A
ngin berembus kilat mengacaukan rambutnya. Angin kencang itu menerbangkan kantung kresek merah dan hitam yang saling berba-lapan mengikuti ekor kereta ekspres. Angin berdebu itu terasa panas dan lembap mendamprat wajahnya yang resah ketika kereta itu melesat di depan hidung-nya saat ia sedang melamun. Ia terhehidung-nyak karena jalur tunggu kereta tempat ia berpijak mendadak bergun-cang. Getarannya tak cuma menjalar ke atas dengkul-nya, tetapi juga menghajar jantungnya. Hatinya kacau, seperti ketika meletus balon hijau.Getaran di tepi jalur kereta api itu pada akhirnya mereda. Tetapi hatinya masih kacau. Mulutnya meng-gumamkan sumpah serapah. Dari mulut itu keluar gelembung-gelembung udara berbentuk monyet, anjing, dan babi sebesar gantungan kunci. Gelembung ber-bentuk binatang itu berkilatan terbias sisa matahari yang menerobos lubang atap stasiun yang bocor. Tapi gelembung-gelembung itu berumur singkat karena keburu pecah setengah meter dari mulutnya.
Sambil menarik napas panjang ia menekan dada-nya dengan telapak tangan. Jantungdada-nya masih menyisa-kan debur gulungan ombak yang bertabramenyisa-kan di te-ngah samudera. Ketika detak jantungnya mulai tertata seperti barisan pasukan Pramuka, ia melihat selembar kartu pos meliuk tertiup angin. Kartu pos itu jatuh tepat di dekat sepatunya.
Ia meraihnya. Kartu pos itu bergambar gumpalan awan kelabu lengkap dengan halilintar yang mengge-legar. Ia lalu memandang langit-langit. Seberkas cahaya sebesar uang logam menerobos stasiun dari atap yang berlubang. Nun di ujung jalur kereta yang tak ber-atap, langit membiaskan cahaya lembut kemerah-merahan yang membawanya pada perasaan sendu. Ia lalu mengalihkan pandangannya lagi pada kartu pos itu. Dipandanginya gumpalan awan yang serupa kan-tung hujan yang siap pecah. Ia berpikir, seseorang mungkin sedang mengunggah hujan untuk dikirim kepada kekasihnya. Kekasihnya yang tak terlihat telah
mengirimkannya dari jauh atas nama cinta, hanya untuk dirinya saja.
Dengan perasaan sendu, dibaliknya kartu pos itu. Di sebelah kanan kartu pos itu tertulis: Kepada
Ke-kasihku di tempat. Pesan yang tertulis di sisi kiri
kartu pos itu amat singkat, terdiri dari dua kalimat yang setiap aksaranya ditulis dengan huruf kecil. Be-gini bunyinya, “aku sampah di langit merah. senja itu
kaukerat bukan untukku!” Nama, alamat maupun
tanda tangan pengirim kartu pos itu tidak tercantum di sana.
Hawa panas menjilat-jilat wajahnya ketika ia mem-baca kartu pos itu. Hatinya terbakar. Ia menduga-duga dari mana datangnya kartu pos itu. Mungkin angin kencang yang diembuskan kereta ekspres itu
bangkannya dari tangan atau saku seseorang yang sedang menunggu kereta bersamanya. Mungkin juga kartu pos itu terlepas dari tangan seorang penumpang dari dalam kereta. Atau mungkin saja kartu pos itu sengaja dijatuhkan oleh penumpang dari dalam kereta lewat jendela.
Tiba-tiba ia merasa bersalah karena sudah mem-baca kartu pos yang bukan dialamatkan padanya. Dipandanginya orang-orang di sekelilingnya, tapi tak seorang pun terlihat memperhatikannya. Matanya me-nyelidik siapa tahu ada orang yang sedang mencari-cari sesuatu, tapi tak seorang pun tampak kehilangan sesuatu.
Sekilas terpikir olehnya untuk memberikan kartu pos itu kepada petugas informasi. Tetapi di jalur tempat ia berpijak itu tak ada loket informasi. Semua informasi tentang keberangkatan dan kedatangan ke-reta berasal dari suara yang gemerisik dari pengeras suara berbentuk kerucut yang tergantung di langit-langit stasiun. Lagi pula, sepengetahuan ia, petugas informasi di stasiun itu adalah sekaligus penjaga loket, tukang sobek karcis, dan penjaga WC umum berba-yar. Sedangkan penjaga loket, tukang sobek karcis, dan penjaga WC semua berada di lantai atas. Ia bisa membayangkan bagaimana ia harus berlari-lari turun-naik tangga untuk memberikan kartu pos itu supaya ia bisa kembali ke tepi jalur agar tak ketinggalan ke-reta.
Tepat pada saat ia berpikir tentang apa yang ha-rus ia lakukan dengan kartu pos itu, ia melihat dari gumpalan-gumpalan awan kelam dalam kartu pos itu, rinai hujan mulai turun dan ia teringat pada kekasih-nya. Hatinya mulai sibuk berkata-kata. Apakah kau
mendengar desis gerimis di hatiku? Pernahkah kau berlari melawan rinai hujan yang melecuti pipimu? Ia
menggigit bibir, lalu mulai berkata lagi, “Begitulah ketika aku merindukanmu,” dalam hati.
***
Pernah suatu masa, ia tak membutuhkan kata-kata. Bagi ia, apa gunanya kata-kata jika dia memahami apa yang ia maksud tanpa perlu berkata-kata dan begitu pula ia akan memahami apa yang dia maksud tanpa perlu berkata-kata. Kata-kata tidak ada gunanya dan
selalu sia-sia. Karena di negeri mereka, kata-kata adalah slogan yang tertulis di atas spanduk-spanduk. Kata-kata adalah tuntutan yang diteriakkan demonstran-demonstran bayaran. Kata-kata adalah peringatan “di-larang merokok” yang dipaku di dinding ruangan kerumunan orang yang mengepulkan asap rokok. Kata-kata adalah buih-buih yang ditampung dari su-dut-sudut bibir para politisi. Kata-kata adalah kitab
Ia dan dia adalah tokoh dalam cerpen Hujan, Senja dan Cinta, Seno Gumira Ajidarma.
Dari cerpen Sepotong Senja Untuk Pacarku, Seno Gumira Aji-darma.
undang-undang yang berdiri di rak-rak buku sebagai pajangan.
Mungkin, hanya tinggal pujangga saja yang masih memuja kata-kata di negerinya. Lagi pula kata-kata menjadi sangat tidak efisien untuk sebuah hubungan jarak jauh. Malah kata-kata seringkali menimbulkan salah paham. Untuk para pendongeng kesalahpaham-an memkesalahpaham-ang menjadi modal untuk melahirkkesalahpaham-an kisah-kisah roman, tetapi ia dan dia tidak ingin kisah-kisah cinta mereka berakhir seperti Romeo dan Juliet yang abadi sebagai patung perunggu di Verona.
Ketika itu senja menyisipkan cahaya di jendela ketika ia dan dia membuat kontrak untuk tidak ber-kata-kata. Untuk meresmikan kesepakatan itu, tak lupa mereka berfoto di dekat jendela. Setelah itu, jadi-lah mereka berdua saling berkirim emoticon untuk mengungkapkan perasaan masing-masing.
Ia: PING!!! Ia: < Dia: < <
Namun pada saat ia berada di tempat yang paling jauh di mana semua alat komunikasi tak bisa bekerja, maka ia bersekutu dengan cuaca. Setiap pagi, ia me-ngirim cahaya matahari yang berkilat-kilat di atas dedaunan yang baru dibasuh hujan. Ketika itu dia akan membuka jendela rumahnya lebar-lebar, mem-biarkan cahaya matahari masuk ke rumahnya dengan
leluasa, dan dia bisa merasakan pijatan jari-jari ia yang tampan.
“Selamat pagi, tampan!” seru dia sambil membuka kedua tangannya dengan senyum yang paling lebar.
Pernah suatu ketika dia berterima kasih kepada gerimis. “Yang membuatku tahu hangat genggaman tanganmu,” katanya. Karena itu ia mengirim gerimis setiap kali ingin menggengam tangan dia.
Tetapi tiba-tiba mereka seperti dua dadu merah yang terlempar menjadi dua asing. Tanpa alasan yang jelas dia mengirim emoticon >:o. Setelah itu dia tak pernah lagi membalas semua emoticon yang ia kirim. Berlapis-lapis tirai menutup jendela rumahnya setiap matahari pagi menyapanya. Dia juga memilih mende-ngarkan musik dibanding desis gerimis. Saat itu ia merasa bagaimana diam menjadi kata-kata paling me-nikam.
Belakangan, tahulah ia jika dia terpikat oleh ia yang lain. Ia tidak terima karena kesepakatan mereka dibuat berdasarkan kontrak. Dengan tekad untuk me-rebut kembali dia dengan segala cara, ia pergi ke pengadilan. Dia digugat karena cedera janji. Di peng-adilan, pengacara ia menunjukkan foto ia dan dia di dekat jendela pada senja itu.
“Benarkah itu foto saudara?” tanya hakim. “Benar yang mulia,” jawab dia.
Pengacara ia juga menujukkan bukti ratusan
emo-ticon sebagai bukti adanya kontrak antara ia dan
dia.
“Benarkah itu percakapan BBM saudara dengan ia?” tanya hakim.
“Mohon maaf yang mulia, pada tahun 00 saya belum menggunakan BB,” jawab dia.
Amarah ia benar-benar terbakar karena dia telah ingkar. Ingin ditumpahkannya amarahnya itu dengan kata-kata. Pada saat yang sama ia tak ingin menyakiti dia, karena semua kata yang ia punya hanyalah duri dan api. Sebuah ruangan kecil di rumahnya tinggal puing karena tanpa ia sadari mulutnya mengeluarkan api ketika berteriak. Dari mulutnya juga berhamburan duri ketika ia memaki.
Maka sejak itu ia memilih bahasa sunyi. Tanah Baru-Kalibata, Maret 01