• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saputangan Merah

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 91-101)

10.10

Ketika pertama kali membuka kedua mata, rasa malas itu masih ada. Berat dan mengukung seperti tali yang diikatkan kencang pada tubuhnya.

Ia menarik napas panjang seolah-olah kegiatan tersebut bisa menyuntikkan kekuatan untuk berdiri dari tidur. Tetapi, tidak ada yang terjadi. Tubuhnya masih telungkup seperti bintang laut merebahkan diri di atas pasir. Ia sadar sudah saatnya bangun sebab sekali ia membiarkan rasa malas itu menguasai, ia akan menjadi sulit untuk dilepaskan. Seharian ia bisa-bisa hanya berbaring.

Lantai terasa seperti udara malam hari di lereng gunung di pipi, membangunkan rasa lapar yang ikut juga tertidur pulas. Semalam, belum sempat meletak-kan sehelai kasur di atas lantai kamar ia sudah terburu terlelap. Malam tadi masih sama seperti malam-malam panjang lainnya dengan kegiatan rutin latihan teater hingga tengah malam.

Usai latihan yang biasanya diakhiri pukul dua belas, ia akan menulis naskah di kamar sebelum mengizinkan diri tertidur. Tetapi, semalam hujan turun deras. Usai merokok di luar kamar, mengamati rasa dingin pelan-pelan menjadi sahabat serta berpikir sesuatu, ia masuk ke kamar dan kalah oleh kuasa dingin yang menjadi di saat hujan turun. Ia tertidur di atas lantai.

Kini, ia terbangun empat jam sebelum memulai latihan teater. Biasanya ia akan berdiri dengan cepat

usai membuka mata, terlebih saat menyadari mata-hari sudah naik nyaris di atas kepalanya. Lalu, ia akan melakukan olah tubuh dan pemanasan, meren-tangkan kedua tangan, menekuk tubuh, menggoyang-kan kepala, merasamenggoyang-kan seluruh otot tubuh tertarik dan darah mengalir lancar di tubuh mengusir rasa malas dan menyumbangkan kesegaran.

Sementara, setibanya di tempat latihan, ia akan mengkordinir teman-teman teater untuk melakukan pemanasan setelah bincang-bincang singkat mengenai apapun di dalam ruang latihan. Mereka biasa mela-kukan latihan pemanasan gerak tubuh selama kurang lebih sejam sebelum berlatih akting dan peran.

Untuk kali ini, mereka semua sedang mendalami naskah terjemahan Oscar Wilde yang berjudul The Importance of Being Earnest. Naskah itu merupakan sebuah satir atas kehidupan menggelikan masyarakat era Victorian seputar mentalitas mereka yang muna-fik serta pandangan mereka atas pernikahan serta cinta. Kegiatan latihan tersebut rutin ia lakukan nyaris setiap hari selama kurang lebih empat jam dan akan meningkat frekuensinya tatkala grup teater mereka akan melakukan pementasan.

Dia tidak pernah merasa jenuh melakukannya setau yang ia sadari. Tetapi, tidak untuk beberapa hari ini. Seperti ada sesuatu yang menahannya. Se-suatu yang mengingatkan akan kekosongan ruang di kamarnya tidur setiap malam walaupun perkakas pementasan berserakan di sana. Naskah-naskah yang

ditumpuk di sebelah komputer, koleksi film pertun-jukkan, sketsa-sketsa gambar yang ia pajang di tem-bok, serta piala pementasan yang berjejer di atas lemari, ternyata sudah dipenuhi debu waktu.

Ia merasa upayanya sia-sia saja. Seperti ada pa-lung dalam yang tiba-tiba ditemukan oleh radar dirinya dan ia terjatuh ke dalam kegelapan tanpa dasar. Selama ini, ia telah serius berlatih dan meng-kordinir grup teater itu tetapi tak ada peningkatan yang signifikan. Teman-temannya terlalu lemah dan tidak memiliki ambisi yang sama seperti dirinya. Beberapa festival dilewatkan dengan tak satupun gelar juara diraih. Hanya ia yang mampu mendapat-kan penghargaan individu.

Ia memejamkan mata kembali. Terbayang oleh-nya pertemuan dengan perempuan itu di suatu pertunjukkan musikal. Ia sebenarnya tidak terlalu menyukai hadir ke acara musikal kecuali jika benar-benar terpaksa. Hari itu, ia datang karena temannya, salah satu produser film yang hendak memberikan peran utama di sebuah film major label, mengajak bertemu di acara tersebut. Maka, ia pun datang hanya dengan sebuah niat bertemu sang teman. Mengejar kebutuhan finansialnya yang semakin me-nipis hari demi hari, nyaris nihil dan membuatnya terpaksa mengirit dengan makan indomi serta me-minjam uang ke beberapa teman.

Ketika ia memilih menunggu di sebuah kafe yang letaknya cukup jauh dari keriuhan

pengun-jung musikal, di satu pojok ruangan yang arah pan-dangnya terhalang oleh rindang pepohonan berukuran besar, datanglah perempuan itu. Ia memiliki rambut panjang dan ikal kecil menyerupai jalinan mi instan yang umumnya ia santap setiap hari tergantung di kepala sang perempuan.

Tidak ada yang istimewa dari perempuan itu. Tubuhnya kurus dan kecil seperti ranting pohon ke-ring yang begitu mudah dipatahkan dengan satu ta-ngan. Perempuan itu terlihat sangat sadar diri akan proporsi tubuhnya. Ada aura ketidakpercayaan diri terpancar dari gerak-gerik perempuan tersebut. Meski sebenarnya, lelaki itu menyukai pilihan baju yang dikenakan sang perempuan: sebuah setelah gaun selu-tut yang mengingatkannya akan Argentina era 10an dengan motif bunga-bunga dan rok lebar dan kehi-dupan penuh gairah.

Perempuan itu sadar kalau ia diamati. Berkali-kali ia mengintip dengan sudut matanya ke arah tempat duduk sang lelaki. Kadangkala tatapan mata mereka beradu dan perasaan yang muncul memberikan lelaki itu suatu kesenangan tersendiri. Sebuah peluang pe-tualangan asmara singkat selama ia menunggu sang teman hadir di depan mata. Ia merasa hebat dan berkuasa seolah hidup lagi-lagi berada dalam geng-gamannya malam itu.

Ia mencondongkan tubuh untuk menunjukan ke-tertarikan. Namun, sang perempuan semakin bertam-bah kikuk dan percaya dirinya mengerucut ke dalam.

Jelas terlihat gelombang ketidakpercayaan diri menyerbu perempuan itu. Sekonyong-konyong sang lelaki membayangkan kesulitan-kesulitan yang di-alami sang perempuan dalam hidupnya. Ketersiksaan untuk berada di tengah-tengah orang dan lingkungan asing yang menyulut rasa sadar kekurangan kepri-badian pada diri sang perempuan. Bayangan akan kegagalan yang dialami perempuan tersebut meraih apa yang ia inginkan, ketidakmampuannya membuat orang lain memahami diri akibat sikapnya yang kikuk, terlihat sangat mengerikan baginya.

Namun, malam itu entah mengapa perhatiannya sedang pula tertuju pada bulan dan langit di atas sana. Sejujurnya, ia bukan pria yang romantis. Ia tidak senang bermain-main imajinasi dari alam dan hanyut terbawa perasaan. Tetapi, malam itu terasa sedikit berbeda. Ada sebuah keinginan yang mende-sak muncul secara alamiah untuk lebih meramende-sakan alam. Ia menikmatinya.

Keinginan awal untuk berpetualang telah tergan-tikan dengan gairah lain yang uniknya memberikan rasa ketenangan tersendiri. Ia bisa merasakan gamblang bagaimana udara bergerak lambat menyapu tubuh, melihat sinar bulan menembus awan dan memben-tuk bayangan bundar di atas danau dekat kafe, mendengar daun bergesekan terkena angin, serta rasa sejuk yang menjalar dari dalam tubuh. Semua keheningan itu, sensasi yang tercipta secara alamiah

saat ia menghayati, segera memunculkan sisi lain ke-pribadian dari sang perempuan.

Di balik kekikukan yang tidak mempesona dan membuat perempuan itu sungguh membosankan, ia bisa merasakan sebuah kehangatan api menyala. Api yang tidak dimiliki oleh semua orang, hanya bagi mereka yang telah menerima pengalaman pengalaman terpahit dalam hidup tetapi terus bertahan dan maju. Ia yakin perempuan itu pernah berada dalam satu titik di mana ia berdiri pada ambang keyakinannya, nyaris terjungkal ke jurang. Tetapi, api itu menyela-matkannya, membawanya terus ada hingga waktu ini. Kekuatan itu seketika terpancar dan ia merasakan merasuki tubuhnya, mencuri perhatian dan juga mem-buatnya malu. Ketulusan perempuan itu akan keselu-ruhan diri, kekurangan-kekurangannya, penerimaannya dan sikapnya atas hidup membuat ia gerah.

Perempuan itu memang tidak memiliki karakter yang menarik tetapi karisma personalnya sangatlah kuat. Perempuan itu menampilkan suara dirinya secara apa adanya. Rasa kurang percaya diri yang ditampil-kan dalam sikap menarik diri dan mata yang selalu awas, penuh kehati-hatian atas dunia luar, kerapuhan dalam sikap punggung yang melengkung ke dalam, sampai kecemasan dalam tangan yang kuat menang-kup. Perempuan itu tidak menutup-nutupi kekurang-an itu sama sekali. Ia jelas-jelas menunjukkkekurang-an pada dunia. Kekurangannya tidak akan membuatnya mati tetapi justru bertambah kuat.

Lelaki itu membayangkan seorang bayi yang baru terlahir secara mendadak di dunia penuh kelam. Putih bersih. Dan, seketika ia merasa ingin mencelup-kan kepalanya ke dalam bak mandi berisi air dingin.

Ia telah menguliti perempuan itu ke batas ter-dalam imajinasi atau instingnya? Semestinya ia meng-hampiri perempuan itu dan mengajaknya berkenal-an. Tetapi ia hanya duduk di sana, menikmati malam sementara menunggu sang kawan, termangu dan memikirkan tindakannya. Ia tertarik pada perempuan itu tetapi lagak-lagaknya menunjukkan sebaliknya. Ia memainkan wajah lain.

Keesokan pagi, ia menemukan saputangan sang perempuan diantara genggaman tangannya. Ia tidak yakin telah mengajak perempuan itu mampir. Hanya ada bayangan singkat mereka jadi mengobrol malam itu di tepian danau dan perempuan itu mengguna-kan saputangan merah itu untuk mengelap keringat yang bergulir di keningnya. Malam itu ia terdiam, menyadari momen-momen ketika perempuan itu dengan khusyu mengelap keringat perlahan-lahan membuatnya ekstasi. Ia begitu indah dengan semua penghayatannya seperti seorang penari Bedhoyo yang bergerak secara meditatif.

Mungkin saat itulah saputangan sang perempu-an tertinggal dperempu-an ia menyimpperempu-annya. Sapu tperempu-angperempu-an satin warna merah yang menguarkan aroma rempah kuat. Jantungnya berdegup kencang. Ia merindukan

perempuan itu, yang pergi dengan menyisakan hanya satu buah sapu tangan merah.

Hari kelima setelah malam pertemuan itu. Ia be-lum pernah lagi bertemu dengan perempuan tersebut. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia membalikkan badan dan telentang di atas lantai. Satu tangan diletakkan di belakang kepala, satu tangan lainnya memegang sapu tangan merah milik sang perempuan.

Di satu titik pada ruang tempat ia berbaring dan kini terasa begitu sempit dan menyesakkan, seko-nyong-konyong ia melihat perempuan mungil itu du-duk menunggu seseorang. Lelaki itu merasa dirinyalah orang itu. Rasa malas yang mengikatnya seperti tali tiba-tiba melepaskan diri tergantikan dengan dorongan perasaan yang bergejolak.

12.45

Lelaki itu bangun dan bersiap-siap menuju tempat latihan teater dengan langkah ringan. Ia belum sempat sarapan ataupun makan siang hari itu tetapi perutnya terasa kenyang membayangkan wajah sang perempuan dan saputangan merahnya. Menggenggam saputangan tersebut, ia lantas berjanji akan berlatih naskah Oscar wilde dengan sepenuh hati.

 Terinspirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma berjudul Lipstik dari buku Atas Nama Malam (1, GPU)

Senja dalam

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 91-101)