• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelahiran elite Indonesia memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan sebuah rezim. Khususnya regulasi yang dirumuskan oleh rezim. Rezim ikut membuahkan elite pada pelbagai jenjang. Ketika Rezim Belanda pada 1870 mencetuskan Politik Liberal–sebuah politik kemanusiaan dan politik kebebasan ekonomi kepada Hindia Timur, yang membolehkan pihak swasta ikut mengontrol kehidupan ekonomi, maka pada saat yang sama, terjadi perubahan struktur sosial dan ekonomi pada semua jenjang. Politik Liberal memaksa pemerintah sipil Eropa di Jawa untuk memberikan perhatian yang lebih kepada kemakmuran pulau-pulau di Nusantara. Sebagai implikasi dari kebijakan rezim ini, pada 1870, komposisi masyarakat Eropa dan elite lokal (Indonesia) berubah. Perubahan ini umumnya adalah sebagai akibat cepatnya jumlah warga sipil yang ikut memberikan kontribusi dalam pengelolaan ekonomi bangsa, dimana sebelumnya peran ini hanya dilakukan oleh pemerintah dan administrator.13

Sesudah tahun 1890-an, peran sipil terus menerus meningkat, pada konteks ini, kebijakan rezim telah memberi ruang yang cukup bagi masyarakat sipil untuk mengekspresikan kepentingannya. Pada kondisi inilah lahir elite-elite modern

baru, yang melakukan tuntutan baru yang sangat kritis. Misalnya yang terjadi pada 1888, sebuah Koran lokal di Semarang de Locomotief, secara tegas dan berani

menyuarakan keinginan akan otonomi lokal yang lebih besar dan perbaikan keadaan untuk pribumi Hindia Timur. Mulai pada saat ini, ekonomi liberal

13 Sebelum dikeluarkan regulasi Politik Liberal (politik kemanusiaan), pemerintah kolonial mengendalikan kekuasaannya di Nusantara, melalui sistem pemerintah indirect-rule, dimana pemerintah Belanda tidak secara

langsung mengendalikan pemerintahan, melainkan diserahkan kepada elite-elite tradisional (pangreh praja) yang memiliki basis-basis massa. Pangreh Praja kemudian terbentuk menjadi suatu elite birokrasi dengan sistem cara kerja, dengan etos, dan juga dengan hubungan-hubungan sosial, kekerabatan yang saling jalin- menjalin. Karena perubahan regulasi rejim (1870), lambat laun (awal abad 20) pangreh praja melalui pendidikan modern, berubah menjadi elite birokrasi. Sebelum era abad 20, pangreh praja bersumber dari tradisi penguasa tradisional atau patrimonial yang tidak mengenal pemisahan kepentingan pribadi dan jabatan (lihat Sutherland (1983), Terbentuknya Elite Birokrasi, Seri Sejarah Sosial Nomor dua, Peneribit Sinar Harapan)

29

kekuasaan kolonial mendapat kritikan dan kecaman dari elite-elite baru Indonesia, yang berkedudukan sebagai professional, intelektual, wartawan dan pengusaha. Puncaknya, pada 1899, C.T. van Deventer melakukan kritikan kepada pemerintah

Belanda, yang terkenal dengan ―Hutang Budi,‖ kritikan ini menghimbau

pemerintah Belanda untuk membuat perhitungan keuangan bagi tanah jajahan yang berkekurangan itu sebagai bagian ganti rugi akan laba yang sudah dikeruk di Jawa melalui Sistem Tanam Paksa (STP). Pada 1900, menurut hitungan Deventer, Belanda mengeruk keuntungan dari program STP bernilai sekitar 200 juta dollar. Serangan lain dilakukan H.H. Van Kol, pimpinan urusan jajahan dari Partai Sosial Demokrat, yang mempersoalkan kebijaksanaan kolonial dan politik jajahan.

Berbagai serangan, baik yang dilakukan oleh elite politik Belanda (yang berseberangan dengan pemerintah Belanda) maupun yang digerakkan oleh elite- elite fungsional baru Indonesia (elite-elite baru yang lahir dari hasil regulasi kebijakan rezim; politik liberal) telah berhasil melahirkan orientasi baru. Orientasi baru yang lahir pada 1901 ini disebut sebagai Politik Etis14. Politik ini, mengusahakan pembangunan tanah jajahan dengan modal swasta, juga dicari jalan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan serta memperluas otonomi melalui pendidikan. Kebijakan politik demikian mengandung sesuatu yang dapat mengenai setiap orang dari setiap aliran politik.

Politik Etis direspon dengan berbagai bentuk oleh elite dan masyarakat Indonesia. Semula, kelompok priyayi (elite tradisional) Indonesia, yang jumlahnya kurang dari dua persen, merespon Politik Etis dengan berat hati –

mereka berusaha tetap mempertahankan kesatuan dan kemurnian darah mereka dengan mengikuti suatu pembatasan yang keras dalam identitas sosial mereka—

14 Politik Etis lahir dari suasana yang bermula dari Pemilihan Umum 1901, yang mengubah gambaran politik di negeri Belanda. Partai Liberal yang menguasai politik selama 50 tahun telah keluar dari kekuatan politik, sibuk dengan sikap tuntunan (Partai Liberal memegang proyek-proyek sosial) dan dengan agama (pada pertengahan terakhir abad ke 19 telah ditekankan pendirian netral dalam agama), telah membuat kelompok kanan dan kelompok agama berkoalisi, yang menetapkan untuk kembali kepada prinsip-prinsip Kristen dalam pemerintahan. Deventer seorang Liberal yang popular, tidak terpilih untuk duduk di Parlemen, dan meneruskan usahanya di luar; dia dapat menyebabkan orang merasakan pengaruhnya. Pidato tahunan kerajaan pada bulan September 1901, menunjukkan semangat Kristen, ketika Ratu menekankan pentingnya kewajiban yang luhur dan tanggungjawab moral untuk rakyat Hindia Belanda. Pesan ini kemudian ditafsirkan oleh publik sebagai keprihatinan terhadap keadaan ekonomi yang buruk di Hindia Timur dan meminta agar dibentuk suatu komisi untuk memeriksa keadaan ini. Dari kejadian inilah diambil sebagai moment Politik Etis Jajahan. Inti dari Politik Etis berisikan keinginan kuat untuk melakukan perubahan struktur sosial masyarakat Hindia Timur, melalui jalur pendidikan modern, dan moderenisme kelembagaan sosial, untuk menuju kemakmuran sosial dan kesejahteraan masyarakat, tanpa memandang latar belakang, status sosial, asal etnis dan agama (Lihat Niel (1984) dalam; Munculnya Elite Modern Indonesia, Pustaka Jaya).

30

akan tetapi setelah Politik Etis ini semakin menguat, dengan berbagai alasan, kekakuan itu menjadi mencair. Perubahan yang terjadi tidak mengenai semua kelompok priyayi. Kelompok priyayi yang merespon positif Politik Etis, berusaha memperluas fungsi sosial mereka, menyatu dengan masyarakat untuk melakukan gerakan sosial untuk memperkuat posisi sosial politik warga Indonesia, dengan cara menumbuhkan lapisan intelektual, budaya dan kosmologi Indonesia. Dalam konteks seperti ini, elite tradisional (priyayi) yang merespon Politik Etis, mengubah dirinya menjadi elite modern yang fungsional.

Pada era 1900, kelompok priyayi sedang mengalami perubahan, oleh karena di dalamnya sendiri terjadi pertambahan pegawai negeri dan orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai intelektual dan golongan professional.

Singkatnya, Politik Etis telah membongkar posisi elite tradisional Indonesia

–kondisi yang sekaligus menggambarkan bahwa regulasi rezim terbukti ikut melahirkan elite-elite baru. Elite tradisional mulai lebih rasional, priyayi muda yang memiliki pendidikan formal di Belanda, mulai menggeser kedudukan priyayi tradisional15, dan memulai karir resmi mereka sebagai mantra, suatu jabatan yang

termasuk kedalamnya urusan sekretariat atau polisi di tingkat lokal. Dan apabila semuanya berjalan baik, dia akan menjadi asisten wedana (kepala sub distrik),

Wedana (kepala distrik), dan akhirnya Bupati atau Regen yang mengepalai sebuah

Kabupaten. Pada 1900, terdapat lebih dari delapan puluh Kabupaten di Jawa. 2. Basis Pendidikan

Bersamaan dengan terjadinya pergeseran elite pada ruang elite tradisional, menjadi elite modern yang fungsional, Politik Etis berhasil membangun infrastruktur dan suprastruktur pendidikan. Kondisi ini memungkinkan bertambahnya orang yang menempuh pendidikan formal, yang datang dari berbagai kelompok sosial (meskipun orang yang sekolah masih didominasi oleh keturunan priyayi –elite tradisional). Pendidikan16 yang dilahirkan oleh Politik

15 Meskipun pada awalnya, proses mengembangkan pemimpin-pemimpin tradisional Jawa yang berpendidikan Barat, tidak mendapat kerjasama dan kadang-kadang mendapat tantangan dari pihak orang tua. Mereka takut akan mendapat pengaruh sebaliknya pada kedudukan sosial anak-anak mereka, dan takut pula kalau hal ini akan membawa lebih banyak kecelakaan dari pada kebaikan.. Rasa was-was ini berakhir setelah 1906, dimana pemerintah Belanda menunjukkan keseriusan untuk memberi pendidikan yang lebih baik kepada masyarakat Hindia Timur. Gerakan ini dipelopori oleh Snouck Hurgronje.

31

Etis telah berhasil melahirkan proto type pegawai pemerintah dan intelektual abad ke-20. Kebanyakan dari mereka inilah yang sedikit banyak sebagai priyayi oleh orang banyak di Indonesia, sungguhpun mereka bukan turunan priyayi tingkat tinggi. Kedudukan mereka dalam dinas pemerintahan yang strukturnya semakin modern melibatkan mereka untuk dimasukkan ke dalam kelompok elite di dalam masyarakat Indonesia.

Sepanjang awal abad ke 20, pelayanan pemerintah kian berkembang, mencari orang-orang dengan pendidikan formal untuk mengisi jabatan-jabatan dalam struktur birokrasi yang rasional. Orang-orang yang mengisi jabatan ini secara otomatis masuk ke dalam kelompok priyayi atau digolongkan kelompok elite, meskipun asal mula mereka tidak dari golongan priyayi atau elite (akan tetapi jumlah mereka ini sangat terbatas) sebagian besar mereka sesungguhnya sudah berstatus priyayi, dan sedang mencari jalan untuk terus memperbaiki posisi mereka dalam kelompok priyayi.17

Setiap komunitas berbeda-beda merespon Politik Etis, komunitas etnis Cina dan Jawa menjadikan Politik Etis sebagai peluang untuk meraih keuntungan ekonomi. Dengan posisi seperti itu, etnis Cina menempatkan dirinya sebagai elite ekonomi, kemudian disusul oleh etnis Arab. Etnis Jawa dan beberapa etnis lain di Nusantara tidak memiliki pengalaman dan intuisi pada dunia usaha atau ekonomi. Para pribumi baik dari kelompok priyayi maupun masyarakat biasa memilih melewati jalur pendidikan dan gerakan sosial untuk memposisikan diri sebagai elite. Perluasan pendidikan adalah akar dari perubahan sosial yang mempengaruhi elite Indonesia. Bila sebelumnya, kedudukan-kedudukan tinggi dalam hierarki kepegawaian Indonesia diberikan atas dasar asal keturunan, politik kolonial yang baru (rezim baru), memposisikan pendidikan sebagai suplemen untuk dijadikan sebagai ukuran utama. Pendidikan menjadi salah satu sumber yang menghasilkan anggota-anggota elite baru.18

untuk membebaskan orang Indonesia menjalankan peranan yang lebih aktif dalam masa depan politik, ekonomi dan sosial mereka.

17Untuk sebagian orang, penggolongan dalam priyayi mungkin saja tak berarti sama sekali, karena

mereka (priyayi) membangun cita-cita baru, memakmurkan, mensejahterakan rakyat, serta mengabdi kepada bangsa dan negara. Akan tetapi kebanyakan orang tetap menduga bahwa kelompok ini tetap merupakan minoritas yang kebanyakan amat tertarik pada martabat pribadi dan sosial yang melekat pada peranan birokrasi mereka yang baru.

32

Keberhasilan pendidikan merupakan salah satu bagian dari keberhasilan Politik Etis yang terus menerus berusaha untuk memperkuat posisi sosial ekonomi orang Hindia Timur dan membuat mereka lebih dapat membangun struktur kesejahteraan ekonomi mereka sendiri.