitan. Dengan demikian, penyelesaian perkara kepailitan jarang berjalan lancar sebagaimana diharapkan masyarakat pencari keadilan. Lagipula, terkesan ada keterlambatan yang mengganggu pada waktu Pengadilan Niaga memutuskan perkara permohonan pailit, mengeluarkan salinan putusan Pengadilan Niaga, putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung. Keterlambatan ini dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum.

5. Juga aspek biaya, yang mungkin membuat suatu pihak enggan untuk mengajukan perkara kepailitan. Kenyataannya memang proses penyelesaian perkara pailit membutuhkan biaya yang tidak kecil dan waktu yang relatif lama. Tampaknya muda untuk menyatakan Debitor pailit karena secara teoritis menurut Pasal 2 UU Kepailitan, hanya diperlukan bukti sederhana bahwa Debitor mempunyai 2 (dua) atau lebih Kreditor dan Debitor tidak membayar lunas sedikit-dikitnya satu utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.

6. Namun, menurut hemat saya, kendala utama bagi pihak-pihak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, adalah proses hukum berikutnya yang harus dijalani untuk melaksanakan Putusan Pernyataan Pailit. Inilah yang pada kenyataannya sangat sulit, rumit, dan sering terkesan bertele-tele sebagaimana akan diuraikan di bawah ini.

a. Proses pencocokan piutang (verifikasi)

Menurut Pasal 26 & Pasal 27 UU Kepailitan, suatu tuntuntan mengenai hak dan kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator, jadi tidak dapat langsung terhadap Debitor.

Tuntutan untuk memperoleh pemenuhan suatu perikatan dari harta pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan atau verifikasi. Verifikasi diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Kepailitan.

Proses verifikasi tidak sederhana karena ada piutang yang diakui dan ada yang dibantah oleh Kurator. Dalam hal ada bantahan, dan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan Kreditor yang piutangnya dibantah oleh Kurator, maka Hakim Pengawas dapat memerintahkan agar kedua belah pihak menyelesaikan sengketa tersebut di Pengadilan Negeri (proses renvooi).

Kalau memang diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri, maka terhadap Putusan Pengadilan Negeri dalam perkara tersebut, masih ada upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali yang dapat dilakukan sehingga prosesnya makin lama (Pasal 127 UU Kepailitan). Jadi, proses verifikasi piutang dapat memerlukan waktu yang lama.

b. Proses perdamaian

Selanjutnya ada proses perdamaian (accoord). Sebagaimana diatur di dalam Pasal 144 sampai dengan pasal 177 UU Kepailitan, Debitor berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.

Rencana perdamaian dibicarakan dalam Rapat Kreditor untuk dapat diterima atau ditolak oleh Rapat Kreditor.

Kemudian usul perdamaian yang diterima baik oleh Rapat Kreditor tersebut diajukan ke Pengadilan Niaga untuk disahkan (homologatie). Pengadilan Niaga dapat menolak atau mengesahkan usul perdamaian tersebut.

(13)

Jika Pengadilan Niaga menolak mengesahkan perdamaian, baik Kreditor yang menyetujui perdamaian maupun Debitor pailit dalam waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan, dapat mengajukan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Niaga tersebut ke Mahkamah Agung (Pasal 160 ayat (1) UU Kepailitan).

Jika Pengadilan Niaga mengabulkan pengesahan perdamaian, maka terhadap putusan tersebut dalam waktu 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan Pengadilan diucapkan, dapat diajukan kasasi oleh Kreditor yang menolak perdamaian atau yang semula menyetujui perdamaian namun kemudian mengetahui bahwa perdamaian dicapai karena penipuan (Pasal 160 ayat (2) UU Kepailitan).

c. Proses pemberesan

Proses pemberesan harta pailit (vereffening) diatur dalam Pasal 178 sampai dengan Pasal 203 UU Kepailitan. Menurut Pasal 178 ayat (1), jika dalam Rapat Pencocokan Piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka demi hukum harta pailit dalam keadaan insolven.

Lantas Hakim Pengawas mengadakan Rapat Kreditor untuk mengatur cara pemberesan harta pailit (Pasal 187 UU Kepailitan). Kurator wajib menyusun dan menyerahkan daftar pembagian harta pailit kepada Kreditor yang piutangnya sudah dicocokkan. Daftar Pembagian tersebut harus disetujui oleh Hakim Pengawas (Pasal 189 UU Kepailitan).

Terhadap Daftar Pembagian tersebut, Kreditor dapat mengajukan perlawanan ke Pengadilan Niaga (Pasal 193 UU Kepailitan). Terhadap Putusan Pengadilan Niaga atas perlawanan tersebut Kreditor/Kurator berhak mengajukan kasasi (Pasal 196 UU Kepailitan).

Kepailitan baru berakhir setelah kepada Kreditor yang telah dicocokkan dibayarkan penuh piutang mereka atau segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat (Pasal 202 UU Kepailitan).

Dari uraian di atas, ternyata bahwa proses sejak diucapkannya Putusan Pernyataan Pailit sampai berakhirnya kepailitan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit.

Oleh karenanya, kita seringkali melihat bahwa baik Debitor maupun Kreditor lebih memilih jalan untuk berdamai dan menyelesaikan perselisihan mereka di luar pengadilan daripada mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga.

7. Alasan lain yang menyebabkan pencari keadilan enggan mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, mungkin karena sering terjadi sikap Hakim Pengawas yang tidak konsisten sebagaimana tampak dalam kasus di bawah ini.

Suatu Perseroan Terbatas (“PT Debitor”) dinyatakan pailit berdasarkan putusan Pengadilan Niaga yang telah berkekuatan hukum tetap dan putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung tetap menyatakan pailit PT Debitor.

Setelah PT Debitor dinyatakan pailit, maka diselenggarakan Rapat Kreditor untuk membicarakan rencana perdamaian yang diajukan oleh PT Debitor. Rapat ini menerima baik rencana perdamaian yang diajukan oleh PT Debitor. Kemudian Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan mensahkan perdamaian yang berkekuatan hukum tetap (Putusan Homologasi Perdamaian).

Kurator telah mengumumkan Putusan Homologasi Perdamaian tersebut dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditunjuk oleh Hakim Pengawas.

(14)

Setelah tanggal Putusan Homologasi Perdamaian diucapkan dan diumumkan, ternyata PT Debitor menawarkan kepada para Kreditor separatis PT Debitor suatu rencana perdamaian terhadap utang yang dijamin (juga disebut “Secured Debt

Restructuring Plan”). Ternyata mayoritas Kreditor separatis kemudian menyetujui Secured Debt Restructuring Plan tersebut. Tetapi, ada 2 (dua) Kreditor separatis yang

tidak menyetujuinya (mereka kita sebut dengan “PT A” dan “PT B”), sehingga Secured

Debt Restructuring Plan tidak dapat dilaksanakan.

Atas permohonan Kurator, Hakim Pengawas mengeluarkan penetapan (kita sebut “Penetapan I”) dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa karena PT A dan PT B tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan, maka hal ini mengganggu keseluruhan proses restrukturisasi utang Kreditor separatis lain pada khususnya, dan semua Kreditor pada umumnya, berdasarkan rencana perdamaian yang telah disahkan oleh Pengadilan Niaga.

Selanjutnya dipertimbangkan, bahwa Undang-undang Kepailitan bertujuan untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan dan untuk mencegah kesewenang-wenangan pihak Kreditor yang mengusahakan pembayaran atas tagihannya masing-masing tanpa mempedulikan Kreditor lainnya.

Diktum Penetapan Hakim Pengawas berbunyi sebagai berikut:

“Menyatakan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi pada tanggal 16 Nopember 2005, dan rencana perdamaian terhadap utang yang dijamin/Secured Debt

Restructuring Plan tertanggal 29 Nopember 2005, yang ditawarkan oleh PT Debitor

kepada Kreditor Separatis adalah sah dan mengikat semua Kreditor baik Kreditor konkuren maupun Kreditor separatis termasuk Kreditor separatis yang tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan (PT A dan PT B).”

Kemudian, PT A dan PT B sebagai Kreditor separatis mengajukan keberatan atas Penetapan I tersebut di atas, dengan alasan bahwa PT A dan PT B sebagai Kreditor separatis tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan yang diajukan PT Debitor. Kira-kira dua bulan setelah Penetapan I dikeluarkan, Hakim Pengawas yang sama mengeluarkan Penetapan lagi yang merevisi Penetapan I (kita sebut “Penetapan II”). Pertimbangan hukum Penetapan II antara lain menyebutkan Pasal 162 UU Kepailitan yang berbunyi sebagai berikut:

“Perdamaian yang disahkan berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, tanpa ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak. Selanjutnya, dipertimbangkan bahwa Kreditor separatis yang tidak menyetujui Secured Debt Restructuring Plan tidak dapat dipaksa untuk diikat dan harus dikeluarkan dari Secured Debt Restructuring Plan tersebut.”

Hakim Pengawas tersebut memakai secara analogi Pasal 281 UU Kepailitan. Diktum Penetapan II berbunyi:

• Menyatakan perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi melalui Putusan Homologasi nomor _______ tanggal ______ mengikat seluruh Kreditor Konkuren tanpa terkecuali baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun tidak.

• Menyatakan Rencana Perdamaian terhadap hutang yang dijamin (Secured

Debt Restructuring Plan) tanggal ____ yang ditawarkan oleh PT Debitor

kepada seluruh Kreditor separatis, adalah sah dan mengikat kepada Kreditor separatis yang telah menyetujui Rencana Perdamaian tersebut.”

Adapun pendapat saya atas Penetapan I dan Penetapan II tersebut adalah sebagai berikut:

“Penetapan I dan Penetapan II tidak sesuai dengan tugas Hakim Pengawas, sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Kepailitan.”

(15)

Dalam Putusan Pernyataan Pailit diangkat Hakim Pengawas yang bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit (Pasal 15 dan Pasal 65 UU Kepailitan). Peran Hakim Pengawas krusial dalam proses penyelesaian kepailitan, dan Hakim Pengawas harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang Undang-undang Kepailitan. Berdasarkan Pasal 166 UU Kepailitan, jika Putusan Pengadilan mengenai pengesahan perdamaian (homologasi) telah berkekuatan hukum tetap, maka kepailitan berakhir. Perdamaian tersebut wajib diumumkan oleh Kurator dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas. Kurator wajib memberikan pertanggungjawaban kepada Debitor dihadapan Hakim Pengawas dan Kurator wajib mengembalikan kepada Debitor benda yang termasuk harta pailit (Pasal 167 UU Kepailitan). Dari ketentuan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa Tugas Hakim Pengawas adalah mengawasi pengurusan serta pemberesan harta pailit. Dengan adanya putusan homologasi atas perdamaian, kepailitan berakhir. Jika pemberesan harta pailit selesai, maka selesai pulalah tugas Hakim Pengawas. Debitor kembali berhak menguasai dan mengurus kekayaannya sendiri. Jika masih ada Kreditor, Kreditor dapat menggugat Debitor di Pengadilan Negeri sebagai gugatan perdata biasa.

Penetapan Hakim Pengawas yang menyatakan sah perdamaian sebenarnya tidak diperlukan karena sudah ada putusan Pengadilan Niaga yang mensahkan perdamaian tersebut. Hakim Pengawas juga tidak perlu menetapkan bahwa Secured

Debt Restructuring Plan mengikat semua Kreditor Separatis termasuk PT A dan PT B

yang tidak menyetujuinya. Untunglah kesalahan dalam Penetapan I diperbaiki dalam Penetapan II. Perdamaian yang sudah disahkan tersebut tidak mengikat Kreditor yang didahulukan (Kreditor yang dijamin dengan gadai, fidusia, hak tanggungan dan hipotik serta Kreditor yang diistimewakan). Maka, diktum dalam Penetapan I adalah salah. Syukurlah kekeliruan tersebut diperbaiki di dalam Penetapan II.

8. Sebelumnya, saya sudah kemukakan bahwa kurangnya pengajuan permohonan pernyataan kepailitan, antara lain disebabkan karena pencari keadilan kurang percaya pada jalannya peradilan di Indonesia dan pada konsistensi putusan Pengadilan Niaga.

Apakah Putusan Kasasi Mahkamah Agung dalam perkara yang akan dibahas di bawah ini merupakan salah satu alasan?

Suatu perseroan terbatas yang berpiutang atau Kreditor, mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X terhadap Debitornya, agar Debitor itu dinyatakan pailit. Kreditor bukan Kreditor dengan hak untuk didahulukan, tetapi suatu Kreditor Konkuren. Petitum permohonan pailit yang diajukan itu berbunyi, antara lain, sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan pailit untuk seluruhnya;

b. Menyatakan debitor dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya; c. Menunjuk Q sebagai kurator;

d. Menghukum debitor supaya membayar hutangnya kepada pemohon pailit, Kreditor, sebesar US$ 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika Serikat).

Termohon (Debitor) kemudian menolak semua dalil Pemohon (Kreditor). Kemudian, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X menjatuhkan putusan yang menolak seluruh permohonan Kreditor. Selanjutnya, Kreditor mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan putusan dengan diktum sebagai berikut:

Mengadili:

a. Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (Kreditor);

b. Membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri X tanggal ____, nomor _____.

(16)

MENGADILI SENDIRI:

1. Mengabulkan permohonan pailit untuk seluruhnya;

2. Menyatakan debitor dalam keadaan pailit dengan segala akibat hukumnya; 3. Menunjuk Q sebagai kurator;

4. Menghukum debitor untuk membayar hutang kepada pemohon pailit (Kreditor) sebesar US$ 25.000 (dua puluh lima ribu dollar Amerika Serikat);

5. Menghukum termohon kasasi untuk membayar biaya perkara,…….dan sebagainya

Perlu dipertanyakan, mengapa dalam Putusan Kasasi ini tidak ada diktum pengangkatan Hakim Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (i) Undang-undang Kepailitan? Tentunya ini merupakan kelalaian yang sangat mengganggu.

Lagipula, diktum yang berbunyi: menghukum Debitor untuk membayar utangnya kepada Pemohon Pailit/Kreditor sebesar US$ 25.000 (selanjutnya disebut dengan “Diktum nomor 4”) tidak sesuai dengan Undang-undang Kepailitan, yakni:

a. Asas di dalam Undang-undang Kepailitan

Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Kepailitan dikemukakan bahwa:

1. Sebab perlunya diadakan pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) adalah untuk menghindari perebutan harta Debitor, apabila pada waktu yang sama ada beberapa Kreditor yang menagih piutangnya dari Debitor dan untuk menghindari adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan Debitor atau para Kreditor lainnya.

2. Kalau kita teliti, maka asas-asas Undang-undang Kepailitan adalah:

a) Asas keseimbangan. Dalam Undang-undang Kepailitan terdapat ketentuan yang merupakan perwujudan asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang beritikad tidak baik.

b) Asas keadilan. Asas keadilan ini adalah untuk mencegah terjadinya kesewenangan pihak penagih utang yang mengusahakan penerimaan pembayaran atau realisasi tagihan masing-masing terhadap Debitor tanpa menghiraukan Kreditor lainnya.

Jadi, Undang-undang Kepailitan bermaksud memberikan perlakuan yang baik dan seimbang kepada para Kreditor. Para Kreditor dengan peringkat yang sama harus mendapat perlakuan yang sama, jadi dihindarkan tindakan yang diskriminatif. Undang-undang Kepailitan sangat mendukung perlakuan yang seimbang dan bukan perlombaan dimana Kreditor yang pertama menagih dibayar didahulukan dan dibayar seluruh tagihannya.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa diktum Putusan Pailit yang menghukum Debitor untuk membayar seluruh tagihan satu Kreditor Konkuren, sangat tidak adil dan bertentangan dengan maksud dan tujuan pengaturan kepailitan dan asas keseimbangan yang diusahakan oleh Undang-undang Kepailitan.

(17)

b. Diktum nomor 4 melanggar ketentuan tentang pencocokan piutang

Pencocokan piutang diatur dalam Pasal 113 sampai dengan Pasal 143 UU Kepailitan. Pencocokan atau verifikasi tagihan adalah suatu proses untuk menentukan nilai suatu tagihan, proses untuk mengakhiri atau menolak (mempersengketakan) adanya suatu tagihan.

Dalam kasus yang kita bahas sekarang ini, Kreditor sebagai pemohon pailit merupakan Kreditor Konkuren. Kreditor tersebut tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan atau hipotik, dan bukan Kreditor dengan hak istimewa, dan karenanya Kreditor ini baru akan dibayar tagihannya setelah semua Kreditor lainnya dengan peringkat piutang yang lebih tinggi menerima pembayaran. Karenanya, pada umumnya, Kreditor Konkuren hanya akan menerima sebagian kecil tagihan mereka.

Pada Pasal 27 UU Kepailitan disebutkan bahwa selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang diajukan terhadap Debitor pailit hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan (verifikasi) dalam Rapat Verifikasi. Kemudian, di Pasal 115 ayat (1) UU Kepailitan disebutkan bahwa semua Kreditor wajib menyerahkan piutangnya masing-masing kepada Kurator disertai perhitungan atau keterangan tertulis lainnya yang menjukkan sifat dan jumlah piutang, disertai dengan suatu bukti atau salinannya, dan surat pernyataan ada atau tidaknya Kreditor yang mempunyai hak istimewa, hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau hak untuk menahan benda. Jadi, sebelum dicocokkan atau sebelum “diverifikasi”, tidak dapat langsung diputuskan dalam suatu Putusan pernyataan Pailit besarnya tagihan yang harus dibayar Debitor pailit kepada Kreditor.

Tagihan kreditor yang besarnya US$ 25.000 adalah tagihan dalam mata uang asing dan perlu dirujuk kepada Pasal 139 UU Kepailitan. Pasal tersebut menyebutkan bahwa pada pokoknya piutang yang tidak dinyatakan dalam mata uang Republik Indonesia wajib dicocokkan sesuai dengan nilai taksirannya dalam mata uang Republik Indonesia. Penetapan nilai piutang ke dalam mata uang Republik Indonesia tersebut dilakukan berdasarkan nilai yang berlaku pada tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

Rapat Kreditor yang diadakan untuk verifikasi yang akan menentukan berapa nilai mata uang dollar Amerika Serikat dalam Rupiah pada waktu Putusan Pailit diucapkan. Kemungkinan ada tagihan yang diakui ada pula tagihan yang dibantah. Jika ada bantahan sedangkan Hakim Pengawas tidak dapat mendamaikan Debitor dan Kreditor yang tagihannya dibantah, maka Hakim Pengawas memerintahkan mereka untuk menyelesaikan sengketa di Pengadilan Negeri (Pasal 127 Undang-undang Kepailitan). Menurut penjelasan Pasal 127 tersebut, yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Ini berarti terhadap putusan sengketa sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 127 dapat diajukan banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Diktum nomor 4 menyalahi ketentuan tentang “verifikasi”.

Upaya hukum terhadap putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dalam kasus ini adalah dengan mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung sebagaimana diatur di dalam Pasal 14 juncto Pasal 12, Pasal 13 serta Pasal 295 UU Kepailitan. Alasan untuk mengajukan PK diatur di dalam Pasal 295 UU Kepailitan yang yakni jika setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu diperiksa di Pengadilan sudah ada, tapi belum ditemukan atau dalam Putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata. Diktum nomor 4 merupakan kekeliruan Hakim yang nyata.

(18)

Jangka waktu untuk mengajukan PK dengan alasan “kekeliruan yang nyata” diatur di dalam Pasal 296 ayat (2) huruf b UU Kepailitan, yaitu dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan PK itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

Sebenarnya Pasal 296 ayat (2) tersebut di atas harus ditambah dengan kalimat: “dan setelah Putusan yang dimohonkan PK diberitahukan kepada pihak berpekara”.

Silahkan membaca Pasal 69 huruf c Undang-undang No. 14 tahun 1985 jo. Undang-undang No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut sebagai “UU Mahkamah Agung”).

Alasan untuk PK tercantum di dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a UU Kepailitan juga tidak tegas menyebutkan bahwa bukti baru tersebut harus bukti yang tertulis (novum) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 67 huruf b UU Mahkamah Agung. Apakah memang bukti baru yang dimaksud dalam Pasal 295 ayat (2) huruf a tersebut meliputi juga bukti tidak tertulis? Misalnya saksi? Pertanyaan ini sukar untuk dijawab karena tidak ada penjelasan di dalam Pasal 295 UU Kepailitan tersebut. Kita semua berharap kasus ini dapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan dan tanpa merugikan pihak manapun.

Perkenankan saya menambahkan beberapa saran kepada Pengadilan Niaga agar Pengadilan Niaga dapat lebih efektif melayani kebutuhan masyarakat usaha di Indonesia dalam masa sulit sekarang ini yang kelihatannya juga akan menimbulkan banyak perkara kepailitan.

1. Sebaiknya Pengadilan Niaga lebih menaati displin waktu dalam memeriksa dan memutuskan perkara permohonan pailit di semua tingkat Pengadilan Niaga, baik dalam kasasi dan upaya hukum khusus “PK”, serta memegang teguh waktu-waktu penyampaian salinan putusan/memori kasasi/PK/kontra memori kasasi/PK kepada pihak-pihak yang berpekara dan juga kurator. Sedih sekali sampai saat ini, hal-hal tersebut selalu terlambat khususnya dari Mahkamah Agung. Keterlambatan memutuskan perkara ataupun menyampaikan salinan putusan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum dan melanggar asas transparansi, karena putusan pailit bersifat serta merta. Misalnya dalam hal yang dipailitkan tersebut adalah PT Tbk, maka akan terjadi kekacauan jika status pailit PT tersebut diketahui oleh publik 6 (enam) bulan kemudian setelah tanggal putusan diucapkan. Ketepatan waktu bersidang di Pengadilan Niaga yang tidak indispliner, seperti panggilan untuk sidang pukul 10.00 WIB, tetapi dalam hal kenyataan sidang Pengadilan dimulai pada pukul 12.00 WIB. Hal ini akan sangat mempengaruhi disiplin dalam persidangan di lingkungan semua Pengadilan serta mempengaruhi ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.

2. Indonesia ternyata tidak dapat menghindar dari keadaan ekonomi dan finansial global yang sangat memprihatinkan yang dampaknya sudah mulai kita rasakan. Maka, sebaiknya kita segera mempersiapkan diri membaca, mempelajari pengaturan pelaksanaan kepailitan serta pengaturan hak-hak dan kedudukan buruh dalam kepailitan, karena pengaturan ini hampir pasti dibutuhkan baik oleh dunia usaha maupun karyawan pada umumnya.

(19)

Materi II

Pemikiran tentang Penyempurnaan Undang-Undang Kepailitan

dari segi Prosedural

Oleh Prof. DR. Paulus Effendie Lotulung, S.H.

1

A. Pengantar

Sebagaimana kita ketahui pranata kepailitan sudah lama ada (sejak 1905 yaitu

Faillessements Verordening Staatsblad tahun 1905 No. 217 juncto Staatsblad 1906 No. 348)

yang kemudian beberapa kali diubah, namun dalam praktek peradilan tidak begitu populer, sebab prosedurnya yang tidak mudah. Dalam beberapa penelitian melalui data statistik perkara di pengadilan, jumlahnya tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan perkara-perkara perdata pada umumnya.

Pembaruan dalam hukum kepailitan di Indonesia diawali sejak tahun 1998 dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 yang diundangkan pada tanggal 22 April 1998 dan dinyatakan berlaku 120 hari kemudian. Penerbitan PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tersebut secara politis yuridis adalah merupakan langkah penanggulangan dalam rangka mengatasi dan usaha menyikapi krisis ekonomi yang melanda Indonesia saat itu, dengan mendasarkan pada konsideran/pertimbangan adanya keadaan darurat/memaksa.

Dengan disertai perubahan-perubahan yang mendasar, diharapkan bahwa prosedur hukum melalui proses kepailitan di badan peradilan pada waktu itu dapat menjadi upaya perangkat hukum untuk mengatasi krisis moneter, dengan secepatnya memberikan terapi psikologis dalam rangka pemulihan kepercayaan bagi perspektif penyelesaian utang-piutang agar ada kepastian hukum.

PERPU No. 1 Tahun 1998 tersebut kemudian ditingkatkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dengan isi substansi, dan prosedur, maupun struktur organisasi yang sama sebagai bentuk perubahan terhadap peraturan Kepailitan yang lama, yaitu Faillessements

Verordening tahun 1905 tersebut diatas.

Perkembangan kemudian sejak tahun 1998 dalam praktek pelaksanaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut dengan berbagai pertimbangan dan konsideran membawa penyempurnaan hukum kepailitan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang berlaku hingga sekarang.

Dari perbandingan terhadap peraturan kepailitan yang mengalami ”re-inkarnasi” sejak 1905 sampai sekarang, dapat dikatakan telah menunjukkan adanya beberapa perkembangan secara substantif, prosedural maupun organisatoris yang menyangkut aspek hukumnya.

Namun dengan melihat pada beberapa segi dalam praktek pelaksanaannya, terutama dari segi proses peradilan, penulis merasakan adanya suatu perubahan prinsipiil dalam sistem jenjang pemeriksaannya yang dapat menjadi wacana perubahan menuju penyempurnaannya peraturan kepailitan. Sudah barang tentu wacana perubahan ini akan mengandung implikasi-implikasi dan konsekwensi-konsekwensi yang perlu dipikirkan dan diatasi agar dapat direalisasikan.

B. Pertimbangan Perlunya Perubahan Sistem Pemeriksaan

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, perkara permohonan kepailitan diajukan dalam pemeriksaan tingkat pertama ke Pengadilan

1

Ketua Muda Mahkamah Agung RI dan Ketua Tim Pembaharuan Mahkamah Agung RI. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Hukum Kepailitan yang diselenggarakan oleh AKPI (Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia) dan In-ACCE USAID (Indonesia Anti Corruption & Commercial Court Enhancement Project) di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2008.

(20)

Niaga.2 Upaya hukum yang terbuka terhadap putusan tingkat pertama tersebut adalah langsung upaya hukum kasasi dan selanjutnya bisa Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. Sehingga, karenanya tidak terbuka adanya pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi.

Sistem penjenjangan pemeriksaan yang demikian, dalam tataran prakteknya memang menguntungkan dari segi kecepatan proses perkara yang memang menjadi salah satu asas prosedur kepailitan agar ada kepastian hukum yang cepat. Tetapi dari sudut pandang yang lain, jenjang pemeriksaan yang demikian juga dapat menimbulkan aspek negatif yang lain, yaitu:

1. Kerugian sistem karir bagi hakim khusus kepailitan yang telah menempuh pendidikan kekhususan (dengan mendapat pengangkatan Surat Keputusan yang khusus) dan menjalani praktek memutus perkara kepailitan dalam tingkat pertama dengan segala tingkat kesulitannya dan kompleksitasnya kasus kepailitan. Apabila hakim yang bersangkutan mendapat promosi diangkat sebagai Hakim Tinggi maka terputuslah ilmu dan pengalamannya sebagai hakim kepailitan, yang sudah dipersiapkan dan investasi susah payah sebagai hakim khusus kepailitan selama beberapa tahun. Pengalaman dan kekhususannya dalam hukum kepailitan, baru akan kembali diterapkannya manakala diangkat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung (Itupun kalau ada kesempatan dan keberuntungannya diangkat sebagai Hakim Agung !).

2. Pengalaman dan kekhususan dalam hukum kepailitan yang diperoleh hakim-hakim tingkat pertama seolah-olah tidak akan dimanfaatkan lagi dalam posisinya sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi karena tidak akan ada kasus-kasus tingkat banding tentang perkara kepailitan yang akan mereka tangani dalam praktek peradilan. Hal ini juga merupakan kerugian bagi perkembangan keilmuan mereka yang sudah diinvestasikan dengan susah payah, dan tidak ada kesempatan untuk mengamalkannya.

C. Peranan Pengadilan Tinggi Sebagai Hakim Instansi Pertama dalam Perkara Kepailitan

Aspek negatif apabila Pengadilan Tinggi tidak diberdayakan sebagai pemutus perkara kepailitan, dapat dihindari dengan mengubah sistem pemeriksaan perkara kepailitan dengan menjadikan Pengadilan Tinggi sebagai lembaga pemeriksa tingkat pertama (judex factie). Keuntungan dari sistem demikian adalah sebagai berikut:

1. Pengalaman dan penguasaan ilmu hukum serta jam terbangnya yang tinggi sebagai hakim akan banyak menentukan arah penyelesaian dan perkembangan hukum dalam putusan-putusannya.

2. Sistem karir dalam promosi ataupun mutasi jabatannya tidak terhambat sebab ada jaminan kelangsungan pengalamannya yang khusus dan profesionalisme dalam memutus perkara-perkara kepailitan.

D. Kendala-kendala Yang Dihadapi

Apabila sistem tersebut akan diterapkan, maka dengan melihat pada sistem yang berlaku sekarang, akan dapat menimbulkan kendala-kendala atau implikasi negatif yang perlu diantisipasi.

Pengadilan Tinggi sebagai lembaga peradilan banding dalam sistem yang berlaku sekarang, tidak mempunyai jurusita yang akan melakukan panggilan-panggilan atau tindakan-tindakan lain yang harus dilakukan oleh seorang juru sita. Secara umum, Pengadilan Tinggi tidak dilengkapi dengan unit-unit atau petugas sebagai aparat di Pengadilan tingkat pertama. Hal-hal semacam inilah yang harus segera dilengkapi dalam undang-undang, apabila sistem Pengadilan Tinggi sebagai instansi tingkat pertama akan diterapkan.

2

(21)

Sebagai gambaran perbandingan, di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dikenal adanya peranan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai instansi tingkat pertama, yaitu dalam perkara-perkara yang sebelumnya melalui upaya banding administrasi

(administratief-beroep), misalnya: putusan-putusan BAPEK (Badan Pertimbangan Kepegawaian). Demikian

juga di lingkungan Peradilan Umum dahulu dikenal sistem yang demikian itu, ialah sengketa tentang besarnya ganti rugi sebagai akibat diterapkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Milik untuk Kepentingan Umum.

E. Kesimpulan

Dalam perbandingan dengan lingkungan peradilan lain, ada kemungkinan Pengadilan Tinggi berdasarkan alasan-alasan tertentu menjadi peradilan tingkat pertama, misalnya di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara ataupun di lingkungan Peradilan Umum. Oleh karenanya, dalam hukum kepailitan dimungkinkan juga Pengadilan Tinggi menjadi peradilan tingkat pertama, dan upaya kasasi langsung ke Mahkamah Agung serta Peninjauan Kembali, asalkan struktur organisasi dan aparat-aparat di Pengadilan Tinggi disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan penerapan hukum kepailitan, baik substansial maupun prosedurnya.

(22)

Materi III

Kedudukan Tagihan Buruh, Tagihan Pajak versus Kedudukan Kreditur

Separatis dalam Kepailitan Perusahaan

Oleh Elijana Tansah, S.H.

A. Arti Kepailitan

Undang-Undang Kepailitan yang sekarang berlaku adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang menggantikan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.

Berdasarkan undang-undang tersebut di atas, Kepailitan adalah sita umum terhadap seluruh harta kekayaan Debitur pailit yang sudah ada pada saat Debitur dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga yang berwenang maupun yang akan diperoleh selama kepailitan berlangsung, kecuali yang ditentukan dalam pasal 22 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan tujuan akhir untuk mempergunakan seluruh harta Debitur pailit tersebut (harta pailit) membayar semua Krediturnya secara adil dan merata berimbangan oleh seorang Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Pembayaran utang Debitur pailit dilakukan oleh Kurator berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 KUH Perdata. Jadi pembayaran oleh Kurator kepada Kreditur dilakukan berdasarkan asas paritas creditorum, kecuali diantara para kreditur ada alasan yang sah untuk didahulukan pembayaran piutangnya.

B. Lima Golongan Kreditur dalam Kepailitan

Penentuan golongan kreditur di dalam Kepailitan adalah berdasarkan Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU KUP”); dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (selanjutnya disebut sebagai “UU Kepailitan”).

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, golongan kreditur tersebut meliputi:

1. Kreditur yang kedudukannya di atas Kreditur pemegang saham jaminan kebendaan (contoh utang pajak) dimana dasar hukum mengenai kreditur ini terdapat di dalam Pasal 21 UU KUP jo Pasal 1137 KUH Perdata;

2. Kreditur pemegang jaminan kebendaan yang disebut sebagai Kreditur Separatis (dasar hukumnya adalah Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata). Hingga hari ini jaminan kebendaan yang dikenal/diatur di Indonesia adalah:

a. Gadai; b. Fidusia;

c. Hak Tanggungan; dan d. Hipotik Kapal;1

1

Gadai dan Hipotik (kini termasuk Fidusia dan Hak Tanggungan) adalah lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal dimana oleh Undang-Undang ditentukan sebaliknya (Pasal 1134 ayat 2 KUH Perdata), sedangkan Pasal 1137 KUH Perdata menentukan bahwa hak dari kas Negara, Kantor Lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh pemerintah untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu. Hal-hal yang sama mengenai peraturan-peraturan atau perkumpulan-perkumpulan yang berhak atau kemudian akan mendapat hak untuk memungut bea.

(23)

3. Utang harta pailit. Yang termasuk utang harta pailit antara lain adalah sebagai berikut: a. Biaya kepailitan dan fee Kurator;

b. Upah buruh, baik untuk waktu sebelum Debitur pailit maupun sesudah Debitur pailit (Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan);2 dan

c. Sewa gedung sesudah Debitur pailit dan seterusnya (Pasal 38 ayat (4) UU Kepailitan);

4. Kreditur preferen khusus, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditur preferen umum, sebagaimana terdapat di dalam Pasal 1149 KUH Perdata; dan 5. Kreditur konkuren. Kreditur golongan ini adalah semua Kreditur yang tidak masuk Kreditur

separatis dan tidak termasuk Kreditur preferen khusus maupun umum (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).

Dari lima golongan kreditur yang telah disebutkan di atas, berdasarkan Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUH Perdata dan Pasal 21 UU KUP, Kreditur piutang pajak mempunyai kedudukan di atas Kreditur Separatis. Dalam hal Kreditur Separatis mengeksekusi objek jaminan kebendaannya berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka kedudukan tagihan pajak di atas Kreditur Separatis hilang. Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 28 Tahun 2008, menentukan :

“Hak mendahului untuk pajak melebihi segala hak mendahului lainnya kecuali terhadap :

a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;

b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan atau c. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu

warisan.”

Bagaimana dengan kedudukan tagihan buruh? Tidak demikian halnya untuk piutang para buruh karena upah buruh tidak termasuk hak dari kas Negara. Meskipun Pasal 95 ayat 4 UU Kepailitan menentukan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. Dan, penjelasannya menyebutkan yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu daripada utang-utang lainnya. Kedudukan tagihan upah buruh tetap tidak dapat lebih tinggi dari kedudukan piutang Kreditur Separatis karena upah buruh bukan utang kas Negara.

Pasal 1134 ayat 2 jo. Pasal 1137 KUH Perdata justru merupakan rambu-rambu agar tidak setiap undang dapat menentukan bahwa utang yang diatur dalam undang-undang tersebut mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari tagihan Kreditur Separatis maupun tagihan Pajak.

Dalam Pasal 39 ayat (2) UU Kepailitan telah ditentukan bahwa upah buruh untuk waktu sebelum dan sesudah pailit termasuk utang harta pailit artinya pembayarannya didahulukan dari Kreditur Preferen Khusus dan Preferen Umum yang diatur dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.

Lalu, bagaimana dengan objek jaminan kebendaan yang termasuk harta pailit? Kreditur pemegang jaminan kebendaan/separatis bukan pemilik objek jaminan kebendaan, objek jaminan tetap milik Debitur pailit, jadi termasuk harta pailit hanya objek jaminan kebendaan tidak terkena sita umum. Kreditur pemegang jaminan kebendaan hanya mempunyai hak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan/eksekusi objek jaminan kebendaan lebih dahulu dari Kreditur lain. Apabila setelah Kreditur pemegang jaminan kebendaan tersebut melunasi piutangnya, dari hasil eksekusi/penjualan objek jaminan tersebut masih ada sisa uang, maka Kreditur tersebut harus mengembalikan sisa

2 Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, hanya upah buruh untuk waktu setelah Debitur pailit, masuk

(24)

uang tersebut kepada boedel pailit melalui Kurator. Sedangkan apabila hasil penjualan tidak cukup untuk melunasi piutangnya, maka sisa piutang yang tidak terbayar tersebut dapat diajukan/didaftarkan kepada Kurator untuk diverifikasi sebagai tagihan/piutang konkuren.

C. Cara Kurator Melakukan Pembayaran Kepada Para Kreditur dari Debitur Pailit

Dalam hal Kreditur Separatis melaksanakan Hak Eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan yaitu mengeksekusi objek jaminan kebendaannya dalam jangka waktu setelah “stay” terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur Separatis tersebut tidak terkena akibat kepailitan pemilik objek jaminan kebendaannya (Kreditur Separatis dapat melaksanakan Hak Eksekusinya seperti tidak ada kepailitan) artinya Kreditur Separatis tersebut setelah biaya lelang dan pajak penjualan objek jaminan dibayar, berhak untuk mengambil pelunasan piutangnya dari hasil lelang eksekusi tersebut. Kemudian menyerahkan sisanya kepada Kurator/harta pailit tidak ada kewajiban untuk membayar utang pajak dari Debitur pailit (vide pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan).

Kedudukan tagihan pajak adalah lebih tinggi dari kedudukan tagihan Kreditur Separatis hanya dalam hal Kurator yang menjual lelang objek jaminan kebendaan, karena Kreditur Separatis tersebut tidak melaksanakan Hak Eksekusinya dalam jangka waktu setelah

Stay terangkat sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi. Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan yang

menentukan bahwa: …..“atas tuntutan Kurator atau Kreditur yang diistimewakan, yang

kedudukannya lebih tinggi daripada Kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Kreditur Separatis), maka Kreditur pemegang hak tersebut wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan tersebut untuk jumlah yang sama dengan jumlah tagihan yang diistimewakan…..” tentunya jelas bertentangan dengan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan. Oleh

karenanya sebaiknya dihapus saja dan untuk sementara ini sebaiknya diabaikan saja oleh Pengadilan Niaga seandainya sampai ada gugatan/tuntutan dari Kurator atau Menteri Keuangan terhadap Kreditur Separatis yang telah bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan tersebut.

Di dalam prakteknya Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan berpotensi menyebabkan Kreditur Separatis enggan untuk berpartisipasi dalam pemberesan harta pailit, karena hal-hal berikut:

1. Kreditur Separatis enggan melaksanakan hak eksekusinya sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, Kreditur Separatis tidak mau mengambil resiko digugat oleh Kreditur piutang pajak (Menteri Keuangan) atau Kurator;

2. Setelah jangka waktu 2 (dua) bulan setelah insolvensi berlalu, Kreditor Separatis akan berusaha sekuat tenaga menggagalkan upaya Kurator mengeksekusi/menjual lelang objek jaminan kebendaannya, untuk menghindari resiko tagihan separatisnya menjadi tagihan konkuren.

Perlu dipertanyakan, apakah tindakan Kreditur Separatis berdasarkan Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan? Jawabannya tentu saja tidak, karena tindakan Kreditur Separatis mengambil pelunasan dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaan, seperti tidak ada kepailitan, adalah sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, sehingga tindakan tersebut adalah tindakan menurut hukum dan jelas bukan tindakan melawan hukum. Dengan demikian, salah satu unsur dari tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam pasal 372 KUH Pidana tidak mungkin terbukti.3

Dengan adanya Pasal 21 ayat (3a) UU KUP, sering dipertanyakan apakah Kurator yang tidak mengajukan tuntutan/gugatan berdasarkan Pasal 60 ayat (2) UU Kepailitan terhadap Kreditor Separatis yang melaksanakan hak eksekusinya berdasarkan Pasal 55 ayat

3

Pasal 372 KUH Pidana menentukan:

“barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain tetapi berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”

(25)

(1) UU Kepailitan dan mengambil pelunasan bagi piutangnya dari hasil eksekusi objek jaminan kebendaannya, telah melanggar Pasal 21 ayat (3a) UU KUP?4 Tentu saja tidak, karena larangan bagi Kurator berdasarkan pasal tersebut adalah membagikan harta wajib pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta pailit untuk membayar utang wajib pajak tersebut. Dalam hal Kreditor Separatis bertindak sesuai Pasal 55 ayat (1) UU Kepailitan, maka yang membayar piutang Kreditor Separatis dari hasil eksekusi adalah Kreditur Separatis sendiri bukan Kurator.

Pembayaran dilakukan oleh Kurator berdasarkan urutan peringkat piutang Kreditor seperti disebut diatas Nomor 2 sebagai hasil rapat verifikasi. Kurator hanya melakukan pembayaran terhadap piutang yang telah diverifikasi, kecuali utang harta pailit yang tidak perlu diverifikasi tetapi akan langsung dibayar dari harta paiilt. Setelah piutang diverifikasi dan harta pailit likuidasi, Kurator akan melakukan pembayaran kepada Kreditur menurut peringkatnya. Jadi, pertama, Kurator akan membayar Kreditur piutang pajak (utang kepada Kas Negara yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan).

Pada umumnya Kurator tidak membayar Kreditur Separatis karena umumnya Kreditur Separatis begitu stay 90 hari lewat, langsung mengeksekusi objek jaminan kebendaan seolah-olah tidak ada kepailitan Debiturnya/pemilik objek jaminan. Kurator baru melakukan pembayaran terhadap Kreditur Separatis manakala ada Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi, Kreditur yang bersangkutan belum melakukan eksekusi sendiri, sehingga Kurator yang berhak mengeksekusi objek jaminan.

Setelah pembayaran terhadap Kreditur piutang pajak dan Kreditur Separatis yang sampai 2 (dua) bulan setelah insolvensi belum mengeksekusi objek jaminan sehingga Kurator yang mengeksekusi, baru Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur piutang harta pailit (utang harta pailit tidak diverifikasi tetapi langsung dibayar dari harta pailit). Pembayarannya dilakukan secara paritas creditorum.

Masalah akan timbul bila harta pailit tidak cukup untuk membayar semua utang boedel pailit. Piutang boedel pailit siapa yang wajib dibayar terlebih dahulu? Apakah biaya pailit termasuk fee Kurator, atau upah buruh, atau sewa gedung, dan lain-lain? Perlu direnungkan bahwa apabila biaya kepailitan yang meliputi tiap bagian dari harta pailit (kecuali benda yang menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 telah dijual sendiri oleh Kreditur pemegang jaminan kebendaan), termasuk fee Kurator, tidak dibayar lebih dahulu dari harta pailit sebelum utang harta pailit lainnya dibayar apakah masih ada Kurator yang mau melakukan pengurusan harta pailit dan pemberesan harta pailit, yaitu menjadikan harta pailit uang (melikuidasi harta pailit)? Karena untuk menjadikan uang harta paiilt diperlukan biaya, disamping tentunya pembayaran jasa Kurator untuk itu.

Bisa saja Indonesia mengikuti praktek di Belanda bahwa meskipun biaya kepailitan termasuk di dalamnya fee Kurator sama dengan upah buruh merupakan utang harta pailit tetapi peringkat utang harta pailit yang berupa biaya kepailitan termasuk fee Kurator peringkat lebih tinggi dari utang harta pailit yang lain.

Setelah semua utang harta pailit dibayar oleh Kurator kemudian Kurator melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen khusus sesuai Pasal 1139 KUH Perdata. Kemudian, setelah itu melakukan pembayaran kepada Kreditur preferen umum sesuai Pasal 1149 KUH Perdata baru setelah itu/terakhir Kurator melakukan pembayaran terhadap Kreditur Konkuren secara Paritas Creditorum.

4

Pasal 21 ayat 3a Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 menentukan:

“Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar atau likuidasi, maka Kurator, Likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran, atau likuidasi kepada pemegang saham atau Kreditor lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib tersebut”

(26)

D. Batas Waktu Tanggung Jawab Kurator terhadap Pembayaran Utang Wajib Pajak Yang Pailit dari Harta Pailit

Dalam hal kepailitan seorang subjek hukum (pribadi maupun badan hukum) berakhir, maka:

1. Dengan insolvensi maka kepailitan tersebut berakhir pada saat Kurator telah membayar seluruh harta pailit kepada para Kreditur dari debitur pailit sesuai daftar Kreditur sebagai hasil Rapat Verifikasi dalam hal harta pailit sudah habis sedangkan utang pajak Debitur pailit belum terbayar lunas maka, setelah Kurator memberikan pertanggungjawabannya tentang pelaksanaan tugasnya pada Hakim Pengawas berakhirlah kepailitan wajib pajak tersebut. Sisa utang wajib pajak yang tidak terbayar dari harta pailit bukan menjadi tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan berakhirnya kepailitan tugas Kurator sudah selesai.

2. Putusan Pernyataan Pailit dibatalkan oleh Pengadilan yang lebih tinggi maka utang pajak yang belum terbayar bukan tanggung jawab Kurator lagi. Karena dengan dibatalkannya Putusan Pernyataan Pailit, kepailitan telah berakhir demikian juga tugas Kurator.

Dalam hal tagihan pajak/utang telah kadaluarsa, maka Kurator tidak boleh membayar utang pajak tersebut dari harta pailit karena utang yang sudah kadaluarsa tidak ada hak tagihnya. Justru, Kurator yang telah membayar utang pajak yang telah kadaluarsa dan menimbulkan kerugian bagi Kreditur yang peringkatnya dibawah utang pajak harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut dengan seluruh harta kekayaan pribadinya (Pasal 72 UU Kepailitan)

E. Penutup

Mudah-mudahan pointers ini dapat menjadi bahan tambahan diskusi para peserta Seminar 10 tahun berlakunya undang-undang kepailitan sejak berlakunya PERPU No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Tentang Kepailitan.

Referensi

Dokumen terkait

dispensasi kawin sebagaimana diatur Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Menimbang, bahwa dalil permohonan Pemohon pada pokoknya adalah Pemohon

Undang – undang Nomor 28 tahun 2002 pasal 7 ayat 1 tentang bangunan gedung. yaitu : Setiap bangunan gedung harus

Dalam hal belum terdapat Hakim yang memenuhi persyaratan yang diatur di dalam Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Hakim

Bersama ini dilampirkan dokumen persyaratan administrasi untuk memenuhi ketentuan pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik..

Gugatan Lain-Lain diatur dalam Pasal 3 Ayat (1) UUK dan PKPU yang berisikan “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur

Perbuatan pidana yang dilakukan oleh terdakwa memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19

Hal ini dapat kita jumpai dalam Pasal 19 ayat 6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UUPPSP) (Penjelasan Pasal 19 ayat 6

Bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan Pasal 5 Undang- Undang Nomor 62 Tahun 1958 dapat mengajukan permohonan naturalisasi dengan menyampaikan surat