• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hambatan yang Ditemui Kurator dalam Praktek

Materi V – Permasalahan terhadap Kendala Efektifitas Undang-Undang Kepailitan dan

C. Hambatan yang Ditemui Kurator dalam Praktek

1. Asset Tracing dan Asset Recovery

Adakalanya Kurator berhadapan dengan debitur yang tidak menghormati “status sita umum”. Sejak putusan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya, untuk menguasai dan mengurus kekayaannya (Pasal 24 ayat (1)). Namun, debitur seringkali tidak kooperatif dengan cara-cara antara lain:

4

- harta pailit sudah dialihkan sebelum putusan;

- harta pailit tumpang tindih kepemilikannya, sengaja dipindahtangankan, disewakan atau dijadikan jaminan hutang;

- dokumennya kadang-kadang cacat hukum sehinga sulit dilakukan eksekusi; dan/atau

- sikap manajemen yang tidak kooperatif dalam penyerahan harta pailit dengan melakukan perlawanan terhadap Kurator dengan cara:

a. menghalangi Kurator untuk tidak menyentuh atau mengambil harta pailit; atau

b. menghalangi Kurator memasuki area perusahaan pailit dengan cara antara lain menutup akses, mengancam Kurator baik langsung atau dengan menggunakan oknum-oknum, kadang pula menjaga lokasi tersebut dengan pengawalan baik dengan pengawalan orang maupun hewan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Kurator seringkali mengalami kesulitan dalam praktek, sebagai berikut:

a. Asset Tracing

Saat ini informasi mengenai aset debitur pailit diperoleh Kurator dari para kreditur dan debitur yang kooperatif saja. Sangat jarang Kurator berhasil melakukan investigasi untuk menemukan aset debitur yang memang sengaja disembunyikan debitur.

1) Belum ada sinkronisasi peraturan perundang-undangan

Belum ada koordinasi dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang sebenarnya dapat sangat mudah memberikan instruksi kepada seluruh bank yang terdaftar. Selama ini, Kurator harus mengirim surat satu persatu kepada setiap Bank yang diperkirakan memiliki rekening debitur. Bank Indonesia selama ini berlindung pada ketentuan tentang rahasia bank, dimana bank harus menjaga kerahasiaan nasabahnya.

Hal yang paling nyata adalah tentang aturan kerahasiaan bank. Sesuai dengan ketentuan Pasal 40 UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, diatur bahwa Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Pengecualian atas hal tersebut, diatur secara limitatif dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A jo. Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 Pasal 2 yaitu bahwa peraturan kerahasiaan tidak berlaku untuk5:

a) kepentingan perpajakan;

b) penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada BUPLN; c) kepentingan peradilan dalam perkara pidana;

d) kepentingan peradilan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya; e) permintaan nasabah yang bersangkutan yang dibuat secara tertulis; dan/atau f) permintaan ahli waris yang sah.

Kurator tidak dapat dengan mudah menggunakan kewenangan yang dimilikinya berdasarkan UU Kepailitan untuk mencari data debitur melalui Bank Sentral. Padahal menurut UU Kepailitan, keadaan pailit debitur dimulai sejak putusan pailit diucapkan. Dalam hal ini, kurator tentu saja diharapkan dapat bertindak cepat untuk langsung memblokir rekening debitur agar tidak dialihkan ke tempat lain

Namun, hal ini belum dapat dilakukan dengan cepat, karena Kurator harus mengirim satu persatu surat kepada setiap bank yang ada untuk menanyakan apakah ada debitur A tercatat mempunyai account di bank tersebut. Pada akhirnya, Kurator tidak dapat menjangkau seluruh bank yang ada, biasanya dipilih bank yang mungkin terkait saja, misalnya kalau yang

5

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan Peraturan Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Perintah Atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank.

dipailitkan adalah perusahaan PMA atau perusahaan yang cukup besar, maka bank yang dikirimi surat adalah bank besar dalam wilayah hukum kedudukan perseroan. Surat yang demikian ini biasanya akan dijawab oleh pihak bank dalam waktu 1-2 minggu, dan hanya apabila ada kecocokan data nasabah 100% (nama lengkap, alamat, nomor KTP). Dalam praktek, sangat jarang terdapat dana yang cukup besar.

Seharusnya, apabila peraturan perbankan bisa disesuaikan agar dapat mengakomodir pelaksanaan tugas kurator, mungkin saja Kurator cukup mengirim 1 (satu) surat ke Bank Indonesia (sebagai bank sentral), yang kemudian bisa menginstruksikan kepada seluruh Bank yang terdaftar di seluruh Indonesia melalui kawat/faksimili internal, sehingga informasi tersebut langsung sampai kepada setiap bank yang ada dan rekening debitur dapat langsung diblokir untuk mengamankan aset pailit.

Kemudian, disamping itu, Kurator juga tidak jarang mengalami kendala memperoleh data dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) karena data di BPN tidak terintegrasi secara nasional. Bahkan belum tentu BPN di daerah mengenal apa sebenarnya Kurator itu.

Satu-satunya nilai positif saat ini adalah dari Kantor Pajak. Sistem di Kantor Pajak saat ini sudah terintegrasi secara nasional yang memungkinkan diperolehnya data aset wajib pajak secara nasional. Hanya saja data yang diperoleh tentu saja terbatas pada data aset yang memang secara sukarela dilaporkan oleh wajib pajak pada saat membuat laporan SPT. Data ini belum tentu akurat. Dalam hal ini, Kurator dapat bekerjasama dengan Kantor Pajak untuk mencari data aset seperti ini.

2) Kepailitan belum cukup dikenal secara luas, terutama pada lingkungan instansi penegak hukum sendiri

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh debitur (pengusaha, pengurus atau komisaris PT, Maskapai Andil Indonesia atau Perkumpulan Koperasi), yaitu Pasal 396, 397, 398 dan 400 KUHP.

Pasal-pasal KUHP tersebut sebenarnya dapat dijadikan “senjata pamungkas” oleh Kurator terhadap debitur pailit yang tidak kooperatif dengan melakukan perbuatan pidana seperti: tidak bersedia memberikan dokumen; tidak memberikan laporan keuangan perusahaan pailit; dan atau manipulasi dokumen atau penggelapan harta pailit. Namun, harus diakui bahwa upaya ini memang tidak pernah dilakukan oleh Kurator karena belum terkoordinasi baik dengan aparat penegak hukum, yang sebenarnya memegang peranan penting dalam hal ini, pihak Kepolisian dan Kejaksaaan.

3) Tidak berfungsinya lembaga paksa badan

Kendala yang paling utama saat ini adalah tidak ada alat yang dapat digunakan untuk memaksa debitur bertindak kooperatif dengan Kurator. Satu-satunya alat yang ada, yaitu Lembaga Paksa Badan, sampai saat ini belum dapat dilaksanakan karena belum ada aturan pelaksanaan yang jelas.

Menurut Pasal 93 UU Kepailitan, pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atas usul Hakim Pengawas, permintaan Kurator atau atas permintaan kreditur atau lebih dan setelah mendengar Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya debitur pailit, dengan alasan bahwa debitur pailit tersebut dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, 110, atau Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2) UU Kepailitan.

Dalam prakteknya penerapan pasal ini hampir tidak pernah terjadi, walaupun Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2000 Tentang Pengaktifan Lembaga Penyanderaan (gizjeling) hal mana harus diajukan permohonan kepada pengadilan. Permohonan tersebut tidak pernah dikabulkan oleh pengadilan dengan alasan infrastruktur atau hal-hal yang dibutuhkan untuk pelaksanaan lembaga paksa badan tersebut belum jelas.

Dengan tidak adanya lembaga pemaksa ini, maka masih sangat sering dijumpai, Kurator yang berkunjung harus berhadapan dengan ancaman kekerasan, misalnya “anjing

galak” atau preman yang disewa oleh debitur atau juga dengan cara yang halus, debitur tiba-tiba menghilang. Hal ini terutama sekali dapat terjadi pada debitur perorangan. Apabila yang pailit adalah perseroan, maka yang hilang adalah Direkturnya.

b. Asset Recovery

1) Sistem lelang yang menunjang tercapainya harga maksimal

Sistem lelang yang ada saat ini harus benar-benar diperbaiki, karena penjualan dengan cara lelang ternyata dapat memberikan hasil yang maksimal. Hasil penjualan barang yang berhasil dilelang biasanya di bawah 1% dari harga limit, kurang lebih antara Rp. 1.000.000,- atau Rp. 3.000.000,-.

Kendala yang muncul adalah pada penentuan harga limit, apabila kurator menentukan harga limit yang tinggi, barang tersebut juga tidak akan laku terjual, karena biasanya calon pembeli akan menunggu lelang kedua yang harganya pasti diturunkan dari waktu lelang pertama.

Banyak sekali calon peserta lelang yang terdaftar dan memberikan uang jaminan hanya supaya memperoleh uang mundur dari calon pembeli yang memang benar-benar berminat. Hal nyata, yang pernah terjadi dalam praktek, dalam suatu lelang, ada peserta yang telah membayar uang jaminan sampai dengan 200 orang, namun pada saat dilaksanakan lelang, ternyata yang menawar hanya 1 atau 2 orang, dan itu pun sudah disepakati diantara mereka, yaitu harga penawaran hanya dilebihkan Rp. 1.000.000 atau malahan pas pada harta limit. Selanjutnya mereka akan melakukan lelang sendiri di tempat lain antara mereka. Selisih harga lelang resmi dengan harga lelang intern mereka dibagi diantara mereka.

Salah satu cara yang mungkin dapat membantu mengurangi apa yang disebut dengan istilah ‘mafia lelang’ adalah dengan membuat aturan yang tegas bahkan kalau perlu menetapkan ketentuan denda kepada calon peserta yang sudah menyetor uang jaminan sebagai peserta lelang, tapi tidak ikut menawar atau menawar dibawah harga. Tetapi akan lebih baik, apabila Kurator dibolehkan menjual di bawah tangan, maka pembeli akan terlepas dari “persekongkolan lelang” dan memasukkan surat dengan bebas.

2) Actio Pauliana

Actio Pauliana sebenarnya juga merupakan salah satu cara asset recovery yang bisa meningkatkan aset pailit. Namun, hal ini ternyata masih sangat tidak efektif. Sudah 10 (sepuluh) tahun Pengadilan Niaga didirikan, ternyata masih juga belum jelas apakah Pengadilan Niaga berwenang mengadili perkara Actio Pauliana?

Belum lama ini ada putusan dari Mahkamah Agung RI di tingkat kasasi yang menyatakan bahwa actio pauliana bukan kewenangan Pengadilan Niaga karena pembuktian dalam actio pauliana tidak sederhana. Salah satu syarat dalam actio pauliana adalah “debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan menimbulkan kerugian bagi kreditur”. Menurut majelis hakim, syarat tersebut mengakibatkan pembuktian tidak mungkin dilakukan secara sederhana, sehingga Pengadilan Niaga tidak berwenang mengadili perkara actio pauliana.

2. Peranan Asosiasi Kurator

Asosiasi Kurator memegang peranan yang sangat penting untuk meningkatkan efektivitas UU No. 37 tahun 2004. Sosialisasi yang intentif ke instansi yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan harus dilakukan. Selain itu, perlu juga untuk memanfaatkan teknologi informasi yang terus berkembang, diantaranya dengan membuat website yang bisa menjadi tempat yang murah bagi para kurator anggota asosiasi untuk memperdalam ilmu dan keahliannya dengan melakukan diskusi atau bahkan untuk membantu menyebarkan informasi mengenai aset yang akan dijual sehingga memungkinkan diperolehnya calon pembeli yang

tepat dengan harga yang baik. Kemudian, menjaga tingkah laku anggota dengan penegakan

“code of conduct”. Terakhir, menyelenggarakan pendidikan lanjutan bagi para kurator untuk

menjaga kualitas anggota tetap terjaga dan selanjutnya setiap tahun organisasi profesi mengeluarkan daftar rekomendasi Kurator yang “qualified”. Tentang hal ini sebenarnya sudah diatur dalam Anggaran Dasar Asosiasi Kurator & Pengurus Indonesia (AKPI), namun sampai saat ini memang belum bisa dilaksanakan secara optimal.

Cara-cara ini mungkin lebih baik dibandingkan dengan mengubah ketentuan pemilihan kurator bukan lagi kepada pemohon pailit melainkan memberikan kewenangan kepada asosiasi untuk mengusulkan kurator yang akan ditunjuk.

3. Hak Panitia Kreditur vs Kewenangan Kurator

Sebagaimana diatur dalam Pasal 79 sampai dengan Pasal 84 UU No. 37 tahun 2004, diatur tentang pembentukan Panitia Kreditur yang dapat memberikan nasehat kepada Kurator dan juga dapat memeriksa semua buku, dokumen dan surat mengenai kepailitan. Hak Panitia Kreditur ini pada hakekatnya sangat membantu pelaksanaan tugas dari Kurator. Hanya saja permasalahan yang sering muncul dengan adanya Panitia Kreditur adalah anggota Panitia Kreditur sering kali hanya mementingkan kepentingan diri sendiri, tanpa memperhatikan bahwa sebagai Panitia Kreditur ia juga harus memperhatikan kepentingan seluruh kreditur. Adakalanya, antara Kreditur juga mempunyai kepentingan yang berbeda. Masalah dapat bertambah apabila anggota Panitia Kreditur juga tidak memahami dengan jelas mekanisme yang diatur dalam Hukum Kepailitan.