• Tidak ada hasil yang ditemukan

Haruskah Masing-masing Pengadilan Niaga Mempunyai Kewenangan Untuk

Materi VIII – Pilihan dalam Hukum Kepailitan: Sudut Pandang Internasional dan Penerapannya

C. Bagian Kedua: Pilihan-Pilihan Sehubungan Dengan Perubahan atau Penggantian UU No. 37

1. Haruskah Masing-masing Pengadilan Niaga Mempunyai Kewenangan Untuk

Praktek-praktek Kepailitan?

Kecil kemungkinan bahwa adanya perubahan atau penggantian UU No. 37 akan dapat mengatur secara keseluruhan seluruh pertanyaan yang ada dalam suatu perkara kepailitan. Dalam rangka meningkatkan praktek-praktek yang lebih dapat diprediksi dan seragam, merupakan hal yang masuk akal untuk memiliki peraturan yang mengikat untuk mengisi kekosongan yang ada.

Peraturan lokal yang mengatur mengenai praktek bagi masing-masing pengadilan telah dikenal di banyak negara. 7 Peraturan tersebut dapat menciptakan kepastian, dimana pada saat yang bersamaan juga memberikan pemegang kebijakan lokal kebebasan untuk memodifikasi praktek-praktek yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Tentunya peraturan tersebut dibatasi, yaitu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang dan tidak boleh melanggar kemandirian hakim dalam memutus perkara.

Kerangka hukum yang ada saat ini, yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman, nampaknya tidak memberikan kekuasaan seperti itu dengan jelas. Lebih lanjut, tampaknya tidak banyak preseden mengenai tipe peraturan seperti ini. Maka, pemberian kekuasaan secara eksplisit dalam perubahan atau penggantian apapun atas UU No. 37 mungkin diperlukan untuk pengadilan dapat mengambil langkah tersebut.

Apakah peraturan lokal seperti ini berguna bagi Indonesia? Seperti yang telah didiskusikan di atas, peraturan lokal dapat meningkatkan kepastian dan memperbolehkan faktor lokal. Namun, terdapat risiko yaitu dalam hal pembuat peraturan lokal pada suatu pengadilan setempat tidak cukup terlatih dan tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk membuat suatu peraturan yang efektif. Atau lebih buruk lagi, orang-orang setempat tersebut mungkin saja membuat peraturan yang bertentangan dengan undang-undang atau membuatnya untuk kepentingan kelompok tertentu dengan merugikan kelompok lain.

Tentunya telah diketahui bahwa Mahkamah Agung mempunyai kepentingan dalam menjaga agar hukum acara di seluruh Indonesia adalah sama. Bagaimanapun juga, kekuasaan untuk mengeluarkan peraturan lokal dapat dibatasi hanya untuk proses kepailitan saja, dengan kata lain hanya untuk sedikit jumlah perkara dalam kelompok kecil pengadilan khusus. Jika ide ini dapat diterima, maka Mahkamah Agung tentunya memiliki kekuasaan untuk melakukan standardisasi atas peraturan-peraturan lokal jika diperlukan.

7

Salah satu contoh peraturan lokal (local rule) dalam konteks ini dapat berupa daftar jenis-jenis dokumen penting guna mendukung pelaksanaan persetujuan penjualan harta pailit oleh kurator berdasarkan Pasal 185 UU No. 37. Daftar tersebut dapat dibuat dalam bentuk surat edaran yang diterbitkan oleh ketua pengadilan niaga tertentu.

2. Haruskah Indonesia Memperkenalkan Ketentuan Mengenai “Awal Baru/Fresh

Start” (Contohnya: Memperbolehkan Penghapusan Utang) Untuk Debitor

Perorangan?

Undang-undang Kepailitan Belanda yang asli mengatur agar pengusaha individu dapat menghadapi penahanan atau “gijzeling” misalnya penahanan karena mempunyai utang. UU No. 37 juga mengatur hal yang sama. Pernyataan pailit berarti pembebasan dari tahanan atau ancaman akan hal itu.8 Namun sekarang, hal ini bukan lagi merupakan ancaman. Meskipun dalam gijzeling masih terdapat kemungkinan teknis bagi orang yang tidak membayar, tapi dalam praktek hal ini hampir tidak pernah terjadi.

Tanpa adanya ancaman penjara bagi debitor, seseorang hanya mempunyai sedikit, jika ada, alasan untuk secara sukarela mendapat “pengampunan” kepailitan. Keuntungan tambahannya sangat sedikit. Satu-satunya harapan untuk mendapat pembebasan dari utang adalah dengan bernegosiasi mengenai “rencana perdamaian” dengan mayoritas kreditor konkuren, dimana jika dikabulkan oleh pengadilan, akan mengikat kreditor minoritas yang mempunyai pendapat berbeda. Tapi rencana perdamaian tersebut tidak ada kepastiannya, dan itu akan tidak berpengaruh terhadap utang yang dijamin dan kreditor preferen, bahkan jika rencana tersebut dikabulkan.

Ketentuan mengenai “rehabilitasi” dalam UU No. 37 hanya melakukan sedikit perbaikan atas akibat yang berat ini. Pasal 215-221 memperbolehkan debitor setelah berakhirnya kepailitan untuk mengajukan permohonan rehabilitasi. Hal ini tentunya harus disertai dengan bukti bahwa semua kreditor yang diakui sudah memperoleh pembayaran lunas. Jika bukti tersebut dapat ditunjukkan, maka putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan dapat dicatat dalam Daftar Umum di Kepaniteraan. Putusan ini nampaknya tidak mempunyai akibat hukum secara langsung. Satu-satunya keuntungan nampaknya hanya dari segi reputasi. Diskusi dengan hakim-hakim menunjukkan bahwa tidak ada debitor yang repot-repot mengejar rehabilitasi dibawah pengaturan seperti ini. Maka, tidaklah heran jika kita mendengar dalam perkara kepailitan dimana debitor perorangan gagal untuk bekerja sama dan kadang-kadang secara sadar menghalangi jalannya proses kepailitan.

Pembuat kebijakan mungkin mau mempertimbangkan untuk memodifikasi undang-undang dalam hal memperbolehkan debitor perorangan mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan pembebasan secara penuh dari utang-utang mereka jika mereka bekerja sama dalam kepailitan. Selain untuk mendapatkan kerja sama yang lebih baik dalam proses kepailitan, pembebasan akan membuat debitor dapat kembali berbisnis dan mempunyai kesempatan bekerja tanpa adanya perasaan takut akan dikejar-kejar oleh kreditor karena utang dimasa lalu.

Tidak diragukan lagi bahwa ide ini akan menjadi perubahan yang dramatis dari praktek masa lalu. Kreditor tentunya akan khawatir mereka akan kehilangan uang jika debitor dapat bebas melenggang setelah adanya putusan kepailitan. Pada saat bersamaan, bagaimanapun juga, kreditor harus bertanya pada diri mereka sendiri mengenai berapa banyak uang yang telah berhasil mereka terima dari debitor perorangan yang melewati proses kepailitan, tanpa adanya pembebasan utang.

Selain itu juga harus dicatat bahwa Amerika Serikat, salah satu yurisdiksi paling bebas dalam mendapatkan awal baru/pembebasan utang, baru-baru ini mempersulit proses tersebut. Di sisi lain, Belanda, yang secara tradisional tidak menyukai pembebasan utang, telah merubah undang-undangnya untuk memperbolehkan hal ini terjadi dengan syarat setelah

8

Pasal 31(3) UU No. 37 menyatakan bahwa debitor yang berada dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Pasal 32 dari Undang-undang Belanda menyatakan hal yang hampir sama, secara rinci menyebutkan debitor yang sedang berada dalam “tahanan karena tidak membayar utang.”

adanya pembayaran kepada kreditor selama beberapa tahun berdasarkan jadwal yang ditetapkan oleh pengadilan.9

3. Haruskah Undang-Undang Mewajibkan Bahwa Untuk Setiap Putusan Kepailitan Diumumkan Di Internet Sebagai Syarat Keabsahan?

Perkara kepailitan dan PKPU adalah unik karena secara potensial mempunyai akibat langsung terhadap banyak orang, terutama para kreditor. Pihak-pihak ini berhak mendapatkan perlakuan yang adil. Komponen kunci dalam perlakuan yang adil adalah mendapatkan pemberitahuan atas setiap aspek dalam proses perkara. Tanpa pemberitahuan, kreditor tidak dapat menjaga hak-hak mereka secara wajar selama proses berlangsung.

Mengakui akan hal ini, UU No. 37 mewajibkan dokumen-dokumen dalam perkara kepailitan tersedia bagi kreditor untuk dapat diperiksa dan diperbanyak.10 Beberapa dokumen harus tersedia bagi publik secara umum11 dan beberapa yang lain harus diumumkan. Melakukan hal ini, bagaimapun juga, merupakan hal yang sulit. Banyak kreditor yang tidak bertempat tinggal di wilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara dan seringkali jumlah tagihan mereka membuat tidak layak untuk melakukan perjalanan ke kepaniteraan pengadilan. Publikasi di media cetak dapat menghemat kreditor untuk pergi ke pengadilan, tapi mahal dan tidak ada jaminan bahwa kreditor berada dalam wilayah distribusi media yang bersangkutan atau dapat membacanya di hari pemberitahuan tersebut diumumkan.

Hanya sedikit orang yang mungkin tidak setuju bahwa peningkatan penggunaan internet oleh pengadilan-pengadilan ditujukan untuk meningkatkan transparansi. Pertanyaannya disini adalah apakah undang-undang harus dirubah untuk menyatakan bahwa pengumuman di internet adalah syarat untuk keputusan apapun dalam perkara kepailitan agar mempunyai keabsahan.

Ini dapat berarti perubahan yang besar dalam praktek. Dapat diambil contoh, suatu permohonan untuk mengabulkan penjualan di bawah tangan (telah dibahas sebelumnya diatas). Kurator dapat datang ke hakim dengan seorang pembeli yang mau membeli suatu properti, yang dalam beberapa lelang yang telah terjadi, tidak juga terjual. Permohonan tersebut adalah agar hakim mengabulkan penjualan di bawah tangan yang dimaksud dalam pasal 185 (2) Undang-undang Kepailitan. Dalam beberapa perkara, hakim akan menandatangani kontrak penjualan tersebut sebagai bukti dari persetujuan formal yang dia berikan. Dibawah usulan perubahan, persetujuan formal hakim tidak akan mempunyai dasar hukum hingga keputusan yang menyetujui penjualan di bawah tangan tersebut dibuat secara tertulis dan dipublikasikan melalui internet.

Membuat publisitas sebagai dasar untuk keabsahan secara hukum sehubungan dengan hak-hak banyak orang adalah praktek yang sudah lama dikenal. Contohnya mengenai hal ini dapat dilihat dari pendaftaran hak tanggungan atas tanah dimana hak tanggungan tidak berlaku hingga hak tersebut terdaftar.12 Membuat pendaftaran sebagai syarat dalam suatu perkara akan memastikan pihak-pihak yang terkait dengan tanah yang bersangkutan mendapatkan pemberitahuan yang layak mengenai hak-hak mereka.

Pendekatan seperti itu, bagaimanapun juga, dapat terlihat seperti menciptakan lebih banyak kertas kerja bagi kurator dan hakim dengan sedikit keuntungan sebagai timbal baliknya. Hal ini juga tidak bisa dengan mudah dibuat. Sistem seperti ini membutuhkan pengembangan dari sistem pemberkasan berbasis web bagi dokumen-dokumen dalam

9 J. Appeldorn, The ‘Fresh Start’ for Individual Debtors: Social, Moral and Practical Issues, International Insolvency Review, Volume 17, Edisi 1 (Spring 2008), hal. 57-72, tersedia secara online pada: www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/118479716/PDFSTART

10

Lihat Pasal 112 UU No. 37.

11

Sebagai contoh, laporan tiga bulanan dari kurator mengenai pengaturan harta debitor. Lihat Pasal 74.

12 Pasal 13 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah mengatur bahwa Hak Tanggungan “lahir pada hari tanggal” buku tanah Hak Tanggungan pada Kantor Pertahanan.

perkara kepailitan, yang dapat diandalkan, atau menggunakan sistem yang sekarang sudah ada.13

4. Haruskah Kreditor Yang Berhasil Mengawali Proses Perkara Diberikan Status Istimewa Sehubungan Dengan Surat Permohonan Mereka?

Dapat dikatakan bahwa kepailitan adalah prosedur yang jarang digunakan di Indonesia. Orang-orang dapat menunjuk bermacam-macam masalah yang ada dalam sistem saat ini sebagai alasan terjadinya hal tersebut. Tapi, meskipun sistemnya berjalan dengan sempurna, atau mendekati sempurna, banyak kreditor konkuren yang tetap berkeberatan untuk mendaftar perkara. Biaya perkaranya tinggi dan mengawali proses perkara bukan berarti mendapatkan jaminan.

Namun, jika ada kreditor yang mengawali proses perkara kepailitan walaupun terdapat risiko-risiko tersebut, keuntungannya akan mengalir ke kreditor-kreditor yang pasif dan lebih senior yang tidak melakukan apapun untuk mempertahankan hak-hak mereka. Sementara, pemohon yang mengawali proses perkara beruntung jika dia bisa mendapat kembali uang biaya perkara yang dia bayarkan saat pertama mengawali proses perkara.

Karena tindakan dari pemohon pailit yang berhasil itu merupakan suatu layanan masyarakat, maka memberikan layanan publik atas performa pemohon kepailitan yang sukses mungkin masuk akal untuk mempertimbangkan semacam kompensasi secara resmi bagi kreditor konkuren yang sukses mengawali suatu proses perkara kepailitan. Selain pengembalian biaya yang mereka keluarkan, kreditor-kreditor tersebut seharusnya menerima pembayaran kembali setidak-tidaknya bagian dari piutang mereka sebagai biaya administratif atas proses kepailitan. Agar adil, jika tagihan kreditor termasuk besar, maka pengembalian kepada kreditor yang berada dibawah status istimewa ini harus dibatasi tidak lebih dari 5 hingga 10 persen dari total hasil penjualan harta debitor.

5. Haruskah Peringkat Dari Berbagai Tagihan Dibuat Secara Ekslusif Berdasarkan Prioritas Yang Ada di UU Kepailitan?

Pasal 1131 hingga 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan klasifikasi dari piutang kreditor dan prioritasnya atas satu terhadap yang lain. Ketentuan-ketentuan ini, yang berasal dari tahun 1847, tidak sedikitpun menyebutkan tentang kepailitan atau PKPU. Juga tidak ada yang menyebutkan aspek tertentu dari proses-proses tersebut seperti misalnya utang-utang harta pailit yang timbul sepanjang jalannya perkara kepailitan. Alih-alih, hal tersebut terdapat sesudah ketentuan-ketentuan mengenai warisan dan pembagian harta pailit. Rujukan terhadap “biaya pemakaman” dan biaya yang timbul sehubungan dengan penyakit yang terakhir” dalam ketentuan-ketentuan14 memang menunjukkan bahwa penulis lebih memfokuskan pada memperlancar disahkannya ketentuan yang diinginkan dari pada memenuhi kebutuhan masalah insolvensi perusahaan modern.

Ketentuan-ketentuan ini juga ditambah dengan peraturan lain yang berhubungan dengan tenaga kerja dan pajak. Pasal 95 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa ketika suatu perusahaan pailit atau berada dalam proses likuidasi maka gaji karyawan perusahaan tersebut harus menjadi utang yang diprioritaskan dibandingkan dengan utang lain. Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa utang ini harus “dibayarkan terlebih dahulu sebelum utang-utang lain dibayar.”

13

Hukum Online adalah salah satu contoh organisasi yang meyediakan layanan database tersebut di Indonesia. Selanjutnya, contoh lain yang sama adalah Australia Legal Information Institute (www.austii.edu.au) yang merupakan sumber informasi hukum di Negara lain. Hingga kini, kedua contoh tersebut sepertinya tidak menyediakan informasi secara rinci tentang putusan-putusan yang dibuat oleh hakim pengadilan niaga dalam menangani perkara kepailitan di pengadilan.

14

Berdasarkan Undang-Undang Pajak yang terkait, kurator mempunyai kewajiban untuk membayar pajak-pajak terutang dari debitor.15 Dibalik itu, undang-undang menyatakan bahwa negara mempunyai “hak terdahulu terhadap aset yang dimiliki oleh penanggung pajak untuk maksud menagih pajak.”16 Dengan demikian, jika terdapat kasus dimana Wajib Pajak telah dinyatakan pailit, berdasarkan UU Pajak kurator dilarang “membagikan harta” Wajib Pajak dalam pailit dengan pemegang saham atau kreditur lainnya “sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.”17

Pihak otoritas pajak dapat menyita atau menjual properti penanggung pajak manapun, bahkan jika properti tersebut telah dibebani hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu.18 Yang lebih tidak jelas lagi adalah status kreditur yang klaimnya (piutang) dijamin dengan hak tanggungan setelah properti tersebut dijual. Bahkan yang lebih tidak jelas lagi adalah status hak-hak para kreditur pemegang hak tanggungan pada saat jaminan dijual karena adanya putusan pengadilan tentang pailit.

Berbeda dengan ketentuan-ketentuan ini, ternyata, Undang-undang No. 37 hanya memberikan sedikit sekali petunjuk mengenai urutan para kreditor. Referensi terdapat dalam banyak tulisan mengenai hak prioritas tanpa keterangan yang jelas mengenai maksudnya. Penjelasan Pasal 60(1) menjelaskan mengenai kreditor yang diistimewakan sebagaimana kreditor yang dijelaskan menurut Pasal 1139 dan 1149 dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tidak satu pun dari pasal-pasal yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut menyebutkan tagihan negara terhadap pajak-pajak yang belum dibayar dan rujukan mengenai tagihan buruh yang harus didahulukan berbeda dengan yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003.

Hasilnya masih merupakan kontroversi sampai saat ini, mengenai siapa yang harus dibayar terlebih dahulu berkenaan dengan pembagian hasil penjualan dalam kepailitan. Ketidakpastian ini menunda penyelesaian perkara. Biaya yang timbul sehubungan dengan gugatan mengenai hal ini akan menghabiskan penghasilan yang seharusnya tersedia bagi para kreditor.19

Dalam menangani masalah prioritas penagihan secara universal, diperlukan pertimbangan yang seksama, dengan menjelaskan urutan prioritasnya secara jelas dalam undang-undang kepailitan. Hal ini sangat masuk akal berdasarkan beberapa alasan. Yang pertama adalah sangat sederhana. Suatu perkara kepailitan (dimana nilai tagihan melebihi nilai aset) pada dasarnya hanyalah satu-satunya situasi dimana urutan peringkat kreditor merupakan hal yang penting. Jika debitor dapat membayar lunas kreditor, siapa yang peduli mengenai siapa yang berada pada urutan pertama?

Kedua, pendekatan ini memaksa para pembuat kebijakan untuk membuat suatu keputusan yang sulit terhadap prioritas antara yang satu dengan yang lainnya. Kelihatannya mudah ketika merumuskan undang-undang tenaga kerja dengan memasukkan ketentuan yang membuat para pekerja adalah kreditor nomor satu. Tetapi mungkin tidak begitu mudah jika hal-hal yang memiliki kepentingan yang bersaing juga dipertimbangkan.

Ketiga, pendekatan ini membuat pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan hal-hal lain yang berdampak terhadap pemberian prioritas seperti dalam melakukan perundingan

15 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 28 Tahun 2007, Pasal 32(1).

16

Ibid., Pasal 21.

17

Ibid., Pasal 21 ayat (3a) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

18 UU No. 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Pasal 14.

19

Pola yang serupa juga terjadi di Filipina. Pada tahun 1949, prioritas yang diatur dalam Kitab Hukum Perdata yang baru diadopsi menggantikan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan. Kemudian, undang-undang yang lain tentang buruh menetapkan aturan tambahan mengenai prioritas, dan Keputusan Mahkamah Agung nampaknya memberikan prioritas tertinggi untuk tagihan pajak diatas pihak lainnya, termasuk tagihan kreditor yang dijamin. Hasilnya adalah kebingungan yang serupa. Lihat Pendidikan Kehakiman Filipina (Philippine Judicial Academy), Benchbook on Liquidation Proceedings in Insolvency (2004), pp. 81-83.

rencana perdamaian yang mungkin dapat menyelamatkan perusahaan. Dengan membuat beberapa tingkatan kreditor yang dibedakan menurut status prioritas pembayaran akan terbentuk kelompok-kelompok individu yang mempunyai harapan yang berbeda terhadap pembayaran jika likuidasi harus dilakukan. Hal ini tentunya akan sangat mengurangi solidaritas kreditor yang diperlukan dalam merundingkan suatu rencana perdamaian yang wajar dan realitis.

Pada akhirnya, menangani masalah ini hanya dengan menggunakan satu undang-undang akan memberikan pihak swasta suatu pemahaman yang lebih baik mengenai risiko yang ada dalam memberikan pinjaman kepada individu dan perusahaan. Seperti yang dapat disimak dari Pedoman Peraturan mengenai Undang undang Kepailitan yang dikeluarkan oleh PBB baru-baru ini :

Dalam hal prioritas dicantumkan dalam undang-undang kepailitan atau dalam hal prioritas yang terdapat dalam undang-undang lain selain dari undang-undang kepailitan diakui dan berdampak terhadap proses kepailitan, diharapkan bahwa prioritas-prioritas tersebut dinyatakan secara eksplisit atau dirujuk dalam undang-undang kepailitan (dan bila perlu dibuatkan urutan prioritasnya dengan tagihan-tagihan lain). Hal ini untuk memastikan pihak yang berkepentingan dalam kepailitan mengetahui dengan jelas dan mengetahui dampaknya terhadap kreditor serta memungkinkan pihak pemberi pinjaman untuk dapat mempertimbangkan secara lebih seksama mengenai risiko yang terkait dengan pinjaman.20 (Penekanan ditambahkan).

Dengan kata lain, sama pentingnya untuk mendapatkan hak-hak yang kuat dalam kepailitan dengan memahami apa yang dimaksudkan dengan hak-hak tersebut. Dengan memiliki pemahaman ini, pihak-pihak swasta dapat setidak-tidaknya membuat penyesuaian dalam mengelola pinjaman dengan memperhitungkan juga risiko-resiko yang ada. Dengan ketidakpastian saat ini, hal ini tidak mungkin dilakukan.

Tentu saja, mengkonsolidasikan aturan-aturan mengenai prioritas ini sulit dilaksanakan. Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Perdata secara politis tidaklah mudah dan pihak yang berhak dan sangat berkepentingan seperti buruh dan negara mungkin akan berkeberatan terhadap setiap perubahan yang mungkin dilakukan terhadap undang-undang tenaga kerja dan perpajakan. Lebih lanjut, jika aturan mengenai prioritas ini dikonsolidasikan, tidak ada jaminan bahwa Parlemen kemudian tidak akan memberlakukan undang-undang tenaga kerja dan perpajakan yang baru untuk mendapatkan manfaat bagi pihaknya.

6. Haruskah Undang-Undang Diubah Agar Dapat Mengakomodasi Prosedur Perdamaian Yang Lebih Rumit dan Menyeluruh?

Sistem kepailitan Belanda diuraikan sebagai “sistem yang berbasis likuidasi ... dengan ketentuan reorganisasi yang paling sederhana.”21 Sistem kepailitan Indonesia secara aman dapat dikarakterisasikan dengan cara yang sama. Proses Kepailitan tetap merupakan aturan dan PKPU tetap merupakan pengecualian. Rencana perdamaian biasanya merupakan usaha terakhir untuk mencegah terjadinya likuidasi lebih dari pada melakukan suatu pendekatan proaktif untuk merestrukturisasi utang dan mengurangi biaya-biaya.

Dalam 15 (lima belas) tahun terakhir ini banyak negara di Eropa dan Asia telah merombak undang-undang kepailitan mereka dengan memberlakukan langkah-langkah reorganisasi yang lebih canggih dan terperinci, yang sebagian terinspirasi oleh ketentuan-ketentuan reorganisasi Chapter 11 Undang-undang Kepailitan Amerika Serikat. Ketentuan-ketentuan ini memungkinkan antara lain: (a) beberapa tingkatan kreditor yang memberikan suara tersendiri; (b) menolak hak istimewa kreditor dalam hal-hal tertentu; dan (c) prosedur yang relatif baru, seperti dalam hal konversi utang menjadi modal (debt-equity swaps). Tujuan

20

Komisi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Undang Undang Perdagangan Internasional Legislative Guide on Insolvency Law 2005, p. 271 (selanjutnya disebut dengan “UNCITRAL Legislative Guide). Dapat diunduh di www.uncitral.org/pdf/english/texts/insolven/05-80722_Ebook.pdf.

21 O. Couwenberg and A. de Jong, Cost and Recovery Rates in the Dutch Liquidation-Based Bankruptcy System (rancangan Juni 2007), p. 6 tersedia di http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1008667

dari pembaharuan semacam ini adalah untuk menghindari terjadinya likuidasi perusahaan-perusahaan yang seharusnya dapat diselamatkan melalui prosedur reorganisasi.

Indonesia dapat membuat langkah yang maju dan membuat suatu bab yang canggih dan terperinci mengenai reorganisasi perusahaan. Banyak tersedia bentuk baku mengenai pengelolaan hal-hal seperti ini.

Namun harap diketahui, bahwa ketentuan-ketentuan mengenai reorganisasi perusahaan yang rumit tidak mudah untuk dijalankan dalam praktek. Walaupun banyak perusahaan yang dapat menyelamatkan perusahaan mereka dengan menerapkan ketentuan-ketentuan ini, banyak juga dan mungkin lebih banyak lagi perusahaan yang memanfaatkan