• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahan dan metode 1 Bahan dan alat

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 176-181)

PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

RAKYAT DAN TEGALAN DI SUB DAS WURYANTORO, WONOGIRI Ambar Kusumandari*), Hadrianus Adityo Padmosaputro**)

2. Bahan dan metode 1 Bahan dan alat

Bahan-bahan yang diperlukan meliputi:

a. Peta areal penelitian, peta topografi, peta tanah, peta penggunaan lahan, peta panjang dan kemiringan lereng lahan, dan peta penutupan vegetasi.

b. Data curah hujan harian dan data curah hujan bulanan

Adapun alat-alat yang digunakan selama penelitian adalah: komputer, GPS, alat pengukur kerapatan tajuk dan vegetasi bawah

(density board), current meter, roll meter, dan alat tulis.

2.2. Analisis data

2.2.1. Nilai faktor erosivitas hujan ( R ) Erosivitas hujan adalah kemampuan atau daya hujan untuk menimbulkan erosi pada tanah. Bols (1978) telah membuat persamaan yang didasarkan pada penelitian yang dilakukan di pulau Jawa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pola hujan yang sama, yaitu iklim Muson. Erosivitas hujan (R) tahunan dapat diperoleh dengan rumus Bols.

2.2.2. Nilai faktor erodibilitas tanah (K) Erodibilitas tanah adalah kemudahan tanah untuk tererosi. Erodibilitas tanah (K) adalah sifat tanah yang menyatakan kepekaan tanah yang tererosi. Sifat ini mencerminkan mudah atau tidaknya tanah tererosi. Nilai K diperoleh dengan menggunakan nomograph (Weischmeier, 1971).

2.2.3. Nilai faktor kelerengan (LS)

Kemiringan lahan mempengaruhi erosi karena pengaruhnya lewat energi. Sifat lereng yang mempengaruhi energi penyebab erosi adalah : kemiringan (slope), panjang lereng, dan bentuk lereng. Namun demikian, dalam penghitungan erosi dengan metode MUSLE ini hanya faktor panjang dan kemiringan yang dipertimbangkan. 3. Hasil dan pembahasan

3.1. Faktor hujan

Salah satu faktor yang berpengaruh nyata terhadap erosi adalah hujan. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap erosi yang terjadi pada suatu daerah. Di daerah Wonogiri, khususnya pada daerah Sub DAS Wuryantoro memiliki curah hujan yang stabil, namun dalam beberapa tahun ini terjadi anomali iklim yang terjadi di wilayah ini, sehingga terjadi musim kering dan musim hujan yang ekstrim. Ketika musim penghujan tiba maka curah hujan bervariasi dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Hal ini terjadi pula ketika musim kemarau tiba, terkadang sama sekali tidak ada hujan, sehingga mampu menyebabkan kekeringan di beberapa lokasi. Curah hujan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 1.

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 159 Gambar 1. Curah hujan bulanan selama 3 tahun (2009-2011)

Gambar 2. Tingkat Erosi pada Hutan Rakyat dan Tegalan 3.2. Faktor vegetasi

Pengaruh vegetasi yang ada di Sub DAS Wuryantoro berfungsi untuk memperkecil laju erosi karena vegetasi mampu menangkap (intersepsi) butir air hujan, sehingga energi kinetiknya terserap oleh tanaman dan tidak jatuh langsung pada tanah. Pengaruh intersepsi air hujan oleh tumbuhan penutup pada erosi melalui dua cara, yaitu (1) memotong butir air hujan sehingga tidak jatuh ke bumi dan memberikan kesempatan terjadinya penguapan secara langsung dari dedaunan dan dahan, (2) menangkap butir-butir hujan dan meminimalisasi pengaruh negatif terhadap struktur tanah.

Tanaman penutup mengurangi energi aliran, meningkatkan kekasaran sehingga mengurangi kecepatan aliran permukaan, dan selanjutnya memotong kemampuan aliran permukaan untuk melepas dan mengangkut partikel sedimen. Hal ini terlihat jelas pada saat terjadi hujan besar waktu pengambilan data di lapangan. Pada lahan yang minim akan vegetasi penutup lahan,

butiran air langsung menerjang tanah dan menciptakan aliran permukaan, sedangkan pada lahan yang memiliki vegetasi penutup lahan cukup banyak terutama pada lahan yang ditumbuhi banyak rumput dan tumbuhan bawah, air hujan terpotong dan mengalir melalui daun serta kekuatan hantamannya berhasil tereduksi dengan baik. Efektivitas tanaman penutup dalam mengurangi erosi tergantung pada ketinggian dan kontinuitas penutupan, kerapatan penutupan tanah, dan kerapatan perakaran. Makin tinggi tanaman penutup makin tinggi efektivitasnya.

3.3. Erosi

Pada Sub DAS Wuryantoro terutama pada daerah hutan rakyat dan tegalan memiliki tingkat erosi yang berbeda. Tingkat erosi pada daerah hutan rakyat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah tegalan. Hutan rakyat di dominasi oleh sengon dan jati dan sangat minim penutupan tumbuhan bawah. Pada lahan

160 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 tegalan di dominasi oleh jagung, ketela, dan

kacang tanah dengan penutupan tanah yang cukup tinggi. Erosi besar terjadi pada lahan hutan rakyat selain karena minimnya tumbuhan bawah lokasi hutan rakyat biasanya terletak pada daerah yang cukup curam, dengan tingkat kelerengan yang tinggi, tentu saja hal ini menimbulkan aliran permukaan yang cukup tinggi dan berakibat besaran erosi yang ditimbulkan.

Pada lahan tegalan tingkat kelerengannya cenderung tidak terlalu curam, dan pada beberapa wilayah yang memiliki tingkat kelerengan yang tinggi, masyarakat membuat teras bangku sederhana guna mengurangi laju erosi. Kesadaran masyarakat masih mementingkan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dengan jangka panen yang relative cepat, sehingga pembuatan teras masih terbatas pada lahan tegalan dan lahan sawah saja. Kurangnya tumbuhan penutup lahan pada kawasan hutan secara tidak langsung akan memperbesar kemungkinan terjadinya run off ditunjang dengan tingginya tingkat kelerengan semakin memperbesar aliran permukaan yang melalui daerah tersebut. Erosi pada hutan rakyat yaitu 269,62 ton/ha dan pada tegalan adalah 33,68 ton/ha. Total erosi pada hutan rakyat 1266,24 ton/ha dan pada tegalan adalah 159,02 ton/ha.

4. Kesimpulan

Hasil prediksi erosi menggunakan model MUSLE pada lahan hutan rakyat (169,62 ton/ha/th) lebih tinggi daripada erosi pada lahan tegalan (33,68 ton/ha/th).

5. Saran

Tegalan dapat dikembangkan pada lahan dengan kemiringan lereng yang tidak terlalu curam. 6. Ucapan terima kasih

Dengan tersusunnya tulisan ini maka penulis mengucapkan terima kasih kepada BPK Solo dan Fakultas Kehutanan UGM serta berbagai pihak yang telah membantu dan berperan dalam penelitian dan penulisan makalah ini. 7. Daftar pustaka

Anonim. 2009. Keputusan Menteri Kehutanan

Republik Indonesia Nomor

SK.328/Menhut-II/2009. Tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam Rangka Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010 – 2014.

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan pengelolaan daerah aliran sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Wischmeier, W.H. 1971. A soil erodibility nomograph for farmland and construction sites. Journal of Soil and Water Conservation.(26): 189-193.

Soeprihatno, P. 2011. Agroforestri: strategi adaptasi pengelolaan hutan tanaman terhadap perubahan iklim. Prosiding Seminar Nasional dalam rangka DIES Natalis ke 47 dan Purna Tugas Prof.Dr.Ir.

Sambas Sabarnurdin, M.Sc. ― Rimbawan

Kembali ke Hutan: Melestarikan Sumberdaya dan Menyejahterakan

Masyarakat‖. Fakultas Kehutanan UGM.

SILVIKULTUR

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 163 DAYA SIMPAN BENIH JELUTUNG RAWA (Dyera polyphylla Miq.)

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 176-181)