• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketinggalan Kereta

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 113-129)

B

ibirnya bergetar. Tangannya bergetar. Berkali-kali ia bilang kepalanya serasa berputar-putar. Tubuhnya mendadak bergemuruh. Lalu ia bergerak-gerak seperti seorang darwis yang sedang menari-nari, memutar-mutar tubuhnya berlawanan de-ngan arah jarum jam. Matanya dipejamkan, sesekali dapat kudengar suara isak tangisnya yang sepertinya tidak kuasa ditahan, lalu ia menengadahkan kepala dan mengangkat kedua tangannya.

Entah ada apa denganmu hari ini.

Kamu bilang, kamu hanya butuh ditemani untuk hari ini saja.

***

Hati-hati terhadap semesta. Ketika kamu memiliki permintaan yang sangat kuat dan kamu memikirkan-nya berulang-ulang, maka permintaan itu akan terka-bul. Seperti saya yang tidak bisa berhenti memikirkan Kirana barang sedetik pun. Dalam seminggu terakhir ini, tiba-tiba saya diserang oleh rasa rindu yang terlalu berlebihan. Hanya karena melihat ikan asin yang ter-sedia di kantin kantor, bertengger manis dan me-ngedipkan mata pada saya seraya berbisik: Hai Gupta,

ingat saya? Saya adalah ikan favorit Kirana. Makan saya! Makan!

Karena ikan asin itulah, saya dihantui rindu. Walaupun sudah berkali-kali menghubunginya, tetapi Kirana tetap tak terjangkau. Saya terus menerus

me-mikirkan untuk selalu bersamanya, memeluknya erat. Maka saya tidak pantang menyerah. Saya mengirim surat elektronik untuknya. Isinya hanya sepenggal pesan:

Kirana Willa, kangen luar biasa. Saya hampir binasa. Izinkan saya bertemu kamu!

Lalu akhirnya, dua hari setelah surat eletronik itu terkirim di tengah perjuangan melawan rindu, penan-tian itu membuahkan hasil. Surat balasan itu datang juga:

Dear Gupta,

Ketemu yuk. Temani aku besok saja. Jangan kerja, aku jemput ke rumah jam sembilan pagi. Bawa mantel.

Semesta mengabulkan. Tanpa banyak bertanya, saya cari-cari alasan untuk bolos kerja. Saya tidak pergi ke kantor. Demam, saya berdalih.

Kirana menjemput saya tepat jam sembilan pagi. Sesuai permintaannya, saya membawa mantel. Ia me-mang selalu mengingatkan saya untuk membawa mantel, karena dulu saya memiliki kebiasaan lupa untuk membawanya, bahkan ketika musim hujan.

Padahal, saya alergi dingin. Hal inilah yang membuat-nya sering kesal.

Ketika masuk mobilnya, Kirana langsung memeluk saya. Ia cantik sekali. Tidak seperti biasanya, rambut-nya rapi. Ia juga memakai gaun panjang bermotif bunga-bunga. Saya bertanya-tanya, apakah ia sengaja mendandani dirinya sendiri karena mau bertemu saya?

Ia memandangi saya lama sekali, lalu mulai menjalankan mobilnya.

“Kita mau kemana?” tanya saya.

“Jangan banyak tanya, ya. Temani saja aku,” pinta-nya sembari tersenyum. Saya akhirpinta-nya mengangguk. Tentu. Ke mana pun bersama Kirana.

***

Mungkin Kirana sedang stres. Tetapi yang saya tahu, manakala Kirana sedang stress, dia memang harus pergi mencari ketenangan. Sendiri. Tidak bersama siapa-siapa termasuk saya. Ini juga yang menjadi alasan kami tidak lagi bersama. Kirana bilang, dia ti-dak bisa memprioritaskan saya. Ah, memang sulit bersama seorang perempuan yang memiliki pemikiran rumit.

Anehnya, dalam kerumitannya hari ini, ia tampak bahagia. Seperti sekarang, ketika kami makan siang bersama. Ia tampak lahap mengunyah nasi dengan suapan besar-besar.

“Enggak, aku udah lama kok gak makan ikan asin. Begitu ketemu kamu aja aku langsung inget ke sini,” jawabnya sambil terus mengunyah. Kirana adalah tipikal gadis Sunda yang setiap kali makan, setiap

suapan nasi harus dibentuk membulat rapi dengan jari-jari-nya yang lentik. Lalu nasi yang sudah dipadu-kan sambal terasi dan idipadu-kan asin tersebut, dikombinasikan de-ngan caranya melahap makanan akan membuat orang-orang yang hanya melihatnya pun ikut menik-matinya.

“Gupta, aku mau pindah kota,” katanya tiba-tiba setelah selesai ma-kan.

Saya terkesiap mendengarnya. Lantas tersedak.

“Kapan?” “Hari ini.”

“Ke mana?” tanya saya setelah minum air putih dan menenangkan diri.

“Kamu gak perlu tahu. Aku cuma mau pamit sama kamu, makanya aku ajak kamu pergi hari ini.”

Hoala. Dengan noraknya mata saya langsung ber-kaca-kaca. Sial.

“Berapa lama?”

“Pokoknya gak usah ditunggu, gak usah hubungi aku lagi ya,” pintanya dengan nada manja. Aneh-aneh saja Kirana. Memberi kabar perpisahan seperti ini ti-dak ada sedih-sedihnya. Mungkin ini alasan mengapa ia mau bertemu dengan saya, karena ia tidak tahan terus menerus diteror oleh saya yang memang dari kemarin ingin bertemu dengannya.

“Kalau itu yang kamu inginkan.”

Apa pun untuk Kirana. Hati saya langsung men-jerit.

“Oh ya, nanti sore kamu bisa antar aku ke stasiun kereta? Lalu tolong balikin mobilku ke rumah,” pinta-nya sekali lagi. Saya menghela napas. Terpinta-nyata ia tidak sedang main-main.

“Memang keputusanmu sudah bulat ya?” tanya saya.

“Bulat sempurna, tanpa bolong ataupun celah,” jawabnya mantap.

“Lalu, kemana kita sekarang?” “Ke stasiun kereta.”

***

Saya tidak mengerti apa yang diinginkan Kirana. Setibanya kami di stasiun kereta, ia malah duduk termenung. Saya tanya apakah dia sudah membeli tiket,

eh dia malah bilang tidak perlu, hanya tinggal me-nunggu. Dengan tegas ia mengingatkan bahwa ia ha-nya minta ditemani, bukan minta ditaha-nya-taha-nya. Lalu dia mengenggam sebuah pena, yang katanya buat tanda-tangan. Entah tanda-tangan apa. Beragam perta-nyaan terus menerus muncul di otak saya, tapi se-muanya harus saya simpan. Yang lebih menyebalkan lagi, kali ini muncul berbagai kekhawatiran, bagaimana dengan kehidupan Kirana di tempat barunya nanti? Apakah dia akan tetap membutuhkan saya sewaktu-waktu, dan alasan apa yang harus saya buat nanti kalau saya harus bolos bekerja? Jangan-jangan dia mau pindah ke Yogya, karena suatu hari dia pernah berkata ingin tinggal di sana.

Ya, Kirana sepertinya mau ke Yogya.

Kekhawatiran saya semakin memuncak, takut kalau-kalau dia nanti memiliki kekasih baru di sana. Atau jangan-jangan sudah?

“Gupta, aku mau tanya-tanya dulu, kamu tunggu di sini ya. Jangan kemana-mana.“ Kirana pergi tanpa membawa tasnya. Saya mengangguk, lalu melirik tas-nya. Tas yang ia bawa hanyalah tas kecil yang mung-kin hanya berisi pakaian untuk tiga hari. Saya berke-simpulan, Kirana sudah mengirimkan barang-barangnya terlebih dahulu ke tempat tinggal barunya.

Iseng-iseng saya buka tasnya. Ya Tuhan! Isinya hanyalah beberapa buku yang sudah sering ia baca, beberapa album foto, syal pemberian dari saya, sebuah

senter, dan sekotak plastik makanan yang berisi ikan asin dan sambal terasi. Apa-apaan ini?

Setengah jam berlalu, dan Kirana akhirnya kem-bali padaku. Wajahnya tampak cemas.

“Gupta ... aku ternyata ketinggalan kereta,” ujar-nya. Ia lalu terduduk lemas. Kali ini giliran matanya yang berkaca-kaca. Sementara hati saya justru girang. Girang karena tidak perlu ditinggal Kirana ke tempat barunya entah di mana. Saya mengusap-usap pung-gungnya.

“Lalu mau bagaimana?” tanya saya. Saya tidak tahu apakah semesta dapat membantu jika saya benar-benar meminta agar Kirana jangan pergi.

“Mungkin besok ada kereta lagi,” jawabnya. “Kamu gak mau beli tiketnya dulu?” Ah, menyesal saya memberikan ide tersebut.

“Tidak ada tiket, Gup. Kita hanya perlu tanda tangan.”

“Bagaimana bisa ....”

“Ingat, jangan banyak bertanya, cukup temani saja hari ini.”

Itu dia. Saya tidak boleh banyak bertanya, walau-pun kepala ini rasanya mau meledak.

Lalu Kirana menggenggam tangan saya, mengajak saya pergi dari stasiun kereta. Acara perpisahan ini ditunda sehari. Jika besok ia meminta untuk diantar lagi, saya sudah siap berbohong kepada kantor bahwa saya masih sakit demam.

***

Setelah ketinggalan kereta, saya mengajaknya ke tem-pat favorit kami berdua, sebuah padang rumput yang cukup luas. Letaknya di pinggir tebing, dekat rumah saya. Semoga tidak hujan. Biasanya, kami menghabis-kan waktu di sana dengan menggelar selimut tipis sebagai alas, membawa keranjang rotan berisi berbagai makanan ringan dan menghabiskan waktu melihat matahari tenggelam di tepi tebing sambil membaca buku, sambil sesekali berciuman.

Kirana akhirnya setuju saya ajak ke tempat itu. Sesampainya di sana, ia mengaduk-aduk tasnya, dan mengeluarkan sebuah buku catatan yang sudah sedikit kumal. Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Cuaca cukup cerah.

Kami duduk berdua menghadap matahari yang bersahabat. Ingin sekali saya bertanya kepada Kirana, kenapa ia harus pergi. Apakah tidak cukup berpisah sejenak saja dengan saya dan lebih sering mengasing-kan diri? Mengapa harus pergi jauh?

“Kamu tahu aku sayang sekali sama kamu,” Kirana memulai percakapan. Hati saya langsung terenyuh, sejenak melupakan semua pertanyaan yang ada di pikiran ini.

“Iya, tahu,” jawab saya pendek.

“Aku lelah dengan perkataan orang-orang terha-dapku. Keluargaku yang seharusnya mengenalku, se-pertinya tidak pernah mengerti aku. Dan yang paling

menyebalkan, sebenarnya aku lelah dengan diriku sendiri. Sepertinya memang aku harus pergi.”

Saya langsung sedih mendengarnya. Sedih karena sebenarnya tidak ada yang salah dari kehidupan Kirana. Ia memiliki banyak teman. Selama saya berhubungan dengannya, saya telah mengenal keluarganya yang menyenangkan. Kedua orang tuanya pegawai negeri. Profesi tersebut lantas menurun kepada Kirana yang akhirnya juga menjadi pegawai negeri. Tapi entahlah, saya kira manusia memang selalu mencari perkara. Ada sesuatu yang membuat saya selalu penasaran dengan otaknya. Emosinya yang terkadang meluap-luap, ketakutan dan pemikiran yang dilebih-lebihkan serta kegemarannya mengasingkan diri membuatnya suatu hari memutuskan bahwa lebih baik ia mening-galkan pekerjaannya.

Di lain sisi, Kirana menghanyutkan saya tanpa perlu menjadi penyair yang menjerat dengan kata-kata indah yang bombastis. Ia tidak perlu berpenampilan seperti bidadari rupawan yang membuat rahang pria jatuh dan tidak kembali lagi. Dari semua wanita yang pernah memiliki sejarah dengan saya, hanya dia yang berhasil membuat saya tidak pernah melirik orang lain. Dalam ketidaksederhanaan pemikirannya, berkali-kali saya dapat mengendap-endap masuk ke dalam ruang terdalam di hatinya. Jika ia melakukan suatu hal yang tidak wajar, itu hanyalah sebuah bentuk penolakan. Ia hanya ingin menantang manusia-manusia di sekelilingnya, sejauh mana mereka dapat membuka

pikirannya terhadap sesuatu yang ada di luar sistem, itu saja. Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan per-ubahan.

“Tapi Kirana, bukankah kalau kamu lelah, ke-mana pun kamu pergi, kamu masih harus mengha-dapi dirimu sendiri?”

Kirana tidak menjawab.

Apa yang saya takutkan akhirnya terjadi juga. Tiba-tiba hujan mulai turun secara perlahan. Aku bersiap untuk mengajaknya pergi sebelum kami keba-sahan, tiba-tiba Kirana berdiri.

“Gupta, kamu dengar itu?” “Dengar apa?”

Kirana tidak menjawabnya. Ia malah terdiam, se-perti menunggu sesuatu. Lalu ia tersenyum-senyum sendiri. Aku semakin heran dibuatnya, dan mulai ti-dak nyaman dengan rintik-rintik hujan yang menye-rang ubun-ubun kepala ini.

“Katanya, tidak perlu memakai kereta. Suara itu datang, begitu jauh, namun begitu jernih. Sore ini, senja yang akan menjemputku. Kamu dengar? Sungai yang memberikan pesan padaku!”

“Kirana, kamu ngomong apa?”

Hujan mulai deras. Kirana tidak menjawab, ia melempar buku hariannya, lalu mengangkat tangan dan tengadah ke langit. Kemudian ia mulai berputar-putar. Aku mulai ketakutan.

Kirana tidak peduli.

Kirana!” teriakku sekali lagi.

Kirana seolah kesurupan. Saya bingung harus berbuat apa, melihat dia begitu bahagia, walaupun air mata bercerai-berai di pipinya. Tangis itu keluar tanpa suara. Ini gila. Putaran itu seperti gasing yang memi-liki pola. Ia terlihat semakin cantik, dengan penampil-annya yang tidak biasa. Seolah-olah ia sedang

meng-alami ekstase. Saya mulai berpikir bahwa bukan Kirana yang sedang menari di sana. Kirana yang lain mungkin. Kirana yang tidak pernah bisa saya mengerti.

Kirana, apa maumu, terserah. Mungkin ini yang membuat saya jatuh cinta.

Lambat laun perputaran Kirana semakin melam-bat. Getaran pada bibirnya mulai hilang, isak

tangis-nya mereda, tubuhtangis-nya mulai tenang. Aku mengham-piri dan memeluknya.

“Gupta, aku ketinggalan kereta,” gumamnya ter-engah-engah dalam pelukan saya. Lalu ia kembali menangis sesenggukan. Saya semakin memeluknya erat.

“Sudah, sudah, besok kamu saya antar lagi,” sahut saya, mencoba menenangkan. Saya akhirnya berpikir, Kirana memang sudah seharusnya pergi. Sudah sepa-tutnya saya melepasnya dengan keikhlasan. Mungkin pada perjalanannya, jarak akan membuat saya mulai mengerti Kirana. Dan suatu hari kami akan terus bersama.

Matahari perlahan mulai tenggelam. “Yuk pulang?” pintaku.

“Ambilkan senter di tas, aku takut gelap.”

Aku tersenyum, lalu mengambil tas Kirana di mobil.

“Lupakan senternya. Kemarikan saja tasnya.” Saya menyodorkan apa yang diminta Kirana. Gadis itu memeriksa isi tasnya, menentengnya, memandangi saya sambil berdiri.

“Aku rasa sore ini memang untukku, Gupta. Ke-retaku boleh pergi, tapi selalu ada jalan lain menuju tempat tinggal baruku. Aku harus ke sana sekarang juga. Aku tahu, ini adalah tawaran yang gila. Tetapi, apakah kamu mau ikut bersamaku? Kupikir kita akan bahagia bersama.” Kirana memandangiku lekat-lekat. Tawarannya mengejutkanku.

Apakah aku mau ikut dengannya?

Butuh hanya dua menit untuk berpikir, lalu ber-syukur. Pikiran Kirana akhirnya terbuka. Dan untuk saya, saya yakin pekerjaan bisa dicari di mana pun juga jika kita memiliki niat yang sungguh-sungguh. Cinta, apakah kita akan berhadapan dengan kesempat-an lain? Apalagi jika tawarkesempat-an untuk bersama datkesempat-ang dari orang yang benar-benar kita cintai. Jika saya mengatakan tidak, apakah ada orang lain yang bisa menggantikan posisi Kirana? Ketika ada seseorang menawarkan sebuah kehidupan untuk masa depan, apakah kita harus menolak niat baik itu?

Saya mengangguk. Kalau jodoh, tidak kemana. “Ya, saya mau ikut kamu, Kirana,” jawab saya dengan penuh keyakinan.

Kirana tersenyum bahagia. Saya rasa, ini adalah raut wajahnya yang paling bahagia selama hidupnya.

“Kalau begitu, ikut saya!”

Sekonyong-konyong, Kirana menarik tangan saya, berlari sekencang-kencangnya. Awalnya saya tidak siap dengan derap langkahnya yang sangat cepat, namun akhirnya saya mengikuti tarikan tangannya, dan kami berlari semakin cepat dan cepat hingga rasanya kami seperti terbang.

Saya melihat ke bawah. Tidak ada tanah yang dapat saya pijak.

Kirana membawa kami berdua loncat dari tebing, bersama-sama dengan tas yang digenggamnya.

Kirana ketinggalan kereta, namun ia telah mencari jalan lain, menuju tempat tinggal baru kami. Samar-samar dalam benakku ... terbayang wajah para anggota keluarga kami.

Kirana, Kirana.

Gadis

Dalam dokumen Perkara Mengirim Senja - first draft (Halaman 113-129)