• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA PENYAKIT KARAT TUMOR

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 186-190)

PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

DINAMIKA PENYAKIT KARAT TUMOR

PADA SENGON(Falcataria moluccana) DI BERBAGAI POLA AGROFORESTRI Puji Lestari1, Sri Rahayu2 dan Widiyatno2

1)

DIII Pengelolaan Hutan Sekolah Vokasi, Universitas Gadjah Mada. 2) Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Jl. Agro Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia 55281

E-mail: cahyaningbintari@yahoo.com

ABSTRACT

Sengon has a high economical value in the community forest. It was planted by agroforestry system that has various pattern. However, gall rust disease has caused severe damage to all growth stages. Each agroforestry pattern has a different contribution to the development of gall rust disease. This research was aimed to evaluate development of gall rust disease in various agroforestry pattern. Field study was made in various agroforestry pattern that are PA I (sengon with coffee, papaya, and ginger), PA II (cassava planted between sengon with 1, 5 m spacing) and PA III (cassava planted in the edge of sengon plantation with 0, 5 m spacing) to observe Disease Incidence (DI) and Disease Severity (DS). The result showed that development of gall rust disease for 5 months at PA I is highest (PA I has DI = 47,22%, DS = 15,74% while PA II has DI = 27,16%, DS = 10,29 and PA III has DI = 20,99%, DS = 7,41%).

Key words: gall rust, agroforestry, Falcataria moluccana, disease incidence, disease severity

1. Pendahuluan

Sengon (Falcataria moluccana) merupakan salah satu jenis tanaman cepat tumbuh yang banyak ditanam di daerah tropis. Berkenaan dengan pertumbuhan yang cepat dan manfaat yang besar, permintaan kayu ini di pasaran terus meningkat, sehingga penanaman sengon juga semakin meningkat tidak hanya di Hutan Tanaman Industri (HTI) tetapi juga di hutan rakyat. Upaya peningkatan produktivitas sengon saat ini banyak terkendala dengan adanya serangan hama dan penyakit, terutama penyakit karat tumor. Penyakit ini disebabkan oleh jamur Uromycladium tepperianum yang dapat mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan atau bahkan kematian baik pada semai maupun tanaman dewasa di lapangan.

Pada hutan rakyat, sistem pertanaman sengon menggunakan pola agroforestri yang mengkombinasikan antara tanaman pertanian dengan tanaman hutan pada sebidang lahan yang sama. Terkait dengan permasalahan penyakit karat tumor, tiap pola agroforestri memberikan kontribusi yang berbeda terhadap penyebaran serta intensitas penyakit tersebut karena lingkungan (suhu, kelembaban dan intensitas cahaya) yang tercipta akibat kombinasi tanaman juga berbeda. Lingkungan

yang tercipta akibat kombinasi tanaman pada pola pertanaman agroforestri akan berpengaruh terhadap penyebaran, ketahahan hidup dan kemampuan berkembangbiak patogen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perkembangan penyakit karat tumor di berbagai pola agroforestri.

2. Metode penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di hutan rakyat Desa Karangwuni, Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah yang berada pada ketinggian 500 mdpl , selama 6 bulan mulai dari bulan September 2010 sampai Februari 2011. Penelitian dilakukan pada tiga pola agroforestri yang berbeda yaitu:

1)

Sengon ditanam dengan kopi (Coffea sp.), pepaya (Carica papaya) dan jahe (Zingiber officinale). Adapun jarak tanam sengon kurang lebih 3,5 x 5 m, di antara tanaman sengon ditanami kopi dengan jarak 1,5 x 5 m dan di sela-sela kopi ditanami pepaya dengan jarak 3,5 x 5 m, sedangkan jahe ditanam di bawah sengon dengan jarak yang tidak teratur disebut Pola Agroforestri I (PA I).

2)

Sengon ditanam dengan ketela pohon

(Manihot utilissima). Ketela pohon ditanam di antara sengon. Adapun jarak tanam

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 169 sengon adalah 3 x 3 m, jarak tanam ketela 1

x 3 m dan jarak sengon dengan ketela 1,5 m disebut Pola Agroforestri II (PA II).

3)

Sengon ditanam dengan ketela pohon. Ketela pohon ditanam di tepi petak. Adapun jarak tanam sengon adalah 3 x 3 m, jarak tanam ketela sekitar 1,5 x 7 m dan jarak sengon dengan ketela 0,5 m disebut Pola Agroforetri III (PA III).

Jumlah unit sampel tiap sub plot pada PA I sebanyak 4 pohon sedangkan pada PA II dan PA III sebanyak 9 pohon. Sengon yang diamati berumur 2,5 dengan tinggi rata-rata 2,8 m dan diameter rata-rata 4,8 cm.

Parameter yang diamati berupa luas serangan dan intensitas penyakit dengan melakukan skoring pada masing-masing bagian tanaman.

Tabel 1. Skor relatif keberadaan penyakit karat tumor pada sengon di pertanaman agroforestri Bagian

tanaman Gejala Skor

Ranting tidak muncul gejala tumor 0 muncul gejala tumor pada ranting 1 Cabang tidak muncul gejala tumor 0 muncul gejala tumor pada cabang 2 Batang tidak muncul gejala tumor 0 muncul gejala tumor pada batang 3

LS = Banyaknya Tanaman Menunjukan Gejala Penyakit x 100% Jumlah Tanaman Seluruhnya

IP pada bagian tanaman = (na x za) + (nb x zb) + (nc x zc) + ... + (ny x zy) x 100%

N x Z

IP pada pohon = (IPranting x 1) + (IPcabang x 2) + (IPbatang x 3)

6 Keterangan :

IP = intensitas penyakit

na s.d. ny = banyaknya tanaman dengan skor a sampai dengan y za s.d. zy = banyaknya skor a sampai dengan y

N = banyaknya tanaman yang diamati

Z = skor tertinggi

3. Hasil dan pembahasan

Secara umum (Gambar 1 dan 2) luas serangan dan intensitas penyakit pada PA I (Pola Agroforestri I) menunjukkan peningkatan yang jauh lebih tinggi dibanding PA II (Pola Agroforestri II) dan PA III (Pola Agroforestri III) terutama pada bulan ke-5. Hal ini dimungkinkan karena kondisi lingkungan pada PA I lebih tertutup, jadi intensitas cahaya dan suhu udara menjadi lebih rendah sedangkan kelembaban udaranya lebih tinggi sehingga sesuai untuk perkembangan penyakit karat tumor. Kondisi lingkungan pada masing-masing pola agroforestri ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. menunjukkan bahwa persentase intensitas cahaya terendah adalah pada PA I (18,55%) dan berbeda nyata dengan PA II

(55,20%) maupun PA III (69,67). Menurut Franje, dkk (1993) penyakit karat tumor cenderung lebih lambat berkembang pada pertanaman yang mendapat intensitas cahaya yang tinggi karena radiasi sinar ultraviolet selama 5 jam berturut-turut dapat menghambat perkecambahan teliospora jamur karat.

Menurut Rahayu dkk (2010) penyakit karat tumor berkembang intensif pada lokasi yang mempunyai kelembaban udara tinggi. Kelembaban

udara ≥ 90% memacu perkecambahan teliospora

jamur U. tepperianum membentuk basidiospora yang akan menginfeksi sel epidermis secara langsung. Pada Gambar 3 terlihat bahwa kelembaban udara tertinggi terdapat pada PA I(51,08%) dan berbeda nyata dengan PA II (46,17 %)

170 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 Gambar 1. Luas serangan penyakit karat tumor

pada berbagai pola agroforestri

Gambar 2. Intensitas penyakit karat tumor di berbagai pola agroforestri

Gambar 3. Kondisi lingkungan di semua pola agroforestri: (a) Intensitas Cahaya (b) Kelembaban udara (c) Suhu udara

maupun PA III (43,17%). Berdasarkan data setempat kelembaban udara pada pagi hari di PA I mencapai 65% sedangkan PA III mencapai 62%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelembaban udara di ketiga pola agoforestri tersebut kurang mendukung untuk perkembangan penyakit karat tumor.

Menurut Marsalis dan Natalie (2006) jamur karat pada tanaman gandum dapat berkembang

hingga suhu udara 40°C akan tetapi menurut Markel dkk. (2006) jamur tersebut akan tumbuh optimal pada kisaran suhu udara 18,3°C sampai 29,4°C. Dengan demikian, secara umum suhu udara di ketiga pola agroforestri yang diteliti kurang mendukung perkembangan jamur karat termasuk U. tepperianum meskipun masih memungkinkan bagi jamur tersebut untuk tumbuh.

a

b

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 171 4. Kesimpulan dan saran

4.1. Kesimpulan

1) Pola agroforestri sengon, kopi, pepaya, dan jahe (PAI) memiliki serangan penyakit karat tumor paling tinggi, dimana luas serangan (LS) mencapai 47,22% dan intensitas penyakit (IP) 15,74% dibandingkan dengan pola agroforestri sengon dan ketela pohon yang ditanam di antara sengon (PA II) dan pola agroforestry sengon dan ketela pohon yang ditanam di tepi petak (PA III), dimana untuk PA II luas serangan = 27,16% dan intensitas penyakit = 10,29% sedangkan untuk PA III luas serangan = 20,99% dan intensitas serangan hanya 7,41%.

2) Kelembaban udara yang tinggi dan intensitas cahaya yang rendah berpengaruh terhadap luas serangan dan intensitas penyakit karat tumor di areal plot pengamatan.

4.2. Saran

Untuk menghindari perkembangan patogen penyebab penyakit karat tumor, perlu memperhatikan jarak tanam dan komposisi jenis pada pola tanam agroforestri berbasis sengon.

5. Daftar pustaka

Franje, N.S., Aloevera, H.C., Isidora, M.O., Expedito, E.D.C., dan Revelieta, B.A. 1993. Karat tumor of Falcata (Albizzia falcataria (L.) Beck: its biology and identification. Mindanau: Northern Mindanau Consortium for Agriculture Resource Research & Development (NOMCARRD).

Markel, S., Gene M., Rick C., dan Jody H. 2006. Rust Disease of Wheat in Agriculture and Natural Resources. University of Arkansas. FSA7547-PD-11- 06N.

Marsalis, A.M., dan Natalie P.G. 2006. Leaf, Stem and Stripe Rust Disease of Wheat. College of Agriculture and Home Economics. Gide A-415.

Rahayu, S., Su L.S., dan Nor A. A. S. 2010. Uromycladium tepperianum, the gall rust fungus from Falcataria moluccana in Malaysia and Indonesia. Mycoscience 51:149–153.

172 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 186-190)