• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai Legal Entity, Perseroan Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Ataupun Dimohonkan

Materi IV – Undang-Undang Kepailitan No. 37 Tahun 2004 dan Undang-Undang Perseroan

B. Sebagai Legal Entity, Perseroan Dapat Mengajukan Permohonan Pailit Ataupun Dimohonkan

Telah tegas diatur dalam Paragraf 2 dan Paragraf 3 dari Pasal 1 tentang Ketentuan Umum di dalam UU Kepailitan No. 37/2004, bahwa yang dapat menjadi kreditur ataupun debitur adalah “orang”. Pengertian kata “orang” dalam pengertian kreditur dan debitur dalam undang-undang kepailitan tersebut meliputi orang pribadi (personal entity) ataupun badan hukum (legal entity). Perseroan Terbatas (PT) adalah “orang” dalam bentuk badan hukum (legal entity).6 Sebagai suatu legal entity PT merupakan pribadi hukum yang mandiri yang secara tegas mempunyai keterpisahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dengan masing-masing pribadi pemegang saham ataupun pengurusannya (separate entity separate

liability).

Dengan kalimat lain, walaupun PT merupakan wadah persekutuan modal7 dari para pemodalnya, akan tetapi pada saat PT disahkan menjadi suatu badan hukum oleh Departemen Hukum dan HAM berdasarkan Pasal 7 ayat (4) jo. Pasal 1 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), maka sejak saat itulah PT lahir menjadi “orang” yang memiliki kekayaan sendiri – yang terpisah dari masing-masing pemegang sahamnya – yang secara mandiri dapat digunakan untuk melaksanakan aktivitas bisnisnya dengan pihak lain, begitu pula penyelesaian kewajibannya ataupun utang-utangnya kepada krediturnya dengan menggunakan hartanya tersebut berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata dan Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan No. 37/20048.

Hal tersebutlah yang menjadi dasar bahwa dalam UU Kepailitan No. 37/2004, PT dapat dikategorikan sebagai kreditur ataupun sebagai debitur, sehingga sebagai kreditur PT mempunyai kewenangan (persona standi judicio) untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap debiturnya, ataupun sebaliknya dapat dimohonkan pailit oleh krediturnya ataupun secara volunteer oleh dirinya sendiri atas terpenuhinya bukti bahwa PT tersebut memiliki minimal 2 (dua) kreditur dimana salah satu utangnya tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan No.37/2004.

Berbeda dengan badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum, karena bukan merupakan “orang” maka secara hukum tidak dapat didudukkan sebagai “kreditur” ataupun sebagai “debitur”. Hal tersebut tegas diatur dalam Pasal 5 UU Kepailitan No. 37/20049 yang menyatakan bahwa dalam hal yang dimohonkan pailit adalah persekutuan perdata Firma,

6

Selain Perseroan Terbatas, dikenal juga badan hukum lainnya, seperti Yayasan, Koperasi dan badan hukum khusus lainnya.

7

Seluruh modal dasarnya terbagi atas saham.

8

Pasal 1131 KUH Perdata menegaskan bahwa harta debitur demi hukum akan menjadi jaminan terhadap pembayaran seluruh utang-utangnya, dikutip sebagai berikut:

“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.”

9

Ketentuan tentang Firma, yang sebelumnya terdapat dalam Pasal 4 ayat (7) UU Kepailitan (lama) No. 4 tahun 1998, diatur dalam Pasal 5 UU Kepailitan No. 37/2004, sebagai berikut: “Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus memuat nama dan tempat tinggal dari masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.”

maka bukan persekutuan Firma tersebut yang dijadikan sebagai termohon pailit, akan tetapi masing-masing dari pribadi persero (firmant) yang secara tanggung renteng bertanggung-jawab terhadap seluruh utang Firma tersebut.

Ketidakpahaman Pengadilan Niaga terhadap siapa sebenarnya yang dapat didudukkan sebagai kreditur dan siapa sebagai debitur dalam hal suatu hak dan kewajiban muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas suatu persekutuan perdata, telah muncul pada awal-awal pelaksanaan Pengadilan Niaga, ketika memutuskan permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Jaya Readymiz dan PT. Primacoat Lestari sebagai kreditur kepada Hutama Bina Maint Joint Operation dalam perkara No. 24/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst pada tanggal 22 Desember 1998 dan juga permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bangun Prima Graha Persada terhadap Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dalam perkara No. 30/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst pada tanggal 14 Januari 1999.

Dalam putusan tersebut, Majelis Pengadilan Niaga berpendapat bahwa Joint Operation (OP) dapat menjadi pihak ataupun sebagai subjek dalam melakukan perbuatan hukum sehingga oleh karena itu juga dapat dipailitkan. Pertimbangan hukum tersebut menjadi dasar dari Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat menolak permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Jaya Readymix dan PT. Primacoat Lestari terhadap PT. Hutama Karya langsung terhadap PT. Bina Maint masing-masing sebagai Termohon I dan II yang menurut pemohon sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap aktivitas dari Hutama Bina Maint Joint Operation, dan sebaliknya menerima permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Bangun Prima Graha Persada secara langsung kepada Daito Kogyo Co.Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation, dan menyatakan Daito Kogyo.Ltd-PT Bina Baraga Utama Joint Operation pailit.

Kedua putusan Pengadilan Niaga tersebut kemudian dibatalkan oleh Majelis Hakim Niaga tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya No. 01 K/N/1999 tanggal 28 Februari 1999 dan oleh Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK) dalam putusannya No. 7 PK/N/1999 tanggal 14 Mei 1999.10 Dalam pertimbangan hukumnya terhadap pembatalan putusan No. 24/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst, Majelis Hakim Kasasi Niaga MA menolak pertimbangan hukum Majelis Hakim Niaga Jakarta Pusat - yang pada intinya menyatakan bahwa Hutama Bina Main Joint Operation merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam melunasi utangnya kepada masing-masing pemohon pailit tersebut – antara lain dengan mempertimbangkan hukum sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa dengan memperhatikan cara-cara pembentukan Hutama Bina Maint Joint Operation yakni merupakan usaha bersama yang tidak berbentuk badan hukum antara PT Hutama Karya dan PT Bina Maint dengan tujuan mencari keuntungan bersama dan masing-masing dengan perbandingan 60% dan 40%. Mahkamah Agung berpendapat bahwa usaha bersama tersebut dapat dikategorikan sebagai sebuah perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 1618 KUH Perdata, dan apabila diperhatikan cara penggunaan nama bersama yakni Hutama Bina Maint Joint Operation, maka perseroan yang merupakan usaha bersama dari para termohon kasasi dapat dikategorikan sebagai perseroan firma sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 KUH Dagang.

Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 1643 KUH Perdata atau pasal 18 KUH Dagang, masing-masing persero mempunyai tanggung jawab secara tanggung renteng…””11

10

Terhadap putusan Pengadilan Niaga, pemohon pailit tidak mengambil upaya hukum kasasi, akan tetapi mengambil upaya hukum khusus Peninjauan Kembali.

11 Putusan No. 01 K/N/1999 tanggal 28 Februari 1999 yang memutuskan masing-masing PT. Hutama Karya dan PT. Bina Maint pailit, dimana kemudian putusan MA tersebut dibatalkan kembali oleh Putusan Peninjauan Kembali No. 04 PK/N/1999 tanggal 6 April 1999, AKAN TETAPI bukan karena pertimbangan hukum tentang Persona Standi in Judicio akan tetapi karena akhirnya dapat dibuktikan tidak adanya kreditur lain, karena adanya Novum yang membuktikan bahwa utang termohon pailit tersebut kepada kreditur lainnya telah dilunasi sebelumnya. Lebih jauh, baca Himpunan Putusan-Putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Pailit (HPPN) jilid 1, terbitan PT. Tatanusa hal.309-317 dan Himpunan Putusan-Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara Kepailitan (HPPMA) jilid 2, terbitan Tatanusa hal. 1-14 dan hal. 189-203.

Pertimbangan hukum yang sama juga diberikan oleh Majelis Hakim PK MA dalam putusannya, yang antara lain dikutip sebagai berikut:

“Bahwa…walaupun yang menjadi pihak-pihak dalam perjanjian Padang Area Flood Control Project Package I adalah Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dan PT. Bangun Prima Graha Persada, akan tetapi Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation bukanlah suatu badan hukum yang dapat dituntut dimuka pengadilan…Karena itu walaupun secara format, Pemohon Pailit berhubungan langsung dengan Daito Kogyo Co. Ltd-PT. Bina Baraga Utama Joint Operation dalam membuat perjanjian Padang Area Flood Control Project Package I, namun segala pertanggungjawaban yang timbul…tetap berada pada kedua badan hukum Daito Kogyo Co. Ltd-PT. dan PT. Bina Baraga Utama,…

Bahwa oleh karena yang dimohon untuk dinyatakan pailit dalam perkara ini adalah suatu badan kerjasama yang bukan merupakan badan hukum dan tidak memiliki aset sebagai kekayaan sendiri yang dapat memenuhi tagihan-tagihan para kreditur, maka permohonan Permohon Pailit harus ditolak.”

Dari pertimbangan hukum tersebut diatas, jelas ditegaskan bahwa badan usaha yang tidak berbentuk badan hukum bukanlah “orang” atau bukan merupakan pendukung hak dan kewajiban yang mandiri, sehingga tanggungjawab pelaksanaan hak dan kewajiban yang timbul merupakan tanggung jawab dari masing-masing anggota persekutuan perdata tersebut sebagai “orang” ataupun “badan hukum” yang sebenarnya.

Secara hukum, status “orang” atau badan hukum dari suatu persekutuan perdata tidak secara otomatis terjadi hanya karena persekutuan ataupun perkumpulan tersebut telah memenuhi persyaratan-persyaratan teori untuk dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum, akan tetapi sangat ditentukan oleh adanya pengesahan terhadap status badan hukum dari badan usaha tersebut oleh Menteri Hukum dan HAM seperti yang diatur dalam Pasal 7 ayat (4) UUPT. Selanjutnya dalam Pasal 14 dan Pasal 13 ayat (1)-nya ditegaskan bahwa dalam hal suatu PT yang didirikan belum memperoleh status badan hukum, maka seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri untuk kepentingan PT tersebut, merupakan tanggung jawab dari masing-masing pendirinya, ataupun bahkan pengurus dan komisaris yang secara perjanjian (anggaran dasar) telah diangkat untuk melakukan pengurusan dan pengawasan terhadap PT yang sedang didirikan tersebut dalam hal ikut secara bersama-sama menandatangani perbuatan hukum untuk kepentingan PT, sebagai berikut:

Pasal 14:

(1) Perbuatan hukum atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, hanya boleh dilakukan oleh semua anggota Direksi bersama sama dengan semua pendiri serta semua anggota Dewan Komisaris Perseroan dan mereka semua bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut.

(2) Dalam hal perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pendiri atas nama Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat Perseroan.

(3) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), karena hukum menjadi tanggungjawab Perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum.

Pasal 13 ayat (1):

“Perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan Perseroan yang belum didirikan, mengikat Perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum apabila RUPS pertama Perseroan secara tegas menyatakan menerima atau mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh calon pendiri dan kuasanya.”

Ketentuan tersebut di atas telah secara benar digunakan sebagai dasar pertimbangan dari Majelis Hakim Niaga dalam putusan pailit yang menolak permohonan pailit yang diajukan oleh Hin Hin Trading Pte Ltd terhadap PT. Rawai Tajur Aspalindo (dalam pendirian) No. 28/Pailit/2002/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 10 Oktober 2002 dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut:

“Menimbang, akan tetapi dengan memperhatikan bukti…dan diperkuat dengan bukti T-2 tentang keterangan dari Notaris yang bersangkutan yang menyatakan bahwa Akta pendirian sebagaimana tersebut dalam bukti T-1 belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman dan HAM RI didapat adanya suatu fakta hukum yang memperlihatkan bahwa perbuatan hukum yang menimbulkan adanya Permohonan Pailit ini dilakukan oleh Debitur selaku PT yang belum didaftarkan dan diumumkan, sehingga berdasarkan Pasal 11 ayat (2) jo. Pasal 23 UU No. 1 tahun 199512 tentang PT yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah para pendirinya…”

Selanjutnya pertimbangan hukum Majelis Hakim Niaga tersebut didukung dan ditegaskan oleh Majelis Hakim Niaga pada Tingkat Kasasi Mahkamah Agung dalam putusannya No. 29 K/N/2002 tertanggal 18 November 2002 dengan pertimbangan hukum antara lain sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti T1 dan T2 ternyata bahwa PT. Rawai Tajur Aspalindo tersebut belum disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM, dengan demikian maka perseroan tersebut belum berstatus badan hukum seperti yang dimaksud dalam Pasal 7 (6) UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Bahwa oleh karena PT. Rawai Tajur Aspalindo tersebut belum berstatus badan hukum, maka PT tersebut bukan merupakan subjek hukum, sehingga tidak dapat digugat/dimohonkan pernyataan pailit dimuka Pengadilan Niaga.

Bahwa permohonan pernyataan pailit dalam perkara aquo haruslah ditujukan langsung kepada pengurus PT. Rawai Tajur Aspalindo sebagaimana yang tercantum dalam akta pendirian PT. tersebut.”

Dari beberapa dasar hukum dan contoh kasus tersebut di atas, seharusnya telah terlihat sikap dari Pengadilan Niaga terhadap siapa sebenarnya pihak yang dapat dipailitkan dalam hal suatu badan usaha yang digunakan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut merupakan persekutuan perdata atau tidak berbentuk bandan hukum.

Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak terjadi dalam hal yang dimohonkan pailit tersebut adalah badan usaha dalam bentuk Persekutuan Komanditer atau yang lebih dikenal dengan CV (Commanditaire Vennootschap) dimana sikap Pengadilan Niaga terhadap status CV tersebut masih belum menunjukkan keseragaman. Dalam putusan terhadap permohonan pailit yang diajukan oleh PT. Mustika Ratu Buana Internasional terhadap Decky Tambayong selaku direktur CV. Daitia, dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Niaga tidak dengan tegas melakukan pembahasan tentang status dan tanggung jawab dari CV, akan tetapi menerima didudukkannya Decky Tambayong selaku pesero pengurus dari CV tersebut untuk bertanggungjawab, antara lain dikutip sebagai berikut: 13

“…sehingga permohonan Pemohon untuk mempailitkan Termohon dalam kedudukannya sebagai direktur CV. Daitia yang bertanggungjawab penuh atas semua harta kekayaannya, terhadap kewajiban CV. Daitia tersebut, telah memenuhi semua persyaratan seperti diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 6 ayat (1)a dan (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon haruslah dikabulkan dan Termohon harus dinyatakan pailit.” Dalam putusan yang tidak dilakukan upaya hukum tersebut, majelis hakim niaga secara tegas berpendapat bahwa tanggung jawab dari CV sebagai persekutuan komanditer merupakan tanggung jawab dari masing-masing pesero pengurusnya, bukan tanggungjawab CV. Hal yang sama juga ditegaskan dalam putusan Pengadilan Niaga No. 35/Pailit/2000/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 27 Juni 2000 dimana dalam permohonan pailit yang diajukannya, PT. Dainipon Ink & Chemicals Indonesia mendudukan CV. Mantrade secara langsung sebagai debitur ataupun Termohon pailit. Majelis Hakim Pengadilan Niaga menyatakan permohonan pailit tersebut tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) karena CV bukan merupakan badan hukum yang dapat didudukkan sebagai pihak dalam permohonan pailit tersebut, dimana pertimbangan hukum tersebut antara lain sebagai berikut:

12

Ketentuan tersebut didasarkan pada UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang telah diubah menjadi UU No. 40 Tahun 2007 dan diatur dalam Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 14 seperti yang dikutip di atas.

13 Putusan No. 28 Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst tertanggal 15 Januari 1999 dimana terhadap putusan tersebut tidak diajukan upaya hukum yang membuat putusan tersebut menjadi final.

“Menimbang, bahwa oleh karena itu CV tidak merupakan suatu Perusahaan/perseroan yang berbadan hukum, maka CV tidak dapat bertindak atau dijadikan sebagai subjek hukum (Rechtpersoon), oleh karena itu pula CV tidak dapat dijadikan pihak di dalam perkara ini; dan dengan demikian permohonan Pemohon tidak dapat ditujukan atau dialamatkan kepada CV. Mantrade, seharusnya permohonan Pemohon ditujukan dan dialamatkan kepada komplementaris CV. Mantrade; oleh karena itu pula permohonan Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).”

Akan tetapi Majelis Hakim Kasasi MA dalam putusannya No. 22 K/N/2000 tertanggal 1 Agustus 2000 membatalkan putusan Pengadilan Niaga tersebut, dengan pertimbangan hukum bahwa CV dapat dinyatakan pailit sehingga memutuskan CV. Mantrade Pailit. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim Kasasi MA menyatakan antara lain, dikutip sebagai berikut:

“Bahwa, …meskipun CV bukan merupakan badan hukum, namun tidak berarti suatu CV tidak dapat bertindak sebagai pihak dalam perkara.”14

Pendapat tersebut tentu saja menimbulkan kebingungan, karena walaupun MA mengakui bahwa CV bukan merupakan badan hukum, akan tetapi menyatakan bahwa CV bisa bertindak sebagai “orang” dan mempailitkan CV tersebut tanpa mempailitkan para persero aktifnya.

Berbeda pula dengan Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 01/Pailit/ 2003/PN.Niaga/Jkt.Pst tanggal 13 Januari 2003 terhadap Permohonan Pailit yang diajukan oleh Samsung Corporation terhadap CV. WiraMustika Indah bersama-sama dengan Persero pengurusnya, Soesanto Leo, serta juga kedua Persero Pasifnya, Tansri Benui dan Yulia Luplo Intan sebagai Termohon Pailit I s/d IV. Pengadilan Niaga dalam putusannya menerima CV didudukkan sebagai debitur Termohon Pailit, dan bahkan memutuskan pailit CV tersebut beserta dengan seluruh persero aktif dan pasifnya. Terhadap putusan tersebut, Majelis Hakim Niaga tingkat kasasi dalam putusannya No. 05/K/N/2003 15 April 2003 yang dikuatkan oleh Putusan Majelis Hakim PK No. 05/PK/N/2003 tanggal 20 Juni 2003 tetap menerima CV sebagai pihak yang dapat dipailitkan bersama dengan persero aktif dan salah satu persero pasif yang telah bertindak secara aktif, dan membebaskan Termohon IV yang merupakan persero pasif.

Tiga putusan Pengadilan Niaga tersebut ternyata menghasilkan putusan yang berbeda-beda yang semakin mengaburkan pengertian CV sebagai persekutuan komanditer yang bukan merupakan badan hukum. Secara logis, bahwa dengan dinyatakannya CV bukan badan hukum, maka CV tersebut bukanlah “orang” atau subjek pendukung hak dan kewajiban yang dimaksud oleh Paragraf 2 dan Paragraf 3 dari Pasal 1 tentang Ketentuan Umum dalam UU Kepailitan No. 37/2004 karena tidak dapat memiliki harta yang digunakan sebagai jaminan pelunasan utangnya kepada krediturnya seperti yang diatur dalam pasal 1131 KUH Perdata. Sebagai persekutuan perdata, maka secara tegas, tanggung jawab akibat dari hubungan hukum yang dengan menggunakan persekutuan komanditer tersebut merupakan tanggung jawab dari masing-masing anggota peseronya.

Yang berbeda adalah bahwa tanggung jawab pesero aktif (pesero pengurus) merupakan tanggung jawab personal yang meliputi seluruh harta bendanya. Sedangkan tanggung jawab dari pesero pasif (sekutu komanditer) hanya terbatas pada modal yang dimasukkannya ke persekutuan perdata tersebut15, sehingga logikanya pesero aktif dapat dipailitkan, sementara pesero pasif tidak. Adanya sekutu komanditer tidak dapat dijadikan alasan bahwa CV menjadi persekutuan perdata yang dapat memiliki kekayaan16, sehingga

14 Dari data putusan, tidak dilakukan upaya hukum khusus PK terhadap putusan Kasasi ini.

15

Kecuali sekutu komanditer tersebut bertindak aktif dalam mengurus CV tersebut, maka dia akan secara otomatis bertanggungjawab secara pribadi terhadap seluruh kewajiban yang ditimbulkan oleh CV tersebut sesuai dengan Pasal 21 KUH Dagang.

16

Khusus terhadap benda tidak bergerak yang wajib dinyatakan kepemilikannya dalam sertifikat kepemilikan sesuai dengan ketentuan Pasal 617 KUH Perdata, tidak dapat dinyatakan atas nama CV karena CV bukan badan hukum. Hal tersebut membuktikan CV tidak dapat memiliki harta yang terpisah dari harta peseronya.

dapat didudukkan sebagai Termohon Pailit, karena tetap saja pemasukan dari pesero aktif tersebut merupakan harta langsung dari pesero pasif tersebut karena tidak terdapat perbedaan entity.17 Sehingga pengajuan permohonan pailit terhadap CV secara langsung tidak dapat diterima, akan tetapi hanya dapat diajukan kepada masing-masing sekutu komplementer (pesero pengurusnya).

C. Tidak Dilunasinya Utang Yang Telah Jatuh Tempo Merupakan Dasar dari Dapat