• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasan-Bahasan Dalam Pajak Atas Konsumsi

Dalam dokumen DAFTAR ISI. iii. Prakata Daftar Isi (Halaman 192-195)

Pajak penjualan, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, terdiri dari beberapa jenis, termasuk definisi basis pajak, cakupan dan saat pengenaannya.

Pajak per Unit versus Pajak atas Nilai (Ad Valorem)

Pembedaan lebih lanjut dalam pajak penjualan adalah pajak yang dikenakan berdasarkan unit produk dan pajak yang dikenakan atas nilai produk. Sebagian besar cukai atau pajak penjualan atas produk-produk tertentu dikenakan berdasarkan unit produk, misalnya pajak atas bahan bakar minyak, cukai tembakau dan cukai minuman keras. PPN dan PPnBM merupakan contoh pajak penjualan yang dikenakan berdasarkan ad valorem. Di antara dua basis ini, bentuk

ad valorem lebih berarti daripada bentuk per unit, seperti yang telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

Ruang Lingkup Cakupan Pajak Penjualan Umum

Pajak-pajak penjualan umum dapat berbeda dalam cakupan pengenaannya. Apakah pajak-pajak tersebut mencakup semua transaksi ataukah basisnya sama dengan GNP ataukah hanya konsumsi saja yang dapat dimasukkan?

Inferioritas Basis Transaksi. Pajak berdasarkan perputaran (turnover tax) yang dikenakan pada jumlah total seluruh transaksi adalah pajak yang paling tidak diinginkan untuk diterapkan. Dalam pajak jenis ini, suatu produk dikenakan pajak berkali-kali sejalan dengan pergerakannya sepanjang tahapan produksi. Misalnya, penjualan biji besi dikenakan pajak ketika biji besi tersebut berpindah dari tambang ke pabrik baja, kemudian penjualan besi baja dikenakan pajak ketika besi baja berpindah dari pabrik baja ke pabrik produksi lembaran baja, penjualan lembaran baja dikenakan pajak ketika lembaran baja berpindah dari pabrik produksi lembaran baja ke pabrik mobil, dan seterusnya sampai pajak terakhir dikenakan pada penjualan mobil eceran. Akibatnya, basis pajaknya akan berjumlah beberapa kali lipat dari GNP dan hasil pajak yang besar akan didapatkan hanya dengan pengenaan tarip pajak yang rendah. Dengan GNP Indonesia yang diperkirakan sebesar sebesar Rp1180 trilyun misalnya, penerapan pajak berdasarkan perputaran yang komprehensif sebesar 1% akan menghasilkan pendapatan pemerintah sebesar Rp46 trilyun, atau sepertiga hasil dari pajak penghasilan.

Prosedur seperti ini mempunyai daya tarik karena kemampuannya menghasilkan pajak yang besar dengan penerapan tarip yang kecil. Memasukkan seluruh transaksi akan tidak menimbulkan permasalahan bila setiap produk melalui jumlah transaksi yang sama sehingga persentase total kewajiban pajak berdasarkan perputaran terhadap nilai pada penjualan akhir akan sama. Dalam kenyataannya, setiap produk tidak melalui jumlah transaksi yang sama.

Dengan demikian, pajak berdasarkan perputaran menimbulkan diskriminasi pengenaan pajak terhadap produk-produk yang harus melalui banyak tahapan produksi dan distribusi. Selain itu, untuk menghindari pajak, perusahaan-perusahaan akan bergabung dengan para pemasok mereka, sehingga mendorong timbulnya integrasi vertikal yang pada gilirannya akan mengurangi kompetisi. Atas dasar inilah, pajak berdasarkan perputaran dipandang sebagai bentuk pajak yang inferior. Bahkan beberapa negara Eropa telah menggantikan bentuk pajak ini dengan pajak pertambahan nilai yang menunjukkan inferioritas pajak atas perputaran ini.

Basis GNP versus Basis Penghasilan atau Konsumsi. Dengan pertimbangan bahwa pengenaan ganda seperti yang dibahas dalam basis transaksi harus dihindari, pilihan basis pajak yang tersisa adalah GNP (Pendapatan Nasional) atau konsumsi. Pada umumnya, pajak penjualan yang dikenakan di berbagai negara berbasiskan konsumsi.

Pajak penjualan jenis GNP akan mengenakan pajak penjualan atas barang-barang konsumsi dan barang-barang-barang-barang produksi. Dengan demikian, basis ini akan

sama dengan yang dipakai dalam pajak atas penghasilan kotor, dalam hal ini penghasilan sebelum perhitungan penyusutan. Pajak jenis ini memiliki kelemahan dalam hal keadilan dan efisiensi. Dalam hal keadilan, pajak ini akan melanggar prinsip dasar pajak penghasilan yang menyatakan bahwa penghasilan dari semua sumber harus dikenakan pajak sepenuhnya, tetapi dalam jumlah netonya. Dalam hal efisiensi, pajak ini akan memberikan perlakuan diskriminatif yang mengecualikan penghasilan yang ditabung (tidak dikonsumsikan) yang dalam pajak penghasilan tidak dikecualikan.

Kelemahan ini akan hilang bila pajak hanya dikenakan pada basis yang sama dengan Pendapatan Nasional atau GNP dikurangi dengan pajak-pajak tidak langsung dan penyusutan. Pajak seperti ini akan memiliki basis yang sama dengan pajak penghasilan dan dapat diselenggarakan dengan menggunakan pajak pertambahan nilai jenis penghasilan. Karena basis penghasilan telah digunakan dalam pajak pribadi dengan pengenaan pajak penghasilan, satu-satunya basis yang tersisa sebagai kandidat basis pajak adalah basis konsumsi. Basis inilah yang paling banyak digunakan dalam pajak penjualan.

Pajak Konsumsi Komprehensif versus Pajak Konsumsi Tertentu. Pajak penjualan umum atau eceran bertujuan mengenakan pajak yang mencakup seluruh konsumsi secara komprehensif. Dengan pengeluaran konsumsi sebesar Rp1.170 trilyun, pajak penjualan yang komprehensif sebesar 10% akan menghasilkan pendapatan negara sebesar Rp117 trilyun. Akan tetapi jumlah dalam basis ini akan berkurang karena beberapa konsumsi tertentu dikecualikan dari pengenaan pajak penjualan, seperti konsumsi perumahan (sewa rumah dan imputed-rent bagi pemilik rumah), konsumsi makanan rumah, jasa kesehatan dan lain-lain.

Tahap Pengenaan

Keputusan mengenai tahap pengenaan melibatkan pilihan tahapan mana yang terbaik bagi pengenaan pajak satu kali dan pilihan mengenakan pajak satu kali atau beberapa kali. Bilamana penetapan cakupan pajak merupakan hal yang substantif dalam menentukan jenis pajak yang akan diberlakukan, pemilihan tahap pengenaan lebih merupakan masalah administratif dalam rangka efisiensi penerapan pajak atas basis yang dipilih.

Saat Produksi versus Saat Penjualan Eceran. Bila menggunakan pajak yang dikenakan satu kali, pilihan pengenaan pajak biasanya antara saat selesai produksi atau saat dijual secara eceran kepada konsumen.

Jika pajaknya bersifat umum, pengenaan pada saat penjualan eceran lebih baik karena memungkinkan pengenaap tarip ad valorem yang seragam. Pengenaan pajak ad valorem dengan tarip yang sama pada tingkatan produksi menghasilkan tarip ekuivalen yang tidak sama dengan pengenaan pada tingkatan penjualan eceran, karena rasio harga eceran terhadap harga produksi berbeda-beda untuk berbagai produk. Pengenaan tarip yang berbeda untuk menghilangkan perbedaan ini akan sangat sulit dan merupakan cara yang tidak seefisien dan seefektif pengenaan pajak pada tingkatan penjualan eceran.

Jika pajak akan dikenakan secara selektif, jawaban atas pertanyaan tahapan pengenaan akan lebih tidak jelas lagi. Jika produknya diidentifikasi pada tahapan produksi, misalnya mobil murah atau televisi, akan lebih menguntungkan mengenakan pajak pada tahapan ini, karena pengenaan pajak secara selektif pada tingkatan eceran akan sangat sulit. Dalam situasi lain (misalnya bahan kain yang digunakan untuk pakaian mewah atau pakaian murah), identifikasi produk tidak memungkinkan. Pembedaan dalam situasi ini lebih berkaitan dengan sifat dari produk final pada tahapan penjualan eceran. Walaupun demikian, pandangan umum lebih condong kepada pengenaan pada tahapan penjualan eceran untuk diterapkan pada pajak penjualan umum dan tidak begitu sering digunakan pada pajak-pajak penjualan selektif.

Di negara-negara berkembang, pengenaan pajak pada tahapan produksi lebih menguntungkan karena cara ini akan mengurangi jumlah pembayar pajak yang harus ditagih pajaknya sehingga mempermudah administrasi. Selain itu, badan-badan usaha produksi cenderung lebih besar, lebih permanen, dan lebih memiliki pembukuan yang baik daripada badan-badan usaha eceran. Karakteristik-karakteristik ini memperbaiki kualitas untuk tujuan perhitungan pajak. Negara-negara berkembang dapat memperoleh hasil yang lebih baik dengan pajak penjualan yang dikenakan pada tahapan produksi karena jumlah titik penagihan pajak yang lebih sedikit, walaupun hal ini menimblkan dampak yang berbeda pada tingkatan penjualan eceran.

Saat Penjualan Eceran versus Pertambahan Nilai. Pertanyaan lebih lanjut adalah apakah pajak harus dikumpulkan dalam satu kali pengenaan dan pada titik penjualan final atau apakah dikumpulkan secara bertahap dengan menggunakan prosedur nilai tambah. Dengan cara kedua, nilai produk dibagi dalam potongan-potongan (nilai tambah pada setiap tahapan) di mana pajak dikenakan pada tahapan-tahapan sepanjang proses produksi. Walaupun ada perbedaan dalam teknik, basis nilai tambah dari pajak penjualan jenis konsumsi sama dengan basis penjualan eceran, hanya cara penagihannya yang berbeda. Pemilihan keduanya lebih didasarkan pada kemudahan administrasi. Penggunaan pendekatan beberapa tahapan dalam konteks pertambahan nilai harus dibedakan dengan yang sebelumnya dibahas dalam diskusi tentang pajak atas perputaran

Dalam dokumen DAFTAR ISI. iii. Prakata Daftar Isi (Halaman 192-195)