• Tidak ada hasil yang ditemukan

Guru Omong

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 147-175)

Kosong

Dikin gugup. Lampu redup. Namun, Dikin bisa melihat jelas anak-anak mengamatinya dengan tegas. Dia tidak ingin dilecehkan, meskipun dia tahu wajar saja jika murid-murid SMP kelas satu itu

melakukan-nya. Siapalah dia, seorang penjaga sekolah yang kebetulan tertimpa tugas dadakan.

Dikin menyeka kening walau tak ada bulir ke-ringat di sana. Anak-anak mulai mendengus, menan-ti kalimat yang akan dikeluarkan orang yang sering mereka temui di warung itu. Dikin tidak tahu bah-wa sebetulnya anak-anak penasaran juga, kenapa ia

masuk ke dalam kelas sore itu. Dikin sudah maju sepuluh langkah dari pintu kelas dan ia membatu di sana. Dia sudah dibekali bahan berupa secarik kertas dan spidol hitam. Pak Hasan sudah membe-ritahunya tadi, dia hanya perlu menuliskan satu

kalimat yang ada dalam kertas di papan tulis. Kemudian beri sedikit perintah kepada anak-anak: keluarkan buku dan alat tulis, kerjakan soal ter-sebut, lalu kumpulkan saat bel sekolah berbunyi.

Hanya itu.

Namun bagi Dikin tugas itu bukan sekadar hanya. Sebuah ide yang menurutnya hebat me-lintas setelah Pak Hasan tuntas memberinya pe-rintah. Ia diminta menggantikan Pak Widi di

kelas pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ah, bukan menggantikan mengajar, melainkan hanya diminta menuliskan catatan yang ditulis Pak Hasan. Rupanya catatan itu hanya

dipin-dahkan dari tulisan SMS yang dikirim Pak Widi ke-pada Pak Hasan. Perintah tugas untuk murid-murid agar menggambar burung Garuda Pancasila dan me-nuliskan kalimat sila di bawah gambar itu. Kalimat pembuka SMS diberitahukan secara lisan kepada Di-kin. Pak Widi mohon izin tidak masuk karena sakit. Pak Hasan juga menambahkan bahwa Bu Rina sang kepala sekolah juga berhalangan hadir sebab ada rapat di sekolah lain. Guru lain punya tugas di kelas ma-sing-masing. Maka jadilah pemakluman tidak tertulis yang hadir di antara mereka yang menjelaskan meng-apa Dikin si penjaga sekolah mesti mengisi kelas.

Ini semacam berkah. Betapa ingin Dikin mengajar di sekolah. Sudah lima tahun ini ia menyaksikan lelaki seusianya atau lebih tua darinya mengajar di sekolah SMP itu. Dikin pun ingin mencobanya. Ia merasa bisa, karena tampaknya mudah saja menyuruh anak-anak itu membuka buku LKS dan memintanya mengerjakan sendiri. Jawaban ada di rangkuman teori halaman sebelumnya. Begitu yang biasa diucapkan para guru di sana. Lalu anak-anak tersebut akan semacam kerbau ngantuk membuka halaman untuk mencari jawaban. Si guru akan duduk manis di depan mengoreksi tugas murid-murid sekolah pagi. Yang pernah Dikin dengar, sekolah petang ini hanya sekolah penambah uang ja-jan bagi guru.

Dikin mengambil napas, bersiap mengatakan se-suatu. Pandangannya menyapu ruangan kelas. Namun, hal itu urung dilakukannya. Ia berjalan ke arah papan

tulis putih yang bergelombang dan menuliskan satu kalimat di sana. Dia berusaha sekali membuat tulisan yang bagus lengkungnya. Titik. Satu kalimat tertulis.

Gambarlah burung Garuda

Pancasila dan tuliskan lima sila Pancasila!

Dikin berbalik dan buru-buru berkata, “Pak Widi tidak masuk. Sakit. Kerjakan soal ini di buku tulis.”

Tak ada yang tahu apa Pak Widi betul sakit atau tidak. Dikin mengarangnya karena itu pasti alasan yang paling mudah diterima anak-anak.

“Di buku tulis atau buku gambar, Pak?” seorang anak bertanya lantang.

Dikin tergeragap. Dia baru sadar bahwa perintah soal itu adalah menggambar. Namun, perintah yang diberikan Pak Hasan adalah kerjakan di buku tulis.

“Di buku tulis ajah,” sahut Dikin.

Anak itu merengut sedikit. Rupanya dia membawa buku gambar dan baginya tentu lebih asyik menggam-bar di kertas tidak bergaris. Dia kembali duduk dan berbisik-bisik kepada teman di sebelahnya. Mungkin mengomentari perawakan kurus Dikin dalam kemeja yang tidak harum lagi baunya. Kemudian, anak-anak lain ikut bertanya.

“Diwarnai atau nggak, Pak?”

“Yah, nggak bawa pensil warna tauk!” “Item putih aja!”

Dikin semakin bingung. Tak ada tadi disebutkan oleh Pak Hasan tentang peraturan teknis begini. Rupa-nya ada baRupa-nyak kejutan di kelas yang tidak dia duga. Ia menghirup napas dan mencoba memutuskan.

“Boleh diwarnai, boleh juga enggak.”

Seorang anak menceletuk, “Ya udah, nggak usah aja, biar gampang.”

Teman-teman yang lain rupanya mengiyakan. Ke-cuali si anak yang bertanya pertama kali. Anak itu justru mengeluarkan pensil warna dari dalam tas. Anak-anak lain mulai membuka buku tulis persis di halaman tengah sampai terlihat besi kecil di sana. Lalu mereka melakukan hal yang sama: merobek lembar kertas itu.

Keramaian langsung tercipta sebab mereka tidak punya gambaran yang bagus tentang rupa garuda. Mereka perlu melihat contoh garuda Pancasila di karton yang menempel di dinding kelas. Dikin me-nanyakan, perlukah ia mencopot gambar itu lalu di-pasang di papan tulis. Anak-anak itu serempak me-ngatakan iya. Lalu ia pun bergegas menuju ke dinding tempat gambar itu berada. Saat itu Dikin baru sadar bahwa sejak tadi ia memegang buku di tangan kiri. Buku itu yang akan membuatnya hebat sebentar lagi, setidaknya begitulah ia menduga.

Poster gambar Garuda Pancasila sudah diturunkan dari singgasananya, sebuah dinding bercat minyak oranye terang. Dikin yang mengecat dinding itu dulu. Jadi ia tahu kalau selotip yang dipakai untuk

merekat-kan poster ke dinding dapat dilepas dengan mudah. Sekarang poster sudah menempel di papan tulis dan beberapa anak satu per satu datang melihatnya. Tentu saja untuk mencontek rupa si burung garuda.

Dikin mengamati kesibukan anak-anak yang se-makin lama kian meredup suaranya. Mungkin karena sedang serius bekerja. Apalagi ketika tadi ia menam-bahkan perintah bahwa tugas itu harus dikumpulkan sebelum bel pulang sekolah berbunyi. Rasanya ada wibawa yang tiba-tiba jatuh di bahunya. Mengamati anak-anak awal belasan itu bekerja adalah sebuah kegiatan yang ternyata sangat mendebarkan. Semua itu karena dilakukan di balik meja guru.

Dikin mendeham sekali, tetapi suara yang terde-ngar hanya seperti gesekan angin. Murid-murid masih terlihat sibuk menggambar sisa ekor garuda. Namun ada pula sebagian murid yang mengobrol dengan te-man sebelahnya. Dikin mendeham sekali lagi dan membesarkan suaranya.

“Sudah selesai?”

Ada koor kata ‘belum’ yang terdengar, dan diting-kahi dengan kata ‘sudah’ di beberapa pojok. Dikin menimbang apakah ia perlu sekali lagi mengingatkan bahwa tugas ini harus dikumpulkan hari ini. Urung hal itu dia lakukan. Ia kembali melangkahkan kaki ke meja guru.

Di atas meja guru itulah Dikin meletakkan buku. Sebuah buku setebal Quran yang tiap bulan puasa saja dibaca. Baru kemarin dia menemukan buku itu

tergeletak di lantai di ruang guru. Senja sudah lama membayang dan semua guru sudah pulang. Itu waktu-nya Dikin membersihkan semua ruangan kelas yang jumlahnya tak seberapa. Sapu ijuk Dikin bersentuhan dengan sesuatu yang teronggok hampir masuk ke kolong lemari. Dipungutnya buku yang tidak tampak lapuk, tetapi tidak baru juga itu. Nama pemilik buku tidak ada. Aneh juga, tidak ada judul apa pun di sampul. Ia berpikir bahwa mungkin itu buku catatan. Siapa tahu milik bapak guru entah siapa. Maka di-bukanya halaman pertama dengan niat mencari nama pemilik. Terbacalah sebuah judul di halaman pertama yang membuat Dikin langsung mengerutkan kening. Kitab Omong Kosong. Ditulis kata per kata secara vertikal. Judul yang tentu saja membuat Dikin bi-ngung apa maksudnya.

Sampai berhenti menyapu dia karena penasaran siapa pemilik buku itu. Dikin menengok ke kanan kiri. Padahal jelas tidak mungkin ada jawaban yang bisa didapat. Dibukanya halaman kedua dan ada se-paragraf tulisan begini bunyinya:

“Tolong sampaikan agar cerita ini tidak usah di-baca karena membuang waktu, pikiran , dan tenaga. Sungguh hanya suatu omong kosong belaka. Mohon maaf sekali lagi untuk permintaan tolong ini. Maaf. Beribu-ribu mohon maaf.” Tertanda, Togog.

Dikin tidak kenal siapa Togog. Tidak ada guru di sini yang bernama Togog. Murid juga tidak ada. Lagi pula siapa yang mau kasih nama anak aneh begitu.

Togog terdengar seperti blegug, bodoh. Jangan-jangan buku itu memang hanya catatan orang bodoh saja. Buktinya, tulisan di halaman pembuka seperti itu. Namun, justru dengan ditulis semacam itu, boleh di-pastikan, pembaca justru akan berniat membuka lem-bar ketiga. Begitu pula dengan Dikin. Sayang, gagang sapu menahannya membaca. Dia kempit kitab itu dan diteruskannya menyapu.

“Segera selesaikan sebelum bel. Pak Widi minta dikumpulkan hari ini.” Dikin

men-ceplos.

Anak-anak langsung ngebut mengerjakan. Tampaknya gaya mengancam memang selalu jitu un-tuk memaksa anak-anak konsetrasi mengerjakan tugas. Dikin meni-mang-nimang buku. Jika anak-anak sudah selesai mengerjakan tugas, dan waktu masih tersisa, ingin dia maju ke depan kelas dan membahas buku di tangannya. Dia merasa ini akan sangat hebat. Berbi-cara di depan kelas dan memberi-kan pengetahuan kepada murid. Lima tahun dia bekerja di se-kolah ini. Kenyang ia melihat guru-guru sekolah petang ini mengajar.

Dari pengamatannya itulah dia merasa bisa juga meng-ajar. Sering dia melihat dari luar kelas sambil me-nyapu teras sekolah yang hanya satu meter lebarnya. Guru-guru menyampaikan pelajaran dengan membaca kalimat dalam buku satu demi satu. Lalu anak-anak akan mencatat ucapan gurunya itu atau mungkin be-ngong saja. Jarang dia lihat murid yang bertanya. Se-pertinya juga tidak pernah ada debat. Kalau ada anak yang menengok atau berbisik-bisik kepada temannya, si guru cukup berteriak dan kelas akan kembali te-nang. Oh, guru itu begitu tampak berwibawa.

Dikin pun ingin punya wibawa. Selama ini dia sering berhubungan dengan anak-anak sekolah itu, tetapi hanya di balik warung. Mereka akan menya-panya riang dan mengambil sendiri camilan yang di-jual berencengan. Beberapa anak lelaki akan meng-godanya, mengambil lontong lalu mencoba berutang. Kadang-kadang Dikin merasa anak-anak bercelana pendek biru itu kurang ajar padanya. Berbeda sekali sikap mereka pada Pak Hasan atau Pak Widi. Tak akan berani mereka menggoda guru, meskipun Dikin tahu anak-anak itu telah menciptakan nama olok-olok untuk gurunya.

Seharusnya Kitab Omong Kosong itu bisa mem-buatnya berwibawa. Semalam setelah selesai merapikan urusan sekolah, Dikin membuka buku itu diam-diam di bangku kayu reyot depan rumah. Buku itu ditulis dengan huruf cetakan buku pelajaran biasa. Ada judul di tiap bagian. Halaman sesudah bagian Togog

me-minta maaf berjudul “Dunia seperti adanya dunia”. Dikin membaca beberapa kalimat di bawahnya lalu ia tidak mengerti dengan segera. Dunia itu apa? Dunia Dikin adalah jendela warung dan ruang kelas dalam jangkauan sapu. Dunianya adalah mengumpulkan re-ceh ribuan untuk makan lalu mengeluarkan puluhan ribu untuk membayar uang sekolah anak. Dunianya adalah ramai berita kriminal dalam tabung televisi buatan Cina. Cuma itu adanya dunia.

Halaman berikutnya dibuka dan bertemulah ia dengan judul: “Dunia seperti dipandang manusia”. Dikin mencoba mencerna. Baginya, dunia itu fana. Itu yang dia ketahui dari guru ngaji di kampung dulu, juga penceramah di televisi. Karena fana itulah, ia ti-dak peduli seberapa banyak omong kosong yang di-bualkan petinggi Negara. Ia hanya tahu makan, kerja, lalu berdoa. Sama seperti yang dilakukan kebanyakan manusia miskin di negeri ini.

Judul-judul berikutnya adalah: “Dunia yang tidak ada” dan “Mengadakan dunia”. Dikin semakin meng-kerut. Mungkin benar apa yang dikatakan si Togog ini. Kitab ini membuang waktu dan pikirannya. Mungkin karena istilahnya yang susah itu. Saat itulah istrinya berteriak. Rupanya makan malam yang tak mewah sudah memanggil.

Di meja guru sekarang Dikin kembali bertanya apa maksud dari semua judul tadi. Bahasanya susah di-mengerti, tapi terasa begitu menarik hati. Semacam bahasa tinggi yang sering dia temukan di lembar bu-letin Jumat yang didapatnya di masjid. Bahasa yang tidak mudah dimengerti dirinya yang hanya tamat sekolah menengah pertama. Tentu saja guru di peng-ajian bisa membaca itu dengan mudah. Tampaknya guru-guru memang hebat dalam membaca tulisan yang rumit. Membaca buku yang susah akan membuatnya semakin berwibawa.

Andai Dikin menemukan buku itu seminggu se-belumnya, mungkin ia akan lebih paham isinya. Lalu nanti ia bisa dengan mudah berbagi di kelas kepada anak-anak itu. Ia teringat sesuatu, ada halaman-hala-man yang belum ditengoknya setelah judul bagian keempat. Buku itu kembali digamit. Dikin membuka-nya dengan kedua jempol hingga akhirmembuka-nya menemu-kan halaman kosong. Dibaliknya lagi beberapa halaman sebelumnya dan kosong pula yang ia temui. Kosong. Kosong. Lalu ada sebuah judul bertuliskan “Kitab Keheningan”.

Mengkerut lagilah kening Dikin. Hingga kemudi-an sebuah suara memecah kerut itu.

“Pak, itu buku apa?”

Seorang murid memberanikan diri bertanya. Ingin tahu dia mengapa buku itu sampai bisa membuat Dikin menganga.

Tercetus begitu saja jawaban Dikin. Ada sedikit bungah karena ia sadar bisa mengaitkan buku dengan pelajaran jam itu. Sayang, dia tidak siap dengan binar yang muncul di mata si anak setelah mendengar ja-wabannya.

“Wah, cerita dong Pak, buku itu isinya tentang apa!”

Tiga detik Dikin menatap mata anak yang sung-guh ingin tahu itu. Tiga detik berikutnya Dikin me-natap halaman judul buku itu. Sebuah omong kosong. Apa mungkin dia mengarang omong kosong saja tentang lima sila kehidupan itu? Tapi ini kapan lagi dia bisa mengajar di depan kelas dengan murid yang antusias? Tapi bagaimana kalau nanti ada pertanyaan yang tidak bisa dia balas?

Dikin buru-buru melangkah ke depan kelas walau di benaknya belum ada keputusan. Tentu ia bisa mengajar. Ah, semua orang toh bisa bicara. Dibukanya buku itu di depan kelas. Ditatapnya mata anak yang tadi bertanya. Kelas menjadi hening. Anak lain turut diam mengikuti semangat temannya yang menular. Dikin menarik napas dan meyakinkan dirinya bahwa dia bisa melakukan ini semua.

“Judul buku ini: Kitab omong kosong.” Murid-murid melongo.

“Saya akan jelaskan artinya. Meskipun Togog bi-lang buku ini tidak perlu dibaca karena membuang waktu, tapi saya malah ingin membacanya. Kamu

akan saya ceritakan. Tenang, saya bukan guru omong kosong.”

Murid-murid makin melongo.

Tiga detik kemudian bel pulang sekolah berbu-nyi.

Surat

ke-93

Feby Indirani

1.

Ini adalah surat ke- yang kukirimkan kepadanya. Kulipat tepi-tepi kertasnya dengan saksama, menekan-nya licin-licin seperti sedang menyeterika baju pesta. Masih sempat kuhirup aroma kertas yang khas, kuraba permukaan yang sedikit bergelombang karena tekanan tinta.

Ini lipatan terakhir sebelum kumasukkan ke dalam amplop yang akan menguncinya dalam lekat. Kupisah-kan kembali tepi kertas yang telah berpadu, hingga terpampang lagi deretan huruf biru cerah yang ku-torehkan, dengan tulisan tangan yang kecil dan rapi.

Sayangku, begitulah suratku selalu kumulai. Inilah suratku yang ke-93 untukmu. Artinya untuk ke-93 kalinya aku membuktikan kerinduanku. Aku kangen. Aku kesepian di sini.

Tak pernah sekalipun ia membalas surat-suratku. Dugaku, ia tak akan punya nyali bahkan untuk membukanya. Kubayangkan tangannya gemetar menggenggam suratku, sebelum merobeknya hingga kecil. Mungkin jika belum puas juga, ia akan meng-ambil pemantik lalu mulai menyulut apinya pada carikan kertas putih.

Menghanguskannya.

Tapi aku terus menulis surat, karena aku tahu jauh di dasar hatinya ia terus mengharapkan aku melakukannya. Aku kenal betul lelaki itu

sam-pai ke isi perutnya. Aku hapal betul kebiasaannya. Ia akan tetap mengenang dan membayang-bayangkan aku. Aku adalah mimpi-mimpinya. Ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jan-tungku akan terus menyala.

Menghantuinya.

2.

Apakah lawan dari cinta? Bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian.

Sejak lahir manusia diciptakan untuk bersuara lantang. Menjerit dan mengentak-kan kaki. Seperti suatu pernyataan jelas te-gas: aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau ber-usia sehari atau seribu satu kali lebih tua.

Karenanya pengabaian adalah bentuk hukuman paling kejam. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada keberadaan yang dinafikan, se-hingga tak ada bedanya apakah kau itu dinding, pulpen kayu atau gembok besi.

Dan tak ada yang paling menusuk ketimbang diabaikan oleh lelaki yang kaucintai.

Tak pernah sekalipun ia membalas surat-suratku, yang kutulis dengan warna tinta biru cerah, kulipat

tepi-tepinya dengan saksama, lalu kutekan licin-licin bak menyeterika baju pesta. Aku menuliskan surat untuknya setelah sekian lama tak jumpa, air mata yang selama ini tertahan bak bisul akhirnya meletus juga. Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata sebelah kanan, itu berarti sesuatu yang membahagiakan. Tapi air mataku terlahir sebagai anak kembar, dari sisi kiri dan kanan. Mungkin karena dialah sumber kebahagia-an sekaligus kedukakebahagia-an. Bukkebahagia-ankah duka cita adalah suka cita yang terbuka kedoknya?

Suratku tak pernah tersesat. Ia tiba tepat di ala-mat, karena jika tidak ia akan berbalik kepadaku de-ngan catatan tertentu. Itu surat yang begitu men-damba, sehingga bila pun salah alamat, semua yang menerimanya pun tak akan tega mengabaikannya.

Kubayangkan jika suratku tersesat ke tangan se-orang wanita tua, ia akan menulis balik padaku de-ngan jemarinya yang keriput dan bergetar. Ia akan mengabarkan, suratku salah alamat, atau lelakiku su-dah pinsu-dah tempat. Tapi tak lupa, ia akan berpesan:

Maaf aku tak sengaja membaca suratmu sewaktu ingin mengirimkannya kembali. Namun bila lelaki ini telah berhenti memberikan kabar selama itu, percayalah ia memang tak ingin kaucari. Lalu ia akan menuliskan

nasihat dengan jemari yang keriput dan bergetar, se-suatu yang sering dibisikkannya kepada orang-orang

muda yang ia tertukar sebagai cucunya, jangan

biar-kan hatimu buta karena cinta.

Lalu jika suratku tiba di tangan seorang siswa SMP yang aktif di kerohanian agama, ia akan menge-rutkan dahi dan berpikir. Perempuan yang menulis surat ini mungkin datang dari masa depan. Di masa kini ia adalah siswi kelas sebelah yang menaksirnya sejak semester lalu, menuliskan busa-busa cinta pada majalah dinding atau surat-surat tanpa nama yang ia temukan di laci mejanya. Si siswa SMP akan mengem-balikan suratku, tapi tak kuasa menorehkan pesan singkat dengan tulisannya yang seperti sandi rumput:

Kakak salah alamat. Tapi kata Pak Guru, pacaran itu tidak baik untuk anak sekolah.

Daftar kemungkinan yang masih berderet panjang. Namun aku merasa pasti, surat itu terlalu mendamba untuk dianggap tiada. Kecuali di mata orang yang ditujunya. Hanya dia satu-satunya orang di dunia yang mampu mengabaikan suratku.

Pada suratku yang ke- yang tak juga pernah dibalasnya, mataku seperti akan meledak akibat terlalu panas. Lahar yang mengalir telah melindas bukit- bukit pipi, sejak menganak sungai hingga mengering sendiri. Selesai melipat tepi-tepinya dengan saksama, aku membuka kembali pinggir kertas yang sudah berpadu. Terhamparlah huruf-huruf berwarna biru cerah. Terpaparlah hidungku dengan aroma kertas yang khas.

Lalu tiba-tiba aku muntah. Mengeluarkan seluruh isi makan siangku hari ini, makan malamku kemarin, dan ketika tak bersisa lagi isi perutku, namun aku masih juga ingin muntah, aku tiba-tiba mengeluarkan sesuatu yang membuatku jijik.

Aku memuntahkan cacing tanpa kepala. Atau se-suatu yang mirip seperti itu. Seluruh tubuhku gemetar menahan mual. Tak sanggup menatap, tapi tak kuat membunuh. Dia hidup, dan sejak hari itu menetap berkeliaran di sekitarku, bergerak antara ada dan tiada di batas-batas sadarku.

3.

Kita menamakan mereka hantu. Makhluk tak kasat mata yang

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 147-175)