• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan pembahasan 1 Sifat kimia-fisika tanah

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 123-128)

PENGELOLAAN HUTAN INDONESIA Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia

KARAKTERSITIK KONKRESI MANGAN PADA MOLLISOL HUTAN BUNDER GUNUNGKIDUL

3. Hasil dan pembahasan 1 Sifat kimia-fisika tanah

Kemasaman aktual yang diukur dengan menggunakan ekstrak air diperoleh nilai kisaran pH 7,5-8,8 yang menurut Balittan (2005) termasuk berharkat netral-alkalis. Diantara empat profil yang diambil, nilai kisaran pH- H2O tertinggi diperoleh pada PBD IV

kemudian dibawahnya berturut-turut diikuti oleh PBD III, PBD I dan PBD II (Gambar 1). Kemungkinan hal ini terkait dengan ketinggian tempat profil tersebut diambil. Pada PBD IV terletak di daerah yang lebih yang berada pada posisi di atasnya.

Gambar 1. Agihan Vertikal pH-H2O dalam

profil tanah

Gambar 2. Agihan Vertikal kadar bahan organik tanah (%)

-90

-75

-60

-45

-30

-15

0

7

7,5

8

8,5

9

Je

luk

(c

m

)

pH-H

2

O

PBD 1 PBD II

-100

-80

-60

-40

-20

0

0

2

4

6

8

PBD I PBD II PBD III BO (%)

106 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 Makin dalam jeluk tanah, nilai pH-H2O

juga makin tinggi, kemungkinan hal ini disebabkan makin dekat dengan bahan induk tanah yang gampingan (kapuran) menyebabkan pH tanah makin tinggi. Sumber utama kebasaan tanah adalah CaCO3 yang merupakan

komponen dominan dalam bahan induk gampingan. Ion CO3

2-

bila terdissosiasi dari CaCO3, maka dalam sistem air akan mampu

menghidrolisis air tersebut sehingga terlepas OH- ke dalam larutan tanah, akibatnya pH tanah akan meningkat. Makin tinggi atau makin dekat dengan sumber bahan karbonat maka pH tanah cenderung makin tinggi pula.

Bahan organik tanah (BO) lebih banyak terakumulasi di lapisan atas tanah, karena berasal dari reruntuhan daun atau organ tubuh

tanaman lainnya yang tumbuh diatasnya. Makin ke arah jeluk tanah yang makin dalam kandungan bahan organik tanah semakin rendah. Hal ini dapat dipahami karena semakin jauh dari daerah akumulasi sersah daun yang jatuh dari tanaman yang tumbuh di atas tanah. Berdasarkan Gambar 2 terlihat bahwa diantara empat profil yang diambil, nilai kisaran kadar BO tertinggi diperoleh pada PBD IV kemudian dibawahnya berturut-turut diikuti oleh PBD III, PBD I dan PBD II. Hal ini kemungkinan akibat pengaruh tinggi tempat, PBD IV terletak di daerah yang lebih rendah dari PBD III, PBD I dan PBD II sehingga kemungkinan telah terjadi aliran BO tanah dari daerah yang di atas ke daerah yang lebih bawah.

Gambar 3. Agihan vertikal N-total (%) dalam profil tanah

Gambar 4. Agihan vertikal Ca (cmol kg-1) dalam profil tanah

Gambar 3 menunjukkan bahwa kadar N- total tanah memiliki pola agihan vertikal sama dengan kadar bahan organik tanahnya, hal ini mengindikasikan bahwa sumber utama N tanah adalah bahan organik tanah. Kadar N-total tertinggi diperoleh pada lapisan atas tanah, makin ke arah jeluk tanah yang makin dalam kandungannya semakin rendah. Kadar Ca terekstrak NH4OAc 1 N memiliki kecenderungan

meningkat dengan makin dalam jeluk tanah, meskipun demikian kadar tertinggi diperoleh pada kedalaman 60-80 cm. Pada kedalam ini ditemui adanya akumulasi kation dan lempung yang mencirikan adanya horison Illuviasi (B).

Gambar 4 menunjukkan bahwa berdasarkan nilai rata-rata kadar Ca, diantara empat profil yang diambil, nilai tertinggi diperoleh pada PBD IV kemudian dibawahnya berturut-turut diikuti oleh PBD III, PBD I dan PBD II. Kemungkinan hal ini terkait dengan ketinggian tempat profil tersebut diambil. Pada PBD IV terletak di daerah yang lebih rendah sehingga kemungkinan mendapat aliran tambahan kation basa dari tanah yang berada pada posisi di atasnya. Makin dalam jeluk tanah, kadar Ca juga makin tinggi, kemungkinan hal ini disebabkan makin dekat dengan bahan induk tanahnya yang kaya akan CaCO3.

-100

-90

-80

-70

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

0

0,1

0,2

0,3

PBD I PBD II PBD III PBD IV

Je

luk

(c

m

)

-100

-90

-80

-70

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

0

5

10

15

PBD I PBD II PBD III PBD IV

Ca (cmol kg

-1

)

N-total (%)

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 107 Gambar 5. Agihan vertikal nilai KPK (cmol kg-1)

dalam profil tanah

Gambar 6. Agihan vertikal Mn-tersedia (µg g-1) dalam profil tanah

Nilai kapasitas pertukaran kation (KPK) besarnya sangat dipengaruhi oleh kadar bahan organik tanah (humus), kadar dan macam lempung penyusun tanah. Nilai KPK tanah pada permukaan tanah dari empat profil tersebut relatif hampir sama yaitu berkisar 19- 21 cmol kg-1. Hanya pada profil 4 (PBD IV) diperoleh nilai KPK tertinggi pada jeluk antara 30-40 cm, sedangkan pada kedalam 60 cm nilainya menurun lagi. Pada PBD II diperoleh nilai KPK tertinggi pada jeluk 80 cm, karena pada kedalaman ini kandungan lempungnya lebih tinggi dibandingkan profil yang lain (Gambar 5). Pola agihan Mn tersedia disajikan pada Gambar 6. Di sini terlihat bahwa makin dalam jeluk tanah kadar Mn cenderung menurun. Kecenderungan ini mirip dengan pola agihan kadar BO tanah. Kemungkinan ketersediaan Mn tanah terkait

dengan peranan BO tanah yang mampu melepaskan asam-asam organik tanah berberat molekul rendah seperti asam sitrat, oksalat, tartrat, butirat dll yang mampu mengkelat Mn dari dalam tanah sehingga ketersediaannnya dalam tanah meningkat.

Gambar 7 menunjukkan pola agihan lempung dalam profil tanah. Berdasarkan gambar ini terlihat kadar lempung cenderung meningkat ke arah jeluk yang lebih dalam kemudian mengalami penurunan lagi, sehingga membentuk pola hiperbolik ke arah kanan. Kadar lempung tertinggi untuk profil II, III dan IV diperoleh pada jeluk sekitar 20-40 cm, sedangkan pada profil I diperoleh pada jeluk 70 cm. Hal ini mengindikasikan makin dalam profil tanah makin dalam pula daerah akumulasi lempungnya (horison illuviasi/B).

Gambar 7. Agihan vertikal kadar lempung (%) dalam profil tanah

-100

-80

-60

-40

-20

0

10

20

30

40

PBD I PBD II PBD III

Je

luk

(c

m

)

KPK (cmol kg

-1

)

-100

-80

-60

-40

-20

0

0

20

40

60

PBD I PBD II PBD III

Mn-tersedia (ug g

-1

)

-100

-80

-60

-40

-20

0

0

20

40

60

80

100

PBD I PBD II PBD III PBD IV

Je

luk

(c

m

)

Lempung (%)

108 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 3.2. Komposisi, tipe mineral konkresi Mn

dan klasifikasi tanah

Dengan menggunakan ekstrak campuran campuran HClO4+HNO3 pekat dapat diketahui

kadar total unsur-unsur penyusun konkresi Mn selain Mn juga ditemui ada Fe, Zn, dan Cu. Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui ternyata kadar hara Zn dan Cu malah lebih tinggi dibandingkan dengan Fe dan Mn sendiri. Gambar 9 menunjukkan bahwa hasil analisis menggunakan difraksi sinar X diperoleh 2 macam tipe mineral konkresi Mn yaitu Nsutit dan Manganit. Hal terlihat dari adanya peak sekisar 4,12-4,36 Å dan 2,42 Å yang masing- masing mengindikasikan adanya mineral Nsutit dan Manganit.

Pada PBD I, PBD II dan PBD IV berdasarkan ciri morfologinya, tanah ini memiliki epipedon mollik karena memiliki

kejenuhan basa > 50 %, kadar C-organik > 2,5 % dan memiliki ketebalan > 7,5 cm, sehingga dapat dimasukkan ke dalam ordo Molisol. Daerah Gunung Kidul memiliki curah hujan rata-rata 1618 mm/th dan memiliki bulan basah rata-rat 5,88 dan bulan kering 5,55, sehingga secara kumulatif ada 90 hari yang selalu lembab. Oleh karena daerah ini memiliki rejim kelehasan udik, maka sub ordonya Udolls. Kadar lempung pada horison (hor) A dan B > 40 % dan pada hor B kadar lempungnya > 8 % dari hor A, oleh karena itu greatgroupnya masuk Argiudolls. Pada musim kering tanah ini menunjukkan rekahan2 yang lebar, sehingga subgroupnya masuk Vertic Argiudolls. Sedangkan pada PBD III subgroupnya masuk Lithic Argiudolls karena dijumpai kotak lithik pada jeluk 50 cm.

Gambar 8. Agihan vertikal kadar lempung (%) dalam profil tanah

Gambar 9. Difraktogram Sinar X dari konkresi Mn.

33,9 11,9 83 87 30,5 12,8 77 108 19,2 12,2 89 89 22,4 10,6 74 51

0

20

40

60

80

100

120

Mn

Fe

Zn

Cu

Mn

Fe

Zn

Cu

Mn

Fe

Zn

Cu

Mn

Fe

Zn

Cu

K

ada

r

L

o

ga

m

T

o

ta

l

g

g

-1

)

Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012 109 4. Kesimpulan

Tanah dibawah tegakan Hutan Bunder dapat digolongkan ke dalam ordo Molisol dengan ciri memiliki pH-H2O berkisar 7-8,8 (netral-

alkalin) dg kecenderungan meningkat ke arah dakil yang lebih dalam. Kandungan BO 0,39- 7,45 % (rendah-tinggi) dan N-total 0,05-0,28 % (rendah-sedang) dg kecenderungan menurun dari hor Ap ke B/C. Nilai KPK tanah masuk kategori sedang, namun ditemukan nilai yang kontras pada hor B/C. Pola agihan vertikal kadar Ca2+, K+, Na+ dan nilai KPK mengikuti pola agihan lempungnya. Kadar Mn-tersedia berkisar 3-44 mg g-1 (sedang-sangat tinggi), dan kadar Mn-totalnya berharkat sangat tinggi dengan pola agihan cenderung menurun ke arah jeluk yang lebih dalam. Sebagian besar konkresi Mn terakumulasi pada Hor Bt dan didominasi oleh tipe Manganite dan Nsutite. Dalam konkresi Mn tersebut juga ditemukan unsur Fe, Cu and Zn dengan urutan kadar Fe>

Cu ≈ Zn. Tanah di hutan Bunder di bawah tegakan Akasia dan Mahoni dapat digolongkan ke dalam 2 sub-group yaitu Vertic Argiudolls and Lithic Argiudolls.

5. Daftar pustaka

Balittan. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah, tanaman, air dan pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembanagn Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.

Cescas, M. P., E. H. Tyner, and R. S. Harmer III. 1970. Ferromanganiferous soil concretions: a scanning electron microscope study of their micropore structures. Soil Sci. Soc. Am. Proc.34:641- 644.

D‘Amore, D.V., S.R. Stewart, J.H. Huddleston,

and J.R. Glassmann. 2000. The stratigraphy and hydrology of the Jackson-Frazier Wet Land, Oregon. Soil Sci. Soc. Am. J. 64:1535-1543.

Hseu, Z. Y., and Z. S. Chen. 1996. Saturation, reduction, and redox morphology of seasonally flooded Alfisols in Taiwan. Soil Sci. Soc. Am. J. 60:941-949.

Kertonegoro, B.D., and S.A.Siradz. 2006. Kamus istilah ilmu tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Lambert, K., A. Syukur dan E. Hanudin. 1993. Petunjuk penggunaan alat dan dasar

metode analisis kimia tanah. laboratorium kimia dan kesuburan tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta.

Phillippe, W. R., R. L. Blevins, R. I. Barnhisel, and H. H. Bailey. 1972. Distribution of concretions from selected soils of the inner bluegrass region of Kentucky. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 36:171-173.

Polteva, R. N., and T. A. Sokolova. 1967. Investigation of concretions in a strongly podzolic soil. Sov. Soil Sci. 10:884-893. Schwertmann, U., and D. S. Fanning. 1976.

Iron-manganese concretions in hydrosequences of soils in loess in Bavaria. Soil Sci. Soc. Am. J. 40:731-738. Soil Survey Staff. 1996. Keys to soil

taxonomy. Soil Management Support Service Tech. Monographs No. 19, 7th ed., NRCS-USDA, Washington, D.C. Stoops, G and H. Eswaran. 1985. p. 177-189.

Morphological characteristics of wet soils. In: Wetland soils: Characterization, classification, and utilization. IRRI, Los Banos, Philippines.

Tan, K.H. 1996. Soil sampling, preparation, and analysis. Marcel Dekker, Inc. 270 Madison Avenue, Newyork. pp:204-207.

110 Seminar Nasional Agroforestri III, 29 Mei 2012

KOMPOSISI UKURAN POHON DAN CADANGAN KARBON PADA SISTEM

Dalam dokumen PROSIDING SEMINAR NASIONAL AGROFORESTRI p1 (Halaman 123-128)